Shiera mencoba untuk memejamkan kedua matanya, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Namun pikirannya terus berkelana, tidak memberi ruang bagi ketenangan.
Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya dari lamunan. “Kenapa dia meneleponku? Ada apa?” lirih Shiera tak tenang. Ia segera menerima panggilan itu. “Shiera, kamu di mana? Ayahmu mencari kamu di rumahku. Dia marah besar,” ungkap seorang lelaki di seberang sana. “Adnan, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong jangan katakan apa pun kepada ayahku,” Shiera memohon, suaranya terdengar putus asa. “Baiklah. Apakah besok kita bisa bertemu? Aku ada kabar lain. Kabar baik.” Shiera setuju untuk bertemu dengan sahabat dekatnya itu sebelum mematikan panggilan. ‘Kabar baik? Jangan-jangan Adnan mau menikah?’ Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya. Keesokan paginya, Shiera terbangun dengan kepala cukup berat. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu. Matahari sudah mulai menyinari kota dengan lembut. Di dalam rumah besar Eliana dan River, suasana pagi tampak tenang dan teratur. Shiera yang baru saja selesai merapikan rambutnya, segera membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan di meja makan. Aroma roti panggang dan kopi segar memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat meskipun hati Shiera terasa sebaliknya. Eliana dan River sudah duduk di meja makan. Eliana yang selalu tampak ceria dan River dengan wajah datar tanpa ekspresi sibuk membaca pesan pada ponselnya sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya. Shiera masih sibuk membantu asisten rumah tangga mengatur piring-piring dan menyusun hidangan. Tangannya lincah tetapi matanya terus melirik ke arah Eliana dan River yang duduk berseberangan. Ada perasaan tidak nyaman yang menggelayuti hati Shiera, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Ketika semua hidangan telah tersaji di meja, Shiera hendak pergi kembali ke dapur, berharap bisa menghindari situasi canggung tersebut. Namun suara Eliana menghentikannya. “Shiera, duduklah di sini dan makan bersama kami,” kata Eliana dengan senyum ramah yang tampak dipaksakan. Shiera melirik ke arah River yang hanya duduk diam, wajahnya tanpa ekspresi, seolah tidak peduli dengan keberadaan Shiera di meja makan. Hati Shiera semakin gelisah. Ia merasa tidak enak hati dan takut mengganggu waktu mereka berdua. “Terima kasih, El, tapi aku sudah sarapan tadi,” kata Shiera berusaha menolak dengan halus. Eliana tidak menyerah. “Ayolah, Shiera. Aku tahu kalau kamu belum makan apa pun sejak pagi. Duduklah dan temani kami sarapan. Aku ingin kita semua bisa makan bersama.” Shiera merasakan desakan halus namun tegas dalam nada bicara Eliana. Akhirnya dengan perasaan ragu Shiera duduk di kursi yang disediakan. Tangannya gemetar saat mengambil sendok, sementara matanya sesekali mencuri pandang ke arah River. Namun pria itu tetap diam, fokus pada makanannya, tanpa sedikit pun memberikan perhatian pada Shiera. Eliana berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Shiera mengobrol. “Shiera, bagaimana tidurmu tadi malam? Apakah kamu merasa nyaman?” Shiera tersenyum tipis, mencoba membalas keramahan sahabatnya. “Tidurku cukup baik, El. Terima kasih.” Pembicaraan berlangsung canggung, dengan Eliana yang terus berusaha melibatkan Shiera dalam percakapan. Namun perhatian Shiera terus tertuju pada River yang tampak semakin dingin dan angkuh. Setiap gerakan pria itu terukur dan penuh dengan sikap acuh tak acuh. Seolah-olah kehadiran Shiera di meja makan hanyalah angin lalu. Di saat Eliana dan Shiera masih mengobrol, Tiba-tiba River meletakkan sendoknya dengan suara yang cukup keras hingga membuat suasana menjadi hening seketika. “Aku sudah kenyang,” katanya dengan nada datar. River berdiri dari kursinya, mengabaikan pandangan Eliana dan Shiera yang terkejut. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, River meninggalkan meja makan dan menuju pintu keluar, siap berangkat kerja. Shiera merasa dadanya semakin sesak melihat sikap dingin River. Ia merasa bersalah dan tidak nyaman. Setelah River pergi, Shiera menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Eliana. “Lihatlah, El. Sepertinya River sangat membenciku,” katanya lirih. Eliana menggeleng dan mencoba menenangkan Shiera. “Jangan berpikir begitu, Shiera. River hanya butuh waktu untuk menerima semua ini. Aku yakin dia tidak membencimu.” Namun, Shiera tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah yang menghantuinya. Sikap dingin dan angkuh River terus terbayang di benaknya, membuat hatinya semakin berat. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah diinginkannya. Setelah sarapan selesai, Shiera membantu membersihkan meja bersama asisten rumah tangga. Tangannya bergerak otomatis, tetapi pikirannya terus melayang ke kejadian di meja makan tadi. Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dalam kondisi seperti ini. Eliana datang mendekat dan menepuk bahu Shiera dengan lembut. “Shiera, kamu harus kuat. Kita akan melalui ini bersama-sama. Aku yakin River akan berubah sikapnya nanti.” Shiera hanya mengangguk saja. Ia berusaha percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Eliana kemudian pamit untuk berangkat kerja. Seperti biasanya ia tampil sangat menawan. Sungguh berbeda jauh dengan penampilan Shiera saat ini. Setelah memastikan Eliana dan River sudah berangkat kerja, Shiera memutuskan untuk menemui Adnan. Namun sebelum ia sempat beranjak, sebuah pesan masuk ke ponselnya.Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang. Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit. Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali “Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.” Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya. Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya. Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan. “Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.” “Tentu saja, Bu. Nanti aka
Tetapi wanita itu segera menarik tangannya. “Em, aku bisa sendiri.” Adnan melihat sikap aneh Shiera. Tetapi ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sahabatnya. Tak butuh waktu lama Shiera pun mulai bekerja di restoran setelah meninggalkan kafe tempat pertemuan mereka. Wanita itu menjalankan tugasnya dengan baik. Di saat jam istirahat makan siang, di sudut restoran, sebuah meja sudah dipesan untuk pertemuan penting antara River dan klien potensialnya. River memasuki restoran dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Di sampingnya, seorang wanita muda yang cantik mengikuti langkahnya, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang rapi. Wanita itu adalah sekretarisnya yang selalu setia mendampinginya dalam setiap pertemuan penting. Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan, di mana klien mereka, Mr. Smith, sudah menunggu. Mereka mulai membahas tentang peluang kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tak lama kemu
“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed
Shiera merasa takut kepada tatapan tajam River. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan yang seolah penuh ancaman itu. Namun wanita tersebut tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. “Ke mana saja kamu?” Suara River terdengar dingin dan penuh tuntutan. Shiera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya bergetar ringan. “Aku menjenguk ibuku yang baru pulang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh.” Di dalam hatinya, River merasa sedikit bersalah. Ia tidak sedikitpun peduli dengan kehidupan Shiera selama ini. Bahkan ia tidak tahu jika ibu Shiera sakit. Tetapi River hanya diam dan masih menunjukkan keangkuhannya, ekspresi wajahnya tetap kaku tanpa emosi. Shiera merasakan ketegangan semakin meningkat. Udara di sekitar mereka terasa semakin menekan. River masih menatapnya dengan pandangan yang tajam, seolah menantang Shiera untuk mengatakan sesuatu yang salah. Setelah beberapa saat berlalu, River akhirnya berbicara lagi. “Eliana ada di mana?
Di tempat peristirahatan, Eliana baru saja memeriksa ponselnya saat menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyandarkan kepalanya di sebuah kursi panjang. “Lelah sekali hari ini.” Eliana melihat seseorang mengulurkan segelas minuman untuknya. “Maxime?” Eliana segera menegakkan tubuhnya. “Mau minuman? Aktingmu luar biasa hari ini. Aku sangat kagum kepadamu.” Eliana merasa tersipu. Ia tidak menyangka Maxime akan memujinya. Setelah memberikan segelas minuman, aktor tampan itu pergi ke toilet. Eliana menikmati minuman itu. Kemudian ia melihat beberapa pesan di ponselnya. “Apa? River tadi datang ke sini? Itu berarti ... tidak. Tidak mungkin. Dia pasti sangat marah jika melihatku bersama Maxime. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku sangat mengagumi Maxime. Aku tidak mungkin bisa menolak permintaan ini.” Eliana berdiri dengan resah. Ia mondar-mandir seorang diri. Memikirkan cara yang tepat agar River tidak marah dan menyuruhnya berhenti sebagai pemain film dewasa. Sementara
River berniat untuk membuntuti Eliana, tetapi sekretarisnya datang dan memberikan beberapa dokumen yang harus ditandatangani segera. River mendesah pelan. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Rasa pusing yang tiba-tiba muncul membuatnya merasa seakan-akan dunia berputar di sekelilingnya. Pikiran tentang Eliana yang terus mengganggu dan beban pekerjaan yang tak kunjung habis, semakin memperparah kondisinya. “Pak River, ini dokumen yang harus segera ditandatangani,” ujar Nada—sang sekretaris dengan suara lembut namun tegas. River menatap tumpukan dokumen di hadapannya dengan tatapan lelah. “Baiklah, Nada. Letakkan di meja saya,” jawabnya sambil menghela napas panjang. Nada mengangguk dan meninggalkan ruangan, membiarkan River bergulat dengan pikirannya sendiri. CEO tampan itu meraih dokumen pertama, mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke Eliana. River menggeleng, kali ini dengan gerakan yang lebih tegas. Wajahnya tetap dingin dan tatapannya jau
Malam semakin larut. Shiera berdiri gemetar di sudut ruangan kamar hotel mewah itu. “Aku yakin River tidak akan datang.” Shiera berjalan mondar-mandir. Kain tipis gaunnya melambai lembut setiap kali dia bergerak. Namun setiap sentuhan kain di kulitnya membuatnya merasa semakin resah dan takut. “Apa yang harus aku lakukan? Mana mungkin aku bisa menggoda River? Bahkan ia tidak mengharapkan kehadiranku sama sekali.” Tiba-tiba pintu kamar terbuka. River berdiri dengan tenang. Ia mengenakan jas hitam yang tampak sempurna melekat pada tubuh atletisnya. Jas itu dipotong rapi, menonjolkan bahu lebarnya dan pinggang yang ramping. Kemeja putih bersih yang dikenakannya terlihat kontras dengan warna gelap jasnya, sementara dasi hitam menambah sentuhan elegan pada penampilannya. Sepasang mata tajam berwarna hitam pekat itu seolah bisa menembus jiwa siapa pun yang ditatapnya. River berjalan mendekat. Setiap langkahnya membuat Shiera semakin takut. Jari-jarinya yang kurus meremas uj
Shiera duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa lemas. Ia merasakan ngilu di bagian miliknya, sisa-sisa peristiwa yang tak ingin ia ingat kembali. Dengan gemetar, Shiera membuka ponselnya dan mencari cara di internet untuk mengurangi rasa sakitnya. Setiap kata yang ia baca hanya menambah kepedihannya, mengingatkan akan kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Cukup lama Shiera beristirahat di kamar, terjebak dalam pikirannya yang penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Ponselnya berdering tanpa henti, mengganggu ketenangan semunya. Wanita itu segera memeriksanya, melihat nama Adnan tertera di layar. “Shiera, kamu di mana? Ini sudah siang, kenapa kamu belum sampai di restoran?” tanya Adnan dari balik telepon, suaranya terdengar khawatir. “Aku sedang tidak enak badan, Adnan. Tolong sampaikan ke Pak Bos, ya? Aku ingin beristirahat hari ini,” jawab Shiera dengan suara lemah. Adnan terdiam sejenak, mencerna kata-kata Shiera. “Baik, aku akan sampaikan. Tapi Shiera, kamu yaki