Share

Diselimuti Penyesalan

POV Adji.

Aku memutuskan pulang ke rumah, menuruti permintaan istriku. Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi agar lebih cepat sampai ke rumah.

Setelah berada di halaman rumah sederhana yang aku bangun setelah menikah dengan Rere. Aku pun turun dari motor matic putihku lalu melangkah masuk ke rumah.

Aku menghela nafas panjang lalu duduk di sofa, bersandar menatap kosong ke depan, merenungi semua kesalahan yang aku perbuat pada istriku.

Sejujurnya aku menyesal karena sudah mengkhianati Rere. Mengkhianati pernikahan kami yang sudah kami Bina selama 5 tahun.

Namun, aku tahu semua penyesalan itu tidak ada gunanya karena sekarang aku sudah menyakiti hati istriku, bahkan Rere tetap keukeh meminta bercerai.

Aku takut untuk menghadapi hari esok. Takut jika aku harus menjalani hidup tanpa Rere di sampingku.

Tepat delapan bulan yang lalu aku menikahi seorang janda beranak satu di Kota Besar.

Aku memilihnya karena aku yakin dia bisa melahirkan anakku dan semua itu terbukti saat istri keduaku mengatakan bahwa dia mengandung anak yang selama ini aku impikan.

Aku tahu semua itu adalah kesalahan besar, tetapi saat itu aku seakan dibutakan oleh keinginan yang membuncah di dalam diriku. Aku ingin sekali memiliki anak laki-laki yang tidak bisa diberikan oleh istri pertamaku.

Awalnya aku bahagia saat mengetahui istri keduaku sedang mengandung, tetapi sekarang ... aku justru menyesali semua itu.

Kenapa aku begitu tega mengkhianati cinta suci Rere.

Aku mengusap wajahku berkali-kali, menyesali apa yang sudah terjadi dan takkan bisa kembali seperti awal lagi.

'Apa yang harus aku lakukan ya Allah? Aku tidak ingin berpisah dari istriku karena aku sangat mencintainya. Aku sangat mencintai Rere, tapi aku juga tidak bisa menceraikan istri keduaku karena dia sedang mengandung anak kami. Aku berjanji aku akan bersikap adil pada kedua istriku ... andaikan mereka mau menerima pernikahan ini dan tetap mau hidup bersamaku. Aku akan membagi waktu dengan sangat adil dan menafkahi mereka Sesuai kemampuanku,' ucapku dalam hati.

Aku menyapu pandangan ke seluruh bagian rumah, aku benar-benar merasa sepi yang perlahan menyelimuti hati.

Baru setengah hari aku ditinggalkan oleh Rere, tetapi rasanya seperti satu abad. Aku tidak sanggup, benar-benar tidak sanggup jauh dari istriku.

Kring!

Dalam keheningan, terdengar suara deringan ponsel. Aku pun melihat satu panggilan masuk dari Rudy, nama samaran yang selama ini aku sembunyikan.

Ya, aku menamai istri keduaku di ponsel dengan nama laki-laki agar Rere tidak tahu.

Nama yang sebenarnya adalah Nina dan aku pun menerima telepon darinya

"Assalamu'alaikum, Mas, kamu udah sampai ke Bogor? Kok ngga ngasih tahu aku?" tanya Nina di dalam sambungan telepon.

Aku kembali menghela napas panjang dan lirih, "Maaf, Mas lupa ngasih tahu kamu soalnya tadi Mas repot ngurusin warung milik orang tua, Mas."

"Oh, aku pikir kenapa. Oh iya, kamu udah nyampein salam belum buat kedua orang tuamu? Kan aku juga nitipin oleh oleh buat mereka, udah kamu kasih?"

"Udah," jawabku datar sambil memegang kening. "Oh iya, Ma, apa kamu pernah meletakkan testpack ke dalam tas ransel milikku?"

"Ngga tuh, emangnya kenapa? Bukannya kamu yang meminta testpack itu untuk kamu jadikan kenang-kenangan? Seingatku, kamu taruh itu di dompet."

Aku pun terdiam, mencoba mengingat lagi tentang testpack itu. Ya, memang benar kalau aku ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan karena aku sangat senang saat mengetahui Nina hamil.

Tak pernah terpikir sedikit pun kalau semua itu akan menjadi bumerang bagi rumah tanggaku bersama Rere.

"Iya, aku lupa." Aku menggaruk kening cukup kencang, menyesali kebodohanku.

"Sudah dulu ya, Mas, aku mau jemput Dara di pengajian. Assalamu'alaikum," ucap Nina berpamitan.

"Walaikumsalam," balasku lalu aku kembali meletakkan ponsel ke atas meja.

Aku kembali mengusap wajah lalu merenungi semua kesalahanku.

Aku bersalah! Aku lelaki brengsek karena aku sudah mengkhianati dua wanita sekaligus.

Rere tidak tahu dengan pernikahan keduaku, begitupun dengan Nina yang tidak tahu kalau aku sudah menikah. Selama ini aku hanya menjelaskan pada Nina kalau aku ingin menikahinya secara sirih karena ingin menghindari perbuatan zina.

Aku mengenal Nina di proyek tempatku bekerja, dia adalah pemilik warung makan di proyek tersebut.

Sejak pertama melihatnya aku langsung tertarik dan pikiran lain pun melintas saat aku melihat Nina memiliki seorang putri cantik bernama Dara yang berusia 5 tahun.

Setelah sekian bulan mengenal Nina, aku pun memutuskan untuk menikahi Nina karena aku percaya Nina bisa memberiku seorang anak.

Huh!

Aku kembali menghela nafas semakin panjang dan lirih. "Maafkan Mas, Re. Maaf, Mas memang lelaki brengsek. Mas pantas mendapatkan kemarahan darimu, tapi Mas tidak ingin bercerai darimu. Mas masih mencintaimu, Sayang," ucapku pilu hingga air mataku mengalir deras membasahi wajah.

"Bagaimana caranya aku menjelaskan pada Nina tentang semua ini? Dan bagaimana caranya aku menghadapi keinginan Rere untuk bercerai? Ya Allah tolong hambaMu yang diselimuti dosa ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status