Aku merasa begitu bahagia setelah sembilan bulan lamanya mengandung akhirnya bayi yang dinantikan olehku dan juga Mas Galuh akan segera lahir di dunia. Saat ini aku berada di rumah sakit bersalin ditemani oleh Mas Galuh dan juga Bude Patia. Sedangkan Pakde Trimo menemani Regan di rumah.
Bude Patia memilih untuk ikut ke rumah sakit bersama denganku karena ingin membantu segala kebutuhan setelah persalinan yang hanya bisa dilakukan oleh wanita. Sedangkan Mas Galuh tentu saja selalu bersama denganku karena ini merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh kami.Dokter kebidanan dan juga perawat serta bidan sudah masuk ke dalam ruangan tempat aku berbaring di atas ranjang yang cukup dingin. Rasanya sudah tidak karuan karena bukaan demi bukaan sudah terjadi. Aku pun ikuti arahan dari dokter kebidanan untuk mengejan.Proses selama persalinan termasuk lancar dan juga berjalan dengan baik karena kurang dari beberapa jam, aku sudah berhasil melahirkan bayi ke"Assalamu'alaikum."Ucapan salam terdengar dari luar rumah, aku langsung berjalan cepat ke arah pintu untuk menyambut kepulangan suamiku. "Waalaikumsalam, Mas." Aku membuka pintu, melihat suamiku sudah berdiri di sana dan aku pun menyambut uluran tangan suamiku lalu mencium punggung tangannya. Hari ini adalah hari yang selalu aku tunggu setiap bulan, karena suamiku selalu pulang ke rumah kami yang berada di daerah Bogor, setelah dia menyelesaikan pekerjaannya di Ibu Kota. "Aku merindukanmu." Mas Adji memelukku erat, melampiaskan kerinduannya setelah hampir satu bulan kami tidak bertemu. "Aku juga merindukanmu, Mas," ucapku melingkari kedua tangan di tubuh Mas Adji.Dalam keheningan sekian detik, indera penciumanku menangkap wangi parfum yang bagiku sangat asing.Aku menghela napas panjang, mencoba berpikir positif, karena memang suamiku tidak memiliki kendaraan pribadi.Kami hanya memiliki satu motor matic yang biasa aku gunakan untuk ke pasar dan dia harus naik angkutan umum untu
Tak seperti bayanganku karena ternyata Mas Adji tidak memberi penjelasan, dia hanya menundukkan kepala setelah melihat alat test kehamilan itu. Apa artinya Mas Adji memang selingkuh? Aku tak kuasa menahan gejolak emosi yang menyelimuti dada, aku pun melampiaskan kemarahanku dengan memukul mukul pundak Mas Adji. "Tolong jelaskan semuanya Mas! Testpack milik siapa ini? Katakan Mas! Jangan diam saja, apa mungkin ini milik wanita selingkuhanmu?" Aku berteriak sambil menangis pilu. Mas Adji masih tetap diam sambil menundukkan kepalanya. "Mas, tolong bilang kalau kamu ngga selingkuh dariku! Aku mohon Mas! Katakan kalau kamu ngga selingkuh dan testpack ini bukan milik wanita itu!"Aku pun merosot turun dari ranjang lalu terduduk lemas di atas lantai. Aku menarik lengan Mas Adji hingga suamiku juga terduduk di lantai. Mas Adji tetap bergeming, dan tak berani menatapku. Aku tertawa lirih, tawaku semakin kencang dan terdengar pilu. "Jadi benar kalau testpack ini milik wanita selingkuhanm
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 500 meter, aku pun tiba di depan rumah adik kandung Mas Adji. Rumah petakan sederhana tanpa pagar bercat hijau muda itu tampak sepi, aku pun tetap mendekati pintu rumah tersebut, berharap adik Mas Adji yang bernama Arin ada di dalam. Arin memang sudah menikah dan memiliki satu orang anak yang masih berusia tiga bulan, tetapi suami Arin bekerja di luar kota, dan pulang dua Minggu sekali. Hampir sama seperti Mas Adji, karena yang menawarkan pekerjaan di sana pun suami dari adik iparku.Tok Tok Tok! Aku mengetuk pintu rumah tersebut berkali-kali hingga tak lama seorang wanita yang usianya lebih muda dariku membuka pintu tersebut. "Mbak, kamu kenapa?" tanya Arin sambil menatapku dengan raut wajah bingung.Aku memeluk Arin dan kembali menangis pilu di pelukannya."Kamu kenapa Mbak? Cerita sama aku." Arin membawaku masuk ke rumahnya. Aku pun mengikuti adik iparku yang membawaku duduk di ruang tengah rumah petakan tersebut. Arin masih menatapku
Aku berbaring di atas tempat tidur sambil menutupi kepalaku menggunakan bantal untuk meredam suara tangisanku yang belum juga usai. Tak berapa lama aku mendengar suara Mas Adji yang tengah berbicara dengan Arin, aku pun beranjak turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu. Aku menguping pembicaraan kedua kakak adik itu dengan menempelkan telingaku ke daun pintu. "Apa yang sebenarnya terjadi Mas? Mbak Rere datang ke sini sambil menangis. Aku sudah mendengar semuanya, apa benar yang dikatakan Mbak Rere? Jelaskan padaku Mas!" Terdengar suara Arin yang bertanya pada suamiku. "Di mana Rere? Mas ingin mengajaknya pulang, dia ada di sini kan?" tanya Mas Adji."Dia ada di kamar, tapi sepertinya dia ngga mau pulang dulu ke rumah kalian. Biarkan dia istirahat di sini untuk menenangkan pikirannya. Tolong jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar kalau kamu sudah menikah dengan wanita lain di Kota?" tanya Arin suaranya terdengar cukup kencang. Aku pun membuka pintu sedikit ag
Mas Adji duduk di tepi ranjang lalu memegang ujung kakiku yang tertutup selimut. "Mas akan menceraikan dia setelah dia melahirkan anak Mas. Mas menikahinya hanya karena Mas ingin memiliki anak, bukan karena Mas mencintai wanita itu," jawab Mas Adji. "Apa Mas tega melakukan itu? Bagaimana caranya Mas bisa mendapatkan hak asuh anak? Apa pernikahan kalian tercatat secara hukum? Setahuku, anak berusia di bawah sepuluh tahun, hak asuh jatuh ke ibunya, bukan ayahnya. Lalu percuma saja Mas Adji memiliki anak dari wanita itu, kalau Mas Adji tidak bisa mendapatkan hak asuhnya," ujar Arin. Aku pun ingin mengungkapkan itu, tetapi lidahku terasa kelu. Jangankan untuk berbicara panjang lebar, untuk bernapas normal saja aku tidak sanggup. Aku dan Arin menanti jawaban dari Mas Adji. "Mas, bodoh," ucapnya sambil meremas rambut dengan wajah frustasi. Aku tersenyum lirih sambil menutup mulutku agar suara tangisanku tak terdengar. Aku tidak ingin Mas Adji tahu kalah aku sedang menguping pembicaraa
Mas Adji melangkah mendekatiku. Ia pun memegang kedua lenganku sambil menatap lirih. "Ayo kita pulang. Mas ingin menjelaskan semuanya padamu dan Mas ingin kita mencari solusi bersama. Tolong ikutlah dengan Mas," pinta mas Adji sambil menatapku tak berkedip. Aku membuang nafas kasar lalu memalingkan wajah ke samping, enggan menatap wajah yang membuatku semakin merasa mual. "Tolong ikut Mas pulang, Re. Mas ingin mengatakan sesuatu padamu ini tentang kita dan tentang pernikahan kita." Mas Adji masih mencoba membujukku, meski semua itu sia-sia. Aku menghela nafas panjang lalu menatap suamiku. Bulir bening belum berhenti mengalir dari kedua mataku, seperti tak ada habis-habisnya. "Aku sudah mendengarnya Mas, kamu ingin aku menerima pernikahanmu itu kan? Dan kamu ingin aku menerima istrimu beserta anakmu. Iya kan?" Suaraku terdengar parau menahan tangisan yang semakin sulit terbendung lagi. Mas Adji menundukkan kepala lalu mengangguk pelan. "Kita bicarakan semua itu di rumah ya," ka
POV Adji. Aku memutuskan pulang ke rumah, menuruti permintaan istriku. Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi agar lebih cepat sampai ke rumah. Setelah berada di halaman rumah sederhana yang aku bangun setelah menikah dengan Rere. Aku pun turun dari motor matic putihku lalu melangkah masuk ke rumah. Aku menghela nafas panjang lalu duduk di sofa, bersandar menatap kosong ke depan, merenungi semua kesalahan yang aku perbuat pada istriku. Sejujurnya aku menyesal karena sudah mengkhianati Rere. Mengkhianati pernikahan kami yang sudah kami Bina selama 5 tahun. Namun, aku tahu semua penyesalan itu tidak ada gunanya karena sekarang aku sudah menyakiti hati istriku, bahkan Rere tetap keukeh meminta bercerai.Aku takut untuk menghadapi hari esok. Takut jika aku harus menjalani hidup tanpa Rere di sampingku.Tepat delapan bulan yang lalu aku menikahi seorang janda beranak satu di Kota Besar.Aku memilihnya karena aku yakin dia bisa melahirkan anakku dan semua itu terbukti saat istri k
"Assalamu'alaikum," ucap Ibu mertuaku yang berdiri di depan pintu rumah Arin. "Waalaikumsalam." Aku membukakan pintu untuk ibu mertuaku.Sehari setelah kejadian penemuan testpack itu, akhirnya mertuaku tahu dan ibu mertuaku datang ke rumah anak perempuannya. Dia tahu aku masih berada di rumah Arin."Ibu sudah mendengar semuanya dari Arin, tapi Ibu ingin mendengar langsung darimu tentang apa yang terjadi antara kamu dan Adji," ucap Ibu mertuaku lalu membawaku duduk bersamanya di atas lantai beralaskan tikar. Aku menghela napas panjang dan lirih, rasanya berat untukku kembali mengingat kejadian kemarin yang membuatku nyaris kehilangan kewarasan. "Cerita sama Ibu, Nak."Wanita yang sudah aku anggap Ibu kandungku sendiri menatapku dengan lirih, ia memegang jemariku lalu menggenggam erat. "Mas Adji selingkuh, Bu. Dan selingkuhan Mas Adji sedang mengandung tujuh bulan." Aku menundukkan kepala, tak bisa lagi menahan bulir bening yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mataku."Ya Al
Aku merasa begitu bahagia setelah sembilan bulan lamanya mengandung akhirnya bayi yang dinantikan olehku dan juga Mas Galuh akan segera lahir di dunia. Saat ini aku berada di rumah sakit bersalin ditemani oleh Mas Galuh dan juga Bude Patia. Sedangkan Pakde Trimo menemani Regan di rumah. Bude Patia memilih untuk ikut ke rumah sakit bersama denganku karena ingin membantu segala kebutuhan setelah persalinan yang hanya bisa dilakukan oleh wanita. Sedangkan Mas Galuh tentu saja selalu bersama denganku karena ini merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh kami. Dokter kebidanan dan juga perawat serta bidan sudah masuk ke dalam ruangan tempat aku berbaring di atas ranjang yang cukup dingin. Rasanya sudah tidak karuan karena bukaan demi bukaan sudah terjadi. Aku pun ikuti arahan dari dokter kebidanan untuk mengejan. Proses selama persalinan termasuk lancar dan juga berjalan dengan baik karena kurang dari beberapa jam, aku sudah berhasil melahirkan bayi ke
Aku tidak menyangka kalau dokter mengumumkan kehamilanku yang kedua dan ini merupakan anak pertama bagi Mas Galuh. Betapa bahagianya diriku ini mendengar kabar itu. Mas Galuh pun tidak kalah bahagia.Sepulangnya dari rumah sakit, Mas Galuh segera memberitahukan kepada Pakde Trimo dan juga Bude Patia dengan kabar kehamilanku. “Pakde Trimo, Bude Patia, ternyata Rere hamil! Alhamdulillah akhirnya! Aku mau segera membuat syukuran atas berita bahagia ini dan semua tetangga yang ada di sekitar sini akan aku undang dalam syukuran ini,” ujar Mas Galuh dengan begitu semangat mengumumkan semua itu kepada Pakde Trimo dan Bude Patia. Aku ikut bahagia mendengar antusias dari Mas Galuh yang sangat bahagia.“Galuh, ini betul-betul kabar yang menggembirakan!” kata Pakde Trimo sambil tersenyum lebar menatap Mas Galuh. “Selamat ya! Ini pasti jadi berkah besar untuk keluarga kalian. Syukuran adalah ide yang sangat baik. Pakde dan Bude akan sangat senang ikut merayakannya,”
Dua tahun kemudian ....Entah mengapa aku merasa mual dan juga pusing sejak tadi pagi. Rasanya untuk melihat makanan pun tidak berselera sama sekali. Aku sudah berkali-kali mencoba untuk makan sedikit demi sedikit, tetapi sama saja rasa mual itu kembali datang. “Rere, kamu itu kenapa nggak mau makan? Apa kamu sakit?” Bude Patia bertanya kepadaku karena merasa khawatir terlihat dari raut wajahnya yang terus-menerus menatap ke arahku. “Nggak tahu ini, Bude. Rasanya pusing dan juga mual. Ini barusan coba makan buah potong, tapi sama aja tetap mual.” Aku sudah mencoba untuk makan buah ataupun sayuran, tetapi rasa mual itu juga tidak kunjung pergi. Aku jadi semakin bingung apa yang terjadi kepada diriku karena tidak biasanya sakit seperti ini. Aku memilih untuk kembali ke kamar daripada pusing terus-menerus dan mual. Aku merasa beruntung karena ada Bude Patia yang selalu membantuku untuk merawat Regan. Apalagi dalam kondisi aku sedang sakit seperti
POV AdjiAku dan Nina sudah pasrah kepada Sang Pencipta. Kondisi Dinda semakin memprihatinkan di ICU. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana menjalani hidup dengan segala kesalahan yang menghantui.Pada akhirnya, aku menyadari banyak kesalahan yang aku perbuat di masa lalu, sehingga saat ini aku mencoba memperbaiki semuanya. Menjaga Nina dan Dinda semampuku, meski saat ini aku dan Nina sudah menyerah dengan keadaan.“Mas, gimana ini? Dinda ... Aku nggak mau Dinda pergi, Mas. Kita harus cari cara untuk menyelamatkan Dinda, Mas.” Nina langsung matanya berkaca-kaca menatap ke arahku. Dia terlihat begitu histeris ketika dokter mengatakan bahwa putri kami tidak bisa tertolong lagi dan nyawanya sudah melayang di ruangan ICU. “Kita hanya bisa ikhlas, Nina. Mau bagaimana lagi kalau dokter sudah berkata demikian, kita bisa apa? Sabar, Nina. Sabar.” Aku tak kuasa juga meneteskan air mata sambil memeluk wanita yang pernah menjadi istri kedu
Aku merasa senang Regan bisa merasakan memiliki sosok ayah meski bukan kandung. Hal yang terpenting adalah kebaikan dan rasa sayangnya kepada Regan benar-benar nyata. Aku tidak henti-hentinya mengucap Alhamdulillah kepada Allah yang sudah mengirimkan seorang pendamping yang baik untuk kehidupanku dan juga bayiku. Malam ini, merupakan malam kesekian kalinya bersama dengan Mas Galuh. Namun, jantungku masih berdebar-debar dan rasanya tidak karuan. Mas Galuh sudah berbaring di sampingku dan membelai lembut rambutku. “Rere, aku mau bilang,” ucap lembut Mas Galuh yang justru membuatku semakin berdebar-debar karena takut dia meminta jatah seperti biasanya. Aku merasa tidak begitu siap untuk melakukan hal tersebut setiap hari meski sudah menjadi suami istri. Ada banyak hal yang aku pikirkan dan salah satunya aku itu belum menginginkan hamil lagi karena Regan masih bayi.“Iya, Mas. Ada apa?” jawabku dengan bingung. Aku justru berfikir yang tidak-tidak.
Aku tidak menyangka kalau hari yang dinanti akhirnya tiba. Janur kuning melengkung di dekat rumah dan dekorasi meriah sudah ditata di depan rumah. Tenda megah didirikan dan aku kini sudah dirias dan cantik mengenakan busana pernikahan. Ya, aku dan Mas Galuh hari ini menikah. Baru saja selesai akad nikah dan saat ini aku dan Mas Galuh duduk di kursi pernikahan yang megah dan mewah untuk menyambut para undangan yang datang. Semua orang yang datang terlihat turut bahagia dengan kebahagiaan yang saat ini sedang aku rasakan. Beberapa kali tamu undangan yang naik dan memberikan salam turut mengatakan hal-hal yang positif seperti saat ini. “Selamat, ya, Rere dan Galuh. Kalian ini sama-sama beruntung bisa mendapatkan satu dengan yang lain. Selain cantik dan ganteng, kalian berdua sama-sama orang yang baik. Ibu sebagai RT di sini bantu doakan kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Amin.” Aku terharu bahkan RT di sini pun ikut mendoakan.
POV AdjiAku begitu merasa sedih ketika melihat putriku terbaring lemas tak berdaya di ruangan ICU padahal umurnya baru beberapa bulan saja. Bagaimana mungkin aku ini bisa tenang jika melihat bayi mungil itu yang belum sempat aku timang-timang setiap harinya justru saat ini sakit dan dalam kondisi yang kritis. Rasa bersalahku semakin bergejolak ketika Nina mengucapkan beberapa hal yang menohok dalam hati. “Mas! Ini semua pasti karena kesalahan kamu! Karena kamu yang sudah berdusta dan juga menyakiti hati kedua wanita yang menjadi istrimu, sekarang justru Dinda yang mendapatkan kesulitan. Dinda sakit karena kamu!”Aku begitu terkejut mengapa Nina langsung menyalahkan semua ini kepadaku padahal aku tidak tahu sama sekali kalau Dinda lahir dalam kondisi sakit seperti itu. Sebenarnya aku tidak ingin debat sama sekali, tetapi aku juga tidak mau disalahkan atas semua permasalahan yang ada di dalam kehidupan ini. “Aku sudah mengusahakan
POV AdjiAku merasa terkejut ketika ada panggilan telepon masuk di ponsel yang menunjukkan ternyata Nina yang menghubungi aku. Sudah berbulan-bulan lamanya tidak ada kabar sama sekali tentang Nina apalagi soal bayi yang dilahirkan olehnya. Aku pun segera mengangkat telepon panggilan itu. “Hallo, Nina? Ada apa?” Aku merasa khawatir karena firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres terjadi.“Mas, aku mau minta tolong. Anak kita sakit dan keadaan kritis,” ucap Nina membuatku lemas. Aku tidak mungkin marah kepada Nina yang sudah kabur dan juga menyembunyikan keberadaan anakku. Justru ucapan Nina membuatku terkejut dan sangat khawatir. “Sakit apa? Kamu sekarang di mana, Nina? Biar aku ke sana.”“Mas, aku di Lampung. Aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku terpaksa ke sini karena sudah nggak ada uang lagi buat hidup di Jakarta, Mas. Tolong, Mas. Anak kita kondisi kritis.” Aku langsung menangis saat Nina mengatakan
Beberapa hari kemudian aku sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit bersalin dan membawa putraku pulang. Putra tampan, bayi yang aku nantikan selama ini pasti akan aku jaga sebaik mungkin. Aku tidak akan terlena lagi dan merawatnya sepenuh hati. Hari demi hari pun berlalu dalam ketenangan. Aku memberi nama bayi tampan ini Regan. Aku harap dia bisa bertingkah laku baik dan tidak seperti Mas Adji. Pakde Trimo dan Bude Patia juga selalu siap siaga untuk membantuku menjaga Regan karena memiliki bayi pertama kali merupakan pengalaman yang mengesankan bagiku dan harus banyak belajar dari banyak sumber. Bagaimana cara memandikan bayi dan juga mengurus pakaian serta menjaga agar tidak kehausan atau kelaparan. Aku bersyukur saat ini juga ada Mas Galuh yang juga hampir setiap hari datang ke tempat Pakde Trimo untuk membawakan makanan sehat atau buah-buahan demi aku yang saat ini sedang menyusui. Perhatian dan juga kasih sayang dari Mas Galuh benar-benar b