POV Adji.
Aku tidak akan menyerah begitu saja setelah mengetahui Rere saat ini dekat dengan pria bernama Galuh. Aku sudah membulatkan tekad untuk bisa mengambil putraku yang baru saja lahir ke dunia. Aku sedang menyusun rencana untuk bisa membawa pulang pagi itu tanpa diketahui oleh orang lain.Langkah kakiku mulai gelisah menyusuri jalanan. Aku masih berada di Surabaya. Aku mencoba mencari jalan bagaimana untuk bisa mengambil bayi dari dalam rumah sakit bersalin tempat Rere dirawat.Saat mondar mandir dengan resah, akhirnya aku menemukan sebuah ide. Namaku masih tertera dalam administrasi meski sudah bercerai. Pasti akan lebih mudah membawa bayiku pergi.Aku pun memberanikan diri untuk pergi ke rumah sakit bersalin lagi dan mengendap-ngendap pergi ke kamar bayi. Aku berjalan menyusuri lorong berharap tidak bertemu dengan Rere, Pakde Trimo dan Bude Patia, atau Galuh agar bisa membawa bayiku pergi dari sini.Rasa muak dan kesal berAku yang sedang berada di bangsal pemulihan setelah persalinan pun merasa resah dan gelisah. Entah mengapa hati ini terasa bingung padahal tidak ada masalah apa-apa. Aku pun mencoba memastikan kalau semua akan baik-baik saja dengan meminta Bude Patia untuk memeriksa keberadaan bayiku yang baru saja dilahirkan. “Bude, boleh aku minta tolong buat jenguk bayiku di ruangan bayi. Kenapa perasaanku tiba-tiba nggak enak, ya?” pintaku kepada Bude Patia yang saat ini sedang duduk di kursi samping panjang tempat tidur pasien. Aku merasa bersyukur karena Pakde Trimo dan Bude Patia selalu ada untukku. Bahkan saat ini juga ada Mas Galuh yang menemani.“Kenapa, Re? Ya, Bude ke sana sekarang. Kamu tenang dulu. Apa karena tadi si Adji ke sini, bikin kamu nggak tenang?” Bude Patia sepertinya memahami dengan betul perasaanku saat ini yang merasa was-was karena kehadiran dari Mas Adji sudah ku anggap sebagai sebuah ancaman tersendiri. “Entah, Bude. Pera
Aku merasa resah dan gelisah serta memainkan tanganku tiada henti karena khawatir apakah benar Mas Adji berada di lokasi yang disebutkan oleh Mas Galuh. Aku takut sekali kalau dia berlalu pergi ketika mengetahui akan ditangkap. Setelah sampai di lokasi, Mas Galuh meminta aku untuk tetap berada di mobil karena kondisi saat ini sangat bahaya bagiku yang baru saja selesai persalinan. “Rere, kamu di sini aja. Biar aku yang masuk. Kebetulan pihak rumah sakit dan juga Pakde Trimo dan Bude Patia sudah berada di lobby hotel.”Aku sebenarnya tidak bisa tinggal diam berada di mobil, tetapi rasa nyeri kembali terasa bekas persalinan tadi. Aku pun menurut apa yang dikatakan oleh Mas Galuh. Bude Patia ikut masuk ke dalam mobil untuk menemaniku. Aku dan Bude Patia merasa khawatir apakah benar bayiku berada di sana dan Mas Adji bisa ditangkap. “Bude, gimana ini? Aku bener-bener nggak nyangka kalau Mas Adji tega melakukan ini kepada anakku. Padahal dia udah ta
Beberapa hari kemudian aku sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit bersalin dan membawa putraku pulang. Putra tampan, bayi yang aku nantikan selama ini pasti akan aku jaga sebaik mungkin. Aku tidak akan terlena lagi dan merawatnya sepenuh hati. Hari demi hari pun berlalu dalam ketenangan. Aku memberi nama bayi tampan ini Regan. Aku harap dia bisa bertingkah laku baik dan tidak seperti Mas Adji. Pakde Trimo dan Bude Patia juga selalu siap siaga untuk membantuku menjaga Regan karena memiliki bayi pertama kali merupakan pengalaman yang mengesankan bagiku dan harus banyak belajar dari banyak sumber. Bagaimana cara memandikan bayi dan juga mengurus pakaian serta menjaga agar tidak kehausan atau kelaparan. Aku bersyukur saat ini juga ada Mas Galuh yang juga hampir setiap hari datang ke tempat Pakde Trimo untuk membawakan makanan sehat atau buah-buahan demi aku yang saat ini sedang menyusui. Perhatian dan juga kasih sayang dari Mas Galuh benar-benar b
POV AdjiAku merasa terkejut ketika ada panggilan telepon masuk di ponsel yang menunjukkan ternyata Nina yang menghubungi aku. Sudah berbulan-bulan lamanya tidak ada kabar sama sekali tentang Nina apalagi soal bayi yang dilahirkan olehnya. Aku pun segera mengangkat telepon panggilan itu. “Hallo, Nina? Ada apa?” Aku merasa khawatir karena firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres terjadi.“Mas, aku mau minta tolong. Anak kita sakit dan keadaan kritis,” ucap Nina membuatku lemas. Aku tidak mungkin marah kepada Nina yang sudah kabur dan juga menyembunyikan keberadaan anakku. Justru ucapan Nina membuatku terkejut dan sangat khawatir. “Sakit apa? Kamu sekarang di mana, Nina? Biar aku ke sana.”“Mas, aku di Lampung. Aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku terpaksa ke sini karena sudah nggak ada uang lagi buat hidup di Jakarta, Mas. Tolong, Mas. Anak kita kondisi kritis.” Aku langsung menangis saat Nina mengatakan
POV AdjiAku begitu merasa sedih ketika melihat putriku terbaring lemas tak berdaya di ruangan ICU padahal umurnya baru beberapa bulan saja. Bagaimana mungkin aku ini bisa tenang jika melihat bayi mungil itu yang belum sempat aku timang-timang setiap harinya justru saat ini sakit dan dalam kondisi yang kritis. Rasa bersalahku semakin bergejolak ketika Nina mengucapkan beberapa hal yang menohok dalam hati. “Mas! Ini semua pasti karena kesalahan kamu! Karena kamu yang sudah berdusta dan juga menyakiti hati kedua wanita yang menjadi istrimu, sekarang justru Dinda yang mendapatkan kesulitan. Dinda sakit karena kamu!”Aku begitu terkejut mengapa Nina langsung menyalahkan semua ini kepadaku padahal aku tidak tahu sama sekali kalau Dinda lahir dalam kondisi sakit seperti itu. Sebenarnya aku tidak ingin debat sama sekali, tetapi aku juga tidak mau disalahkan atas semua permasalahan yang ada di dalam kehidupan ini. “Aku sudah mengusahakan
Aku tidak menyangka kalau hari yang dinanti akhirnya tiba. Janur kuning melengkung di dekat rumah dan dekorasi meriah sudah ditata di depan rumah. Tenda megah didirikan dan aku kini sudah dirias dan cantik mengenakan busana pernikahan. Ya, aku dan Mas Galuh hari ini menikah. Baru saja selesai akad nikah dan saat ini aku dan Mas Galuh duduk di kursi pernikahan yang megah dan mewah untuk menyambut para undangan yang datang. Semua orang yang datang terlihat turut bahagia dengan kebahagiaan yang saat ini sedang aku rasakan. Beberapa kali tamu undangan yang naik dan memberikan salam turut mengatakan hal-hal yang positif seperti saat ini. “Selamat, ya, Rere dan Galuh. Kalian ini sama-sama beruntung bisa mendapatkan satu dengan yang lain. Selain cantik dan ganteng, kalian berdua sama-sama orang yang baik. Ibu sebagai RT di sini bantu doakan kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Amin.” Aku terharu bahkan RT di sini pun ikut mendoakan.
Aku merasa senang Regan bisa merasakan memiliki sosok ayah meski bukan kandung. Hal yang terpenting adalah kebaikan dan rasa sayangnya kepada Regan benar-benar nyata. Aku tidak henti-hentinya mengucap Alhamdulillah kepada Allah yang sudah mengirimkan seorang pendamping yang baik untuk kehidupanku dan juga bayiku. Malam ini, merupakan malam kesekian kalinya bersama dengan Mas Galuh. Namun, jantungku masih berdebar-debar dan rasanya tidak karuan. Mas Galuh sudah berbaring di sampingku dan membelai lembut rambutku. “Rere, aku mau bilang,” ucap lembut Mas Galuh yang justru membuatku semakin berdebar-debar karena takut dia meminta jatah seperti biasanya. Aku merasa tidak begitu siap untuk melakukan hal tersebut setiap hari meski sudah menjadi suami istri. Ada banyak hal yang aku pikirkan dan salah satunya aku itu belum menginginkan hamil lagi karena Regan masih bayi.“Iya, Mas. Ada apa?” jawabku dengan bingung. Aku justru berfikir yang tidak-tidak.
POV AdjiAku dan Nina sudah pasrah kepada Sang Pencipta. Kondisi Dinda semakin memprihatinkan di ICU. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana menjalani hidup dengan segala kesalahan yang menghantui.Pada akhirnya, aku menyadari banyak kesalahan yang aku perbuat di masa lalu, sehingga saat ini aku mencoba memperbaiki semuanya. Menjaga Nina dan Dinda semampuku, meski saat ini aku dan Nina sudah menyerah dengan keadaan.“Mas, gimana ini? Dinda ... Aku nggak mau Dinda pergi, Mas. Kita harus cari cara untuk menyelamatkan Dinda, Mas.” Nina langsung matanya berkaca-kaca menatap ke arahku. Dia terlihat begitu histeris ketika dokter mengatakan bahwa putri kami tidak bisa tertolong lagi dan nyawanya sudah melayang di ruangan ICU. “Kita hanya bisa ikhlas, Nina. Mau bagaimana lagi kalau dokter sudah berkata demikian, kita bisa apa? Sabar, Nina. Sabar.” Aku tak kuasa juga meneteskan air mata sambil memeluk wanita yang pernah menjadi istri kedu