Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang.
Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit. Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali “Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.” Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya. Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya. Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan. “Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.” “Tentu saja, Bu. Nanti akan Shiera sampaikan kepada Eliana,” jawab Shiera sambil berusaha menutupi perasaannya yang bercampur aduk. “Oh, ya, Shiera. Bagaimana jika kamu tinggal di sini saja? Ibu sudah tahu kelakuan bejat ayahmu itu. Ibu tidak rela jika kamu diperlakukan seperti itu.” Shiera menggeleng pelan. “Shiera tidak bisa tinggal di sini, Bu. Shiera bekerja untuk Eliana. Dia juga yang telah menolongku.” Wajah ibunya berubah cerah. “Oh, ya? Itu kabar yang baik, Sayang. Kamu memang wajib membalas kebaikan Nak Eliana. Kamu harus bersikap baik-baik ya, kepadanya. Ibu tidak mau kamu mengecewakan sahabatmu itu. Ia telah melakukan banyak hal untuk kita.” Shiera tersenyum tipis sambil mengangguk. “Pasti, Bu. Shiera akan memberikan yang terbaik untuk Eliana.” Meskipun tersenyum, Shiera merasakan dadanya begitu sesak. Bahkan kini sang ibu juga mendukung sahabatnya tanpa mengetahui permintaan gila yang diajukan oleh Eliana. ‘Ibu tidak tahu saja, apa yang diminta Eliana kepadaku,’ pikir Shiera dalam hati. Shiera tidak ingin terlihat sedih di hadapan ibunya. Ia segera mengalihkan topik pembicaraan mereka. “Biar aku kupas buahnya ya, Bu. Ibu harus banyak-banyak makan buah biar cepat sembuh.” “Terima kasih, Sayang.” Setelah cukup lama menemani sang ibu, Shiera berpamitan. Ia berkata jujur bahwa ingin menemui Adnan. “Sampaikan salam ibu buat Nak Adnan juga. Sudah lama ibu tidak melihatnya.” “Iya, Bu. Nanti Shiera sampaikan kepadanya. Pasti Adnan sangat senang.” Keluar dari rumah ibunya, Shiera merasa lega bisa melihat kondisi sang ibu yang semakin membaik. Namun di sisi lain, beban pikiran Shiera semakin bertambah. Pertemuan dengan Adnan nanti membuatnya merasa cemas. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan Adnan? Apakah benar ini kabar baik, atau ada sesuatu yang lain? Perjalanan ke tempat pertemuan dengan Adnan terasa panjang. Shiera tidak bisa menghentikan pikirannya yang berlarian liar. Sesekali wanita itu menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan diri. Setibanya di lokasi, Adnan sudah menunggu di kafe kecil yang terletak di pojok kota, tempat di mana ia dan Shiera sering menghabiskan waktu bersama sejak dulu. Sinar matahari menembus jendela kaca, memantulkan cahayanya di atas meja-meja yang rapi. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Saat Shiera masuk ke dalam kafe, Adnan segera berdiri. Senyumnya yang lebar merekah, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Sudah beberapa hari sejak terakhir kali mereka bertemu dan kerinduan itu terlihat jelas di wajahnya. “Shiera!” Adnan melambaikan tangan, mengajak Shiera untuk duduk di meja yang sudah ia pilih. Shiera tersenyum dan melangkah mendekat. “Adnan, maaf aku terlambat. Tadi aku mampir ke rumah Ibu dulu,” ucap Shiera sambil tersenyum lemah. Adnan bangkit dan menyambut Shiera dengan senyum hangat. “Tidak apa-apa, Shiera. Aku senang kamu bisa datang. Bagaimana kabar ibumu?” “Ibu sudah lebih baik, terima kasih. Ibu juga menitipkan salam untukmu,” Shiera membalas sambil duduk di hadapan Adnan. Mereka duduk berhadapan. Adnan memandangi Shiera dengan penuh kasih. Ia memperhatikan setiap detail wajah sahabatnya itu, seolah-olah ingin memastikan bahwa Shiera benar-benar ada di depannya. Ada kehangatan dalam tatapan Adnan, kehangatan yang selalu membuat Shiera merasa nyaman dan diterima. “Apa kabar, Shiera? Ke mana saja kamu? Aku sangat merindukanmu,” kata Adnan dengan tulus. Shiera tertawa pelan, mencoba mengusir sedikit rasa canggung yang masih tersisa. “Aku baik-baik saja, Adnan. Bagaimana denganmu?” Adnan mengangguk dengan semangat. “Aku sangat baik. Bahkan lebih baik sekarang setelah melihatmu.” Shiera bisa merasakan kebahagiaan yang tulus dari Adnan. Ia tahu bahwa sahabatnya itu selalu ada untuknya, memberikan dukungan dan kebahagiaan yang tidak ternilai. Adnan memesan dua cangkir kopi dan beberapa makanan ringan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbicara tentang berbagai hal. Adnan menceritakan tentang pekerjaan barunya yang penuh tantangan namun menyenangkan. Ia berbicara dengan antusias, matanya bersinar setiap kali ia berbicara tentang kesibukannya. Shiera mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara Adnan yang riang dan cerita-ceritanya yang penuh semangat membuatnya merasa lebih baik. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kebersamaan mereka, sesuatu yang membuat Shiera merasa bahwa semua akan baik-baik saja. Saat pesanan mereka datang, Adnan mengangkat cangkir kopinya. “Untuk pertemuan kita yang berikutnya tidak boleh selama ini lagi,” katanya sambil tersenyum lebar. Shiera mengangguk, ikut mengangkat cangkirnya. “Setuju. Aku juga merindukan momen-momen seperti ini.” Mereka bersulang dan tertawa bersama. Kehangatan dan kebahagiaan yang mereka rasakan mengisi udara, membuat segala kekhawatiran dan kesedihan yang Shiera rasakan sebelumnya menghilang sejenak. Adnan menatap Shiera dengan lembut, kemudian berkata, “Kamu tahu, Shiera, setiap kali aku melihatmu, aku selalu merasa ada harapan. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.” “Terima kasih, Adnan. Kamu juga sahabat terbaikku. Aku bersyukur kita selalu ada untuk satu sama lain.” Mereka melanjutkan percakapan dengan tawa dan kebahagiaan yang tulus. Saat-saat seperti inilah yang membuat hidup Shiera terasa lebih ringan, lebih penuh harapan. Bersama Adnan ia merasa bahwa mungkin bisa melalui segala tantangan yang ada di depannya. Shiera pun mulai menceritakan semuanya. Tentang sang ayah yang tega menjualnya kepada seorang lelaki tua. Ia juga menceritakan bagaimana Eliana menolong dan memberikannya tempat tinggal. “Om Rudi sungguh tega. Untung ada Eliana. Aku yakin pasti Tuhan mengirimkan malaikat penolong untukmu.” “Em, jadi sekarang kamu bekerja di restoran sebelah kafe ini?” tanya Shiera mengalikan pembicaraan. Adnan menganggukkan kepalanya. Setelah menikmati minuman dan semua makanan ringan, suasana menjadi lebih santai. Adnan menatap Shiera dengan pandangan serius. “Shiera, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.” “Oh, ya, kamu bilang ada kabar baik. Apa itu? Apa yang terjadi?” tanya Shiera penuh antusias. Adnan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kabar baiknya adalah si Bos sedang membutuhkan seorang karyawan untuk bekerja di restoran itu.” Adnan menunjuk tempat makan di sebelah dengan dagunya. Lalu ia bertanya lagi kepada sahabatnya. “Apakah kamu mau Shiera? Aku lihat kamu berpakaian seperti seseorang yang sedang mencari pekerjaan.” “Kamu betul, Adnan. Aku mau bekerja di sini bersama kamu.” Shiera terlihat sangat bersemangat saat menjawab pertanyaan dari Adnan. Ia memang sedang membutuhkan pekerjaan. “Kalau begitu, ayo ikut aku menemui Bos. Dia pasti sangat senang.” Tanpa segan Adnan langsung menarik tangan Shiera.Tetapi wanita itu segera menarik tangannya. “Em, aku bisa sendiri.” Adnan melihat sikap aneh Shiera. Tetapi ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sahabatnya. Tak butuh waktu lama Shiera pun mulai bekerja di restoran setelah meninggalkan kafe tempat pertemuan mereka. Wanita itu menjalankan tugasnya dengan baik. Di saat jam istirahat makan siang, di sudut restoran, sebuah meja sudah dipesan untuk pertemuan penting antara River dan klien potensialnya. River memasuki restoran dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Di sampingnya, seorang wanita muda yang cantik mengikuti langkahnya, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang rapi. Wanita itu adalah sekretarisnya yang selalu setia mendampinginya dalam setiap pertemuan penting. Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan, di mana klien mereka, Mr. Smith, sudah menunggu. Mereka mulai membahas tentang peluang kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tak lama kemu
“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed
Shiera merasa takut kepada tatapan tajam River. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan yang seolah penuh ancaman itu. Namun wanita tersebut tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. “Ke mana saja kamu?” Suara River terdengar dingin dan penuh tuntutan. Shiera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya bergetar ringan. “Aku menjenguk ibuku yang baru pulang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh.” Di dalam hatinya, River merasa sedikit bersalah. Ia tidak sedikitpun peduli dengan kehidupan Shiera selama ini. Bahkan ia tidak tahu jika ibu Shiera sakit. Tetapi River hanya diam dan masih menunjukkan keangkuhannya, ekspresi wajahnya tetap kaku tanpa emosi. Shiera merasakan ketegangan semakin meningkat. Udara di sekitar mereka terasa semakin menekan. River masih menatapnya dengan pandangan yang tajam, seolah menantang Shiera untuk mengatakan sesuatu yang salah. Setelah beberapa saat berlalu, River akhirnya berbicara lagi. “Eliana ada di mana?
Di tempat peristirahatan, Eliana baru saja memeriksa ponselnya saat menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyandarkan kepalanya di sebuah kursi panjang. “Lelah sekali hari ini.” Eliana melihat seseorang mengulurkan segelas minuman untuknya. “Maxime?” Eliana segera menegakkan tubuhnya. “Mau minuman? Aktingmu luar biasa hari ini. Aku sangat kagum kepadamu.” Eliana merasa tersipu. Ia tidak menyangka Maxime akan memujinya. Setelah memberikan segelas minuman, aktor tampan itu pergi ke toilet. Eliana menikmati minuman itu. Kemudian ia melihat beberapa pesan di ponselnya. “Apa? River tadi datang ke sini? Itu berarti ... tidak. Tidak mungkin. Dia pasti sangat marah jika melihatku bersama Maxime. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku sangat mengagumi Maxime. Aku tidak mungkin bisa menolak permintaan ini.” Eliana berdiri dengan resah. Ia mondar-mandir seorang diri. Memikirkan cara yang tepat agar River tidak marah dan menyuruhnya berhenti sebagai pemain film dewasa. Sementara
River berniat untuk membuntuti Eliana, tetapi sekretarisnya datang dan memberikan beberapa dokumen yang harus ditandatangani segera. River mendesah pelan. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Rasa pusing yang tiba-tiba muncul membuatnya merasa seakan-akan dunia berputar di sekelilingnya. Pikiran tentang Eliana yang terus mengganggu dan beban pekerjaan yang tak kunjung habis, semakin memperparah kondisinya. “Pak River, ini dokumen yang harus segera ditandatangani,” ujar Nada—sang sekretaris dengan suara lembut namun tegas. River menatap tumpukan dokumen di hadapannya dengan tatapan lelah. “Baiklah, Nada. Letakkan di meja saya,” jawabnya sambil menghela napas panjang. Nada mengangguk dan meninggalkan ruangan, membiarkan River bergulat dengan pikirannya sendiri. CEO tampan itu meraih dokumen pertama, mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke Eliana. River menggeleng, kali ini dengan gerakan yang lebih tegas. Wajahnya tetap dingin dan tatapannya jau
Malam semakin larut. Shiera berdiri gemetar di sudut ruangan kamar hotel mewah itu. “Aku yakin River tidak akan datang.” Shiera berjalan mondar-mandir. Kain tipis gaunnya melambai lembut setiap kali dia bergerak. Namun setiap sentuhan kain di kulitnya membuatnya merasa semakin resah dan takut. “Apa yang harus aku lakukan? Mana mungkin aku bisa menggoda River? Bahkan ia tidak mengharapkan kehadiranku sama sekali.” Tiba-tiba pintu kamar terbuka. River berdiri dengan tenang. Ia mengenakan jas hitam yang tampak sempurna melekat pada tubuh atletisnya. Jas itu dipotong rapi, menonjolkan bahu lebarnya dan pinggang yang ramping. Kemeja putih bersih yang dikenakannya terlihat kontras dengan warna gelap jasnya, sementara dasi hitam menambah sentuhan elegan pada penampilannya. Sepasang mata tajam berwarna hitam pekat itu seolah bisa menembus jiwa siapa pun yang ditatapnya. River berjalan mendekat. Setiap langkahnya membuat Shiera semakin takut. Jari-jarinya yang kurus meremas uj
Shiera duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa lemas. Ia merasakan ngilu di bagian miliknya, sisa-sisa peristiwa yang tak ingin ia ingat kembali. Dengan gemetar, Shiera membuka ponselnya dan mencari cara di internet untuk mengurangi rasa sakitnya. Setiap kata yang ia baca hanya menambah kepedihannya, mengingatkan akan kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Cukup lama Shiera beristirahat di kamar, terjebak dalam pikirannya yang penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Ponselnya berdering tanpa henti, mengganggu ketenangan semunya. Wanita itu segera memeriksanya, melihat nama Adnan tertera di layar. “Shiera, kamu di mana? Ini sudah siang, kenapa kamu belum sampai di restoran?” tanya Adnan dari balik telepon, suaranya terdengar khawatir. “Aku sedang tidak enak badan, Adnan. Tolong sampaikan ke Pak Bos, ya? Aku ingin beristirahat hari ini,” jawab Shiera dengan suara lemah. Adnan terdiam sejenak, mencerna kata-kata Shiera. “Baik, aku akan sampaikan. Tapi Shiera, kamu yaki
Eliana berhenti sejenak, menatap Shiera dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa itu, Shiera?” Shiera menatap Eliana dengan ragu-ragu, namun akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya. “Aku dengar dari adikku kalau kamu yang menolong ibuku saat sakit. Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?” Eliana sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi segera ia menguasai dirinya. Wanita itu memasang senyum samar dan menjawab dengan tenang. “Oh, itu. Sebenarnya aku sedang menjenguk teman yang sakit di rumah sakit yang sama. Ketika aku melihat ibumu, aku merasa berkewajiban untuk menolongnya.” Shiera mengerutkan kening, tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. “Tapi kenapa kamu tidak memberitahuku, El? Aku mungkin bisa datang lebih cepat kalau tahu.” Eliana berusaha mencari alasan yang tepat agar Shiera percaya. Ia berpikir cepat, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Shiera ... itu karena keadaan sangat mendesak. Aku tidak dapat berpikir lagi. Aku sudah punya r