Mas Adji duduk di tepi ranjang lalu memegang ujung kakiku yang tertutup selimut.
"Mas akan menceraikan dia setelah dia melahirkan anak Mas. Mas menikahinya hanya karena Mas ingin memiliki anak, bukan karena Mas mencintai wanita itu," jawab Mas Adji."Apa Mas tega melakukan itu? Bagaimana caranya Mas bisa mendapatkan hak asuh anak? Apa pernikahan kalian tercatat secara hukum? Setahuku, anak berusia di bawah sepuluh tahun, hak asuh jatuh ke ibunya, bukan ayahnya. Lalu percuma saja Mas Adji memiliki anak dari wanita itu, kalau Mas Adji tidak bisa mendapatkan hak asuhnya," ujar Arin.Aku pun ingin mengungkapkan itu, tetapi lidahku terasa kelu. Jangankan untuk berbicara panjang lebar, untuk bernapas normal saja aku tidak sanggup.Aku dan Arin menanti jawaban dari Mas Adji."Mas, bodoh," ucapnya sambil meremas rambut dengan wajah frustasi.Aku tersenyum lirih sambil menutup mulutku agar suara tangisanku tak terdengar. Aku tidak ingin Mas Adji tahu kalah aku sedang menguping pembicaraan mereka berdua."Mas Adji memang bodoh! Dungu! Lelaki brengsek!"Arin memukul lengan kakaknya, melampiaskan kemarahan pada Mas Adji.Mas Adji berdiri lalu keluar dari kamar meninggalkan aku yang hanya berpura pura tidur."Mas mau ke mana? Mas!" Arin berteriak lalu mengejar kakaknya.Sedangkan aku, masih bersembunyi di balik selimut. Jujur, aku sangat muak melihat wajah suamiku sendiri.Aku menghela napas lirih lalu membuka selimut dan duduk bersandar ke sandaran ranjang."Kenapa bisa kamu melakukan itu tanpa berpikir terlebih dahulu? Kenapa Mas?"Aku kembali mendengar pembicaraan adik iparku dengan suamiku di luar kamar."Apa Ibu dan Bapak sudah tahu?" tanya Arin pada suamiku."Mereka belum tahu, dan Mas harap mereka tidak tahu. Mas akan menyelesaikan masalah ini sendiri.""Bagaimana caranya? Apa Mas tetap akan menceraikan wanita itu?""Kalau Mas menceraikannya, artinya Mas kehilangan hak asuh anak dan Mas tidak mungkin melakukan itu. Mas sangat menginginkan anak.""Lalu, apa Mas akan menceraikan Mbak Rere? Karena Mbak Rere tidak akan mau dimadu, bahkan semua wanita di dunia ini tidak akan mau di madu!"Aku menganggukkan kepala, mengiyakan ucapan Arin. Perempuan mana yang mau dimadu? Meskipun wanita itu memiliki kekurangan dan tidak bisa melengkapi sebuah pernikahan, tetapi adakah wanita yang mau diduakan?Tak pernah terlintas dalam benakku aku akan diduakan oleh suamiku sendiri.Aku pikir lelaki yang selama ini menjadi teman hidupku adalah lelaki setia.Bahkan aku selalu membandingkannya dengan lelaki di luaran sana. Aku selalu membanggakan Mas Adji, karena bagiku Mas Adji adalah lelaki sempurna dan tak banyak lelaki yang bisa seperti Mas Adji.Namun ternyata semua itu hanyalah khayalanku saja karena Mas Adji tidak jauh berbeda dari lelaki brengsek di luaran sana yang tega menyakiti istrinya sendiri dengan tidur bersama wanita lain.Apa yang ada di pikiran Mas Adji saat dia bercumbu dengan wanita itu? Apakah dia membayangi wanita itu adalah diriku atau dia tetap menikmatinya seperti sedang menikmati tubuhku?Semua pikiran itu membuat perutku terasa seperti diaduk-aduk. Aku pun menahan diri agar tidak muntah dan tidak keluar dari kamar selama masih ada Mas Adji di rumah adik iparku."Mas akan membujuk Rere agar dia tidak menceraikan Mas. Apapun akan Mas lakukan agar dia mau menerima wanita itu dan anak kami. Mas akan berlaku adil dalam menjalani pernikahan ini," ucap Mas Adji yang sekaligus membuatku ingin tertawa kencang seolah kewarasanku sudah hilang.Hilang terbawa arus kekecewaan pada suamiku."Aku kecewa padamu Mas! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Mbak Rere saat mendengar ucapanmu ini! Apa kamu sudah tidak waras? Kamu meminta Mbak Rere menerima wanita lain untuk menjadi istri dari suaminya sendiri."Arin memarahi suamiku dengan nada cukup kencang.Aku pun tak dapat menahan diri lagi, aku beranjak dari tempat tidur lalu berjalan ke pintu.Aku membuka pintu kamar lebar dan menatap suamiku yang sedang berdiri di ruang tengah. "Re, Mas ingin bicara sama kamu."Mas Adji melangkah mendekatiku.Mas Adji melangkah mendekatiku. Ia pun memegang kedua lenganku sambil menatap lirih. "Ayo kita pulang. Mas ingin menjelaskan semuanya padamu dan Mas ingin kita mencari solusi bersama. Tolong ikutlah dengan Mas," pinta mas Adji sambil menatapku tak berkedip. Aku membuang nafas kasar lalu memalingkan wajah ke samping, enggan menatap wajah yang membuatku semakin merasa mual. "Tolong ikut Mas pulang, Re. Mas ingin mengatakan sesuatu padamu ini tentang kita dan tentang pernikahan kita." Mas Adji masih mencoba membujukku, meski semua itu sia-sia. Aku menghela nafas panjang lalu menatap suamiku. Bulir bening belum berhenti mengalir dari kedua mataku, seperti tak ada habis-habisnya. "Aku sudah mendengarnya Mas, kamu ingin aku menerima pernikahanmu itu kan? Dan kamu ingin aku menerima istrimu beserta anakmu. Iya kan?" Suaraku terdengar parau menahan tangisan yang semakin sulit terbendung lagi. Mas Adji menundukkan kepala lalu mengangguk pelan. "Kita bicarakan semua itu di rumah ya," ka
POV Adji. Aku memutuskan pulang ke rumah, menuruti permintaan istriku. Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi agar lebih cepat sampai ke rumah. Setelah berada di halaman rumah sederhana yang aku bangun setelah menikah dengan Rere. Aku pun turun dari motor matic putihku lalu melangkah masuk ke rumah. Aku menghela nafas panjang lalu duduk di sofa, bersandar menatap kosong ke depan, merenungi semua kesalahan yang aku perbuat pada istriku. Sejujurnya aku menyesal karena sudah mengkhianati Rere. Mengkhianati pernikahan kami yang sudah kami Bina selama 5 tahun. Namun, aku tahu semua penyesalan itu tidak ada gunanya karena sekarang aku sudah menyakiti hati istriku, bahkan Rere tetap keukeh meminta bercerai.Aku takut untuk menghadapi hari esok. Takut jika aku harus menjalani hidup tanpa Rere di sampingku.Tepat delapan bulan yang lalu aku menikahi seorang janda beranak satu di Kota Besar.Aku memilihnya karena aku yakin dia bisa melahirkan anakku dan semua itu terbukti saat istri k
"Assalamu'alaikum," ucap Ibu mertuaku yang berdiri di depan pintu rumah Arin. "Waalaikumsalam." Aku membukakan pintu untuk ibu mertuaku.Sehari setelah kejadian penemuan testpack itu, akhirnya mertuaku tahu dan ibu mertuaku datang ke rumah anak perempuannya. Dia tahu aku masih berada di rumah Arin."Ibu sudah mendengar semuanya dari Arin, tapi Ibu ingin mendengar langsung darimu tentang apa yang terjadi antara kamu dan Adji," ucap Ibu mertuaku lalu membawaku duduk bersamanya di atas lantai beralaskan tikar. Aku menghela napas panjang dan lirih, rasanya berat untukku kembali mengingat kejadian kemarin yang membuatku nyaris kehilangan kewarasan. "Cerita sama Ibu, Nak."Wanita yang sudah aku anggap Ibu kandungku sendiri menatapku dengan lirih, ia memegang jemariku lalu menggenggam erat. "Mas Adji selingkuh, Bu. Dan selingkuhan Mas Adji sedang mengandung tujuh bulan." Aku menundukkan kepala, tak bisa lagi menahan bulir bening yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mataku."Ya Al
"Sejak kapan kamu muntah muntah, Re?" tanya Ibu mertuaku dan aku hanya diam sambil memegang perut yang terasa keram. "Mbak, tolong jawab. Atau paling tidak, Mbak ikut denganku ke bidan. Kita periksa kandungan ya." Arin memegang bahuku yang tengah duduk di ruang tengah rumahnya. Arin dan mertuaku menunggu jawaban, tetapi aku tetap diam. Percuma saja meskipun memang aku dinyatakan hamil, toh Mas Adji sudah menduakanku. "Nak, tolong katakan sesuatu," pinta ibu mertuaku dengan tatapan lirih. Aku menghela napas panjang lalu mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk. "Kalaupun aku hamil, apa Mas Adji bisa mengubah semuanya? Ngga kan Bu, Mas Adji ngga akan bisa mengembalikan semuanya seperti dulu. Sekarang, di antara kami sudah ada wanita lain dan wanita itu sedang mengandung anak Mas Adji, jadi untuk apa aku memperdulikan kehamilan ini? Aku tidak akan bisa mendapatkan hati Mas Adji sepenuhnya seperti dulu."Air mataku kembali mengalir deras, memang sudah sejak tiga hari yang lalu a
"Maafin aku Bu." Mas Adji menundukkan kepalanya sambil memegang kedua tangan ibu mertuaku. Aku tersenyum getir melihat penyesalan Mas Adji, semua itu percuma karena aku sudah terlanjur membencinya. Aku meremas ponsel yang aku genggam sangat erat sambil menahan diri agar tidak terlarut dalam kesedihan. Aku sudah lelah menangis, aku akan menghadapi semua ini dengan ketegaran hati. "Jangan meminta maaf pada Ibu, minta maaflah pada istrimu. Kamu sudah menyakiti istrimu. Apa salahnya? Kenapa kamu tega menduakan istrimu?" Ibu mertuaku melepas genggaman tangan Mas Adji. Suamiku pun memegang lantai dan semakin menundukkan kepalanya. Mas Adji menangis lalu merangkak mendekatiku. "Maafin Mas Re, tolong jangan pergi dan Mas mohon sama kamu kita tidak harus bercerai. Mas masih sangat mencintaimu, Re." Aku melangkah mundur menghindari suamiku. "Maaf Mas, keputusanku sudah bulat dan aku sudah menghubungi keluargaku di Surabaya. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sini.""Mas moh
Aku sudah memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku di Surabaya, meskipun di sana aku sudah tidak memiliki orang tua, tetapi aku masih memiliki paman dan bibi. Keputusan ini sudah bulat, karena aku tidak sanggup untuk tetap tinggal bersama suami dan keluarga suamiku. Aku pun mengemasi pakaianku dan memasukkannya ke dalam tas, karena Pakde Trimo sudah menunggu di luar rumah.Drum! Aku menghentikan kegiatanku saat mendengar suara mesin motor, sepertinya Mas Adji sudah datang. "Pakde, silakan masuk dulu." Terdengar suara Mas Adji meminta Pakde Trimo untuk masuk ke rumah. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu menyakiti keponakan Pakde? Bukannya kamu sudah berjanji kalau kamu akan menjaga dan membahagiakan Rere? Kamu tahu kan kalau Rere itu sudah tidak memiliki orang tua lagi, hanya kamu yang menjadi tempatnya berlindung, tapi sekarang apa, kamu justru membuat dia kecewa."Pakde Trimo memarahi suamiku, aku hanya mendengarkan pembicaraan kedua lelaki itu dari dalam kamar sambil
POV: Adji"Rere pergi." Aku terduduk lesu di depan kedua orang tuaku. Mereka datang ke rumah bersama dengan Arin dan Yanti, kedua adik perempuanku. "Kamu tidak bisa menahannya? Kenapa kamu membiarkan menantu Ibu pergi sedangkan dia sedang mengandung anakmu Adji."Air mata runtuh membasahi wajah ibuku, aku pun hanya bisa menundukkan kepala dan tak mengatakan apapun lagi. "Bapak kecewa sama kamu, bagaimana bisa kamu menikah lagi sedangkan istrimu di sini sangat setia padamu. Dia tidak pernah melaksanakan kesalahan apapun, tapi kamu justru menyakitinya." Sama seperti ibuku, bapak juga sangat murka atas apa yang aku lakukan pada Rere. Aku menyadari kesalahan yang kulakukan dan sudah fatal. "Sekarang bagaimana? Kalian akan bercerai?" tanya Ibuku yang aku jawab dengan anggukan kepala. "Memangnya tidak ada lagi jalan keluar dari masalahmu itu? Kalau memang Rere sedang mengandung, kenapa kalian harus bercerai? Kenapa bukan
Di Surabaya Aku bertemu dengan keluarga dari kedua orang tuaku. Rasanya belum bisa menerima kalau pada akhirnya aku akan kembali ke kampung halaman seorang diri, tanpa suami seperti tahun tahun sebelumnya. "Kok bisa suamimu selingkuh?" Pertanyaan itu aku dengar dari banyaknya mulut saat aku baru saja tiba di Surabaya. Ya, keluargaku sendiri tak menyangka kalau Mas Adji tega berkhianat, bahkan menikahi wanita itu. Aku menghela napas panjang. "Aku juga ngga tahu kenapa Mas Adji tega menduakan aku," jawabku sambil menundukkan kepala. "Jangan bahas itu dulu, Mbok. Kasihan Rere," ucap Pakde Trimo. "Kita ke kamar, kamu istirahat dulu di sana." Aku menganggukkan kepala lalu mengikuti Pakde Trimo ke kamar yang sudah disiapkan. Budhe Patia mengikutiku masuk ke kamar lalu duduk di tepi tempat tidur. "Cerita sama Budhe, jangan dipendam sendiri." Aku meletakkan tas tenten