Share

3. Meyakinkan Shiera

Eliana mencoba meyakinkan Shiera. Ia berkata dengan lirih. “Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Shiera. Aku yakin River pasti mau menerima pernikahan ini.”

“Aku akan memikirkannya,” ucap Shiera berbisik. Suaranya terdengar ragu.

Eliana tersenyum, tapi kali ini senyumannya tampak lebih hangat dan penuh pengharapan.

“Terima kasih, Shiera. Aku hanya bisa berharap padamu.”

Shiera hanya terdiam. Ia tak lagi membantah ucapan sahabatnya itu.

Eliana segera bangkit dari duduknya. Ia keluar dari ruangan itu untuk menyusul kepergian suaminya.

Sementara Shiera juga melangkah pergi dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Tiba di kamar Shiera langsung terduduk lemas di tepi ranjang. Ia tidak pernah menyangka akan diminta menjadi istri kedua dari seorang lelaki yang tidak pernah mencintainya.

Pikirannya berkecamuk. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah-olah ada beban besar yang menekan pundaknya.

Bayangan Eliana yang menangis terus terngiang di benaknya, membuat hatinya semakin bimbang.

Shiera bangkit dari duduknya. Mencoba mencari jawaban atas kebingungannya. Gadis itu berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri.

Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan River? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani hidup dengan suami sahabatnya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.

Seharian itu Shiera mencoba memikirkan solusi yang terbaik. Ia masih berusaha untuk menolak permintaan Eliana. Hingga tiba-tiba ponselnya berdering.

Beberapa pesan dari adiknya masuk sekaligus. Shiera mengernyit heran. Tidak biasanya adik laki-lakinya itu menghubunginya.

[Kak Shiera, Ibu penyakitnya kambuh. Tadi Ibu tidak sadarkan diri dan di bawa ke rumah sakit. Ibu harus menjalani operasi.]

[Untung sekali ada Kak Eliana, sahabat Kakak yang menolong dan membiayai semua perawatan Ibu.]

[Sekarang Ibu sudah siuman. Ibu merasa sangat berhutang budi kepada sahabat Kakak.]

DEG !

Hati Shiera merasa semakin gelisah membaca semua pesan dari adiknya. Ia tidak tahu apa penyebab ibunya kaget hingga membuat penyakitnya kambuh.

“Jangan-jangan Ibu mengetahui rencana Ayah untuk menjualku kepada orang kaya. Pasti Ibu sangat sedih.”

Shiera berjalan mondar-mandir sendirian. Lagi-lagi Eliana telah menolongnya. Gadis itu semakin tak kuasa untuk menolak permintaan sahabatnya.

“Ya, aku harus melakukannya. Aku harus berkorban untuk Eliana.”

Shiera bertekad untuk menyanggupi permintaan Eliana.

***

Di dalam kamar, Eliana berusaha membujuk River. Bagaimana pun caranya ia harus berhasil.

River menatap Eliana dengan tatapan tak percaya. “Apa kamu sudah gila, Eliana?”

“Ini tidak akan lama, River. Aku tahu kamu bisa melakukannya untukku.”

River menggeleng pelan. Ia sungguh tidak percaya dengan semua ide gila dari istrinya. Bahkan River tidak pernah punya niat sekalipun untuk menduakan Eliana.

“Eliana, kamu tidak berpikir jernih! Kamu meminta Shiera untuk menikah denganku, ini bukan hal yang bisa kita anggap sepele!” jelas River. Suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan.

Eliana tetap duduk di tempatnya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak punya pilihan lain. Kamu harus mengerti, River.”

River berhenti berjalan, berbalik dan menatap Eliana dengan intens. “Mengerti? Bagaimana kamu bisa meminta aku untuk mengerti sesuatu yang begitu gila?”

Tangannya terangkat, menekan pelipisnya seolah berharap bisa meredakan sakit kepala yang tiba-tiba datang. Ia merasa seolah-olah berada di bawah tekanan yang luar biasa, antara kesetiaannya pada istrinya dan kewarasannya sendiri.

Eliana mencoba mendekati River, namun lelaki itu mundur selangkah, mengangkat tangan seolah meminta jarak.

“Eliana, kita harus menemukan cara lain. Ini tidak masuk akal.”

Ekspresi wajah River semakin keruh. Ia memutar tubuhnya, tangannya kini memijat tengkuknya yang tegang. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, meskipun ruangan itu tidak panas.

“Eliana, tolonglah. Pikirkan lagi. Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang Shiera. Kamu tidak bisa memaksakan ini padanya,” kata River, suaranya lebih pelan namun sarat dengan ketegangan.

“River, kita sudah membicarakan semua opsi lain. Ini yang terbaik.”

River merasa dirinya hampir meledak. Ia merasakan ketegangan yang tak tertahankan di seluruh tubuhnya. Dengan tatapan tajam, lelaki itu melihat langsung ke mata Eliana.

“Eliana, aku tidak akan melakukan ini. Tidak peduli berapa kali kamu meminta.”

Wajah Eliana mengeras, menunjukkan kekecewaan yang mendalam. “Kamu tidak mengerti, River. Kamu tidak pernah mengerti.”

River mengepalkan tangan lagi, kali ini ia tidak bisa menahan kemarahannya lebih lama. “Aku tidak mengerti? Aku mencoba yang terbaik untuk kita! Tapi permintaan ini di luar batas, Eliana!”

“Jika kamu tidak mau melakukannya, lebih baik aku mati saja!” ancam Eliana kepada suaminya.

River mendesah pelan. Ia tidak mau dicap sebagai lelaki yang tidak punya perasaan. Lagi pula mama dan mertuanya juga terus mendesaknya agar memberikan seorang cucu laki-laki.

CEO tampan itu mengusap rambutnya dengan kasar. Walau bagaimanapun ia tidak ingin menyakiti perasaan Eliana meski pernikahan mereka terjadi karena sebuah kesalahpahaman.

“Terserah kamu.”

Hanya dua kata itu yang mampu River katakan. Lelaki itu segera melangkah pergi meninggalkan Eliana. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan cukup keras.

“Kamu tidak perlu khawatir, River. Aku pastikan Eliana segera mengandung dan melahirkan anak untuk kita. Setelah itu ia akan angkat kaki dari rumah ini.”

Di dalam kamar mandi, River berdiri di bawah pancuran air, mencoba menenangkan pikirannya.

Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya, berharap bisa menghilangkan semua keraguan dan kebingungan yang menguasai pikirannya.

Namun bayangan wajah Eliana terus menghantui benaknya. Membuat lelaki itu merasa terjebak dalam situasi yang tak terelakkan.

Sementara itu Eliana mengambil segelas air dan meminumnya perlahan. Ia menatap pintu kamar mandi dengan pandangan penuh rencana.

Di dalam pikirannya sudah merencanakan segalanya dengan matang. Ekspresi wajahnya berubah dari senyum lembut menjadi tatapan tajam penuh ambisi.

Saat River akhirnya keluar dari kamar mandi, Eliana segera menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Wanita itu menyambut River dengan senyuman manis dan berjalan mendekatinya.

Tangannya yang lembut menyentuh lengan suaminya, mencoba menenangkan kegelisahan yang jelas terlihat di wajah River.

“Terima kasih River,” katanya dengan suara yang penuh kehangatan.

Eliana mulai menggoda River. Ia ingin membuat sang suami melupakan kegelisahan di hatinya.

“Kepalaku pusing, El.” River mencoba mengelak. Ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bersenang-senang.

“Baiklah. Kamu hanya perlu beristirahat dan tidur.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status