Share

7. Malaikat Penolong

Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang.

Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit.

Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali

“Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.”

Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya.

Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya.

Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan.

“Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.”

“Tentu saja, Bu. Nanti akan Shiera sampaikan kepada Eliana,” jawab Shiera sambil berusaha menutupi perasaannya yang bercampur aduk.

“Oh, ya, Shiera. Bagaimana jika kamu tinggal di sini saja? Ibu sudah tahu kelakuan bejat ayahmu itu. Ibu tidak rela jika kamu diperlakukan seperti itu.”

Shiera menggeleng pelan. “Shiera tidak bisa tinggal di sini, Bu. Shiera bekerja untuk Eliana. Dia juga yang telah menolongku.”

Wajah ibunya berubah cerah. “Oh, ya? Itu kabar yang baik, Sayang. Kamu memang wajib membalas kebaikan Nak Eliana. Kamu harus bersikap baik-baik ya, kepadanya. Ibu tidak mau kamu mengecewakan sahabatmu itu. Ia telah melakukan banyak hal untuk kita.”

Shiera tersenyum tipis sambil mengangguk. “Pasti, Bu. Shiera akan memberikan yang terbaik untuk Eliana.”

Meskipun tersenyum, Shiera merasakan dadanya begitu sesak. Bahkan kini sang ibu juga mendukung sahabatnya tanpa mengetahui permintaan gila yang diajukan oleh Eliana.

‘Ibu tidak tahu saja, apa yang diminta Eliana kepadaku,’ pikir Shiera dalam hati.

Shiera tidak ingin terlihat sedih di hadapan ibunya. Ia segera mengalihkan topik pembicaraan mereka. “Biar aku kupas buahnya ya, Bu. Ibu harus banyak-banyak makan buah biar cepat sembuh.”

“Terima kasih, Sayang.”

Setelah cukup lama menemani sang ibu, Shiera berpamitan. Ia berkata jujur bahwa ingin menemui Adnan.

“Sampaikan salam ibu buat Nak Adnan juga. Sudah lama ibu tidak melihatnya.”

“Iya, Bu. Nanti Shiera sampaikan kepadanya. Pasti Adnan sangat senang.”

Keluar dari rumah ibunya, Shiera merasa lega bisa melihat kondisi sang ibu yang semakin membaik.

Namun di sisi lain, beban pikiran Shiera semakin bertambah. Pertemuan dengan Adnan nanti membuatnya merasa cemas. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan Adnan? Apakah benar ini kabar baik, atau ada sesuatu yang lain?

Perjalanan ke tempat pertemuan dengan Adnan terasa panjang. Shiera tidak bisa menghentikan pikirannya yang berlarian liar.

Sesekali wanita itu menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan diri.

Setibanya di lokasi, Adnan sudah menunggu di kafe kecil yang terletak di pojok kota, tempat di mana ia dan Shiera sering menghabiskan waktu bersama sejak dulu.

Sinar matahari menembus jendela kaca, memantulkan cahayanya di atas meja-meja yang rapi. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Saat Shiera masuk ke dalam kafe, Adnan segera berdiri. Senyumnya yang lebar merekah, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Sudah beberapa hari sejak terakhir kali mereka bertemu dan kerinduan itu terlihat jelas di wajahnya.

“Shiera!” Adnan melambaikan tangan, mengajak Shiera untuk duduk di meja yang sudah ia pilih.

Shiera tersenyum dan melangkah mendekat.

“Adnan, maaf aku terlambat. Tadi aku mampir ke rumah Ibu dulu,” ucap Shiera sambil tersenyum lemah.

Adnan bangkit dan menyambut Shiera dengan senyum hangat. “Tidak apa-apa, Shiera. Aku senang kamu bisa datang. Bagaimana kabar ibumu?”

“Ibu sudah lebih baik, terima kasih. Ibu juga menitipkan salam untukmu,” Shiera membalas sambil duduk di hadapan Adnan.

Mereka duduk berhadapan. Adnan memandangi Shiera dengan penuh kasih. Ia memperhatikan setiap detail wajah sahabatnya itu, seolah-olah ingin memastikan bahwa Shiera benar-benar ada di depannya.

Ada kehangatan dalam tatapan Adnan, kehangatan yang selalu membuat Shiera merasa nyaman dan diterima.

“Apa kabar, Shiera? Ke mana saja kamu? Aku sangat merindukanmu,” kata Adnan dengan tulus.

Shiera tertawa pelan, mencoba mengusir sedikit rasa canggung yang masih tersisa. “Aku baik-baik saja, Adnan. Bagaimana denganmu?”

Adnan mengangguk dengan semangat. “Aku sangat baik. Bahkan lebih baik sekarang setelah melihatmu.”

Shiera bisa merasakan kebahagiaan yang tulus dari Adnan. Ia tahu bahwa sahabatnya itu selalu ada untuknya, memberikan dukungan dan kebahagiaan yang tidak ternilai.

Adnan memesan dua cangkir kopi dan beberapa makanan ringan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbicara tentang berbagai hal.

Adnan menceritakan tentang pekerjaan barunya yang penuh tantangan namun menyenangkan.

Ia berbicara dengan antusias, matanya bersinar setiap kali ia berbicara tentang kesibukannya.

Shiera mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara Adnan yang riang dan cerita-ceritanya yang penuh semangat membuatnya merasa lebih baik.

Ada sesuatu yang menenangkan dalam kebersamaan mereka, sesuatu yang membuat Shiera merasa bahwa semua akan baik-baik saja.

Saat pesanan mereka datang, Adnan mengangkat cangkir kopinya. “Untuk pertemuan kita yang berikutnya tidak boleh selama ini lagi,” katanya sambil tersenyum lebar.

Shiera mengangguk, ikut mengangkat cangkirnya. “Setuju. Aku juga merindukan momen-momen seperti ini.”

Mereka bersulang dan tertawa bersama. Kehangatan dan kebahagiaan yang mereka rasakan mengisi udara, membuat segala kekhawatiran dan kesedihan yang Shiera rasakan sebelumnya menghilang sejenak.

Adnan menatap Shiera dengan lembut, kemudian berkata, “Kamu tahu, Shiera, setiap kali aku melihatmu, aku selalu merasa ada harapan. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.”

“Terima kasih, Adnan. Kamu juga sahabat terbaikku. Aku bersyukur kita selalu ada untuk satu sama lain.”

Mereka melanjutkan percakapan dengan tawa dan kebahagiaan yang tulus.

Saat-saat seperti inilah yang membuat hidup Shiera terasa lebih ringan, lebih penuh harapan.

Bersama Adnan ia merasa bahwa mungkin bisa melalui segala tantangan yang ada di depannya.

Shiera pun mulai menceritakan semuanya. Tentang sang ayah yang tega menjualnya kepada seorang lelaki tua. Ia juga menceritakan bagaimana Eliana menolong dan memberikannya tempat tinggal.

“Om Rudi sungguh tega. Untung ada Eliana. Aku yakin pasti Tuhan mengirimkan malaikat penolong untukmu.”

“Em, jadi sekarang kamu bekerja di restoran sebelah kafe ini?” tanya Shiera mengalikan pembicaraan.

Adnan menganggukkan kepalanya.

Setelah menikmati minuman dan semua makanan ringan, suasana menjadi lebih santai. Adnan menatap Shiera dengan pandangan serius.

“Shiera, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

“Oh, ya, kamu bilang ada kabar baik. Apa itu? Apa yang terjadi?” tanya Shiera penuh antusias.

Adnan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.

“Kabar baiknya adalah si Bos sedang membutuhkan seorang karyawan untuk bekerja di restoran itu.” Adnan menunjuk tempat makan di sebelah dengan dagunya. Lalu ia bertanya lagi kepada sahabatnya. “Apakah kamu mau Shiera? Aku lihat kamu berpakaian seperti seseorang yang sedang mencari pekerjaan.”

“Kamu betul, Adnan. Aku mau bekerja di sini bersama kamu.” Shiera terlihat sangat bersemangat saat menjawab pertanyaan dari Adnan. Ia memang sedang membutuhkan pekerjaan.

“Kalau begitu, ayo ikut aku menemui Bos. Dia pasti sangat senang.”

Tanpa segan Adnan langsung menarik tangan Shiera.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
siera ini kek abis jatoh ketimpa tangga karena harus nikah ama river.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status