Tak seperti bayanganku karena ternyata Mas Adji tidak memberi penjelasan, dia hanya menundukkan kepala setelah melihat alat test kehamilan itu.
Apa artinya Mas Adji memang selingkuh?Aku tak kuasa menahan gejolak emosi yang menyelimuti dada, aku pun melampiaskan kemarahanku dengan memukul mukul pundak Mas Adji."Tolong jelaskan semuanya Mas! Testpack milik siapa ini? Katakan Mas! Jangan diam saja, apa mungkin ini milik wanita selingkuhanmu?" Aku berteriak sambil menangis pilu.Mas Adji masih tetap diam sambil menundukkan kepalanya."Mas, tolong bilang kalau kamu ngga selingkuh dariku! Aku mohon Mas! Katakan kalau kamu ngga selingkuh dan testpack ini bukan milik wanita itu!"Aku pun merosot turun dari ranjang lalu terduduk lemas di atas lantai. Aku menarik lengan Mas Adji hingga suamiku juga terduduk di lantai.Mas Adji tetap bergeming, dan tak berani menatapku.Aku tertawa lirih, tawaku semakin kencang dan terdengar pilu. "Jadi benar kalau testpack ini milik wanita selingkuhanmu?"Ya Tuhan!Tak dapat kujelasankan perasaanku saat ini. Hatiku hancur, lebih hancur lagi saat melihat suamiku diam seribu bahasa, seolah mengiyakan semua tuduhanku terhadapnya."Apa salahku Mas? Apa selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu?" tanyaku dengan lirih. "Tolong jawab aku Mas! Jawab aku!"Kali ini, Mas Adji menatapku lalu ia pun menggenggam jemari tanganku dengan erat."Kamu sudah menjadi istri yang baik. Mas sangat mencintaimu," ucap Mas Adji sambil mengusap air mataku.Aku tersenyum getir, "Lalu kenapa kamu mengkhianatiku?"Aku mencoba mengendalikan diri agar tidak melampiaskan emosi pada Mas Adji."Jawab aku Mas!" desakku sambil menatap Mas Adji dengan tajam.Mas Adji menundukkan kepala lalu menjawab, "Mas ingin punya anak."Tar!Bagai disambar petir di siang hari, hatiku hancur berkeping-keping setelah mendengar jawaban dari suamiku. Selama ini aku tidak pernah tahu kalau ternyata Mas Adji sangat menginginkan anak yang tak kunjung bisa aku berikan.Lalu, apa pantas suamiku menduakanku hanya karena alasan itu?Jawaban Mas Adji sudah menjelaskan semuanya, bahwa dia memang berselingkuh.Aku kembali tertawa sambil menangis pilu. "Anak? Jadi benar kalau kamu berselingkuh dan selingkuhanmu sedang mengandung?"Mas Adji menganggukkan kepala.Plak!Tamparan keras mendarat di pipi suamiku, aku tak sanggup lagi menahan rasa marah yang meluap hingga membuat dadaku terasa panas, terbakar api cemburu."Kamu jahat, Mas!" teriakku kencang.Mas Adji memegang pipinya yang memerah, terlihat lima bekas jariku berbekas di sana."Maafkan Mas, Sayang. Maafkan Mas," ucapnya lirih sambil memegang kakiku.Aku menepis tangan Mas Adji lalu mencoba untuk berdiri sambil memegang pinggiran tempat tidur."Ceraikan aku sekarang juga! Dan nikahi wanita selingkuhanmu itu!" ucapku dengan tegas.Mas Adji memeluk kedua kakiku sambil menggelengkan kepala. "Mas tidak akan menceraikan kamu. Mas mencintaimu, dan Mas tidak ingin kita berpisah."Aku tersenyum getir, "Cinta? Apa pengkhianatan seperti itu masih pantas disebut cinta?""Mas melakukan itu karena Mas menginginkan anak, dan sekarang kita akan memiliki anak Sayang. Setelah anak itu lahir, Mas pasti akan menceraikan wanita itu."Deg!Aku tertegun mendengar pengakuan suamiku. "Kamu sudah menikahinya?"Mas Adji menganggukkan kepala, "Maafkan Mas."Aku membuang napas kasar lalu mendorong tubuh suamiku agar Mas Adji melepas kedua tangannya di kakiku."Ceraikan aku sekarang juga!" ucapku lalu melangkah cepat meninggalkan kamar.Mimpi pun aku tidak pernah dan tidak mau, tetapi sekarang semua benar-benar terjadi di dalam hidupku.Pernikahan yang kami bina selama lima tahun, hancur karena keegoisan suamiku yang mendambakan seorang anak.'Aku tahu aku bukan wanita sempurna yang bisa memberimu anak, tapi apa pantas aku mendapatkan pengkhianatan dari suamiku seperti ini? Lelaki yang selama ini aku cintai setulus hati?'Aku berjalan dengan gontai keluar dari rumah, tujuanku adalah rumah adik iparku yang jaraknya tidak jauh dari rumah kami.Hanya di sana tempatku mengadu, karena aku sudah tidak memiliki orang tua lagi dan aku tidak memiliki sanak saudara di Bogor. Aku hanya wanita yatim piatu yang merantau ke Bogor, tempat asalku adalah Surabaya."Kamu jahat, Mas!"Air mataku belum kering, masih mengalir deras membasahi wajahku di sepanjang perjalanan.Tanpa kusadari, aku pun lupa menggunakan alas kaki saat keluar dari rumah.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 500 meter, aku pun tiba di depan rumah adik kandung Mas Adji. Rumah petakan sederhana tanpa pagar bercat hijau muda itu tampak sepi, aku pun tetap mendekati pintu rumah tersebut, berharap adik Mas Adji yang bernama Arin ada di dalam. Arin memang sudah menikah dan memiliki satu orang anak yang masih berusia tiga bulan, tetapi suami Arin bekerja di luar kota, dan pulang dua Minggu sekali. Hampir sama seperti Mas Adji, karena yang menawarkan pekerjaan di sana pun suami dari adik iparku.Tok Tok Tok! Aku mengetuk pintu rumah tersebut berkali-kali hingga tak lama seorang wanita yang usianya lebih muda dariku membuka pintu tersebut. "Mbak, kamu kenapa?" tanya Arin sambil menatapku dengan raut wajah bingung.Aku memeluk Arin dan kembali menangis pilu di pelukannya."Kamu kenapa Mbak? Cerita sama aku." Arin membawaku masuk ke rumahnya. Aku pun mengikuti adik iparku yang membawaku duduk di ruang tengah rumah petakan tersebut. Arin masih menatapku
Aku berbaring di atas tempat tidur sambil menutupi kepalaku menggunakan bantal untuk meredam suara tangisanku yang belum juga usai. Tak berapa lama aku mendengar suara Mas Adji yang tengah berbicara dengan Arin, aku pun beranjak turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu. Aku menguping pembicaraan kedua kakak adik itu dengan menempelkan telingaku ke daun pintu. "Apa yang sebenarnya terjadi Mas? Mbak Rere datang ke sini sambil menangis. Aku sudah mendengar semuanya, apa benar yang dikatakan Mbak Rere? Jelaskan padaku Mas!" Terdengar suara Arin yang bertanya pada suamiku. "Di mana Rere? Mas ingin mengajaknya pulang, dia ada di sini kan?" tanya Mas Adji."Dia ada di kamar, tapi sepertinya dia ngga mau pulang dulu ke rumah kalian. Biarkan dia istirahat di sini untuk menenangkan pikirannya. Tolong jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar kalau kamu sudah menikah dengan wanita lain di Kota?" tanya Arin suaranya terdengar cukup kencang. Aku pun membuka pintu sedikit ag
Mas Adji duduk di tepi ranjang lalu memegang ujung kakiku yang tertutup selimut. "Mas akan menceraikan dia setelah dia melahirkan anak Mas. Mas menikahinya hanya karena Mas ingin memiliki anak, bukan karena Mas mencintai wanita itu," jawab Mas Adji. "Apa Mas tega melakukan itu? Bagaimana caranya Mas bisa mendapatkan hak asuh anak? Apa pernikahan kalian tercatat secara hukum? Setahuku, anak berusia di bawah sepuluh tahun, hak asuh jatuh ke ibunya, bukan ayahnya. Lalu percuma saja Mas Adji memiliki anak dari wanita itu, kalau Mas Adji tidak bisa mendapatkan hak asuhnya," ujar Arin. Aku pun ingin mengungkapkan itu, tetapi lidahku terasa kelu. Jangankan untuk berbicara panjang lebar, untuk bernapas normal saja aku tidak sanggup. Aku dan Arin menanti jawaban dari Mas Adji. "Mas, bodoh," ucapnya sambil meremas rambut dengan wajah frustasi. Aku tersenyum lirih sambil menutup mulutku agar suara tangisanku tak terdengar. Aku tidak ingin Mas Adji tahu kalah aku sedang menguping pembicaraa
Mas Adji melangkah mendekatiku. Ia pun memegang kedua lenganku sambil menatap lirih. "Ayo kita pulang. Mas ingin menjelaskan semuanya padamu dan Mas ingin kita mencari solusi bersama. Tolong ikutlah dengan Mas," pinta mas Adji sambil menatapku tak berkedip. Aku membuang nafas kasar lalu memalingkan wajah ke samping, enggan menatap wajah yang membuatku semakin merasa mual. "Tolong ikut Mas pulang, Re. Mas ingin mengatakan sesuatu padamu ini tentang kita dan tentang pernikahan kita." Mas Adji masih mencoba membujukku, meski semua itu sia-sia. Aku menghela nafas panjang lalu menatap suamiku. Bulir bening belum berhenti mengalir dari kedua mataku, seperti tak ada habis-habisnya. "Aku sudah mendengarnya Mas, kamu ingin aku menerima pernikahanmu itu kan? Dan kamu ingin aku menerima istrimu beserta anakmu. Iya kan?" Suaraku terdengar parau menahan tangisan yang semakin sulit terbendung lagi. Mas Adji menundukkan kepala lalu mengangguk pelan. "Kita bicarakan semua itu di rumah ya," ka
POV Adji. Aku memutuskan pulang ke rumah, menuruti permintaan istriku. Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi agar lebih cepat sampai ke rumah. Setelah berada di halaman rumah sederhana yang aku bangun setelah menikah dengan Rere. Aku pun turun dari motor matic putihku lalu melangkah masuk ke rumah. Aku menghela nafas panjang lalu duduk di sofa, bersandar menatap kosong ke depan, merenungi semua kesalahan yang aku perbuat pada istriku. Sejujurnya aku menyesal karena sudah mengkhianati Rere. Mengkhianati pernikahan kami yang sudah kami Bina selama 5 tahun. Namun, aku tahu semua penyesalan itu tidak ada gunanya karena sekarang aku sudah menyakiti hati istriku, bahkan Rere tetap keukeh meminta bercerai.Aku takut untuk menghadapi hari esok. Takut jika aku harus menjalani hidup tanpa Rere di sampingku.Tepat delapan bulan yang lalu aku menikahi seorang janda beranak satu di Kota Besar.Aku memilihnya karena aku yakin dia bisa melahirkan anakku dan semua itu terbukti saat istri k
"Assalamu'alaikum," ucap Ibu mertuaku yang berdiri di depan pintu rumah Arin. "Waalaikumsalam." Aku membukakan pintu untuk ibu mertuaku.Sehari setelah kejadian penemuan testpack itu, akhirnya mertuaku tahu dan ibu mertuaku datang ke rumah anak perempuannya. Dia tahu aku masih berada di rumah Arin."Ibu sudah mendengar semuanya dari Arin, tapi Ibu ingin mendengar langsung darimu tentang apa yang terjadi antara kamu dan Adji," ucap Ibu mertuaku lalu membawaku duduk bersamanya di atas lantai beralaskan tikar. Aku menghela napas panjang dan lirih, rasanya berat untukku kembali mengingat kejadian kemarin yang membuatku nyaris kehilangan kewarasan. "Cerita sama Ibu, Nak."Wanita yang sudah aku anggap Ibu kandungku sendiri menatapku dengan lirih, ia memegang jemariku lalu menggenggam erat. "Mas Adji selingkuh, Bu. Dan selingkuhan Mas Adji sedang mengandung tujuh bulan." Aku menundukkan kepala, tak bisa lagi menahan bulir bening yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mataku."Ya Al
"Sejak kapan kamu muntah muntah, Re?" tanya Ibu mertuaku dan aku hanya diam sambil memegang perut yang terasa keram. "Mbak, tolong jawab. Atau paling tidak, Mbak ikut denganku ke bidan. Kita periksa kandungan ya." Arin memegang bahuku yang tengah duduk di ruang tengah rumahnya. Arin dan mertuaku menunggu jawaban, tetapi aku tetap diam. Percuma saja meskipun memang aku dinyatakan hamil, toh Mas Adji sudah menduakanku. "Nak, tolong katakan sesuatu," pinta ibu mertuaku dengan tatapan lirih. Aku menghela napas panjang lalu mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk. "Kalaupun aku hamil, apa Mas Adji bisa mengubah semuanya? Ngga kan Bu, Mas Adji ngga akan bisa mengembalikan semuanya seperti dulu. Sekarang, di antara kami sudah ada wanita lain dan wanita itu sedang mengandung anak Mas Adji, jadi untuk apa aku memperdulikan kehamilan ini? Aku tidak akan bisa mendapatkan hati Mas Adji sepenuhnya seperti dulu."Air mataku kembali mengalir deras, memang sudah sejak tiga hari yang lalu a
"Maafin aku Bu." Mas Adji menundukkan kepalanya sambil memegang kedua tangan ibu mertuaku. Aku tersenyum getir melihat penyesalan Mas Adji, semua itu percuma karena aku sudah terlanjur membencinya. Aku meremas ponsel yang aku genggam sangat erat sambil menahan diri agar tidak terlarut dalam kesedihan. Aku sudah lelah menangis, aku akan menghadapi semua ini dengan ketegaran hati. "Jangan meminta maaf pada Ibu, minta maaflah pada istrimu. Kamu sudah menyakiti istrimu. Apa salahnya? Kenapa kamu tega menduakan istrimu?" Ibu mertuaku melepas genggaman tangan Mas Adji. Suamiku pun memegang lantai dan semakin menundukkan kepalanya. Mas Adji menangis lalu merangkak mendekatiku. "Maafin Mas Re, tolong jangan pergi dan Mas mohon sama kamu kita tidak harus bercerai. Mas masih sangat mencintaimu, Re." Aku melangkah mundur menghindari suamiku. "Maaf Mas, keputusanku sudah bulat dan aku sudah menghubungi keluargaku di Surabaya. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sini.""Mas moh