“Menikahlah dengan suamiku, Shiera. Lahirkan anak untuk kami.”
“A–apa? Menikah?” Shiera terperanjat. Matanya melebar seiring detak jantungnya yang semakin cepat. Wanita itu menatap Eliana dengan wajah penuh keterkejutan dan kebingungan. Kata demi kata sahabatnya tersebut terus bergema di kepalanya. Ruangan yang tadinya terasa hangat dan nyaman seketika berubah menjadi penuh ketegangan. “Tidak, El. Bagaimana mungkin aku menikah dengan suami sahabatku sendiri? Ini tidak benar.” Shiera merasa dunia di sekitarnya berputar. Tangannya yang tadi diam di atas meja kini gemetar tak terkendali. Ia meremas ujung pakaiannya dengan erat. Wanita itu segera berdiri dan berusaha mencari pegangan di tengah badai emosi yang melanda. Lidah Shiera terasa kelu. Sulit baginya menemukan kata-kata yang tepat untuk merespons permintaan yang begitu mendadak dan mengejutkan. Eliana justru menundukkan kepala. Ia seolah-olah berusaha menahan air mata yang kembali mengalir. Wanita itu kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Shiera dengan mata yang berkaca-kaca. Ia ikut berdiri dan menghampiri sahabatnya. “Aku tahu ini sulit bagimu, Shiera. Tapi orang tuaku terus mendesak kami untuk memberikan cucu laki-laki. Mereka sangat menginginkan pewaris keluarga kami. Aku ... aku tidak bisa memberikannya.” Shiera mengernyitkan dahi. “Apa maksudmu, Eliana?” Eliana menarik napas panjang. Wanita itu berusaha menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. Ia tidak mungkin mengatakan alasannya kepada Shiera. Satu-satunya alasan yang membuat Eliana enggan mengandung dan melahirkan adalah ia tidak mau kariernya hancur berantakan. Pekerjaan Eliana sebagai seorang aktris dan foto model menuntutnya untuk selalu berpenampilan sempurna. Jika ia hamil dan melahirkan, maka tubuhnya tak lagi indah seperti sebelumnya. Hal itu bisa menyebabkan ia tersisihkan bahkan kehilangan pekerjaan. Eliana menyeka air matanya yang telah terjatuh. Kemudian ia menggenggam tangan Shiera erat-erat. “Tolong, Shiera. Kali ini aku memohon kepadamu. Hanya sementara saja. Setelah kamu melahirkan nanti, kamu bisa bebas. Kamu akan bercerai dengan River dan mendapatkan apapun yang kamu mau.” “Tapi El ... aku tidak membutuhkan apapun itu. Aku—” “Shiera ... ingatlah bagaimana aku menyelamatkanmu. Aku tidak meminta apa pun saat itu karena kamu adalah sahabatku. Sekarang, aku yang membutuhkanmu. Aku hanya memiliki harapan ini padamu.” Shiera memejamkan mata sejenak. Eliana memang telah menyelamatkannya dari bahaya yang sangat besar dan wanita itu merasa berhutang budi kepadanya. Shiera mulai mengingat kembali saat-saat mengerikan dalam hidupnya. Ketika seorang lelaki tua kaya raya yang telah membelinya dari sang ayah hampir saja merenggut kesuciannya. Eliana datang tepat waktu dan menyelamatkan Shiera. Sejak saat itu, ia berjanji akan melakukan apa saja untuk membalas kebaikan sahabatnya. Perasaan Shiera semakin terasa campur aduk. Wanita itu mencoba mengatur napasnya yang memburu. Tatapannya beralih dari Eliana ke sudut ruangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberinya rasa tenang, tetapi tidak ada yang bisa meringankan kegelisahannya. Ruangan dengan dinding warna krem itu tiba-tiba terasa sempit dan mencekam. Udara di sekitarnya terasa berat, membuat Shiera sulit untuk bernapas dengan normal. Wanita itu menelan ludah susah payah. Ia berusaha menghilangkan kekeringan di tenggorokannya, tetapi rasanya tetap kering dan pahit. “Eliana, ini ... ini terlalu mendadak. Aku ...” Suara Shiera terdengar lirih dan hampir seperti sebuah permohonan. Ia bahkan tidak mampu untuk melanjutkan ucapannya. “Aku mengerti, Shiera. Ini bukan permintaan yang mudah. Tapi kami benar-benar berharap kamu bisa membantu kami.” Shiera menggigit bibir bawahnya, mencoba meredakan gemetar yang masih terus mengguncang tubuhnya. Ia meremas ujung gaunnya lebih kuat, seolah pakaian itu bisa memberinya kekuatan. Kedua mata Shiera kembali menatap Eliana, mencoba mencari kejujuran dan kejelasan di balik tatapan sahabatnya itu. “Ini bukan solusi yang tepat, El. Aku tidak bisa menikah dengan River. Aku tidak mungkin melakukannya.” Shiera menggeleng cepat dengan kedua bahunya yang ikut berguncang. Tubuhnya merosot pelan dan terduduk lemas. “Apa yang dikatakan Shiera itu benar. Aku tidak mungkin menikah lagi, Eliana!” imbuh River dengan suara lantangnya. Ruangan semakin terasa penuh dengan ketegangan. Mata Eliana yang sebelumnya penuh harap kini berubah menjadi penuh dengan kebingungan dan kekecewaan. Ia beralih menatap River yang duduk di sofa dengan wajah tegas dan penuh penolakan. “River, kita sudah membicarakan ini sebelumnya. Kamu tahu betapa pentingnya hal ini bagi kita.” Suara Eliana bergetar dengan campuran frustrasi dan permohonan. River menghela napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri. Lelaki itu tahu bahwa semua percakapan itu terasa sulit baginya. Bahkan River tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya hubungan mereka kelak. “Eliana, aku mengerti betapa pentingnya ini bagi kamu dan keluarga kita. Tapi menikahi Shiera bukanlah solusi yang tepat.” “Tapi kita butuh seorang anak, River. Shiera adalah orang yang paling aku percaya bisa melakukannya.” Eliana masih berusaha meyakinkan River. Ia tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut. River kemudian berdiri. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Tatapan matanya lurus ke depan. “Aku tahu, Eliana. Tapi kita tidak bisa memaksakan hal seperti ini.” Shiera merasa seperti berada di tengah badai emosi. Ia melihat Eliana yang terlihat kacau. Seseorang yang sangat berarti baginya sedang terlibat dalam konflik yang begitu mendalam. Shiera merasa simpati dan tertekan oleh permintaan Eliana, namun di saat yang sama ia juga memahami posisi River. “Eliana, aku menghargai kepercayaanmu padaku. Tapi pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan solusi instan. Aku tidak bisa melakukan ini,” ungkap Shiera dengan suara gemetar namun tegas. Eliana menutup matanya, air mata kembali mengalir di pipinya. “Aku tidak punya pilihan lain. Aku hanya mau kamu, Shiera. Ini hanya sebentar. Tidak akan lama.” River merasa darahnya mendidih melihat Eliana yang begitu keras kepala. Ketegangan mulai menguasai tubuhnya, membuat otot-otot wajahnya menegang dan rahangnya mengeras. Lelaki itu menatap Eliana dengan tatapan tajam, berusaha menahan amarah yang terus memuncak. “Eliana, ini sudah keterlaluan!” Suaranya terdengar lebih keras. “River, ini satu-satunya cara kita bisa memiliki anak. Kamu tidak akan kehilangan diriku. Setelah ini kita akan bahagia selamanya.” River menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski gagal. Dengan napas kesal River berbalik arah dan melangkah cepat menuju pintu. Ia merasa dadanya sesak oleh emosi yang tidak tertahankan. “Aku harap kamu bisa memikirkan hal ini matang-matang.” River membuka pintu dengan kasar. Suaranya menggema di seluruh ruangan. Tanpa menoleh lagi River keluar dari ruangan meninggalkan Eliana yang duduk dengan wajah penuh kekecewaan dan kekerasan hati.Shiera merasa bersalah atas semua hal yang terjadi. Seharusnya ia tidak masuk ke dalam kehidupan rumah tangga Eliana dan suami sahabatnya. Wanita itu menatap Eliana dengan penuh kekhawatiran. Ia mengenal sahabatnya itu cukup lama. Eliana bisa saja melakukan hal-hal yang membahayakan jika tidak dituruti kemauannya. Shiera berusaha menenangkan Eliana. Ia merangkul bahu sang sahabat. “Eliana ... kamu sabar, ya? Kita pasti punya solusi lain.” Eliana menepis tangan Shiera dengan cukup kasar. “Tidak, Shiera. Hanya ini satu-satunya cara yang tepat tanpa harus menyakiti perasaan mamaku. Mama tidak mau cucunya lahir dari cara bayi tabung atau yang lainnya. Dia sangat tradisional dan percaya bahwa keluarga harus dibangun dengan pernikahan yang sah dan anak-anak yang lahir dari cinta sejati.” Shiera terdiam seketika. Mama Eliana adalah orang yang sangat baik. Semenjak kedua orang tua Shiera bercerai dan ia harus tinggal bersama ayahnya, Mama Eliana selalu ada untuknya, menyayangi se
Eliana mencoba meyakinkan Shiera. Ia berkata dengan lirih. “Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Shiera. Aku yakin River pasti mau menerima pernikahan ini.” “Aku akan memikirkannya,” ucap Shiera berbisik. Suaranya terdengar ragu. Eliana tersenyum, tapi kali ini senyumannya tampak lebih hangat dan penuh pengharapan. “Terima kasih, Shiera. Aku hanya bisa berharap padamu.” Shiera hanya terdiam. Ia tak lagi membantah ucapan sahabatnya itu. Eliana segera bangkit dari duduknya. Ia keluar dari ruangan itu untuk menyusul kepergian suaminya. Sementara Shiera juga melangkah pergi dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tiba di kamar Shiera langsung terduduk lemas di tepi ranjang. Ia tidak pernah menyangka akan diminta menjadi istri kedua dari seorang lelaki yang tidak pernah mencintainya. Pikirannya berkecamuk. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah-olah ada beban besar yang menekan pundaknya. Bayangan Eliana yang menangis terus terngiang di benaknya, membuat hatinya semakin bim
Malam harinya Shiera memutuskan untuk menemui Eliana di ruang kerjanya. “Aku setuju Eliana,” ucap Shiera dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku bersedia untuk menikah dengan River.” Wajah Eliana seketika berseri-seri. Ia segera menghampiri Shiera dan memeluknya erat-erat. “Terima kasih, Shiera. Aku tahu kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.” Eliana segera mengatur segalanya. Semua dokumen telah lengkap. Pernikahan Shiera dan River terlaksana dengan baik. Shiera tidak bisa menutupi segala perasaannya. Semua terasa campur aduk. Di satu sisi Shiera merasa aneh dan tak nyaman, tetapi di sisi lain ia melihat kebahagiaan di wajah Eliana. Sahabatnya itu tampak lebih tenang dan penuh harapan. Setelah pernikahan selesai, Shiera dan River diminta untuk menandatangani surat perjanjian pernikahan kontrak yang telah disiapkan. Perjanjian itu menyatakan bahwa pernikahan hanya akan berlangsung sampai Shiera melahirkan bayi laki-laki untuk Eliana dan River. Setela
Shiera merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Eliana. “Bagaimana mungkin? Tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini,” lirihnya. Ia berusaha menahan air matanya dan tetap tersenyum. Setelah Eliana keluar dari dapur, Shiera kembali fokus pada masakannya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Shiera menyiapkan makanan di atas meja yang masih kosong. Pagi itu tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan River di sana. Hanya Eliana yang turun dari tangga dengan wajah penuh kesibukan. “Shiera, maaf ya, pagi ini aku tidak bisa menemanimu makan pagi,” kata Eliana dengan nada terburu-buru. Pekerjaan membuat Shiera selalu disibukkan dengan syuting dan pemotretan. Kadang ia juga tidak bisa pulang dan harus menginap di lokasi syuting. “Oh, iya. River juga harus berangkat pagi tadi. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.” Eliana segera berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan Shiera yang merasa semakin kesepian. “Tapi, El—” kata Shiera, tapi Eliana
Shiera mencoba untuk memejamkan kedua matanya, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Namun pikirannya terus berkelana, tidak memberi ruang bagi ketenangan. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya dari lamunan. “Kenapa dia meneleponku? Ada apa?” lirih Shiera tak tenang. Ia segera menerima panggilan itu. “Shiera, kamu di mana? Ayahmu mencari kamu di rumahku. Dia marah besar,” ungkap seorang lelaki di seberang sana. “Adnan, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong jangan katakan apa pun kepada ayahku,” Shiera memohon, suaranya terdengar putus asa. “Baiklah. Apakah besok kita bisa bertemu? Aku ada kabar lain. Kabar baik.” Shiera setuju untuk bertemu dengan sahabat dekatnya itu sebelum mematikan panggilan. ‘Kabar baik? Jangan-jangan Adnan mau menikah?’ Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya. Keesokan paginya, Shiera terbangun dengan kepala cukup berat. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu. Ma
Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang. Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit. Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali “Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.” Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya. Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya. Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan. “Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.” “Tentu saja, Bu. Nanti aka
Tetapi wanita itu segera menarik tangannya. “Em, aku bisa sendiri.” Adnan melihat sikap aneh Shiera. Tetapi ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sahabatnya. Tak butuh waktu lama Shiera pun mulai bekerja di restoran setelah meninggalkan kafe tempat pertemuan mereka. Wanita itu menjalankan tugasnya dengan baik. Di saat jam istirahat makan siang, di sudut restoran, sebuah meja sudah dipesan untuk pertemuan penting antara River dan klien potensialnya. River memasuki restoran dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Di sampingnya, seorang wanita muda yang cantik mengikuti langkahnya, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang rapi. Wanita itu adalah sekretarisnya yang selalu setia mendampinginya dalam setiap pertemuan penting. Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan, di mana klien mereka, Mr. Smith, sudah menunggu. Mereka mulai membahas tentang peluang kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tak lama kemu
“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed