Shiera merasa bersalah atas semua hal yang terjadi. Seharusnya ia tidak masuk ke dalam kehidupan rumah tangga Eliana dan suami sahabatnya.
Wanita itu menatap Eliana dengan penuh kekhawatiran. Ia mengenal sahabatnya itu cukup lama. Eliana bisa saja melakukan hal-hal yang membahayakan jika tidak dituruti kemauannya. Shiera berusaha menenangkan Eliana. Ia merangkul bahu sang sahabat. “Eliana ... kamu sabar, ya? Kita pasti punya solusi lain.” Eliana menepis tangan Shiera dengan cukup kasar. “Tidak, Shiera. Hanya ini satu-satunya cara yang tepat tanpa harus menyakiti perasaan mamaku. Mama tidak mau cucunya lahir dari cara bayi tabung atau yang lainnya. Dia sangat tradisional dan percaya bahwa keluarga harus dibangun dengan pernikahan yang sah dan anak-anak yang lahir dari cinta sejati.” Shiera terdiam seketika. Mama Eliana adalah orang yang sangat baik. Semenjak kedua orang tua Shiera bercerai dan ia harus tinggal bersama ayahnya, Mama Eliana selalu ada untuknya, menyayangi selayaknya ibu kandung sendiri, dan tidak pernah membeda-bedakan antara dirinya dengan Eliana. Shiera juga sering menginap di rumah Mama Eliana saat ayahnya sibuk bermain judi dan mabuk-mabukan hingga tidak pernah pulang ke rumah. Membayangkan hal itu membuat hati Shiera semakin gelisah. Ia juga ingin melihat Mama Shiera bahagia. Eliana adalah putri kandung satu-satunya yang bisa diharapkan. Sementara sahabatnya itu tidak bisa memberikan cucu karena sebuah hal yang tidak bisa ia sampaikan kepada Shiera. Shiera kemudian menatap Eliana dengan mata penuh rasa kasihan dan bingung. “Eliana, aku mengerti hal ini. Tapi apakah kita tidak bisa menemukan cara yang lain?” “Shiera, tolong pahami. Mama adalah segalanya bagiku. Dia sudah tua dan sering sakit-sakitan. Jika Mama tahu kita akan punya cucu dengan cara yang dia tidak setujui, itu bisa menghancurkannya. Aku tidak bisa mengambil risiko itu.” Shiera merasa hatinya remuk melihat Eliana begitu tertekan. Ia memahami betapa berat beban yang dipikul sahabatnya itu, namun permintaan ini terlalu besar. “Eliana, aku bersedia membantu dengan cara apa pun, tapi tidak dengan menikah dengan River. Itu akan menghancurkan banyak hati, termasuk hati River dan juga hati kita.” “Shiera, kamu adalah satu-satunya harapan kami. Kamu tahu bagaimana sifat Mama. Jika dia tahu kita tidak bisa punya anak dengan cara tradisional, dia akan sangat kecewa. Kamu adalah sahabatku dan aku tahu kamu bisa melakukan ini demi aku.” “Lalu bagaimana kalau Tante Monica tahu jika aku yang menjadi rahim pengganti untukmu? Bagaimana jika Tante Monica tahu bahwa kita telah membohonginya?” Shiera merasa dadanya sesak oleh emosi. Dia tahu Eliana sangat membutuhkan bantuannya dan ini saatnya ia bisa membalas budi. Tetapi permintaan itu terlalu berat baginya. “Itu tidak akan mungkin terjadi, Shiera. Mama tidak akan mengetahui hal ini. Kamu bisa pegang semua ucapanku.” Eliana menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Ia tidak menyangka jika sahabatnya itu juga keras kepala seperti River, suaminya. “Shiera, tolonglah. Ini bukan hanya untukku, tapi juga untuk Mama. Kamu tahu betapa dia sudah berjuang untuk membesarkan aku. Dia sudah berkorban banyak hal dan ini adalah satu-satunya cara agar dia bisa melihat cucunya sebelum dia pergi.” Shiera merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Ia tahu betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan Eliana untuk keluarganya. Shiera merasa semakin terjebak antara keinginan untuk membantu sahabatnya dan kenyataan bahwa permintaan ini hampir mustahil untuk dipenuhi. “Shiera, Mama sangat keras kepala. Dia tidak akan pernah setuju dengan cara lain. Jika kamu menolak, dia mungkin tidak akan pernah melihat cucunya.” “Eliana, aku mengerti betapa berat bebanmu. Tapi memaksaku menikah dengan River, itu akan menghancurkan semua yang kita miliki. Persahabatan kita, pernikahanmu dengan River, semuanya.” “Shiera, aku mohon. Hanya ini satu-satunya cara.” Shiera merasakan dadanya semakin sesak. Ia menundukkan kepala dan merasakan hatinya hancur. “Eliana, aku ... aku tidak tahu harus bagaimana.” Suara Shiera terdengar serak dan bergetar. Shiera kembali menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang hampir pecah. Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini, di mana persahabatan dan cinta diuji dengan cara yang begitu kejam. Kedua mata Shiera menatap lantai, tidak sanggup melihat wajah sahabatnya yang penuh dengan harapan dan rasa sakit. Eliana menghela napas panjang, tangannya terulur mencoba meraih tangan Shiera. “Aku tahu kamu peduli kepadaku, Shiera. Aku tahu kamu gadis yang baik.” Shiera merasakan tangan Eliana yang hangat menggenggam tangannya yang dingin dan gemetar. Sentuhan itu membuat perasaan bersalahnya semakin dalam. Ia tahu betapa pentingnya ini bagi sahabatnya, tetapi hatinya tidak bisa menerima permintaan tersebut. Pandangannya kabur oleh air mata yang tidak bisa lagi dibendung. “Shiera, tolonglah. Aku mohon,” ucap Eliana dan terus memohon. Suasana ruangan terasa semakin berat seolah-olah dindingnya semakin mendekat, menambah rasa sesak yang dirasakan Shiera. Setiap detik berlalu terasa seperti beban yang tak tertahankan, membuat Shiera semakin sulit berpikir jernih. “Lalu ... bagaimana dengan River? Dia sangat menentang permintaan ini.”Eliana mencoba meyakinkan Shiera. Ia berkata dengan lirih. “Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Shiera. Aku yakin River pasti mau menerima pernikahan ini.” “Aku akan memikirkannya,” ucap Shiera berbisik. Suaranya terdengar ragu. Eliana tersenyum, tapi kali ini senyumannya tampak lebih hangat dan penuh pengharapan. “Terima kasih, Shiera. Aku hanya bisa berharap padamu.” Shiera hanya terdiam. Ia tak lagi membantah ucapan sahabatnya itu. Eliana segera bangkit dari duduknya. Ia keluar dari ruangan itu untuk menyusul kepergian suaminya. Sementara Shiera juga melangkah pergi dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tiba di kamar Shiera langsung terduduk lemas di tepi ranjang. Ia tidak pernah menyangka akan diminta menjadi istri kedua dari seorang lelaki yang tidak pernah mencintainya. Pikirannya berkecamuk. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah-olah ada beban besar yang menekan pundaknya. Bayangan Eliana yang menangis terus terngiang di benaknya, membuat hatinya semakin bim
Malam harinya Shiera memutuskan untuk menemui Eliana di ruang kerjanya. “Aku setuju Eliana,” ucap Shiera dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku bersedia untuk menikah dengan River.” Wajah Eliana seketika berseri-seri. Ia segera menghampiri Shiera dan memeluknya erat-erat. “Terima kasih, Shiera. Aku tahu kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.” Eliana segera mengatur segalanya. Semua dokumen telah lengkap. Pernikahan Shiera dan River terlaksana dengan baik. Shiera tidak bisa menutupi segala perasaannya. Semua terasa campur aduk. Di satu sisi Shiera merasa aneh dan tak nyaman, tetapi di sisi lain ia melihat kebahagiaan di wajah Eliana. Sahabatnya itu tampak lebih tenang dan penuh harapan. Setelah pernikahan selesai, Shiera dan River diminta untuk menandatangani surat perjanjian pernikahan kontrak yang telah disiapkan. Perjanjian itu menyatakan bahwa pernikahan hanya akan berlangsung sampai Shiera melahirkan bayi laki-laki untuk Eliana dan River. Setela
Shiera merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Eliana. “Bagaimana mungkin? Tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini,” lirihnya. Ia berusaha menahan air matanya dan tetap tersenyum. Setelah Eliana keluar dari dapur, Shiera kembali fokus pada masakannya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Shiera menyiapkan makanan di atas meja yang masih kosong. Pagi itu tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan River di sana. Hanya Eliana yang turun dari tangga dengan wajah penuh kesibukan. “Shiera, maaf ya, pagi ini aku tidak bisa menemanimu makan pagi,” kata Eliana dengan nada terburu-buru. Pekerjaan membuat Shiera selalu disibukkan dengan syuting dan pemotretan. Kadang ia juga tidak bisa pulang dan harus menginap di lokasi syuting. “Oh, iya. River juga harus berangkat pagi tadi. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.” Eliana segera berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan Shiera yang merasa semakin kesepian. “Tapi, El—” kata Shiera, tapi Eliana
Shiera mencoba untuk memejamkan kedua matanya, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Namun pikirannya terus berkelana, tidak memberi ruang bagi ketenangan. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya dari lamunan. “Kenapa dia meneleponku? Ada apa?” lirih Shiera tak tenang. Ia segera menerima panggilan itu. “Shiera, kamu di mana? Ayahmu mencari kamu di rumahku. Dia marah besar,” ungkap seorang lelaki di seberang sana. “Adnan, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong jangan katakan apa pun kepada ayahku,” Shiera memohon, suaranya terdengar putus asa. “Baiklah. Apakah besok kita bisa bertemu? Aku ada kabar lain. Kabar baik.” Shiera setuju untuk bertemu dengan sahabat dekatnya itu sebelum mematikan panggilan. ‘Kabar baik? Jangan-jangan Adnan mau menikah?’ Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya. Keesokan paginya, Shiera terbangun dengan kepala cukup berat. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu. Ma
Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang. Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit. Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali “Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.” Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya. Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya. Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan. “Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.” “Tentu saja, Bu. Nanti aka
Tetapi wanita itu segera menarik tangannya. “Em, aku bisa sendiri.” Adnan melihat sikap aneh Shiera. Tetapi ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sahabatnya. Tak butuh waktu lama Shiera pun mulai bekerja di restoran setelah meninggalkan kafe tempat pertemuan mereka. Wanita itu menjalankan tugasnya dengan baik. Di saat jam istirahat makan siang, di sudut restoran, sebuah meja sudah dipesan untuk pertemuan penting antara River dan klien potensialnya. River memasuki restoran dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Di sampingnya, seorang wanita muda yang cantik mengikuti langkahnya, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang rapi. Wanita itu adalah sekretarisnya yang selalu setia mendampinginya dalam setiap pertemuan penting. Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan, di mana klien mereka, Mr. Smith, sudah menunggu. Mereka mulai membahas tentang peluang kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tak lama kemu
“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed
Shiera merasa takut kepada tatapan tajam River. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan yang seolah penuh ancaman itu. Namun wanita tersebut tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. “Ke mana saja kamu?” Suara River terdengar dingin dan penuh tuntutan. Shiera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya bergetar ringan. “Aku menjenguk ibuku yang baru pulang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh.” Di dalam hatinya, River merasa sedikit bersalah. Ia tidak sedikitpun peduli dengan kehidupan Shiera selama ini. Bahkan ia tidak tahu jika ibu Shiera sakit. Tetapi River hanya diam dan masih menunjukkan keangkuhannya, ekspresi wajahnya tetap kaku tanpa emosi. Shiera merasakan ketegangan semakin meningkat. Udara di sekitar mereka terasa semakin menekan. River masih menatapnya dengan pandangan yang tajam, seolah menantang Shiera untuk mengatakan sesuatu yang salah. Setelah beberapa saat berlalu, River akhirnya berbicara lagi. “Eliana ada di mana?
Ia tak menyangka bahwa Shiera, yang biasanya selalu sabar dan menerima, kini berani menuntut haknya. “Shiera, aku tidak ingin kamu pergi. Dan sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa pergi.” “Oh ya? Aku butuh seseorang yang bisa menghargai dan memperjuangkan keberadaanku. Bukan sekadar seseorang yang menganggapku pilihan kedua.” Shiera beranjak menuju jendela, menatap langit. Ia ingin mencari ketenangan. Hening sejenak, sampai River akhirnya bangkit berdiri, mendekati Shiera dan berhenti di sampingnya. “Aku paham, Shiera. Dan mungkin sudah saatnya aku mengambil keputusan. Aku tahu kamu layak mendapatkan cinta yang penuh, bukan yang setengah-setengah. Dan mungkin, selama ini aku terlalu egois mempertahankanmu tanpa benar-benar berusaha mencintaimu seutuhnya.” Shiera menoleh, menatap wajah River yang terlihat begitu terluka. Rasa kasihan dan simpati tiba-tiba muncul di hatinya, meski ia tahu bahwa perasaannya tidak akan mengubah kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi. “Jadi,
Shiera berusaha menjaga ketenangannya, meski di dalam hatinya ada perasaan gelisah yang semakin kuat. “Kami hanya mengobrol biasa El,” jawab Shiera singkat namun dengan nada tegas, berusaha tidak menunjukkan kelemahan di depan wanita yang tampak seperti menikmati kehadirannya untuk menguji kesabarannya. Eliana tersenyum sinis, lalu melangkah mendekat. Setiap langkahnya penuh percaya diri, seolah ingin menunjukkan bahwa ia yang memegang kendali di sini. “Ah, hanya berbicara, ya? Apakah kamu yakin itu saja, Shiera?” Shiera mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, berusaha mengendalikan emosinya yang semakin mendidih. Ia tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan merespons secara emosional. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun padamu, Eliana,” ucapnya tegas, meski hatinya berdebar kencang. “Oh, benar sekali. Tapi, kamu harus ingat, Shiera, kamu hanyalah tamu di rumah ini,” jawab Eliana dengan nada tajam yang terasa menghujam hati Shiera. “Kamu han
Shiera menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Eliana…” bisiknya lirih. “Bagaimana dengan dia, River? Bagaimana kamu bisa mencintaiku jika dia masih ada di antara kita?” River terdiam, wajahnya menegang sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. “Aku mengerti,” ujarnya dengan suara berat. “Aku tahu, selama ini kehadiran Eliana adalah bayangan yang terus menghantuimu. Tapi percayalah, Shiera … perasaanku padamu tidak bisa diukur dengan perasaan yang pernah kumiliki untuknya.” Ia berhenti sejenak, matanya mengerjap seperti menahan emosi yang bergejolak. “Eliana… mungkin dia adalah masa lalu yang dulu pernah kuanggap segalanya,” lanjutnya dengan suara rendah. “Tapi sekarang, Shiera … yang kuinginkan hanya kamu.” Ia menggenggam tangan Shiera lebih erat, seperti mencoba meyakinkan perempuan itu bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya bukanlah kebohongan. Shiera masih terpaku, hatinya berperang antara rasa bahagia dan ketakutan yang tak te
Shiera mendongak perlahan, menatap mata River yang tampak penuh keraguan namun juga ketulusan yang jarang ia lihat. “Aku sudah terlalu lama memendam ini,” ujar River dengan suara yang sedikit bergetar. “Dan mungkin aku seharusnya mengatakannya lebih cepat.” Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam seakan mencari kekuatan untuk melanjutkan. Shiera menatapnya, perasaan campur aduk antara harapan dan ketidakpercayaan. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh River? “Shiera, aku …,” River kembali menghela napas panjang, seperti sedang melawan dirinya sendiri. “Aku mencintaimu.” Ucapan itu keluar dengan penuh kesungguhan, namun terasa bagai ledakan di kepala Shiera. Ia terpaku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Segala amarah, kekecewaan, dan rasa sakit yang ia rasakan beberapa saat lalu mendadak menguap, digantikan oleh rasa terkejut dan kehangatan yang perlahan menyusup ke hatinya. “River … kamu … apa maksudmu?” Shiera bertanya dengan suara bergetar, mencoba memastikan apa yang
Shiera turun dari mobil dengan penuh kebingungan. Saat kakinya menginjak aspal, mobil River langsung melaju kencang meninggalkannya di pinggir jalan. Shiera hanya bisa menatap punggung mobil suaminya yang semakin menjauh, perasaan kesal dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa River bersikap seperti ini lagi?” gumamnya, merasa tertekan dan bingung. Tak ingin berlama-lama berdiri sendirian di pinggir jalan, Shiera segera mencari taksi untuk pulang. Di dalam perjalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh sikap River yang berubah-ubah. Dari suasana manis dan penuh tawa di pasar tadi, tiba-tiba berubah menjadi sikap dingin yang tak bisa ia pahami. Setibanya di rumah, Shiera mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dengan dahi mengerut, ia berpikir mungkin River sudah tiba lebih dulu. Shiera menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega bahwa River sudah pulang lebih dulu. Ia berharap bisa mendapatkan penjelasan atas sikap suaminya barusan. Namun, saat
“Sayur-sayuran, bumbu dapur, dan mungkin beberapa bahan segar untuk masak nanti,” jawab Shiera riang. River hanya berdiri di belakangnya, tampak bingung namun terhibur melihat antusiasme Shiera. “Kamu kelihatan sangat menikmati ini,” ujarnya. Shiera tertawa kecil. “Tentu saja. Belanja di sini terasa lebih hidup. Setiap bahan yang aku pilih langsung dari sumbernya dan aku bisa tawar-menawar dengan penjualnya,” jawabnya sambil tersenyum. River dan Shiera melangkah lebih jauh memasuki pasar tradisional dengan keramaian dan aroma khas rempah-rempah yang begitu berbeda dari lingkungan kantor atau mall mewah yang biasa dikunjungi River. CEO Tmtampan itu sesekali melirik sekeliling dengan wajah sedikit bingung, sementara Shiera terlihat sangat antusias, langsung menuju lapak sayuran. Mereka berhenti di sebuah kios sayur yang penjualnya tampak ramah menyambut. Shiera mulai memilih sayuran satu per satu. “Yang ini segar, ya, Bu?” tanyanya sambil mengangkat tomat merah. Penjualnya men
Shiera terkejut melihat sosok yang sangat ia kenal itu mendekatinya dengan senyum miring yang penuh maksud. Lelaki itu adalah ayahnya yang tampak jauh lebih berantakan dari terakhir kali ia melihatnya. Rudi berjalan mendekat. Shiera menelan ludah, gugup. “Ayah ... apa yang Ayah lakukan di sini?” Rudi tersenyum sinis, matanya berbinar penuh keyakinan. “Berani sekali kamu kabur dari James. Gara-gara kamu, aku kehilangan tempat tinggal. Kamu pikir bisa seenaknya meninggalkan ayahmu ini, Shiera? Ayo, ikut denganku!” Rudi mencengkeram kuat tangan Shiera, seakan tak peduli bahwa ia sedang di tempat umum. Shiera terperangah, berusaha menarik tangannya. “Tidak, Ayah. Aku tidak mau. Tolong lepaskan aku!” Namun Rudi tidak mendengarkan. Ia menggenggam lebih erat, bahkan dengan tatapan marah. “Kamu yang harus membayarkan semua ini, Shiera. Karena ulahmu, aku kehilangan segalanya. Jangan sok pintar dengan menolak. Ikut denganku!” Wanita muda itu menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan d
River menatap Shiera, lalu menghela napas panjang. “Jangan dengarkan apa yang dia katakan. Vikram memang selalu begitu. Suka bermain-main dengan perasaan orang. Jangan ambil hati, Shiera.” Shiera mengangguk, tetapi perasaan tidak enak masih menghantuinya. Ia tahu bahwa selama Vikram berada di rumah ini, ketenangan mereka tidak akan bertahan lama. Ucapan River tidak membuat Shiera merasa tenang. Tuduhan Vikram tadi benar-benar mengusik, seolah menuduhnya memiliki maksud tersembunyi yang tak ia miliki. “River, aku di sini karena permintaan Eliana. Aku tidak pernah punya niat apa pun selain membantu,” ujarnya pelan, namun cukup terdengar getir. River menggenggam tangannya sebentar, menunjukkan ketulusan dalam sorot matanya. “Aku tahu, Shiera. Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa pun, apalagi pada orang seperti Vikram.” Nada suara River terdengar penuh kepastian, tetapi Shiera merasa ada sesuatu yang tak tersampaikan di sana. Dengan perlahan Shiera melepaskan genggaman t
River membawa Vikram masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu di belakang mereka. Shiera, yang masih berada di ruang makan, merasa perasaannya campur aduk. Antara lega dan tegang. Ia tahu bahwa kehadiran Vikram bisa menjadi ancaman untuknya, apalagi dengan sikapnya yang seolah ingin mendekatinya tanpa peduli pada perasaan River. Di dalam ruang kerja, River menatap Vikram tajam. “Apa yang kamu lakukan, Vikram?” tanyanya dengan nada rendah namun penuh tekanan. Vikram hanya tersenyum kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah. “Aku cuma bercanda, Bang. Lagipula, Shiera orangnya asyik. Kamu beruntung punya dia di rumah ini.” “Jangan macam-macam dengannya, Vikram!” tegas River, suaranya kini lebih dalam. “Dia bukan orang yang bisa kamu perlakukan seenaknya. Shiera punya harga diri.” Vikram mengangkat bahu, tampak acuh. “Kenapa, Bang? Cemburu? Kalau memang iya, kenapa tidak bilang saja?” River menghela napas panjang, menahan gejolak emosi yang semakin membara. Ia tahu bahwa Vikr