Aku berbaring di atas tempat tidur sambil menutupi kepalaku menggunakan bantal untuk meredam suara tangisanku yang belum juga usai.
Tak berapa lama aku mendengar suara Mas Adji yang tengah berbicara dengan Arin, aku pun beranjak turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu.Aku menguping pembicaraan kedua kakak adik itu dengan menempelkan telingaku ke daun pintu."Apa yang sebenarnya terjadi Mas? Mbak Rere datang ke sini sambil menangis. Aku sudah mendengar semuanya, apa benar yang dikatakan Mbak Rere? Jelaskan padaku Mas!"Terdengar suara Arin yang bertanya pada suamiku."Di mana Rere? Mas ingin mengajaknya pulang, dia ada di sini kan?" tanya Mas Adji."Dia ada di kamar, tapi sepertinya dia ngga mau pulang dulu ke rumah kalian. Biarkan dia istirahat di sini untuk menenangkan pikirannya. Tolong jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar kalau kamu sudah menikah dengan wanita lain di Kota?" tanya Arin suaranya terdengar cukup kencang.Aku pun membuka pintu sedikit agar bisa lebih jelas mendengar percakapan mereka.Aku melihat Mas Adji duduk di ruang tengah rumah itu sambil menundukkan kepala, terlihat sangat jelas raut wajah penyesalan, tetapi semua sudah terlambat.Kenapa Mas Adji tidak memikirkan semuanya lebih dulu sebelum memutuskan menikahi wanita lain? batinku."Cepat jelaskan padaku, Mas. Kenapa kamu tega mengkhianati Mbak Rere? Kasihan dia, dia sudah berbakti padamu sebagai seorang istri, tapi apa balasanmu."Aku mengusap air mataku yang kembali mengalir deras. Aku pun menanti Mas Adji menjawab pertanyaan dari Arin."Mas ingin memiliki anak, Rin. Mas tahu Mas salah dan Mas menyesal, tapi semua ini sudah terjadi. Bahkan wanita itu sedang mengandung anak Mas. Usia kandungannya sudah tujuh bulan, dan sebentar lagi Mas punya anak laki laki, seperti keinginan Mas," jawab Mas Adji.Tanpa suamiku sadari, aku semakin terluka mendengar semua itu. Artinya suamiku sudah lama menikahi wanita itu dan menyembunyikan hubungan mereka.Bodohnya, karena selama ini aku selalu mencoba berpikir positif meski aku sudah merasakan ada yang aneh dari suamiku."Ya Allah Mas, lalu bagaimana nasib pernikahan kalian? Kamu dan Mbak Rere? Apa kamu akan menceraikan Mbak Rere?" Arin memegang keningnya.Mas Adji menggelengkan kepala, "Mas tidak akan menceraikan Rere, Mas cinta sama dia, kamu tahu itu kan? Mas ngga bisa hidup tanpa Rere.""Lalu, kenapa kamu melakukan ini? Kamu tahu kan resikonya kalau sampai Mbak Rere tahu kamu menikahi wanita lain bahkan memiliki anak dari wanita itu? Perempuan mana yang mau dimadu Mas?"Arin menangis pilu, sama sepertiku yang tak bisa membendung air mata ini lagi.Begitu besar cinta kami, tetapi Mas Adji tega mengkhianatinya dan tidur dengan wanita lain.Membayangkan semua itu membuatku jijik. Jijik karena selama ini aku sudah berbagi suami dengan wanita lain, yang aku tidak pernah tahu asal usulnya.Seperti apa wanita yang dinikahi Mas Adji? Dari mana Mas Adji mengenal wanita itu?Membayangkan itu membuat perutku mual. Aku mengusap air mataku lalu kembali menguping pembicaraan di luar."Mas tahu Mas salah, dan Mas menyesal. Mas akan melakukan apa saja agar Rere tidak menceraikan Mas."Mas Adji pun berdiri dan melirik ke arah kamar, dan aku pun langsung menutup pintu kamar dengan rapat."Mas mau apa? Mbak Rere lagi istirahat.""Mas ingin membawa Rere pulang, tolong jangan halangi Mas."Aku kembali ke atas ranjang lalu menutupi seluruh tubuhku menggunakan selimut.Tak lama terdengar suara pintu dibuka, aku memang tidak mengunci pintu tersebut."Biarkan Mbak Rere menenangkan pikirannya dulu Mas, jangan paksa dia pulang. Kasihan dia," ucap Arin menahan Mas Adji yang hendak mendekatiku.Aku membuka mata sedikit dan melihat Mas Adji berdiri di dekat ranjang."Tolong kamu bujuk dia agar dia mau pulang, Mas benar benar menyesal dan Mas ingin memperbaiki semua ini.""Lalu bagaimana dengan wanita yang sedang mengandung anakmu Mas? Apa yang akan kamu lakukan padanya? Bukannya kamu sudah menikahinya?" tanya Arin.Aku menghela napas panjang dan berat, menanti jawaban dari suamiku."Mas tidak mungkin menceraikan dia juga kan? Karena dia sedang mengandung anakmu," tanya Arin pada suamiku.Mas Adji duduk di tepi ranjang lalu memegang ujung kakiku yang tertutup selimut. "Mas akan menceraikan dia setelah dia melahirkan anak Mas. Mas menikahinya hanya karena Mas ingin memiliki anak, bukan karena Mas mencintai wanita itu," jawab Mas Adji. "Apa Mas tega melakukan itu? Bagaimana caranya Mas bisa mendapatkan hak asuh anak? Apa pernikahan kalian tercatat secara hukum? Setahuku, anak berusia di bawah sepuluh tahun, hak asuh jatuh ke ibunya, bukan ayahnya. Lalu percuma saja Mas Adji memiliki anak dari wanita itu, kalau Mas Adji tidak bisa mendapatkan hak asuhnya," ujar Arin. Aku pun ingin mengungkapkan itu, tetapi lidahku terasa kelu. Jangankan untuk berbicara panjang lebar, untuk bernapas normal saja aku tidak sanggup. Aku dan Arin menanti jawaban dari Mas Adji. "Mas, bodoh," ucapnya sambil meremas rambut dengan wajah frustasi. Aku tersenyum lirih sambil menutup mulutku agar suara tangisanku tak terdengar. Aku tidak ingin Mas Adji tahu kalah aku sedang menguping pembicaraa
Mas Adji melangkah mendekatiku. Ia pun memegang kedua lenganku sambil menatap lirih. "Ayo kita pulang. Mas ingin menjelaskan semuanya padamu dan Mas ingin kita mencari solusi bersama. Tolong ikutlah dengan Mas," pinta mas Adji sambil menatapku tak berkedip. Aku membuang nafas kasar lalu memalingkan wajah ke samping, enggan menatap wajah yang membuatku semakin merasa mual. "Tolong ikut Mas pulang, Re. Mas ingin mengatakan sesuatu padamu ini tentang kita dan tentang pernikahan kita." Mas Adji masih mencoba membujukku, meski semua itu sia-sia. Aku menghela nafas panjang lalu menatap suamiku. Bulir bening belum berhenti mengalir dari kedua mataku, seperti tak ada habis-habisnya. "Aku sudah mendengarnya Mas, kamu ingin aku menerima pernikahanmu itu kan? Dan kamu ingin aku menerima istrimu beserta anakmu. Iya kan?" Suaraku terdengar parau menahan tangisan yang semakin sulit terbendung lagi. Mas Adji menundukkan kepala lalu mengangguk pelan. "Kita bicarakan semua itu di rumah ya," ka
POV Adji. Aku memutuskan pulang ke rumah, menuruti permintaan istriku. Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi agar lebih cepat sampai ke rumah. Setelah berada di halaman rumah sederhana yang aku bangun setelah menikah dengan Rere. Aku pun turun dari motor matic putihku lalu melangkah masuk ke rumah. Aku menghela nafas panjang lalu duduk di sofa, bersandar menatap kosong ke depan, merenungi semua kesalahan yang aku perbuat pada istriku. Sejujurnya aku menyesal karena sudah mengkhianati Rere. Mengkhianati pernikahan kami yang sudah kami Bina selama 5 tahun. Namun, aku tahu semua penyesalan itu tidak ada gunanya karena sekarang aku sudah menyakiti hati istriku, bahkan Rere tetap keukeh meminta bercerai.Aku takut untuk menghadapi hari esok. Takut jika aku harus menjalani hidup tanpa Rere di sampingku.Tepat delapan bulan yang lalu aku menikahi seorang janda beranak satu di Kota Besar.Aku memilihnya karena aku yakin dia bisa melahirkan anakku dan semua itu terbukti saat istri k
"Assalamu'alaikum," ucap Ibu mertuaku yang berdiri di depan pintu rumah Arin. "Waalaikumsalam." Aku membukakan pintu untuk ibu mertuaku.Sehari setelah kejadian penemuan testpack itu, akhirnya mertuaku tahu dan ibu mertuaku datang ke rumah anak perempuannya. Dia tahu aku masih berada di rumah Arin."Ibu sudah mendengar semuanya dari Arin, tapi Ibu ingin mendengar langsung darimu tentang apa yang terjadi antara kamu dan Adji," ucap Ibu mertuaku lalu membawaku duduk bersamanya di atas lantai beralaskan tikar. Aku menghela napas panjang dan lirih, rasanya berat untukku kembali mengingat kejadian kemarin yang membuatku nyaris kehilangan kewarasan. "Cerita sama Ibu, Nak."Wanita yang sudah aku anggap Ibu kandungku sendiri menatapku dengan lirih, ia memegang jemariku lalu menggenggam erat. "Mas Adji selingkuh, Bu. Dan selingkuhan Mas Adji sedang mengandung tujuh bulan." Aku menundukkan kepala, tak bisa lagi menahan bulir bening yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mataku."Ya Al
"Sejak kapan kamu muntah muntah, Re?" tanya Ibu mertuaku dan aku hanya diam sambil memegang perut yang terasa keram. "Mbak, tolong jawab. Atau paling tidak, Mbak ikut denganku ke bidan. Kita periksa kandungan ya." Arin memegang bahuku yang tengah duduk di ruang tengah rumahnya. Arin dan mertuaku menunggu jawaban, tetapi aku tetap diam. Percuma saja meskipun memang aku dinyatakan hamil, toh Mas Adji sudah menduakanku. "Nak, tolong katakan sesuatu," pinta ibu mertuaku dengan tatapan lirih. Aku menghela napas panjang lalu mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk. "Kalaupun aku hamil, apa Mas Adji bisa mengubah semuanya? Ngga kan Bu, Mas Adji ngga akan bisa mengembalikan semuanya seperti dulu. Sekarang, di antara kami sudah ada wanita lain dan wanita itu sedang mengandung anak Mas Adji, jadi untuk apa aku memperdulikan kehamilan ini? Aku tidak akan bisa mendapatkan hati Mas Adji sepenuhnya seperti dulu."Air mataku kembali mengalir deras, memang sudah sejak tiga hari yang lalu a
"Maafin aku Bu." Mas Adji menundukkan kepalanya sambil memegang kedua tangan ibu mertuaku. Aku tersenyum getir melihat penyesalan Mas Adji, semua itu percuma karena aku sudah terlanjur membencinya. Aku meremas ponsel yang aku genggam sangat erat sambil menahan diri agar tidak terlarut dalam kesedihan. Aku sudah lelah menangis, aku akan menghadapi semua ini dengan ketegaran hati. "Jangan meminta maaf pada Ibu, minta maaflah pada istrimu. Kamu sudah menyakiti istrimu. Apa salahnya? Kenapa kamu tega menduakan istrimu?" Ibu mertuaku melepas genggaman tangan Mas Adji. Suamiku pun memegang lantai dan semakin menundukkan kepalanya. Mas Adji menangis lalu merangkak mendekatiku. "Maafin Mas Re, tolong jangan pergi dan Mas mohon sama kamu kita tidak harus bercerai. Mas masih sangat mencintaimu, Re." Aku melangkah mundur menghindari suamiku. "Maaf Mas, keputusanku sudah bulat dan aku sudah menghubungi keluargaku di Surabaya. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sini.""Mas moh
Aku sudah memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku di Surabaya, meskipun di sana aku sudah tidak memiliki orang tua, tetapi aku masih memiliki paman dan bibi. Keputusan ini sudah bulat, karena aku tidak sanggup untuk tetap tinggal bersama suami dan keluarga suamiku. Aku pun mengemasi pakaianku dan memasukkannya ke dalam tas, karena Pakde Trimo sudah menunggu di luar rumah.Drum! Aku menghentikan kegiatanku saat mendengar suara mesin motor, sepertinya Mas Adji sudah datang. "Pakde, silakan masuk dulu." Terdengar suara Mas Adji meminta Pakde Trimo untuk masuk ke rumah. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu menyakiti keponakan Pakde? Bukannya kamu sudah berjanji kalau kamu akan menjaga dan membahagiakan Rere? Kamu tahu kan kalau Rere itu sudah tidak memiliki orang tua lagi, hanya kamu yang menjadi tempatnya berlindung, tapi sekarang apa, kamu justru membuat dia kecewa."Pakde Trimo memarahi suamiku, aku hanya mendengarkan pembicaraan kedua lelaki itu dari dalam kamar sambil
POV: Adji"Rere pergi." Aku terduduk lesu di depan kedua orang tuaku. Mereka datang ke rumah bersama dengan Arin dan Yanti, kedua adik perempuanku. "Kamu tidak bisa menahannya? Kenapa kamu membiarkan menantu Ibu pergi sedangkan dia sedang mengandung anakmu Adji."Air mata runtuh membasahi wajah ibuku, aku pun hanya bisa menundukkan kepala dan tak mengatakan apapun lagi. "Bapak kecewa sama kamu, bagaimana bisa kamu menikah lagi sedangkan istrimu di sini sangat setia padamu. Dia tidak pernah melaksanakan kesalahan apapun, tapi kamu justru menyakitinya." Sama seperti ibuku, bapak juga sangat murka atas apa yang aku lakukan pada Rere. Aku menyadari kesalahan yang kulakukan dan sudah fatal. "Sekarang bagaimana? Kalian akan bercerai?" tanya Ibuku yang aku jawab dengan anggukan kepala. "Memangnya tidak ada lagi jalan keluar dari masalahmu itu? Kalau memang Rere sedang mengandung, kenapa kalian harus bercerai? Kenapa bukan