Shiera merasa bersalah atas semua hal yang terjadi. Seharusnya ia tidak masuk ke dalam kehidupan rumah tangga Eliana dan suami sahabatnya.
Wanita itu menatap Eliana dengan penuh kekhawatiran. Ia mengenal sahabatnya itu cukup lama. Eliana bisa saja melakukan hal-hal yang membahayakan jika tidak dituruti kemauannya. Shiera berusaha menenangkan Eliana. Ia merangkul bahu sang sahabat. “Eliana ... kamu sabar, ya? Kita pasti punya solusi lain.” Eliana menepis tangan Shiera dengan cukup kasar. “Tidak, Shiera. Hanya ini satu-satunya cara yang tepat tanpa harus menyakiti perasaan mamaku. Mama tidak mau cucunya lahir dari cara bayi tabung atau yang lainnya. Dia sangat tradisional dan percaya bahwa keluarga harus dibangun dengan pernikahan yang sah dan anak-anak yang lahir dari cinta sejati.” Shiera terdiam seketika. Mama Eliana adalah orang yang sangat baik. Semenjak kedua orang tua Shiera bercerai dan ia harus tinggal bersama ayahnya, Mama Eliana selalu ada untuknya, menyayangi selayaknya ibu kandung sendiri, dan tidak pernah membeda-bedakan antara dirinya dengan Eliana. Shiera juga sering menginap di rumah Mama Eliana saat ayahnya sibuk bermain judi dan mabuk-mabukan hingga tidak pernah pulang ke rumah. Membayangkan hal itu membuat hati Shiera semakin gelisah. Ia juga ingin melihat Mama Shiera bahagia. Eliana adalah putri kandung satu-satunya yang bisa diharapkan. Sementara sahabatnya itu tidak bisa memberikan cucu karena sebuah hal yang tidak bisa ia sampaikan kepada Shiera. Shiera kemudian menatap Eliana dengan mata penuh rasa kasihan dan bingung. “Eliana, aku mengerti hal ini. Tapi apakah kita tidak bisa menemukan cara yang lain?” “Shiera, tolong pahami. Mama adalah segalanya bagiku. Dia sudah tua dan sering sakit-sakitan. Jika Mama tahu kita akan punya cucu dengan cara yang dia tidak setujui, itu bisa menghancurkannya. Aku tidak bisa mengambil risiko itu.” Shiera merasa hatinya remuk melihat Eliana begitu tertekan. Ia memahami betapa berat beban yang dipikul sahabatnya itu, namun permintaan ini terlalu besar. “Eliana, aku bersedia membantu dengan cara apa pun, tapi tidak dengan menikah dengan River. Itu akan menghancurkan banyak hati, termasuk hati River dan juga hati kita.” “Shiera, kamu adalah satu-satunya harapan kami. Kamu tahu bagaimana sifat Mama. Jika dia tahu kita tidak bisa punya anak dengan cara tradisional, dia akan sangat kecewa. Kamu adalah sahabatku dan aku tahu kamu bisa melakukan ini demi aku.” “Lalu bagaimana kalau Tante Monica tahu jika aku yang menjadi rahim pengganti untukmu? Bagaimana jika Tante Monica tahu bahwa kita telah membohonginya?” Shiera merasa dadanya sesak oleh emosi. Dia tahu Eliana sangat membutuhkan bantuannya dan ini saatnya ia bisa membalas budi. Tetapi permintaan itu terlalu berat baginya. “Itu tidak akan mungkin terjadi, Shiera. Mama tidak akan mengetahui hal ini. Kamu bisa pegang semua ucapanku.” Eliana menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Ia tidak menyangka jika sahabatnya itu juga keras kepala seperti River, suaminya. “Shiera, tolonglah. Ini bukan hanya untukku, tapi juga untuk Mama. Kamu tahu betapa dia sudah berjuang untuk membesarkan aku. Dia sudah berkorban banyak hal dan ini adalah satu-satunya cara agar dia bisa melihat cucunya sebelum dia pergi.” Shiera merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Ia tahu betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan Eliana untuk keluarganya. Shiera merasa semakin terjebak antara keinginan untuk membantu sahabatnya dan kenyataan bahwa permintaan ini hampir mustahil untuk dipenuhi. “Shiera, Mama sangat keras kepala. Dia tidak akan pernah setuju dengan cara lain. Jika kamu menolak, dia mungkin tidak akan pernah melihat cucunya.” “Eliana, aku mengerti betapa berat bebanmu. Tapi memaksaku menikah dengan River, itu akan menghancurkan semua yang kita miliki. Persahabatan kita, pernikahanmu dengan River, semuanya.” “Shiera, aku mohon. Hanya ini satu-satunya cara.” Shiera merasakan dadanya semakin sesak. Ia menundukkan kepala dan merasakan hatinya hancur. “Eliana, aku ... aku tidak tahu harus bagaimana.” Suara Shiera terdengar serak dan bergetar. Shiera kembali menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang hampir pecah. Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini, di mana persahabatan dan cinta diuji dengan cara yang begitu kejam. Kedua mata Shiera menatap lantai, tidak sanggup melihat wajah sahabatnya yang penuh dengan harapan dan rasa sakit. Eliana menghela napas panjang, tangannya terulur mencoba meraih tangan Shiera. “Aku tahu kamu peduli kepadaku, Shiera. Aku tahu kamu gadis yang baik.” Shiera merasakan tangan Eliana yang hangat menggenggam tangannya yang dingin dan gemetar. Sentuhan itu membuat perasaan bersalahnya semakin dalam. Ia tahu betapa pentingnya ini bagi sahabatnya, tetapi hatinya tidak bisa menerima permintaan tersebut. Pandangannya kabur oleh air mata yang tidak bisa lagi dibendung. “Shiera, tolonglah. Aku mohon,” ucap Eliana dan terus memohon. Suasana ruangan terasa semakin berat seolah-olah dindingnya semakin mendekat, menambah rasa sesak yang dirasakan Shiera. Setiap detik berlalu terasa seperti beban yang tak tertahankan, membuat Shiera semakin sulit berpikir jernih. “Lalu ... bagaimana dengan River? Dia sangat menentang permintaan ini.”Eliana mencoba meyakinkan Shiera. Ia berkata dengan lirih. “Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Shiera. Aku yakin River pasti mau menerima pernikahan ini.” “Aku akan memikirkannya,” ucap Shiera berbisik. Suaranya terdengar ragu. Eliana tersenyum, tapi kali ini senyumannya tampak lebih hangat dan penuh pengharapan. “Terima kasih, Shiera. Aku hanya bisa berharap padamu.” Shiera hanya terdiam. Ia tak lagi membantah ucapan sahabatnya itu. Eliana segera bangkit dari duduknya. Ia keluar dari ruangan itu untuk menyusul kepergian suaminya. Sementara Shiera juga melangkah pergi dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tiba di kamar Shiera langsung terduduk lemas di tepi ranjang. Ia tidak pernah menyangka akan diminta menjadi istri kedua dari seorang lelaki yang tidak pernah mencintainya. Pikirannya berkecamuk. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah-olah ada beban besar yang menekan pundaknya. Bayangan Eliana yang menangis terus terngiang di benaknya, membuat hatinya semakin bim
Malam harinya Shiera memutuskan untuk menemui Eliana di ruang kerjanya. “Aku setuju Eliana,” ucap Shiera dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku bersedia untuk menikah dengan River.” Wajah Eliana seketika berseri-seri. Ia segera menghampiri Shiera dan memeluknya erat-erat. “Terima kasih, Shiera. Aku tahu kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.” Eliana segera mengatur segalanya. Semua dokumen telah lengkap. Pernikahan Shiera dan River terlaksana dengan baik. Shiera tidak bisa menutupi segala perasaannya. Semua terasa campur aduk. Di satu sisi Shiera merasa aneh dan tak nyaman, tetapi di sisi lain ia melihat kebahagiaan di wajah Eliana. Sahabatnya itu tampak lebih tenang dan penuh harapan. Setelah pernikahan selesai, Shiera dan River diminta untuk menandatangani surat perjanjian pernikahan kontrak yang telah disiapkan. Perjanjian itu menyatakan bahwa pernikahan hanya akan berlangsung sampai Shiera melahirkan bayi laki-laki untuk Eliana dan River. Setela
Shiera merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Eliana. “Bagaimana mungkin? Tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini,” lirihnya. Ia berusaha menahan air matanya dan tetap tersenyum. Setelah Eliana keluar dari dapur, Shiera kembali fokus pada masakannya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Shiera menyiapkan makanan di atas meja yang masih kosong. Pagi itu tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan River di sana. Hanya Eliana yang turun dari tangga dengan wajah penuh kesibukan. “Shiera, maaf ya, pagi ini aku tidak bisa menemanimu makan pagi,” kata Eliana dengan nada terburu-buru. Pekerjaan membuat Shiera selalu disibukkan dengan syuting dan pemotretan. Kadang ia juga tidak bisa pulang dan harus menginap di lokasi syuting. “Oh, iya. River juga harus berangkat pagi tadi. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.” Eliana segera berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan Shiera yang merasa semakin kesepian. “Tapi, El—” kata Shiera, tapi Eliana
Shiera mencoba untuk memejamkan kedua matanya, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Namun pikirannya terus berkelana, tidak memberi ruang bagi ketenangan. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya dari lamunan. “Kenapa dia meneleponku? Ada apa?” lirih Shiera tak tenang. Ia segera menerima panggilan itu. “Shiera, kamu di mana? Ayahmu mencari kamu di rumahku. Dia marah besar,” ungkap seorang lelaki di seberang sana. “Adnan, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong jangan katakan apa pun kepada ayahku,” Shiera memohon, suaranya terdengar putus asa. “Baiklah. Apakah besok kita bisa bertemu? Aku ada kabar lain. Kabar baik.” Shiera setuju untuk bertemu dengan sahabat dekatnya itu sebelum mematikan panggilan. ‘Kabar baik? Jangan-jangan Adnan mau menikah?’ Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya. Keesokan paginya, Shiera terbangun dengan kepala cukup berat. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu. Ma
Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang. Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit. Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali “Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.” Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya. Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya. Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan. “Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.” “Tentu saja, Bu. Nanti aka
Tetapi wanita itu segera menarik tangannya. “Em, aku bisa sendiri.” Adnan melihat sikap aneh Shiera. Tetapi ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sahabatnya. Tak butuh waktu lama Shiera pun mulai bekerja di restoran setelah meninggalkan kafe tempat pertemuan mereka. Wanita itu menjalankan tugasnya dengan baik. Di saat jam istirahat makan siang, di sudut restoran, sebuah meja sudah dipesan untuk pertemuan penting antara River dan klien potensialnya. River memasuki restoran dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Di sampingnya, seorang wanita muda yang cantik mengikuti langkahnya, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang rapi. Wanita itu adalah sekretarisnya yang selalu setia mendampinginya dalam setiap pertemuan penting. Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan, di mana klien mereka, Mr. Smith, sudah menunggu. Mereka mulai membahas tentang peluang kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tak lama kemu
“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed
Shiera merasa takut kepada tatapan tajam River. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan yang seolah penuh ancaman itu. Namun wanita tersebut tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. “Ke mana saja kamu?” Suara River terdengar dingin dan penuh tuntutan. Shiera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya bergetar ringan. “Aku menjenguk ibuku yang baru pulang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh.” Di dalam hatinya, River merasa sedikit bersalah. Ia tidak sedikitpun peduli dengan kehidupan Shiera selama ini. Bahkan ia tidak tahu jika ibu Shiera sakit. Tetapi River hanya diam dan masih menunjukkan keangkuhannya, ekspresi wajahnya tetap kaku tanpa emosi. Shiera merasakan ketegangan semakin meningkat. Udara di sekitar mereka terasa semakin menekan. River masih menatapnya dengan pandangan yang tajam, seolah menantang Shiera untuk mengatakan sesuatu yang salah. Setelah beberapa saat berlalu, River akhirnya berbicara lagi. “Eliana ada di mana?