Shiera merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Eliana.
“Bagaimana mungkin? Tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini,” lirihnya. Ia berusaha menahan air matanya dan tetap tersenyum. Setelah Eliana keluar dari dapur, Shiera kembali fokus pada masakannya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Shiera menyiapkan makanan di atas meja yang masih kosong. Pagi itu tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan River di sana. Hanya Eliana yang turun dari tangga dengan wajah penuh kesibukan. “Shiera, maaf ya, pagi ini aku tidak bisa menemanimu makan pagi,” kata Eliana dengan nada terburu-buru. Pekerjaan membuat Shiera selalu disibukkan dengan syuting dan pemotretan. Kadang ia juga tidak bisa pulang dan harus menginap di lokasi syuting. “Oh, iya. River juga harus berangkat pagi tadi. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.” Eliana segera berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan Shiera yang merasa semakin kesepian. “Tapi, El—” kata Shiera, tapi Eliana sudah pergi. Dia menghela napas dan duduk di meja makan, menghabiskan makanannya seorang diri. Sesaat kemudian, seorang wanita paruh baya dan seorang gadis masuk ke dalam rumah. “Maaf, Bu Shiera. Kami datang terlambat. Tadi kami sudah meminta izin kepada Nyonya Eliana.” Mereka adalah asisten rumah tangga yang setiap hari harus pulang. Sejak dulu River memang tidak pernah suka jika ada orang lain menginap di rumah mereka. Ia terbiasa memperkerjakan orang lain tanpa harus membuat mereka menginap di rumah itu. “Tidak apa-apa, Bi. Masuklah,” kata Shiera dengan senyum tipis. Dia merasa sedikit lebih baik dengan kehadiran mereka, meskipun rasa kesepian tetap menghantuinya. Hari itu, Shiera mencoba untuk mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan rumah tangga. Ia membersihkan rumah, menata ulang beberapa barang, dan mencoba beberapa resep masakan baru. “Mungkin besok saja aku mulai melamar pekerjaan.” Shiera mengurungkan niatnya untuk mencari pekerjaan baru. Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Shiera melihat nama Eliana di layar dan segera mengangkatnya. “Halo, El. Ada apa?” “Shiera, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja di rumah,” kata Eliana dengan suara lembut. “Terima kasih, El. Aku baik-baik saja. Hanya saja ... aku merasa sedikit kesepian,” jawab Shiera dengan jujur. “Aku mengerti, Shiera. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Aku selalu ada untukmu dan River juga. Meskipun dia tidak selalu ada di rumah, dia tetap peduli padamu,” jelas Eliana mencoba menghibur. Shiera hanya bisa mengangguk, meskipun Eliana tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, El.” “Oh, iya. Hari ini mungkin aku pulang agak lambat. Aku sangat sibuk syuting film baru bersama aktor terkenal tahun ini. Aku sudah menantikannya sejak dulu.” “Sukses selalu untukmu, El. Sebenarnya ada hal yang ingin aku sampaikan kepadamu. Bolehkah aku bekerja? Aku—” “Tentu saja boleh, Shiera. Sudah dulu ya, aku masih banyak pekerjaan.” Sambungan telepon terputus sebelum Shiera melanjutkan kalimatnya. “Syukurlah, Eliana memberikan izin kepadaku.” Setelah percakapan itu, Shiera merasa sedikit lebih tenang. Ia memutuskan untuk menyiapkan makan malam spesial untuk River saat dia pulang nanti. Mungkin hal itu bisa menjadi awal yang baik untuk memperbaiki hubungan mereka. Shiera sibuk di dapur menyiapkan berbagai hidangan. Sementara Bi Ratna dan anaknya—Lisa sudah pulang. Shiera berharap River akan menyukai makanannya. Gadis itu semakin bersemangat melihat hasil masakannya yang terlihat lezat. Tepat saat makan malam siap, pintu depan terdengar terbuka. Shiera segera menyeka tangannya dan berjalan ke ruang tamu. River baru saja pulang dari kantor, tampak lelah tetapi tetap tampan dengan setelan rapi. “Selamat datang, River. Aku sudah menyiapkan makan malam. Ayo, kita makan bersama,” kata Shiera dengan senyum penuh harap. River menatap Shiera dengan tatapan dingin seperti biasanya. “Aku tidak lapar. Aku sudah makan.” Setelah mengatakan kalimat itu, River langsung masuk ke kamar utama. Ya, kamarnya bersama Eliana. Shiera terdiam mematung merasakan pedihnya sebuah penolakan. Harusnya ia tidak melakukan semua ini. Setelah masuk ke dalam kamar dan tidak mendapati Eliana ada di sana River merasa kesal. “Ke mana Eliana?” tanya River kepada Shiera yang hendak masuk ke dalam kamarnya sendiri. “Dia bilang akan pulang terlambat. Pekerjaannya sangat banyak.” Shiera segera masuk ke dalam kamarnya setelah menjawab pertanyaan dari River. Beberapa saat kemudian Shiera mendengar suara mobil River meninggalkan rumah. Gadis itu mengintip dari jendela. “Apakah dia menyusul Eliana?” Shiera memegangi perutnya yang terasa perih. Ia memang sengaja belum makan agar bisa makan bersama dengan River. Tetapi yang terjadi di luar keinginannya. Karena sekarang ia sendirian di rumah, maka Shiera memilih untuk keluar dari kamar. Shiera menikmati makan malam seorang diri. Rasanya ia ingin segera pergi dari rumah itu. “Tidak ada gunanya aku di sini. River terlihat dingin. Dan sepertinya ia sangat membenciku. Tapi aku sudah menandatangani surat kontrak itu.” Tak lama kemudian River telah kembali. Tanpa menyapa Shiera sama sekali, River kembali masuk ke dalam kamar. Shiera berpura-pura untuk tidak peduli. Ia melanjutkan makan malamnya sambil menunggu kedatangan Eliana. Pintu depan terbuka. Terlihat Eliana memasuki rumah dengan menenteng banyak tote bag di tangannya. “Shiera, kok kamu sendirian? Ke mana River?” tanya Eliana penuh selidik. “Dia ada di kamar kamu. Sepertinya River tidak mau makan bersamaku. Katanya dia sudah makan di luar saat pulang dari kantor tadi,” jawab Shiera pelan, berusaha menahan perasaannya yang bercampur aduk. Eliana tersenyum miring, merasa semakin besar kepala. “Kamu tenang ya, Shiera. Aku tahu River memang sangat mencintaiku. Tapi aku akan membuatnya tidur bersamamu.” “Ta–tapi, El?” Shiera merasa tidak enak hati. Tetapi apa yang bisa ia lakukan? Kenyataannya Shiera memang harus segera mengandung lalu melahirkan dan pergi dari rumah itu. Setelah percakapan itu, Shiera segera mengemasi semua yang ada di atas meja makan. Tangannya gemetar, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Setelah selesai, ia memilih untuk masuk ke dalam kamarnya, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di dalam sana. Gadis itu masuk ke dalam kamar dengan lemas, tubuhnya terasa berat. “River memang sangat mencintai Eliana. Pasti sekarang mereka—” pikirnya, tapi segera menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan yang membuat hatinya semakin sesak. “Jangan, jangan pikirkan itu. Mereka suami istri. Terserah mereka mau berbuat apa. Itu bukan urusanku,” gumamnya sambil mencoba meyakinkan diri.Shiera mencoba untuk memejamkan kedua matanya, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Namun pikirannya terus berkelana, tidak memberi ruang bagi ketenangan. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya dari lamunan. “Kenapa dia meneleponku? Ada apa?” lirih Shiera tak tenang. Ia segera menerima panggilan itu. “Shiera, kamu di mana? Ayahmu mencari kamu di rumahku. Dia marah besar,” ungkap seorang lelaki di seberang sana. “Adnan, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong jangan katakan apa pun kepada ayahku,” Shiera memohon, suaranya terdengar putus asa. “Baiklah. Apakah besok kita bisa bertemu? Aku ada kabar lain. Kabar baik.” Shiera setuju untuk bertemu dengan sahabat dekatnya itu sebelum mematikan panggilan. ‘Kabar baik? Jangan-jangan Adnan mau menikah?’ Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya. Keesokan paginya, Shiera terbangun dengan kepala cukup berat. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu. Ma
Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang. Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit. Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali “Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.” Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya. Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya. Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan. “Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.” “Tentu saja, Bu. Nanti aka
Tetapi wanita itu segera menarik tangannya. “Em, aku bisa sendiri.” Adnan melihat sikap aneh Shiera. Tetapi ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sahabatnya. Tak butuh waktu lama Shiera pun mulai bekerja di restoran setelah meninggalkan kafe tempat pertemuan mereka. Wanita itu menjalankan tugasnya dengan baik. Di saat jam istirahat makan siang, di sudut restoran, sebuah meja sudah dipesan untuk pertemuan penting antara River dan klien potensialnya. River memasuki restoran dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Di sampingnya, seorang wanita muda yang cantik mengikuti langkahnya, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang rapi. Wanita itu adalah sekretarisnya yang selalu setia mendampinginya dalam setiap pertemuan penting. Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan, di mana klien mereka, Mr. Smith, sudah menunggu. Mereka mulai membahas tentang peluang kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tak lama kemu
“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed
Shiera merasa takut kepada tatapan tajam River. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan yang seolah penuh ancaman itu. Namun wanita tersebut tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. “Ke mana saja kamu?” Suara River terdengar dingin dan penuh tuntutan. Shiera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya bergetar ringan. “Aku menjenguk ibuku yang baru pulang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh.” Di dalam hatinya, River merasa sedikit bersalah. Ia tidak sedikitpun peduli dengan kehidupan Shiera selama ini. Bahkan ia tidak tahu jika ibu Shiera sakit. Tetapi River hanya diam dan masih menunjukkan keangkuhannya, ekspresi wajahnya tetap kaku tanpa emosi. Shiera merasakan ketegangan semakin meningkat. Udara di sekitar mereka terasa semakin menekan. River masih menatapnya dengan pandangan yang tajam, seolah menantang Shiera untuk mengatakan sesuatu yang salah. Setelah beberapa saat berlalu, River akhirnya berbicara lagi. “Eliana ada di mana?
Di tempat peristirahatan, Eliana baru saja memeriksa ponselnya saat menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyandarkan kepalanya di sebuah kursi panjang. “Lelah sekali hari ini.” Eliana melihat seseorang mengulurkan segelas minuman untuknya. “Maxime?” Eliana segera menegakkan tubuhnya. “Mau minuman? Aktingmu luar biasa hari ini. Aku sangat kagum kepadamu.” Eliana merasa tersipu. Ia tidak menyangka Maxime akan memujinya. Setelah memberikan segelas minuman, aktor tampan itu pergi ke toilet. Eliana menikmati minuman itu. Kemudian ia melihat beberapa pesan di ponselnya. “Apa? River tadi datang ke sini? Itu berarti ... tidak. Tidak mungkin. Dia pasti sangat marah jika melihatku bersama Maxime. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku sangat mengagumi Maxime. Aku tidak mungkin bisa menolak permintaan ini.” Eliana berdiri dengan resah. Ia mondar-mandir seorang diri. Memikirkan cara yang tepat agar River tidak marah dan menyuruhnya berhenti sebagai pemain film dewasa. Sementara
River berniat untuk membuntuti Eliana, tetapi sekretarisnya datang dan memberikan beberapa dokumen yang harus ditandatangani segera. River mendesah pelan. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Rasa pusing yang tiba-tiba muncul membuatnya merasa seakan-akan dunia berputar di sekelilingnya. Pikiran tentang Eliana yang terus mengganggu dan beban pekerjaan yang tak kunjung habis, semakin memperparah kondisinya. “Pak River, ini dokumen yang harus segera ditandatangani,” ujar Nada—sang sekretaris dengan suara lembut namun tegas. River menatap tumpukan dokumen di hadapannya dengan tatapan lelah. “Baiklah, Nada. Letakkan di meja saya,” jawabnya sambil menghela napas panjang. Nada mengangguk dan meninggalkan ruangan, membiarkan River bergulat dengan pikirannya sendiri. CEO tampan itu meraih dokumen pertama, mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke Eliana. River menggeleng, kali ini dengan gerakan yang lebih tegas. Wajahnya tetap dingin dan tatapannya jau
Malam semakin larut. Shiera berdiri gemetar di sudut ruangan kamar hotel mewah itu. “Aku yakin River tidak akan datang.” Shiera berjalan mondar-mandir. Kain tipis gaunnya melambai lembut setiap kali dia bergerak. Namun setiap sentuhan kain di kulitnya membuatnya merasa semakin resah dan takut. “Apa yang harus aku lakukan? Mana mungkin aku bisa menggoda River? Bahkan ia tidak mengharapkan kehadiranku sama sekali.” Tiba-tiba pintu kamar terbuka. River berdiri dengan tenang. Ia mengenakan jas hitam yang tampak sempurna melekat pada tubuh atletisnya. Jas itu dipotong rapi, menonjolkan bahu lebarnya dan pinggang yang ramping. Kemeja putih bersih yang dikenakannya terlihat kontras dengan warna gelap jasnya, sementara dasi hitam menambah sentuhan elegan pada penampilannya. Sepasang mata tajam berwarna hitam pekat itu seolah bisa menembus jiwa siapa pun yang ditatapnya. River berjalan mendekat. Setiap langkahnya membuat Shiera semakin takut. Jari-jarinya yang kurus meremas uj