Share

6. Dingin dan Angkuh

Shiera mencoba untuk memejamkan kedua matanya, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Namun pikirannya terus berkelana, tidak memberi ruang bagi ketenangan.

Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya dari lamunan.

“Kenapa dia meneleponku? Ada apa?” lirih Shiera tak tenang. Ia segera menerima panggilan itu.

“Shiera, kamu di mana? Ayahmu mencari kamu di rumahku. Dia marah besar,” ungkap seorang lelaki di seberang sana.

“Adnan, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong jangan katakan apa pun kepada ayahku,” Shiera memohon, suaranya terdengar putus asa.

“Baiklah. Apakah besok kita bisa bertemu? Aku ada kabar lain. Kabar baik.”

Shiera setuju untuk bertemu dengan sahabat dekatnya itu sebelum mematikan panggilan. ‘Kabar baik? Jangan-jangan Adnan mau menikah?’ Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya.

Keesokan paginya, Shiera terbangun dengan kepala cukup berat. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu.

Matahari sudah mulai menyinari kota dengan lembut. Di dalam rumah besar Eliana dan River, suasana pagi tampak tenang dan teratur.

Shiera yang baru saja selesai merapikan rambutnya, segera membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan di meja makan.

Aroma roti panggang dan kopi segar memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat meskipun hati Shiera terasa sebaliknya.

Eliana dan River sudah duduk di meja makan. Eliana yang selalu tampak ceria dan River dengan wajah datar tanpa ekspresi sibuk membaca pesan pada ponselnya sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya.

Shiera masih sibuk membantu asisten rumah tangga mengatur piring-piring dan menyusun hidangan.

Tangannya lincah tetapi matanya terus melirik ke arah Eliana dan River yang duduk berseberangan. Ada perasaan tidak nyaman yang menggelayuti hati Shiera, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.

Ketika semua hidangan telah tersaji di meja, Shiera hendak pergi kembali ke dapur, berharap bisa menghindari situasi canggung tersebut. Namun suara Eliana menghentikannya.

“Shiera, duduklah di sini dan makan bersama kami,” kata Eliana dengan senyum ramah yang tampak dipaksakan.

Shiera melirik ke arah River yang hanya duduk diam, wajahnya tanpa ekspresi, seolah tidak peduli dengan keberadaan Shiera di meja makan.

Hati Shiera semakin gelisah. Ia merasa tidak enak hati dan takut mengganggu waktu mereka berdua.

“Terima kasih, El, tapi aku sudah sarapan tadi,” kata Shiera berusaha menolak dengan halus.

Eliana tidak menyerah. “Ayolah, Shiera. Aku tahu kalau kamu belum makan apa pun sejak pagi. Duduklah dan temani kami sarapan. Aku ingin kita semua bisa makan bersama.”

Shiera merasakan desakan halus namun tegas dalam nada bicara Eliana. Akhirnya dengan perasaan ragu Shiera duduk di kursi yang disediakan.

Tangannya gemetar saat mengambil sendok, sementara matanya sesekali mencuri pandang ke arah River.

Namun pria itu tetap diam, fokus pada makanannya, tanpa sedikit pun memberikan perhatian pada Shiera.

Eliana berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Shiera mengobrol. “Shiera, bagaimana tidurmu tadi malam? Apakah kamu merasa nyaman?”

Shiera tersenyum tipis, mencoba membalas keramahan sahabatnya. “Tidurku cukup baik, El. Terima kasih.”

Pembicaraan berlangsung canggung, dengan Eliana yang terus berusaha melibatkan Shiera dalam percakapan.

Namun perhatian Shiera terus tertuju pada River yang tampak semakin dingin dan angkuh.

Setiap gerakan pria itu terukur dan penuh dengan sikap acuh tak acuh. Seolah-olah kehadiran Shiera di meja makan hanyalah angin lalu.

Di saat Eliana dan Shiera masih mengobrol, Tiba-tiba River meletakkan sendoknya dengan suara yang cukup keras hingga membuat suasana menjadi hening seketika.

“Aku sudah kenyang,” katanya dengan nada datar.

River berdiri dari kursinya, mengabaikan pandangan Eliana dan Shiera yang terkejut.

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, River meninggalkan meja makan dan menuju pintu keluar, siap berangkat kerja.

Shiera merasa dadanya semakin sesak melihat sikap dingin River. Ia merasa bersalah dan tidak nyaman.

Setelah River pergi, Shiera menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Eliana.

“Lihatlah, El. Sepertinya River sangat membenciku,” katanya lirih.

Eliana menggeleng dan mencoba menenangkan Shiera. “Jangan berpikir begitu, Shiera. River hanya butuh waktu untuk menerima semua ini. Aku yakin dia tidak membencimu.”

Namun, Shiera tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah yang menghantuinya. Sikap dingin dan angkuh River terus terbayang di benaknya, membuat hatinya semakin berat. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah diinginkannya.

Setelah sarapan selesai, Shiera membantu membersihkan meja bersama asisten rumah tangga. Tangannya bergerak otomatis, tetapi pikirannya terus melayang ke kejadian di meja makan tadi. Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dalam kondisi seperti ini.

Eliana datang mendekat dan menepuk bahu Shiera dengan lembut. “Shiera, kamu harus kuat. Kita akan melalui ini bersama-sama. Aku yakin River akan berubah sikapnya nanti.”

Shiera hanya mengangguk saja. Ia berusaha percaya dengan ucapan sahabatnya itu.

Eliana kemudian pamit untuk berangkat kerja. Seperti biasanya ia tampil sangat menawan. Sungguh berbeda jauh dengan penampilan Shiera saat ini.

Setelah memastikan Eliana dan River sudah berangkat kerja, Shiera memutuskan untuk menemui Adnan.

Namun sebelum ia sempat beranjak, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status