Aku dan Budhe Patia datang ke bidan terdekat yang berada di Desa tempat tinggalku.
Kedatangan kami disambut Bidan dengan ramah dan aku pun diminta untuk duduk, menjelaskan apa saja keluhanku. "Kapan terakhir Ibu datang bulan?" tanya Bidan tersebut. Aku mencoba mengingat sebentar lalu mengatakan, "Kalau ngga salah terakhir kali saya datang bulan tanggal 20 Juli, Bu, dan sekarang belum waktunya saya datang bulan. Itu alasan saya ngga curiga sama sekali kalau saya sedang hamil." Bidan itu tersenyum. "Memang biasanya orang akan menghitung dari telatnya datang bulan, tapi sebenarnya kehamilan dihitung dari terakhir kali Ibu selesai datang bulan. Biar lebih jelas, kita periksa dulu ya." Aku hanya mengangguk dan melihat Bidan mengambil sesuatu dari dalam laci, setelah itu Bidan memberiku sebuah testpack dan wadah kecil untuk menampung air seni. "Ibu periksa dulu, dan ikuti petunjuk yang ada di dalKabar kehamilanku didengar oleh Mas Adji dan keluarganya di sana. Pagi harinya, Mas Adji menghubungi Pakde Trimo dan Pakde mengatakan langsung padaku kalau beliau tidak menerima telepon dari Mas Adji.Di ruang makan sederhana, aku, Budhe Patia dan Pakde Trimo sedang menyantap sarapan pagi."Kurang lebih sepuluh kali suamimu itu menghubungi Pakde, tapi Pakde ngga angkat teleponnya," ujar Pakde Trimo. "Ngga usah diangkat Pak, untuk apa?" sahut Budhe Patia. Aku hanya diam sambil memakan makananku agar tidak merasakan mual. "Kapan pengadilan menjatuhkan putusan cerai? Bukannya kalau sedang hamil tidak boleh bercerai?"Pakde Trimo menatapku lekat. "Kata siapa Pak? Boleh boleh aja kok, yang ngga boleh itu kalau lagi hamil menikah. Kalau cerai, yo boleh," sahut Budhe Patia, dan aku tetap diam. "Tapi ada teman Bapak yang bilang kalau sedang hamil itu ngga boleh bercerai. Bapak juga ngga tahu mana yang bener. Bapak
POV AdjiKeringat dingin menetes dari keningku karena tidak disangka Nina sudah berada di belakangku dan memergoki aku yang sedang menelepon Rere. Takut? Jelas. Aku takut kalau Nina pada akhirnya tahu kondisiku saat ini masih berumah tangga dengan Rere. Egois? Mungkin, iya. Aku tidak mau kehilangan Nina dan juga tidak mau kehilangan Rere yang saat ini tengah mengandung buah cinta yang aku taburkan. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan kedua wanita itu karena mereka sama-sama tengah mengandung benihku?“Mas, sekarang ngaku aja siapa yang barusan Mas telepon? Terus siapa yang Mas mau ceraikan ditelepon itu?” Nina mendesakku. Rasanya begitu menusuk hingga jantung hati karena aku tidak menduga dia akan mendengar percakapanku dengan Rere. Bukan hanya takut Nina marah, aku juga takut Rere akan semakin marah. Tentu saja hal ini membuat pikiranku semakin pusing dan keadaan semakin rumit. Aku tak tahu kenapa semua menjadi seperti ini.
POV AdjiAku jelas tidak mau Nina menceraikanku karena bagaimanapun juga bayi yang ada di dalam kandungannya merupakan benih dariku. Benih yang selama ini aku idam-idamkan untuk kutimang. Memiliki anak merupakan impianku yang terpendam selama ini karena menjalani rumah tangga tanpa kehadiran seorang anak sekalipun membuat hidupku terasa hambar. Aku tidak mau melepaskan Nina begitu saja meski pada kenyataannya Rere juga sedang hamil. “Nina, jangan seperti itu jika sedang marah nanti pada akhirnya akan menyesal. Aku nggak mau pisah sama kamu, Sayang. Kamu harus ingat kalau saat ini kamu tengah berbadan dua dan itu adalah buah cinta kita, Sayang.” Aku tetap membujuk Nina agar tidak marah. Tidak berselang lama kemudian, tiba-tiba ada bel pintu rumah berbunyi tanda ada tamu yang datang. Aku hendak pergi, tetapi Nina justru berjalan terlebih dahulu sambil mengusap air matanya. “Biar aku aja yang buka.” Nina berkata demikian dan berlalu
Aku merasa terkejut saat Pakde Trimo menatap ke arahku dan memperlihatkan tulisan yang tertera di layar ponselnya. Nama Adji terpampang di sana. Rasanya dalam benakku tercampur aduk melihat nama pria yang selama ini mendampingi hidupku. Pria yang sudah memberikan warna dan kebahagiaan dalam hidupku serta membawa kehancuran serta kesedihan di waktu yang sama. Saat seharusnya aku dan dia merasa bahagia atas kedatangan buah hati yang selama ini didambakan, tetapi justru semua sirna karena pengkhianatan. “Mau diangkat atau enggak?” tanya Pakde Trimo kepadaku. Aku terdiam sesaat karena semua rasa langsung berkecamuk di pikiran. “Nggak, Pakde. Aku nggak mau angkat panggilan telepon itu. Biar aja mau telepon-telepon pasti dia mau cari aku. Aku nggak mau ngomong sama penghianat. Kemungkinan besar surat gugatan perceraian sudah sampai di rumahnya.”Pakde menganggukkan kepala tanda memahami apa yang aku rasakan tanpa memaksakan untuk mengangkat
“Mau bilang apa lagi? Pelakor tetap aja pelakor. Aku nggak mau dengar apa pun penjelasan dari kamu,” kataku dengan dada yang naik turun menahan emosi yang bergemuruh di dalam dada. Aku mencoba biasa saja, tetapi ternyata tidak bisa.“Mbak, maafkan aku. Aku mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadamu. Tolong jangan marah terlebih dahulu dan jangan salah sangka dengan apa yang ingin aku katakan. Ini semua bukan alasan, tetapi hal yang terjadi sebenarnya.”Kembali rasa emosi menyelimuti benakku mendengar wanita yang sudah menjadi pelakor di dalam kehidupan rumah tanggaku itu mencoba untuk menjelaskan. Aku tahu apa pun yang akan dia katakan pasti hanya alasan belaka karena menjadi selingkuhan itu sudah sesuatu yang sangat fatal.“Baiklah. Aku akan memberikan kamu satu kesempatan untuk menjelaskan. Tapi jangan berharap aku bisa mengerti karena aku nggak akan toleransi sama sekali dengan perselingkuhan yang kalian lakukan di belakangku.” Aku kembal
POV Nina. Aku tidak menyangka sama sekali jika rasa cintaku ini menjadi permainan oleh pria yang beberapa waktu ini mengisi relung hatiku. Sudah pernah menjadi janda tentu saja membuatku lebih berhati-hati memilih pria. Namun, pada akhirnya aku juga tertipu oleh perkataan Mas Adji.Malu? Jelas. Aku sangat malu saat menelepon untuk menjelaskan kepada istri pertama Mas Adji. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa karena kenyataannya aku juga dibohongi. Mas Adji tertunduk dalam diam setelah aku mengakhiri kalian kebun kepada wanita yang selama ini menjadi istri sah dan istri pertama Mas Adji. Aku tidak bisa memahami kenapa pria begitu egois dan tidak bisa setia kepada satu cinta. Aku pun menghampiri pria yang selama ini sudah menipuku hingga aku harus menikah dengannya dan dalam kondisi hamil saat ini. “Mas, aku udah nggak bisa bareng kamu lagi. Aku mau minta cerai.”Mas Adji langsung mendengarkan kepalanya menatap ke arahku dan memeg
POV AdjiAku hanya bisa terdiam melihat Nina pergi meninggalkanku seorang diri dengan menggunakan taksi yang sudah dia pesan tadi. Aku tidak menyangka kalau Nina tega pergi begitu saja meski aku sudah memohon-mohon. “Kenapa Nina juga marah kepadaku dan memilih untuk pergi padahal aku sudah bilang akan memperjuangkannya? Aku emang salah, tapi sebagai pria aku juga mau bertanggung jawab atas kedua istriku. Harusnya mereka bersyukur memiliki suami seperti aku yang mau menafkahi dan juga bertanggung jawab. Walau memiliki dua istri, aku masih mampu untuk menopang kehidupan mereka berdua.”Aku menghela nafas panjang dan merasa kalau kedua istriku tidak bersyukur sama sekali. Meski aku sudah berbohong dan membuat mereka luka hati, tidaknya mereka ingat kalau aku juga berjuang untuk menafkahi mereka semua. Aku bukan merupakan orang yang pelit dalam urusan harta dan tentunya ketika calon anakku dua-duanya lahir pasti aku akan memberikan hal yang jauh lebih ba
Aku tidak bisa tidur sama sekali memikirkan semua yang terjadi tentangku dan juga Mas Adji. Aku sama sekali tidak menyangka kalau rumah tangga yang kujalani selama ini akan berakhir hanya karena hadirnya orang ketiga. Aku masih berada di rumah Pakde Trimo dan Bude Patia.Aku berpikir apakah keputusan untuk bercerai merupakan jalan keluar yang terbaik sedangkan posisiku saat ini tengah hamil anak dari Mas Adji. Buah hati yang selama ini kami nanti-nanti akhirnya datang, di saat yang tidak tepat. Bersamaan dengan kehancuran yang Mas Adji bawa dengan terungkapnya istri kedua. Sakit? Tentu saja aku merasa sakit. Namun, aku bisa apa menjalani semua ini? Lebih baik aku memilih untuk bercerai daripada hidup dalam kepalsuan. Aku sudah tidak tahan lagi untuk hidup bersama pria yang berbohong dan menghianatiku. “Rere, apa kamu itu sudah pikirkan betul-betul dengan keputusanmu?” tanya Bude Patia kepadaku saat duduk bersama. Kemarin surat gugatan perc