"Assalamu'alaikum."
Ucapan salam terdengar dari luar rumah, aku langsung berjalan cepat ke arah pintu untuk menyambut kepulangan suamiku."Waalaikumsalam, Mas." Aku membuka pintu, melihat suamiku sudah berdiri di sana dan aku pun menyambut uluran tangan suamiku lalu mencium punggung tangannya.Hari ini adalah hari yang selalu aku tunggu setiap bulan, karena suamiku selalu pulang ke rumah kami yang berada di daerah Bogor, setelah dia menyelesaikan pekerjaannya di Ibu Kota."Aku merindukanmu." Mas Adji memelukku erat, melampiaskan kerinduannya setelah hampir satu bulan kami tidak bertemu."Aku juga merindukanmu, Mas," ucapku melingkari kedua tangan di tubuh Mas Adji.Dalam keheningan sekian detik, indera penciumanku menangkap wangi parfum yang bagiku sangat asing.Aku menghela napas panjang, mencoba berpikir positif, karena memang suamiku tidak memiliki kendaraan pribadi.Kami hanya memiliki satu motor matic yang biasa aku gunakan untuk ke pasar dan dia harus naik angkutan umum untuk pulang pergi ke Bogor.'Mungkin parfum penumpang kereta nempel di pakaian suamiku,' ucapku di dalam hati."Mas mau mandi dulu ya, nanti kita ngobrol di kamar." Mas Adji langsung melepas pelukanku lalu mengambil tas ransel yang tadi dia letakan ke atas lantai."Biar aku aja yang bawa tasnya, Mas." Aku pun mengambil tas dari tangan Mas Adji.Mas Adji tersenyum padaku, "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku dengan lembut.Aku tersenyum lebar lalu merangkul pinggang suamiku dan berjalan ke kamar bersama.Rumah sederhana kami yang hanya memiliki dua kamar tidur, menjadi tempat ternyaman bagiku dan Mas Adji. Meski kami belum memiliki anak di usia pernikahan yang cukup lama, tetapi rumah tangga kami tetap terasa bahagia.Aku bersyukur karena Mas Adji dan juga mertuaku tidak pernah menuntut kami untuk segera memiliki momongan."Mas mandi dulu ya," ucap Mas Adji yang berjalan ke pintu kamar mandi.Aku menganggukkan kepala dan Mas Adji pun masuk ke kamar mandi."Abis mandi kita makan siang bareng ya, Mas, aku udah masak makanan kesukaan kamu," seruku sambil mengeluarkan isi tas ransel milik Mas Adji."Iya Sayang," sahut Mas Adji yang kemudian terdengar suara air dari dalam sana.Aku pun memisahkan pakaian kotor suamiku dengan pakaian yang kelihatan masih bersih.Namun, ada sesuatu yang selalu aku pikir janggal karena hampir setiap kali Mas Adji pulang ke Bogor, pakaian Mas Adji selalu rapi dan bersih.'Apa mungkin Mas Adji mencuci pakaian dulu sebelum pulang?' tanyaku dalam hati.Kembali aku mencoba berpikir positif dan tidak ingin memikirkan yang tidak mungkin, aku tidak ingin mencurigai suamiku hanya karena hal sepele.Di Kota, Mas Adji mencari nafkah untukku dan kami sedang mengumpulkan uang, karena kami berniat untuk membuka usaha di Bogor agar Mas Adji tidak perlu bekerja di kota lagi.Aku dan Mas Adji sedang mengumpulkan uang untuk membeli ruko kecil di pinggir jalan. Ruko yang akan dijadikan oleh Mas Adji sebagai bengkel, karena itu aku mendukung Mas Adji bekerja di Kota Besar meski kami harus menjalani hubungan jarak jauh.Terkadang Mas Adji pulang 2 minggu sekali dan sering kali Mas Adji tidak pulang hampir 1 bulan, tetapi aku tidak pernah mempermasalahkan soal itu, karena yang terpenting bagiku Mas Adji selalu menjaga hatinya dan bekerja dengan baik di sana.Aku percaya pada kesetiaan suamiku.Setelah selesai mengeluarkan pakaian dari dalam tas, aku pun menyusun pakaian Mas Adji ke dalam lemari, karena semua pakaiannya bersih dan aku akan mengganti pakaian itu dengan yang baru.Pluk!Aku tertegun saat mendengar ada sesuatu yang terjatuh dari dalam tas ransel Mas Adji, refleks aku menunduk dan melihat benda yang terjatuh itu terlihat seperti tidak asing.Aku pun mengambil benda yang seperti alat tes kehamilan. Aku menghela napas berat lalu terduduk lemas di pinggir ranjang.Kutatap benda itu dengan lirih, tanpa terasa air mataku mengalir deras membasahi wajah. Aku masih mencoba untuk berpikir positif.'Mungkin saja benda ini milik teman Mas Adji yang tertinggal di dalam tasnya,' pikirku.Namun, semakin kucoba untuk berpikir ke arah sana, semakin mustahil itu bisa terjadi.Setelah sekian detik terdiam, aku pun memberanikan diri untuk melihat isinya.Air mataku semakin deras mengalir saat aku melihat garis dua di testpack itu, garis yang selama ini aku impikan."Testpack ini ... milik siapa?" ucapku lirih sambil menutup mulut menggunakan telapak tangan agar suara tangisanku tidak terdengar oleh Mas Adji.Krek!Mas Adji membuka pintu kamar mandi, ia melihat ke arahku lalu melangkah cepat mendekatiku."Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya dengan raut wajah panik.Mas Adji berlutut di depan kedua kakiku.Tak ada kata yang sanggup aku ucapkan, aku hanya menunjukkan testpack yang baru saja aku temukan di dalam tas milik Mas Adji.Tak seperti bayanganku karena ternyata Mas Adji tidak memberi penjelasan, dia hanya menundukkan kepala setelah melihat alat test kehamilan itu. Apa artinya Mas Adji memang selingkuh? Aku tak kuasa menahan gejolak emosi yang menyelimuti dada, aku pun melampiaskan kemarahanku dengan memukul mukul pundak Mas Adji. "Tolong jelaskan semuanya Mas! Testpack milik siapa ini? Katakan Mas! Jangan diam saja, apa mungkin ini milik wanita selingkuhanmu?" Aku berteriak sambil menangis pilu. Mas Adji masih tetap diam sambil menundukkan kepalanya. "Mas, tolong bilang kalau kamu ngga selingkuh dariku! Aku mohon Mas! Katakan kalau kamu ngga selingkuh dan testpack ini bukan milik wanita itu!"Aku pun merosot turun dari ranjang lalu terduduk lemas di atas lantai. Aku menarik lengan Mas Adji hingga suamiku juga terduduk di lantai. Mas Adji tetap bergeming, dan tak berani menatapku. Aku tertawa lirih, tawaku semakin kencang dan terdengar pilu. "Jadi benar kalau testpack ini milik wanita selingkuhanm
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 500 meter, aku pun tiba di depan rumah adik kandung Mas Adji. Rumah petakan sederhana tanpa pagar bercat hijau muda itu tampak sepi, aku pun tetap mendekati pintu rumah tersebut, berharap adik Mas Adji yang bernama Arin ada di dalam. Arin memang sudah menikah dan memiliki satu orang anak yang masih berusia tiga bulan, tetapi suami Arin bekerja di luar kota, dan pulang dua Minggu sekali. Hampir sama seperti Mas Adji, karena yang menawarkan pekerjaan di sana pun suami dari adik iparku.Tok Tok Tok! Aku mengetuk pintu rumah tersebut berkali-kali hingga tak lama seorang wanita yang usianya lebih muda dariku membuka pintu tersebut. "Mbak, kamu kenapa?" tanya Arin sambil menatapku dengan raut wajah bingung.Aku memeluk Arin dan kembali menangis pilu di pelukannya."Kamu kenapa Mbak? Cerita sama aku." Arin membawaku masuk ke rumahnya. Aku pun mengikuti adik iparku yang membawaku duduk di ruang tengah rumah petakan tersebut. Arin masih menatapku
Aku berbaring di atas tempat tidur sambil menutupi kepalaku menggunakan bantal untuk meredam suara tangisanku yang belum juga usai. Tak berapa lama aku mendengar suara Mas Adji yang tengah berbicara dengan Arin, aku pun beranjak turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu. Aku menguping pembicaraan kedua kakak adik itu dengan menempelkan telingaku ke daun pintu. "Apa yang sebenarnya terjadi Mas? Mbak Rere datang ke sini sambil menangis. Aku sudah mendengar semuanya, apa benar yang dikatakan Mbak Rere? Jelaskan padaku Mas!" Terdengar suara Arin yang bertanya pada suamiku. "Di mana Rere? Mas ingin mengajaknya pulang, dia ada di sini kan?" tanya Mas Adji."Dia ada di kamar, tapi sepertinya dia ngga mau pulang dulu ke rumah kalian. Biarkan dia istirahat di sini untuk menenangkan pikirannya. Tolong jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar kalau kamu sudah menikah dengan wanita lain di Kota?" tanya Arin suaranya terdengar cukup kencang. Aku pun membuka pintu sedikit ag
Mas Adji duduk di tepi ranjang lalu memegang ujung kakiku yang tertutup selimut. "Mas akan menceraikan dia setelah dia melahirkan anak Mas. Mas menikahinya hanya karena Mas ingin memiliki anak, bukan karena Mas mencintai wanita itu," jawab Mas Adji. "Apa Mas tega melakukan itu? Bagaimana caranya Mas bisa mendapatkan hak asuh anak? Apa pernikahan kalian tercatat secara hukum? Setahuku, anak berusia di bawah sepuluh tahun, hak asuh jatuh ke ibunya, bukan ayahnya. Lalu percuma saja Mas Adji memiliki anak dari wanita itu, kalau Mas Adji tidak bisa mendapatkan hak asuhnya," ujar Arin. Aku pun ingin mengungkapkan itu, tetapi lidahku terasa kelu. Jangankan untuk berbicara panjang lebar, untuk bernapas normal saja aku tidak sanggup. Aku dan Arin menanti jawaban dari Mas Adji. "Mas, bodoh," ucapnya sambil meremas rambut dengan wajah frustasi. Aku tersenyum lirih sambil menutup mulutku agar suara tangisanku tak terdengar. Aku tidak ingin Mas Adji tahu kalah aku sedang menguping pembicaraa
Mas Adji melangkah mendekatiku. Ia pun memegang kedua lenganku sambil menatap lirih. "Ayo kita pulang. Mas ingin menjelaskan semuanya padamu dan Mas ingin kita mencari solusi bersama. Tolong ikutlah dengan Mas," pinta mas Adji sambil menatapku tak berkedip. Aku membuang nafas kasar lalu memalingkan wajah ke samping, enggan menatap wajah yang membuatku semakin merasa mual. "Tolong ikut Mas pulang, Re. Mas ingin mengatakan sesuatu padamu ini tentang kita dan tentang pernikahan kita." Mas Adji masih mencoba membujukku, meski semua itu sia-sia. Aku menghela nafas panjang lalu menatap suamiku. Bulir bening belum berhenti mengalir dari kedua mataku, seperti tak ada habis-habisnya. "Aku sudah mendengarnya Mas, kamu ingin aku menerima pernikahanmu itu kan? Dan kamu ingin aku menerima istrimu beserta anakmu. Iya kan?" Suaraku terdengar parau menahan tangisan yang semakin sulit terbendung lagi. Mas Adji menundukkan kepala lalu mengangguk pelan. "Kita bicarakan semua itu di rumah ya," ka
POV Adji. Aku memutuskan pulang ke rumah, menuruti permintaan istriku. Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi agar lebih cepat sampai ke rumah. Setelah berada di halaman rumah sederhana yang aku bangun setelah menikah dengan Rere. Aku pun turun dari motor matic putihku lalu melangkah masuk ke rumah. Aku menghela nafas panjang lalu duduk di sofa, bersandar menatap kosong ke depan, merenungi semua kesalahan yang aku perbuat pada istriku. Sejujurnya aku menyesal karena sudah mengkhianati Rere. Mengkhianati pernikahan kami yang sudah kami Bina selama 5 tahun. Namun, aku tahu semua penyesalan itu tidak ada gunanya karena sekarang aku sudah menyakiti hati istriku, bahkan Rere tetap keukeh meminta bercerai.Aku takut untuk menghadapi hari esok. Takut jika aku harus menjalani hidup tanpa Rere di sampingku.Tepat delapan bulan yang lalu aku menikahi seorang janda beranak satu di Kota Besar.Aku memilihnya karena aku yakin dia bisa melahirkan anakku dan semua itu terbukti saat istri k
"Assalamu'alaikum," ucap Ibu mertuaku yang berdiri di depan pintu rumah Arin. "Waalaikumsalam." Aku membukakan pintu untuk ibu mertuaku.Sehari setelah kejadian penemuan testpack itu, akhirnya mertuaku tahu dan ibu mertuaku datang ke rumah anak perempuannya. Dia tahu aku masih berada di rumah Arin."Ibu sudah mendengar semuanya dari Arin, tapi Ibu ingin mendengar langsung darimu tentang apa yang terjadi antara kamu dan Adji," ucap Ibu mertuaku lalu membawaku duduk bersamanya di atas lantai beralaskan tikar. Aku menghela napas panjang dan lirih, rasanya berat untukku kembali mengingat kejadian kemarin yang membuatku nyaris kehilangan kewarasan. "Cerita sama Ibu, Nak."Wanita yang sudah aku anggap Ibu kandungku sendiri menatapku dengan lirih, ia memegang jemariku lalu menggenggam erat. "Mas Adji selingkuh, Bu. Dan selingkuhan Mas Adji sedang mengandung tujuh bulan." Aku menundukkan kepala, tak bisa lagi menahan bulir bening yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mataku."Ya Al
"Sejak kapan kamu muntah muntah, Re?" tanya Ibu mertuaku dan aku hanya diam sambil memegang perut yang terasa keram. "Mbak, tolong jawab. Atau paling tidak, Mbak ikut denganku ke bidan. Kita periksa kandungan ya." Arin memegang bahuku yang tengah duduk di ruang tengah rumahnya. Arin dan mertuaku menunggu jawaban, tetapi aku tetap diam. Percuma saja meskipun memang aku dinyatakan hamil, toh Mas Adji sudah menduakanku. "Nak, tolong katakan sesuatu," pinta ibu mertuaku dengan tatapan lirih. Aku menghela napas panjang lalu mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk. "Kalaupun aku hamil, apa Mas Adji bisa mengubah semuanya? Ngga kan Bu, Mas Adji ngga akan bisa mengembalikan semuanya seperti dulu. Sekarang, di antara kami sudah ada wanita lain dan wanita itu sedang mengandung anak Mas Adji, jadi untuk apa aku memperdulikan kehamilan ini? Aku tidak akan bisa mendapatkan hati Mas Adji sepenuhnya seperti dulu."Air mataku kembali mengalir deras, memang sudah sejak tiga hari yang lalu a