POV Nina.
Sebulan berlalu dengan cepat hingga akhirnya aku merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Keluargaku bergegas membawa ke rumah sakit karena sudah pembukaan. Aku merasa perut mulas dan tidak tahan lagi untuk melakukan persalinan.Tak disangka, salah satu keluargaku memberi kabar ini kepada Mas Adji. Pria itu pun datang untuk melihat kondisiku setelah melahirkan dan juga anak darinya. Senang? Oh, tidak. Aku sama sekali tidak merasa senang dengan kehadirannya.“Nina, akhirnya anak kita lahir. Aku janji akan menjagamu dan anak kita,” ucap Mas Adji yang jelas saja perkataannya sama sekali tidak bisa dipercaya. Aku sama sekali sudah tidak mempercayai semua ucapan darinya.“Nggak usah berharap yang lebih. Bisa lihat anakmu aja, udah untung!” Aku langsung berkata dengan tegas agar Mas Adji sadar diri sedikit.“Jangan gitu, Nina. Aku itu sayang kamu.” Mas Adji masih mencoba untuk menarik perhatianku. Namun, sama sekali akAku tidak menyangka kalau pada akhirnya Pakde mengenalkanku kepada anak dari teman lamanya. Galuh, namanya. Aku akan bertemu dengan pria itu nanti siang. “Rere, Kamu kenalan dulu dengan Galuh biar tahu bagaimana sikapnya. Kalau dengan Raka, kamu sudah kenal lama, kan? Pakde harap kamu bisa memilih dengan bijaksana.” Pakde Trimo kembali membuka peluang bagiku untuk memilih pasangan hidup pengganti Mas Adji setelah melahirkan nanti.“Pakde, belum juga selesai aku melahirkan, kenapa udah buru-buru ngenalin aku hubungan beberapa pria? Aku juga nggak terburu-buru cari pengganti,” ujarku yang sebenarnya merasa bingung dengan sikap Pakde Trimo. Mungkin beliau tidak mau aku menjalani hidup tanpa pendamping setelah pisah dengan Mas Adji.“Nggak apa. Ini cuma perkenalan aja. Kamu kenal nama Galuh, siapa tahu kalian berdua cocok. Ngobrol-ngobrol biasa aja.” Pakde Trimo mengatakan hal itu seolah-olah menjadi sebuah perintah yang tidak bisa aku tolak. Aku pu
Akhirnya aku dan Mas Adji sudah terpisah dari ikatan janji suci yang pernah terucap di depan penghulu. Aku dan dia sudah resmi bercerai. Aku sama sekali tidak menyesali hal itu. Justru sekarang aku merasa lega dengan keputusan ini. Semua jadi terasa jelas, meski aku harus menjalani proses kehamilan ini seorang diri. Aku bersyukur ada Pakde Trimo dan Bude Patia yang mau menemani di saat sulitku.“Rere, apa yang kamu rasain sekarang?” tanya Bude Patia kepadaku serasa dari hati ke hati. Aku pun menatapnya dengan penuh kelegaan.“Aku lega, Bude. Aku benar-benar merasa lega dan sesak yang aku rasakan menjadi hilang. Setidaknya sekarang tinggal fokus urus bayi yang sebentar lagi lahir. Aku mau yang terbaik untuk anak ini, Bude,” jawabku tanpa merasa bersedih sama sekali. Kenapa aku harus bersedih atas apa yang terjadi? Semua ini terjadi karena salahnya Mas Adji sendiri. Jadi, aku mau mensyukuri semua yang ada. Aku mau berjuang demi anakku. Anak y
POV AdjiAku sama sekali tidak menyangka dan tidak menduga saat datang ke rumah sakit tempat Rere persalinan, justru melihat ada pria lain di sana. Siapakah pria itu? Apakah semudah itu Rere berpaling dan mencari penggantiku di saat masih dalam kondisi hamil?Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di dalam otakku. Seketika darah terasa mendidih ketika melihat pria itu memberikan perhatian lebih kepada mantan istriku. Memang aku ini sudah menjadi mantan suami dan tidak punya hak apa pun untuk mengatur dengan siapa Rere dekat, tetapi salahkah aku cemburu? Rasa cemburu itu muncul begitu saja dalam benakku. Aku merasa tidak kuasa untuk menahan emosi ketika Rere diperhatikan oleh pria lain. “Rere, walaupun kita sudah bercerai dan tidak bersama, anak ini tetap anak kita,” kataku yang sebenarnya bingung harus memberikan alasan apalagi karena tiba-tiba saja datang ke rumah sakit. Aku tidak mau diusir begitu saja oleh Rere apa
POV Adji. Aku tidak akan menyerah begitu saja setelah mengetahui Rere saat ini dekat dengan pria bernama Galuh. Aku sudah membulatkan tekad untuk bisa mengambil putraku yang baru saja lahir ke dunia. Aku sedang menyusun rencana untuk bisa membawa pulang pagi itu tanpa diketahui oleh orang lain. Langkah kakiku mulai gelisah menyusuri jalanan. Aku masih berada di Surabaya. Aku mencoba mencari jalan bagaimana untuk bisa mengambil bayi dari dalam rumah sakit bersalin tempat Rere dirawat.Saat mondar mandir dengan resah, akhirnya aku menemukan sebuah ide. Namaku masih tertera dalam administrasi meski sudah bercerai. Pasti akan lebih mudah membawa bayiku pergi.Aku pun memberanikan diri untuk pergi ke rumah sakit bersalin lagi dan mengendap-ngendap pergi ke kamar bayi. Aku berjalan menyusuri lorong berharap tidak bertemu dengan Rere, Pakde Trimo dan Bude Patia, atau Galuh agar bisa membawa bayiku pergi dari sini. Rasa muak dan kesal ber
Aku yang sedang berada di bangsal pemulihan setelah persalinan pun merasa resah dan gelisah. Entah mengapa hati ini terasa bingung padahal tidak ada masalah apa-apa. Aku pun mencoba memastikan kalau semua akan baik-baik saja dengan meminta Bude Patia untuk memeriksa keberadaan bayiku yang baru saja dilahirkan. “Bude, boleh aku minta tolong buat jenguk bayiku di ruangan bayi. Kenapa perasaanku tiba-tiba nggak enak, ya?” pintaku kepada Bude Patia yang saat ini sedang duduk di kursi samping panjang tempat tidur pasien. Aku merasa bersyukur karena Pakde Trimo dan Bude Patia selalu ada untukku. Bahkan saat ini juga ada Mas Galuh yang menemani.“Kenapa, Re? Ya, Bude ke sana sekarang. Kamu tenang dulu. Apa karena tadi si Adji ke sini, bikin kamu nggak tenang?” Bude Patia sepertinya memahami dengan betul perasaanku saat ini yang merasa was-was karena kehadiran dari Mas Adji sudah ku anggap sebagai sebuah ancaman tersendiri. “Entah, Bude. Pera
Aku merasa resah dan gelisah serta memainkan tanganku tiada henti karena khawatir apakah benar Mas Adji berada di lokasi yang disebutkan oleh Mas Galuh. Aku takut sekali kalau dia berlalu pergi ketika mengetahui akan ditangkap. Setelah sampai di lokasi, Mas Galuh meminta aku untuk tetap berada di mobil karena kondisi saat ini sangat bahaya bagiku yang baru saja selesai persalinan. “Rere, kamu di sini aja. Biar aku yang masuk. Kebetulan pihak rumah sakit dan juga Pakde Trimo dan Bude Patia sudah berada di lobby hotel.”Aku sebenarnya tidak bisa tinggal diam berada di mobil, tetapi rasa nyeri kembali terasa bekas persalinan tadi. Aku pun menurut apa yang dikatakan oleh Mas Galuh. Bude Patia ikut masuk ke dalam mobil untuk menemaniku. Aku dan Bude Patia merasa khawatir apakah benar bayiku berada di sana dan Mas Adji bisa ditangkap. “Bude, gimana ini? Aku bener-bener nggak nyangka kalau Mas Adji tega melakukan ini kepada anakku. Padahal dia udah ta
Beberapa hari kemudian aku sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit bersalin dan membawa putraku pulang. Putra tampan, bayi yang aku nantikan selama ini pasti akan aku jaga sebaik mungkin. Aku tidak akan terlena lagi dan merawatnya sepenuh hati. Hari demi hari pun berlalu dalam ketenangan. Aku memberi nama bayi tampan ini Regan. Aku harap dia bisa bertingkah laku baik dan tidak seperti Mas Adji. Pakde Trimo dan Bude Patia juga selalu siap siaga untuk membantuku menjaga Regan karena memiliki bayi pertama kali merupakan pengalaman yang mengesankan bagiku dan harus banyak belajar dari banyak sumber. Bagaimana cara memandikan bayi dan juga mengurus pakaian serta menjaga agar tidak kehausan atau kelaparan. Aku bersyukur saat ini juga ada Mas Galuh yang juga hampir setiap hari datang ke tempat Pakde Trimo untuk membawakan makanan sehat atau buah-buahan demi aku yang saat ini sedang menyusui. Perhatian dan juga kasih sayang dari Mas Galuh benar-benar b
POV AdjiAku merasa terkejut ketika ada panggilan telepon masuk di ponsel yang menunjukkan ternyata Nina yang menghubungi aku. Sudah berbulan-bulan lamanya tidak ada kabar sama sekali tentang Nina apalagi soal bayi yang dilahirkan olehnya. Aku pun segera mengangkat telepon panggilan itu. “Hallo, Nina? Ada apa?” Aku merasa khawatir karena firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres terjadi.“Mas, aku mau minta tolong. Anak kita sakit dan keadaan kritis,” ucap Nina membuatku lemas. Aku tidak mungkin marah kepada Nina yang sudah kabur dan juga menyembunyikan keberadaan anakku. Justru ucapan Nina membuatku terkejut dan sangat khawatir. “Sakit apa? Kamu sekarang di mana, Nina? Biar aku ke sana.”“Mas, aku di Lampung. Aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku terpaksa ke sini karena sudah nggak ada uang lagi buat hidup di Jakarta, Mas. Tolong, Mas. Anak kita kondisi kritis.” Aku langsung menangis saat Nina mengatakan