Share

5. Bukan Urusanku

Shiera merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Eliana.

“Bagaimana mungkin? Tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini,” lirihnya. Ia berusaha menahan air matanya dan tetap tersenyum.

Setelah Eliana keluar dari dapur, Shiera kembali fokus pada masakannya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya.

Shiera menyiapkan makanan di atas meja yang masih kosong. Pagi itu tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan River di sana. Hanya Eliana yang turun dari tangga dengan wajah penuh kesibukan.

“Shiera, maaf ya, pagi ini aku tidak bisa menemanimu makan pagi,” kata Eliana dengan nada terburu-buru.

Pekerjaan membuat Shiera selalu disibukkan dengan syuting dan pemotretan. Kadang ia juga tidak bisa pulang dan harus menginap di lokasi syuting.

“Oh, iya. River juga harus berangkat pagi tadi. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.”

Eliana segera berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan Shiera yang merasa semakin kesepian.

“Tapi, El—” kata Shiera, tapi Eliana sudah pergi. Dia menghela napas dan duduk di meja makan, menghabiskan makanannya seorang diri.

Sesaat kemudian, seorang wanita paruh baya dan seorang gadis masuk ke dalam rumah. “Maaf, Bu Shiera. Kami datang terlambat. Tadi kami sudah meminta izin kepada Nyonya Eliana.”

Mereka adalah asisten rumah tangga yang setiap hari harus pulang. Sejak dulu River memang tidak pernah suka jika ada orang lain menginap di rumah mereka. Ia terbiasa memperkerjakan orang lain tanpa harus membuat mereka menginap di rumah itu.

“Tidak apa-apa, Bi. Masuklah,” kata Shiera dengan senyum tipis. Dia merasa sedikit lebih baik dengan kehadiran mereka, meskipun rasa kesepian tetap menghantuinya.

Hari itu, Shiera mencoba untuk mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan rumah tangga. Ia membersihkan rumah, menata ulang beberapa barang, dan mencoba beberapa resep masakan baru.

“Mungkin besok saja aku mulai melamar pekerjaan.” Shiera mengurungkan niatnya untuk mencari pekerjaan baru.

Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Shiera melihat nama Eliana di layar dan segera mengangkatnya. “Halo, El. Ada apa?”

“Shiera, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja di rumah,” kata Eliana dengan suara lembut.

“Terima kasih, El. Aku baik-baik saja. Hanya saja ... aku merasa sedikit kesepian,” jawab Shiera dengan jujur.

“Aku mengerti, Shiera. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Aku selalu ada untukmu dan River juga. Meskipun dia tidak selalu ada di rumah, dia tetap peduli padamu,” jelas Eliana mencoba menghibur.

Shiera hanya bisa mengangguk, meskipun Eliana tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, El.”

“Oh, iya. Hari ini mungkin aku pulang agak lambat. Aku sangat sibuk syuting film baru bersama aktor terkenal tahun ini. Aku sudah menantikannya sejak dulu.”

“Sukses selalu untukmu, El. Sebenarnya ada hal yang ingin aku sampaikan kepadamu. Bolehkah aku bekerja? Aku—”

“Tentu saja boleh, Shiera. Sudah dulu ya, aku masih banyak pekerjaan.”

Sambungan telepon terputus sebelum Shiera melanjutkan kalimatnya.

“Syukurlah, Eliana memberikan izin kepadaku.”

Setelah percakapan itu, Shiera merasa sedikit lebih tenang. Ia memutuskan untuk menyiapkan makan malam spesial untuk River saat dia pulang nanti.

Mungkin hal itu bisa menjadi awal yang baik untuk memperbaiki hubungan mereka.

Shiera sibuk di dapur menyiapkan berbagai hidangan. Sementara Bi Ratna dan anaknya—Lisa sudah pulang.

Shiera berharap River akan menyukai makanannya. Gadis itu semakin bersemangat melihat hasil masakannya yang terlihat lezat.

Tepat saat makan malam siap, pintu depan terdengar terbuka. Shiera segera menyeka tangannya dan berjalan ke ruang tamu.

River baru saja pulang dari kantor, tampak lelah tetapi tetap tampan dengan setelan rapi.

“Selamat datang, River. Aku sudah menyiapkan makan malam. Ayo, kita makan bersama,” kata Shiera dengan senyum penuh harap.

River menatap Shiera dengan tatapan dingin seperti biasanya.

“Aku tidak lapar. Aku sudah makan.”

Setelah mengatakan kalimat itu, River langsung masuk ke kamar utama. Ya, kamarnya bersama Eliana.

Shiera terdiam mematung merasakan pedihnya sebuah penolakan. Harusnya ia tidak melakukan semua ini.

Setelah masuk ke dalam kamar dan tidak mendapati Eliana ada di sana River merasa kesal.

“Ke mana Eliana?” tanya River kepada Shiera yang hendak masuk ke dalam kamarnya sendiri.

“Dia bilang akan pulang terlambat. Pekerjaannya sangat banyak.”

Shiera segera masuk ke dalam kamarnya setelah menjawab pertanyaan dari River.

Beberapa saat kemudian Shiera mendengar suara mobil River meninggalkan rumah. Gadis itu mengintip dari jendela.

“Apakah dia menyusul Eliana?”

Shiera memegangi perutnya yang terasa perih. Ia memang sengaja belum makan agar bisa makan bersama dengan River.

Tetapi yang terjadi di luar keinginannya. Karena sekarang ia sendirian di rumah, maka Shiera memilih untuk keluar dari kamar.

Shiera menikmati makan malam seorang diri. Rasanya ia ingin segera pergi dari rumah itu.

“Tidak ada gunanya aku di sini. River terlihat dingin. Dan sepertinya ia sangat membenciku. Tapi aku sudah menandatangani surat kontrak itu.”

Tak lama kemudian River telah kembali. Tanpa menyapa Shiera sama sekali, River kembali masuk ke dalam kamar.

Shiera berpura-pura untuk tidak peduli. Ia melanjutkan makan malamnya sambil menunggu kedatangan Eliana.

Pintu depan terbuka. Terlihat Eliana memasuki rumah dengan menenteng banyak tote bag di tangannya.

“Shiera, kok kamu sendirian? Ke mana River?” tanya Eliana penuh selidik.

“Dia ada di kamar kamu. Sepertinya River tidak mau makan bersamaku. Katanya dia sudah makan di luar saat pulang dari kantor tadi,” jawab Shiera pelan, berusaha menahan perasaannya yang bercampur aduk.

Eliana tersenyum miring, merasa semakin besar kepala. “Kamu tenang ya, Shiera. Aku tahu River memang sangat mencintaiku. Tapi aku akan membuatnya tidur bersamamu.”

“Ta–tapi, El?” Shiera merasa tidak enak hati. Tetapi apa yang bisa ia lakukan? Kenyataannya Shiera memang harus segera mengandung lalu melahirkan dan pergi dari rumah itu.

Setelah percakapan itu, Shiera segera mengemasi semua yang ada di atas meja makan. Tangannya gemetar, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Setelah selesai, ia memilih untuk masuk ke dalam kamarnya, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di dalam sana.

Gadis itu masuk ke dalam kamar dengan lemas, tubuhnya terasa berat.

“River memang sangat mencintai Eliana. Pasti sekarang mereka—” pikirnya, tapi segera menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan yang membuat hatinya semakin sesak.

“Jangan, jangan pikirkan itu. Mereka suami istri. Terserah mereka mau berbuat apa. Itu bukan urusanku,” gumamnya sambil mencoba meyakinkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status