POV AdjiAku hanya bisa terdiam melihat Nina pergi meninggalkanku seorang diri dengan menggunakan taksi yang sudah dia pesan tadi. Aku tidak menyangka kalau Nina tega pergi begitu saja meski aku sudah memohon-mohon. “Kenapa Nina juga marah kepadaku dan memilih untuk pergi padahal aku sudah bilang akan memperjuangkannya? Aku emang salah, tapi sebagai pria aku juga mau bertanggung jawab atas kedua istriku. Harusnya mereka bersyukur memiliki suami seperti aku yang mau menafkahi dan juga bertanggung jawab. Walau memiliki dua istri, aku masih mampu untuk menopang kehidupan mereka berdua.”Aku menghela nafas panjang dan merasa kalau kedua istriku tidak bersyukur sama sekali. Meski aku sudah berbohong dan membuat mereka luka hati, tidaknya mereka ingat kalau aku juga berjuang untuk menafkahi mereka semua. Aku bukan merupakan orang yang pelit dalam urusan harta dan tentunya ketika calon anakku dua-duanya lahir pasti aku akan memberikan hal yang jauh lebih ba
Aku tidak bisa tidur sama sekali memikirkan semua yang terjadi tentangku dan juga Mas Adji. Aku sama sekali tidak menyangka kalau rumah tangga yang kujalani selama ini akan berakhir hanya karena hadirnya orang ketiga. Aku masih berada di rumah Pakde Trimo dan Bude Patia.Aku berpikir apakah keputusan untuk bercerai merupakan jalan keluar yang terbaik sedangkan posisiku saat ini tengah hamil anak dari Mas Adji. Buah hati yang selama ini kami nanti-nanti akhirnya datang, di saat yang tidak tepat. Bersamaan dengan kehancuran yang Mas Adji bawa dengan terungkapnya istri kedua. Sakit? Tentu saja aku merasa sakit. Namun, aku bisa apa menjalani semua ini? Lebih baik aku memilih untuk bercerai daripada hidup dalam kepalsuan. Aku sudah tidak tahan lagi untuk hidup bersama pria yang berbohong dan menghianatiku. “Rere, apa kamu itu sudah pikirkan betul-betul dengan keputusanmu?” tanya Bude Patia kepadaku saat duduk bersama. Kemarin surat gugatan perc
Aku tidak peduli dengan apa kata Mas Adji. Meski dia memohon kepada Pakde Trimo dan Bude Patia sekalipun, aku tidak akan peduli. Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan kembali pada pria pengkhianat ini. “Aku nggak bisa, Mas. Ini sudah hal fatal. Aku nggak bisa.” Aku tetap tegas kepada Mas Adji. Tidak mau dia merayu dan aku melemah. Ini semua sudah keputusan final.“Walau aku udah memohon seperti ini kamu masih keras kepala ingin bercerai denganku? Kamu sama sekali nggak memikirkan tentang anak kita ingatkan lahir? Pakde Trimo, Bude Patia, tolong bantu aku sekali ini aja untuk membujuk Rere agar tidak keras kepala demi keutuhan keluarga dan kebahagiaan anak kami yang akan lahir kelak.”Mas Adji justru meminta kepada Pakde Trimo dan Bude Patia untuk ikut membujukku. Mungkin Dia mengira dengan cara seperti itu bisa meluluhkan hatiku yang sudah terlanjur luka. Sungguh tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Aku tidak akan memaafkan dia seumur hidupku.
POV Adji. Aku merasa begitu lesu dan berbeban berat atas apa yang diucapkan oleh Rere tadi. Bagaimanapun juga ini memang sudah kesalahan fatal yang aku lakukan terhadap Rere dan Nina. Aku berharap masih bisa mengejar Nina. Perjalanan dari Surabaya menuju ke Jakarta cukuplah lama. Rasa resah dan gelisah terus bergelayut di dalam benakku. Gundah gulana rasanya di hatiku karena Rere sudah tidak mau lagi bersama denganku. Dalam pemikiranku saat ini, kalau Nina juga sudah tidak mau denganku, bagaimana dengan kehidupanku? Aku yang menyetir mobil sendirian merasa hancur berantakan sudah. Sungguh, rasanya sudah tidak konsentrasi untuk mengendarai kendaraan ini. Hanya saja kepastian dari Nina merupakan jawaban terakhir untuk melanjutkan kehidupanku. Aku benar-benar berharap Nina mau memaafkan aku dan memberikan kesempatan. Aku sudah kehilangan kesempatan untuk bersama dengan Rere, sehingga aku tidak mau kehilangan istri keduaku. Meski se
POV Nina. Sebulan berlalu dengan cepat hingga akhirnya aku merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Keluargaku bergegas membawa ke rumah sakit karena sudah pembukaan. Aku merasa perut mulas dan tidak tahan lagi untuk melakukan persalinan. Tak disangka, salah satu keluargaku memberi kabar ini kepada Mas Adji. Pria itu pun datang untuk melihat kondisiku setelah melahirkan dan juga anak darinya. Senang? Oh, tidak. Aku sama sekali tidak merasa senang dengan kehadirannya. “Nina, akhirnya anak kita lahir. Aku janji akan menjagamu dan anak kita,” ucap Mas Adji yang jelas saja perkataannya sama sekali tidak bisa dipercaya. Aku sama sekali sudah tidak mempercayai semua ucapan darinya.“Nggak usah berharap yang lebih. Bisa lihat anakmu aja, udah untung!” Aku langsung berkata dengan tegas agar Mas Adji sadar diri sedikit.“Jangan gitu, Nina. Aku itu sayang kamu.” Mas Adji masih mencoba untuk menarik perhatianku. Namun, sama sekali ak
Aku tidak menyangka kalau pada akhirnya Pakde mengenalkanku kepada anak dari teman lamanya. Galuh, namanya. Aku akan bertemu dengan pria itu nanti siang. “Rere, Kamu kenalan dulu dengan Galuh biar tahu bagaimana sikapnya. Kalau dengan Raka, kamu sudah kenal lama, kan? Pakde harap kamu bisa memilih dengan bijaksana.” Pakde Trimo kembali membuka peluang bagiku untuk memilih pasangan hidup pengganti Mas Adji setelah melahirkan nanti.“Pakde, belum juga selesai aku melahirkan, kenapa udah buru-buru ngenalin aku hubungan beberapa pria? Aku juga nggak terburu-buru cari pengganti,” ujarku yang sebenarnya merasa bingung dengan sikap Pakde Trimo. Mungkin beliau tidak mau aku menjalani hidup tanpa pendamping setelah pisah dengan Mas Adji.“Nggak apa. Ini cuma perkenalan aja. Kamu kenal nama Galuh, siapa tahu kalian berdua cocok. Ngobrol-ngobrol biasa aja.” Pakde Trimo mengatakan hal itu seolah-olah menjadi sebuah perintah yang tidak bisa aku tolak. Aku pu
Akhirnya aku dan Mas Adji sudah terpisah dari ikatan janji suci yang pernah terucap di depan penghulu. Aku dan dia sudah resmi bercerai. Aku sama sekali tidak menyesali hal itu. Justru sekarang aku merasa lega dengan keputusan ini. Semua jadi terasa jelas, meski aku harus menjalani proses kehamilan ini seorang diri. Aku bersyukur ada Pakde Trimo dan Bude Patia yang mau menemani di saat sulitku.“Rere, apa yang kamu rasain sekarang?” tanya Bude Patia kepadaku serasa dari hati ke hati. Aku pun menatapnya dengan penuh kelegaan.“Aku lega, Bude. Aku benar-benar merasa lega dan sesak yang aku rasakan menjadi hilang. Setidaknya sekarang tinggal fokus urus bayi yang sebentar lagi lahir. Aku mau yang terbaik untuk anak ini, Bude,” jawabku tanpa merasa bersedih sama sekali. Kenapa aku harus bersedih atas apa yang terjadi? Semua ini terjadi karena salahnya Mas Adji sendiri. Jadi, aku mau mensyukuri semua yang ada. Aku mau berjuang demi anakku. Anak y
POV AdjiAku sama sekali tidak menyangka dan tidak menduga saat datang ke rumah sakit tempat Rere persalinan, justru melihat ada pria lain di sana. Siapakah pria itu? Apakah semudah itu Rere berpaling dan mencari penggantiku di saat masih dalam kondisi hamil?Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di dalam otakku. Seketika darah terasa mendidih ketika melihat pria itu memberikan perhatian lebih kepada mantan istriku. Memang aku ini sudah menjadi mantan suami dan tidak punya hak apa pun untuk mengatur dengan siapa Rere dekat, tetapi salahkah aku cemburu? Rasa cemburu itu muncul begitu saja dalam benakku. Aku merasa tidak kuasa untuk menahan emosi ketika Rere diperhatikan oleh pria lain. “Rere, walaupun kita sudah bercerai dan tidak bersama, anak ini tetap anak kita,” kataku yang sebenarnya bingung harus memberikan alasan apalagi karena tiba-tiba saja datang ke rumah sakit. Aku tidak mau diusir begitu saja oleh Rere apa