Eliana mencoba meyakinkan Shiera. Ia berkata dengan lirih. “Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Shiera. Aku yakin River pasti mau menerima pernikahan ini.”
“Aku akan memikirkannya,” ucap Shiera berbisik. Suaranya terdengar ragu. Eliana tersenyum, tapi kali ini senyumannya tampak lebih hangat dan penuh pengharapan. “Terima kasih, Shiera. Aku hanya bisa berharap padamu.” Shiera hanya terdiam. Ia tak lagi membantah ucapan sahabatnya itu. Eliana segera bangkit dari duduknya. Ia keluar dari ruangan itu untuk menyusul kepergian suaminya. Sementara Shiera juga melangkah pergi dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tiba di kamar Shiera langsung terduduk lemas di tepi ranjang. Ia tidak pernah menyangka akan diminta menjadi istri kedua dari seorang lelaki yang tidak pernah mencintainya. Pikirannya berkecamuk. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah-olah ada beban besar yang menekan pundaknya. Bayangan Eliana yang menangis terus terngiang di benaknya, membuat hatinya semakin bimbang. Shiera bangkit dari duduknya. Mencoba mencari jawaban atas kebingungannya. Gadis itu berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan River? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani hidup dengan suami sahabatnya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya. Seharian itu Shiera mencoba memikirkan solusi yang terbaik. Ia masih berusaha untuk menolak permintaan Eliana. Hingga tiba-tiba ponselnya berdering. Beberapa pesan dari adiknya masuk sekaligus. Shiera mengernyit heran. Tidak biasanya adik laki-lakinya itu menghubunginya. [Kak Shiera, Ibu penyakitnya kambuh. Tadi Ibu tidak sadarkan diri dan di bawa ke rumah sakit. Ibu harus menjalani operasi.] [Untung sekali ada Kak Eliana, sahabat Kakak yang menolong dan membiayai semua perawatan Ibu.] [Sekarang Ibu sudah siuman. Ibu merasa sangat berhutang budi kepada sahabat Kakak.] DEG ! Hati Shiera merasa semakin gelisah membaca semua pesan dari adiknya. Ia tidak tahu apa penyebab ibunya kaget hingga membuat penyakitnya kambuh. “Jangan-jangan Ibu mengetahui rencana Ayah untuk menjualku kepada orang kaya. Pasti Ibu sangat sedih.” Shiera berjalan mondar-mandir sendirian. Lagi-lagi Eliana telah menolongnya. Gadis itu semakin tak kuasa untuk menolak permintaan sahabatnya. “Ya, aku harus melakukannya. Aku harus berkorban untuk Eliana.” Shiera bertekad untuk menyanggupi permintaan Eliana. *** Di dalam kamar, Eliana berusaha membujuk River. Bagaimana pun caranya ia harus berhasil. River menatap Eliana dengan tatapan tak percaya. “Apa kamu sudah gila, Eliana?” “Ini tidak akan lama, River. Aku tahu kamu bisa melakukannya untukku.” River menggeleng pelan. Ia sungguh tidak percaya dengan semua ide gila dari istrinya. Bahkan River tidak pernah punya niat sekalipun untuk menduakan Eliana. “Eliana, kamu tidak berpikir jernih! Kamu meminta Shiera untuk menikah denganku, ini bukan hal yang bisa kita anggap sepele!” jelas River. Suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan. Eliana tetap duduk di tempatnya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak punya pilihan lain. Kamu harus mengerti, River.” River berhenti berjalan, berbalik dan menatap Eliana dengan intens. “Mengerti? Bagaimana kamu bisa meminta aku untuk mengerti sesuatu yang begitu gila?” Tangannya terangkat, menekan pelipisnya seolah berharap bisa meredakan sakit kepala yang tiba-tiba datang. Ia merasa seolah-olah berada di bawah tekanan yang luar biasa, antara kesetiaannya pada istrinya dan kewarasannya sendiri. Eliana mencoba mendekati River, namun lelaki itu mundur selangkah, mengangkat tangan seolah meminta jarak. “Eliana, kita harus menemukan cara lain. Ini tidak masuk akal.” Ekspresi wajah River semakin keruh. Ia memutar tubuhnya, tangannya kini memijat tengkuknya yang tegang. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, meskipun ruangan itu tidak panas. “Eliana, tolonglah. Pikirkan lagi. Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang Shiera. Kamu tidak bisa memaksakan ini padanya,” kata River, suaranya lebih pelan namun sarat dengan ketegangan. “River, kita sudah membicarakan semua opsi lain. Ini yang terbaik.” River merasa dirinya hampir meledak. Ia merasakan ketegangan yang tak tertahankan di seluruh tubuhnya. Dengan tatapan tajam, lelaki itu melihat langsung ke mata Eliana. “Eliana, aku tidak akan melakukan ini. Tidak peduli berapa kali kamu meminta.” Wajah Eliana mengeras, menunjukkan kekecewaan yang mendalam. “Kamu tidak mengerti, River. Kamu tidak pernah mengerti.” River mengepalkan tangan lagi, kali ini ia tidak bisa menahan kemarahannya lebih lama. “Aku tidak mengerti? Aku mencoba yang terbaik untuk kita! Tapi permintaan ini di luar batas, Eliana!” “Jika kamu tidak mau melakukannya, lebih baik aku mati saja!” ancam Eliana kepada suaminya. River mendesah pelan. Ia tidak mau dicap sebagai lelaki yang tidak punya perasaan. Lagi pula mama dan mertuanya juga terus mendesaknya agar memberikan seorang cucu laki-laki. CEO tampan itu mengusap rambutnya dengan kasar. Walau bagaimanapun ia tidak ingin menyakiti perasaan Eliana meski pernikahan mereka terjadi karena sebuah kesalahpahaman. “Terserah kamu.” Hanya dua kata itu yang mampu River katakan. Lelaki itu segera melangkah pergi meninggalkan Eliana. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan cukup keras. “Kamu tidak perlu khawatir, River. Aku pastikan Eliana segera mengandung dan melahirkan anak untuk kita. Setelah itu ia akan angkat kaki dari rumah ini.” Di dalam kamar mandi, River berdiri di bawah pancuran air, mencoba menenangkan pikirannya. Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya, berharap bisa menghilangkan semua keraguan dan kebingungan yang menguasai pikirannya. Namun bayangan wajah Eliana terus menghantui benaknya. Membuat lelaki itu merasa terjebak dalam situasi yang tak terelakkan. Sementara itu Eliana mengambil segelas air dan meminumnya perlahan. Ia menatap pintu kamar mandi dengan pandangan penuh rencana. Di dalam pikirannya sudah merencanakan segalanya dengan matang. Ekspresi wajahnya berubah dari senyum lembut menjadi tatapan tajam penuh ambisi. Saat River akhirnya keluar dari kamar mandi, Eliana segera menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Wanita itu menyambut River dengan senyuman manis dan berjalan mendekatinya. Tangannya yang lembut menyentuh lengan suaminya, mencoba menenangkan kegelisahan yang jelas terlihat di wajah River. “Terima kasih River,” katanya dengan suara yang penuh kehangatan. Eliana mulai menggoda River. Ia ingin membuat sang suami melupakan kegelisahan di hatinya. “Kepalaku pusing, El.” River mencoba mengelak. Ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bersenang-senang. “Baiklah. Kamu hanya perlu beristirahat dan tidur.”Malam harinya Shiera memutuskan untuk menemui Eliana di ruang kerjanya. “Aku setuju Eliana,” ucap Shiera dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku bersedia untuk menikah dengan River.” Wajah Eliana seketika berseri-seri. Ia segera menghampiri Shiera dan memeluknya erat-erat. “Terima kasih, Shiera. Aku tahu kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.” Eliana segera mengatur segalanya. Semua dokumen telah lengkap. Pernikahan Shiera dan River terlaksana dengan baik. Shiera tidak bisa menutupi segala perasaannya. Semua terasa campur aduk. Di satu sisi Shiera merasa aneh dan tak nyaman, tetapi di sisi lain ia melihat kebahagiaan di wajah Eliana. Sahabatnya itu tampak lebih tenang dan penuh harapan. Setelah pernikahan selesai, Shiera dan River diminta untuk menandatangani surat perjanjian pernikahan kontrak yang telah disiapkan. Perjanjian itu menyatakan bahwa pernikahan hanya akan berlangsung sampai Shiera melahirkan bayi laki-laki untuk Eliana dan River. Setela
Shiera merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Eliana. “Bagaimana mungkin? Tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini,” lirihnya. Ia berusaha menahan air matanya dan tetap tersenyum. Setelah Eliana keluar dari dapur, Shiera kembali fokus pada masakannya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Shiera menyiapkan makanan di atas meja yang masih kosong. Pagi itu tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan River di sana. Hanya Eliana yang turun dari tangga dengan wajah penuh kesibukan. “Shiera, maaf ya, pagi ini aku tidak bisa menemanimu makan pagi,” kata Eliana dengan nada terburu-buru. Pekerjaan membuat Shiera selalu disibukkan dengan syuting dan pemotretan. Kadang ia juga tidak bisa pulang dan harus menginap di lokasi syuting. “Oh, iya. River juga harus berangkat pagi tadi. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.” Eliana segera berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan Shiera yang merasa semakin kesepian. “Tapi, El—” kata Shiera, tapi Eliana
Shiera mencoba untuk memejamkan kedua matanya, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Namun pikirannya terus berkelana, tidak memberi ruang bagi ketenangan. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya dari lamunan. “Kenapa dia meneleponku? Ada apa?” lirih Shiera tak tenang. Ia segera menerima panggilan itu. “Shiera, kamu di mana? Ayahmu mencari kamu di rumahku. Dia marah besar,” ungkap seorang lelaki di seberang sana. “Adnan, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong jangan katakan apa pun kepada ayahku,” Shiera memohon, suaranya terdengar putus asa. “Baiklah. Apakah besok kita bisa bertemu? Aku ada kabar lain. Kabar baik.” Shiera setuju untuk bertemu dengan sahabat dekatnya itu sebelum mematikan panggilan. ‘Kabar baik? Jangan-jangan Adnan mau menikah?’ Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya. Keesokan paginya, Shiera terbangun dengan kepala cukup berat. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu. Ma
Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang. Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit. Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali “Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.” Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya. Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya. Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan. “Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.” “Tentu saja, Bu. Nanti aka
Tetapi wanita itu segera menarik tangannya. “Em, aku bisa sendiri.” Adnan melihat sikap aneh Shiera. Tetapi ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sahabatnya. Tak butuh waktu lama Shiera pun mulai bekerja di restoran setelah meninggalkan kafe tempat pertemuan mereka. Wanita itu menjalankan tugasnya dengan baik. Di saat jam istirahat makan siang, di sudut restoran, sebuah meja sudah dipesan untuk pertemuan penting antara River dan klien potensialnya. River memasuki restoran dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Di sampingnya, seorang wanita muda yang cantik mengikuti langkahnya, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang rapi. Wanita itu adalah sekretarisnya yang selalu setia mendampinginya dalam setiap pertemuan penting. Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan, di mana klien mereka, Mr. Smith, sudah menunggu. Mereka mulai membahas tentang peluang kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tak lama kemu
“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed
Shiera merasa takut kepada tatapan tajam River. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan yang seolah penuh ancaman itu. Namun wanita tersebut tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. “Ke mana saja kamu?” Suara River terdengar dingin dan penuh tuntutan. Shiera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya bergetar ringan. “Aku menjenguk ibuku yang baru pulang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh.” Di dalam hatinya, River merasa sedikit bersalah. Ia tidak sedikitpun peduli dengan kehidupan Shiera selama ini. Bahkan ia tidak tahu jika ibu Shiera sakit. Tetapi River hanya diam dan masih menunjukkan keangkuhannya, ekspresi wajahnya tetap kaku tanpa emosi. Shiera merasakan ketegangan semakin meningkat. Udara di sekitar mereka terasa semakin menekan. River masih menatapnya dengan pandangan yang tajam, seolah menantang Shiera untuk mengatakan sesuatu yang salah. Setelah beberapa saat berlalu, River akhirnya berbicara lagi. “Eliana ada di mana?
Di tempat peristirahatan, Eliana baru saja memeriksa ponselnya saat menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyandarkan kepalanya di sebuah kursi panjang. “Lelah sekali hari ini.” Eliana melihat seseorang mengulurkan segelas minuman untuknya. “Maxime?” Eliana segera menegakkan tubuhnya. “Mau minuman? Aktingmu luar biasa hari ini. Aku sangat kagum kepadamu.” Eliana merasa tersipu. Ia tidak menyangka Maxime akan memujinya. Setelah memberikan segelas minuman, aktor tampan itu pergi ke toilet. Eliana menikmati minuman itu. Kemudian ia melihat beberapa pesan di ponselnya. “Apa? River tadi datang ke sini? Itu berarti ... tidak. Tidak mungkin. Dia pasti sangat marah jika melihatku bersama Maxime. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku sangat mengagumi Maxime. Aku tidak mungkin bisa menolak permintaan ini.” Eliana berdiri dengan resah. Ia mondar-mandir seorang diri. Memikirkan cara yang tepat agar River tidak marah dan menyuruhnya berhenti sebagai pemain film dewasa. Sementara