Malam harinya Shiera memutuskan untuk menemui Eliana di ruang kerjanya.
“Aku setuju Eliana,” ucap Shiera dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku bersedia untuk menikah dengan River.” Wajah Eliana seketika berseri-seri. Ia segera menghampiri Shiera dan memeluknya erat-erat. “Terima kasih, Shiera. Aku tahu kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.” Eliana segera mengatur segalanya. Semua dokumen telah lengkap. Pernikahan Shiera dan River terlaksana dengan baik. Shiera tidak bisa menutupi segala perasaannya. Semua terasa campur aduk. Di satu sisi Shiera merasa aneh dan tak nyaman, tetapi di sisi lain ia melihat kebahagiaan di wajah Eliana. Sahabatnya itu tampak lebih tenang dan penuh harapan. Setelah pernikahan selesai, Shiera dan River diminta untuk menandatangani surat perjanjian pernikahan kontrak yang telah disiapkan. Perjanjian itu menyatakan bahwa pernikahan hanya akan berlangsung sampai Shiera melahirkan bayi laki-laki untuk Eliana dan River. Setelah itu pernikahan akan berakhir dengan perceraian yang telah disepakati kedua belah pihak. River menandatangani dengan ekspresi tenang yang sama, seolah-olah itu hanya transaksi bisnis biasa. Sementara Shiera mengambil pena dengan tangan yang gemetar saat hendak menandatangani dokumen tersebut. ‘Tidak, aku tidak mungkin melakukannya.’ “Shiera, apa yang terjadi? Kenapa berhenti?” Eliana berdiri dengan resah saat melihat keraguan pada wajah sahabatnya. Wanita itu menghampiri River dan menyuruhnya meninggalkan tempat itu untuk sejenak. Ia akan berusaha membujuk Shiera kembali. “Kamu mau lari dari tanggung jawab? Kamu sudah berjanji, Shiera. Jangan patahkan harapanku.” Shiera melihat Eliana kembali menangis. Hanya cara ini yang bisa ia lakukan untuk membalas semua kebaikan sahabatnya itu. “El, jangan menangis. Aku akan menandatanganinya.” Shiera mengumpulkan seluruh tenaganya. Ia segera membubuhkan tandatangan di atas beberapa lembar kertas tersebut. Kemudian menyerahkannya kepada Eliana. “Aku mau ke kamar dulu,” pamit Shiera. “Shiera, tunggu sebentar.” Eliana memberikan sebuah kotak hadiah kepada sahabatnya. “Segera mandi dan pakailah ini. Lakukan yang terbaik untuk malam ini.” “Ini apa, El?” Shiera ragu-ragu menerima kotak itu. “Anggap saja itu sebagai hadiah dariku untukmu. Bukalah setelah masuk ke dalam kamar. Kamu pasti menyukainya.” Shiera masuk ke dalam kamar pengantin dengan hati yang berat. Ia tahu malam ini adalah malam pertamanya dengan River. Tetapi meskipun pernikahan itu hanya sebuah kontrak, situasi di dalam kamar tetap membuatnya gugup. Shiera melihat ke sekeliling kamar yang dihiasi dengan indah. Lalu ia berjalan dan duduk di tepi ranjang. Dengan rasa malas bercampur penasaran, Shiera membuka kotak di tangannya. Matanya melebar saat melihat isi di dalamnya. Sebuah pakaian tipis dan seksi berwarna merah menyala. Shiera menarik napas panjang, merasa risih dan tidak nyaman. “Apa yang dipikirkan Eliana dengan memberikan ini padaku?” ucapnya bertanya-tanya. Sementara itu di luar rumah, River duduk di teras sambil merenung. Ia merasa asing dan tidak nyaman dengan situasi ini. Pernikahan keduanya, meskipun sah secara agama tetapi tidak lebih dari sebuah kontrak untuk memberikan keturunan kepada Eliana dan keluarganya. River tahu betapa pentingnya hal ini bagi Eliana, namun hatinya tetap berat menerima kenyataan bahwa dia harus berbagi malam dengan Shiera. Ketika River akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, Eliana menghampirinya dengan ekspresi tegas. “Kenapa kamu di luar, River? Ini malam pertama kalian. Kamu seharusnya ada di kamar dengan Shiera.” River ingin membantah, tetapi ia tahu bahwa Eliana tidak akan menerima alasan apa pun. Dengan enggan River berdiri dan berjalan menuju kamar pengantin. Sesampainya di depan pintu ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam. Di saat itulah Shiera keluar dari kamar mandi hanya mengenakan lingerie merah yang diberikan oleh Eliana. Wajahnya merah padam karena malu. Ketika mata mereka bertemu, River menatapnya sekilas lalu segera membuang muka. Shiera merasa sangat malu, seolah-olah tidak punya harga diri. River menahan perasaan jijiknya. Ia membatin di dalam hatinya. ‘Wanita naif! Bagaimana mungkin aku tidur dengan wanita murahan seperti dia?’ Tiba-tiba River teringat dengan semua cerita dari Eliana yang berhasil menyelamatkan Shiera di hotel. ‘Bukankah ia sudah tidur dengan banyak lelaki di luar sana?! Sial!’ Shiera yang melihat River hanya diam saja mencoba untuk mengatakan sesuatu. Tetapi suaranya terputus-putus. “River, aku—” Lelaki itu segera mengangkat tangan untuk menghentikan kalimat Shiera. “Aku lelah,” ucapnya dengan suara dingin lalu berjalan menuju sisi lain tempat tidur dan duduk memunggungi Shiera. Shiera merasakan dadanya sesak. Ia tahu bahwa pernikahan ini hanyalah pernikahan kontrak, tetapi penghinaan dari River begitu menyakitkan. Wanita itu berdiri di sudut kamar. Ia tidak tahu harus berbuat apa. “Aku akan tidur di sofa!” tegas River kemudian. Shiera hanya mengangguk pelan, merasa lega meskipun tetap terluka. Ia berbaring di tempat tidur dengan punggung menghadap River. Gadis itu berusaha menahan air matanya. Suasana kamar terasa dingin dan penuh ketegangan. Waktu yang berlalu terasa sangat lambat. Shiera tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar-putar memikirkan bagaimana kehidupannya berubah drastis sejak pernikahan itu. Ia teringat saat-saat di mana Eliana menyelamatkannya dan sekarang ia berada dalam situasi yang sama sulitnya meskipun dengan alasan yang berbeda. Di tengah malam River berdiri dan berjalan ke tempat tidur. Ia memandang Shiera yang sedang tidur dengan tenang lalu kembali ke sofa dengan perasaan campur aduk. “Aku tidak bisa melakukannya,” lirih River merasa risau. “Aku tidak bisa tidur dengan wanita ini meskipun hanya untuk satu malam.” Keesokan paginya Shiera bangun dengan perasaan cukup lelah. Ia mendapati River sudah tidak ada di kamar. Gadis itu berdiri dan berjalan ke jendela. Tak sengaja netranya menangkap sosok River yang sedang berbicara dengan Eliana di halaman. Hati Shiera terasa sakit melihat mereka bersama dan terlihat sangat mesra, meskipun ia tahu semua yang ia lakukan demi kebahagiaan sahabatnya. “Sebaiknya aku ikut memasak di dapur,” ucap Shiera dan berlalu pergi meninggalkan kamarnya. Hatinya masih gelisah dan ia merasa butuh melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Shiera melangkah menuju dapur, mencoba menenangkan dirinya dengan rutinitas sederhana. River sedang duduk di bangku taman menikmati udara pagi bersama Eliana. “River aku tahu kamu tidak melakukan apa-apa dengan Shiera tadi malam,” ucap Eliana dengan nada tajam. River mendesah. “Aku tidak bisa, El. Ini semua terlalu cepat. Aku butuh waktu.” “Tolonglah, River. Kamu harus melakukannya. Kamu harus membuat Shiera segera hamil. Dengan begitu nanti kamu tidak perlu menyentuhnya lagi. Kamu bisa membayangkan diriku saat melakukannya.” River menatap Eliana dengan kekecewaan. “Mana mungkin bisa begitu, El? Ini tidak semudah yang kamu pikirkan! Tolong kamu juga mengerti posisiku!” Eliana menghela napas panjang. “Aku mengerti, River, tapi kamu sudah berjanji. Kita harus segera melakukannya. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” River bangkit dari tempat duduknya, merasa semakin tertekan. “Hari ini aku banyak pekerjaan di kantor. Aku tidak akan sarapan di rumah.” River berjalan menuju pintu, berusaha untuk menghindari percakapan lebih lanjut. Eliana melihat kepergian suaminya dengan tatapan marah dan kecewa. “Jangan pikir aku akan diam saja, River. Kamu harus segera melakukannya. Lihat saja apa yang akan aku lakukan nanti kepadamu,” gumam Eliana pada dirinya sendiri. Di dapur Shiera mencoba fokus pada masakan yang sedang ia persiapkan. Pikiran tentang River dan Eliana terus berputar di kepalanya. Beberapa saat kemudian, Eliana masuk ke dapur dengan ekspresi yang lebih lembut. “Shiera, terima kasih sudah membantu di sini,” kata Eliana. “Kamu tahu, semua ini tidak mudah bagi kami semua. Tapi aku sangat menghargai apa yang kamu lakukan.” Shiera hanya tersenyum tipis. “Aku mengerti, El. Aku melakukan ini untukmu. Aku harap semuanya bisa berjalan lancar. Tapi maaf karena tadi malam—” “Ya, aku mengerti Shiera. River memilih untuk tidur denganku tadi malam. Aku tahu dia sangat mencintaiku.” Setelah mengucapkan kalimat itu Eliana pergi meninggalkan Shiera seorang diri. “Apa maksud Eliana mengatakan hal itu kepadaku?”Shiera merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Eliana. “Bagaimana mungkin? Tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini,” lirihnya. Ia berusaha menahan air matanya dan tetap tersenyum. Setelah Eliana keluar dari dapur, Shiera kembali fokus pada masakannya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Shiera menyiapkan makanan di atas meja yang masih kosong. Pagi itu tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan River di sana. Hanya Eliana yang turun dari tangga dengan wajah penuh kesibukan. “Shiera, maaf ya, pagi ini aku tidak bisa menemanimu makan pagi,” kata Eliana dengan nada terburu-buru. Pekerjaan membuat Shiera selalu disibukkan dengan syuting dan pemotretan. Kadang ia juga tidak bisa pulang dan harus menginap di lokasi syuting. “Oh, iya. River juga harus berangkat pagi tadi. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.” Eliana segera berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan Shiera yang merasa semakin kesepian. “Tapi, El—” kata Shiera, tapi Eliana
Shiera mencoba untuk memejamkan kedua matanya, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Namun pikirannya terus berkelana, tidak memberi ruang bagi ketenangan. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya dari lamunan. “Kenapa dia meneleponku? Ada apa?” lirih Shiera tak tenang. Ia segera menerima panggilan itu. “Shiera, kamu di mana? Ayahmu mencari kamu di rumahku. Dia marah besar,” ungkap seorang lelaki di seberang sana. “Adnan, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong jangan katakan apa pun kepada ayahku,” Shiera memohon, suaranya terdengar putus asa. “Baiklah. Apakah besok kita bisa bertemu? Aku ada kabar lain. Kabar baik.” Shiera setuju untuk bertemu dengan sahabat dekatnya itu sebelum mematikan panggilan. ‘Kabar baik? Jangan-jangan Adnan mau menikah?’ Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya. Keesokan paginya, Shiera terbangun dengan kepala cukup berat. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu. Ma
Ternyata pesan dari adik Shiera yang mengatakan bahwa ibunya sudah diperbolehkan untuk pulang. Shiera merasakan gelombang bersalah menyapu dirinya. Ia belum sempat mengunjungi sang ibu saat masih di rumah sakit. Wanita itu justru menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya sama sekali “Sebaiknya aku ke rumah Ibu terlebih dahulu, baru kemudian menemui Adnan.” Setelah bersiap-siap dengan cepat, Shiera memilih untuk naik ojek ke rumah ibunya. Dalam perjalanan, pikirannya terus melayang, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi. Shiera mampir ke toko buah-buahan untuk membeli oleh-oleh bagi ibunya. Ketika Shiera tiba di rumah ibunya, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang telah lama dirindukan. “Ibu benar-benar sangat berterima kasih kepada Eliana. Tolong sampaikan hal ini kepadanya ya, Nak. Ibu tahu Nak Eliana sangat sibuk bekerja. Dia juga terlihat lebih cantik.” “Tentu saja, Bu. Nanti aka
Tetapi wanita itu segera menarik tangannya. “Em, aku bisa sendiri.” Adnan melihat sikap aneh Shiera. Tetapi ia tidak mau berprasangka buruk terhadap sahabatnya. Tak butuh waktu lama Shiera pun mulai bekerja di restoran setelah meninggalkan kafe tempat pertemuan mereka. Wanita itu menjalankan tugasnya dengan baik. Di saat jam istirahat makan siang, di sudut restoran, sebuah meja sudah dipesan untuk pertemuan penting antara River dan klien potensialnya. River memasuki restoran dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Di sampingnya, seorang wanita muda yang cantik mengikuti langkahnya, mengenakan rok pensil hitam dan blus putih yang rapi. Wanita itu adalah sekretarisnya yang selalu setia mendampinginya dalam setiap pertemuan penting. Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan, di mana klien mereka, Mr. Smith, sudah menunggu. Mereka mulai membahas tentang peluang kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tak lama kemu
“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed
Shiera merasa takut kepada tatapan tajam River. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan yang seolah penuh ancaman itu. Namun wanita tersebut tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. “Ke mana saja kamu?” Suara River terdengar dingin dan penuh tuntutan. Shiera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya bergetar ringan. “Aku menjenguk ibuku yang baru pulang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh.” Di dalam hatinya, River merasa sedikit bersalah. Ia tidak sedikitpun peduli dengan kehidupan Shiera selama ini. Bahkan ia tidak tahu jika ibu Shiera sakit. Tetapi River hanya diam dan masih menunjukkan keangkuhannya, ekspresi wajahnya tetap kaku tanpa emosi. Shiera merasakan ketegangan semakin meningkat. Udara di sekitar mereka terasa semakin menekan. River masih menatapnya dengan pandangan yang tajam, seolah menantang Shiera untuk mengatakan sesuatu yang salah. Setelah beberapa saat berlalu, River akhirnya berbicara lagi. “Eliana ada di mana?
Di tempat peristirahatan, Eliana baru saja memeriksa ponselnya saat menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyandarkan kepalanya di sebuah kursi panjang. “Lelah sekali hari ini.” Eliana melihat seseorang mengulurkan segelas minuman untuknya. “Maxime?” Eliana segera menegakkan tubuhnya. “Mau minuman? Aktingmu luar biasa hari ini. Aku sangat kagum kepadamu.” Eliana merasa tersipu. Ia tidak menyangka Maxime akan memujinya. Setelah memberikan segelas minuman, aktor tampan itu pergi ke toilet. Eliana menikmati minuman itu. Kemudian ia melihat beberapa pesan di ponselnya. “Apa? River tadi datang ke sini? Itu berarti ... tidak. Tidak mungkin. Dia pasti sangat marah jika melihatku bersama Maxime. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku sangat mengagumi Maxime. Aku tidak mungkin bisa menolak permintaan ini.” Eliana berdiri dengan resah. Ia mondar-mandir seorang diri. Memikirkan cara yang tepat agar River tidak marah dan menyuruhnya berhenti sebagai pemain film dewasa. Sementara
River berniat untuk membuntuti Eliana, tetapi sekretarisnya datang dan memberikan beberapa dokumen yang harus ditandatangani segera. River mendesah pelan. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Rasa pusing yang tiba-tiba muncul membuatnya merasa seakan-akan dunia berputar di sekelilingnya. Pikiran tentang Eliana yang terus mengganggu dan beban pekerjaan yang tak kunjung habis, semakin memperparah kondisinya. “Pak River, ini dokumen yang harus segera ditandatangani,” ujar Nada—sang sekretaris dengan suara lembut namun tegas. River menatap tumpukan dokumen di hadapannya dengan tatapan lelah. “Baiklah, Nada. Letakkan di meja saya,” jawabnya sambil menghela napas panjang. Nada mengangguk dan meninggalkan ruangan, membiarkan River bergulat dengan pikirannya sendiri. CEO tampan itu meraih dokumen pertama, mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke Eliana. River menggeleng, kali ini dengan gerakan yang lebih tegas. Wajahnya tetap dingin dan tatapannya jau
Ia tak menyangka bahwa Shiera, yang biasanya selalu sabar dan menerima, kini berani menuntut haknya. “Shiera, aku tidak ingin kamu pergi. Dan sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa pergi.” “Oh ya? Aku butuh seseorang yang bisa menghargai dan memperjuangkan keberadaanku. Bukan sekadar seseorang yang menganggapku pilihan kedua.” Shiera beranjak menuju jendela, menatap langit. Ia ingin mencari ketenangan. Hening sejenak, sampai River akhirnya bangkit berdiri, mendekati Shiera dan berhenti di sampingnya. “Aku paham, Shiera. Dan mungkin sudah saatnya aku mengambil keputusan. Aku tahu kamu layak mendapatkan cinta yang penuh, bukan yang setengah-setengah. Dan mungkin, selama ini aku terlalu egois mempertahankanmu tanpa benar-benar berusaha mencintaimu seutuhnya.” Shiera menoleh, menatap wajah River yang terlihat begitu terluka. Rasa kasihan dan simpati tiba-tiba muncul di hatinya, meski ia tahu bahwa perasaannya tidak akan mengubah kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi. “Jadi,
Shiera berusaha menjaga ketenangannya, meski di dalam hatinya ada perasaan gelisah yang semakin kuat. “Kami hanya mengobrol biasa El,” jawab Shiera singkat namun dengan nada tegas, berusaha tidak menunjukkan kelemahan di depan wanita yang tampak seperti menikmati kehadirannya untuk menguji kesabarannya. Eliana tersenyum sinis, lalu melangkah mendekat. Setiap langkahnya penuh percaya diri, seolah ingin menunjukkan bahwa ia yang memegang kendali di sini. “Ah, hanya berbicara, ya? Apakah kamu yakin itu saja, Shiera?” Shiera mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, berusaha mengendalikan emosinya yang semakin mendidih. Ia tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan merespons secara emosional. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun padamu, Eliana,” ucapnya tegas, meski hatinya berdebar kencang. “Oh, benar sekali. Tapi, kamu harus ingat, Shiera, kamu hanyalah tamu di rumah ini,” jawab Eliana dengan nada tajam yang terasa menghujam hati Shiera. “Kamu han
Shiera menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Eliana…” bisiknya lirih. “Bagaimana dengan dia, River? Bagaimana kamu bisa mencintaiku jika dia masih ada di antara kita?” River terdiam, wajahnya menegang sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. “Aku mengerti,” ujarnya dengan suara berat. “Aku tahu, selama ini kehadiran Eliana adalah bayangan yang terus menghantuimu. Tapi percayalah, Shiera … perasaanku padamu tidak bisa diukur dengan perasaan yang pernah kumiliki untuknya.” Ia berhenti sejenak, matanya mengerjap seperti menahan emosi yang bergejolak. “Eliana… mungkin dia adalah masa lalu yang dulu pernah kuanggap segalanya,” lanjutnya dengan suara rendah. “Tapi sekarang, Shiera … yang kuinginkan hanya kamu.” Ia menggenggam tangan Shiera lebih erat, seperti mencoba meyakinkan perempuan itu bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya bukanlah kebohongan. Shiera masih terpaku, hatinya berperang antara rasa bahagia dan ketakutan yang tak te
Shiera mendongak perlahan, menatap mata River yang tampak penuh keraguan namun juga ketulusan yang jarang ia lihat. “Aku sudah terlalu lama memendam ini,” ujar River dengan suara yang sedikit bergetar. “Dan mungkin aku seharusnya mengatakannya lebih cepat.” Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam seakan mencari kekuatan untuk melanjutkan. Shiera menatapnya, perasaan campur aduk antara harapan dan ketidakpercayaan. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh River? “Shiera, aku …,” River kembali menghela napas panjang, seperti sedang melawan dirinya sendiri. “Aku mencintaimu.” Ucapan itu keluar dengan penuh kesungguhan, namun terasa bagai ledakan di kepala Shiera. Ia terpaku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Segala amarah, kekecewaan, dan rasa sakit yang ia rasakan beberapa saat lalu mendadak menguap, digantikan oleh rasa terkejut dan kehangatan yang perlahan menyusup ke hatinya. “River … kamu … apa maksudmu?” Shiera bertanya dengan suara bergetar, mencoba memastikan apa yang
Shiera turun dari mobil dengan penuh kebingungan. Saat kakinya menginjak aspal, mobil River langsung melaju kencang meninggalkannya di pinggir jalan. Shiera hanya bisa menatap punggung mobil suaminya yang semakin menjauh, perasaan kesal dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa River bersikap seperti ini lagi?” gumamnya, merasa tertekan dan bingung. Tak ingin berlama-lama berdiri sendirian di pinggir jalan, Shiera segera mencari taksi untuk pulang. Di dalam perjalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh sikap River yang berubah-ubah. Dari suasana manis dan penuh tawa di pasar tadi, tiba-tiba berubah menjadi sikap dingin yang tak bisa ia pahami. Setibanya di rumah, Shiera mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dengan dahi mengerut, ia berpikir mungkin River sudah tiba lebih dulu. Shiera menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega bahwa River sudah pulang lebih dulu. Ia berharap bisa mendapatkan penjelasan atas sikap suaminya barusan. Namun, saat
“Sayur-sayuran, bumbu dapur, dan mungkin beberapa bahan segar untuk masak nanti,” jawab Shiera riang. River hanya berdiri di belakangnya, tampak bingung namun terhibur melihat antusiasme Shiera. “Kamu kelihatan sangat menikmati ini,” ujarnya. Shiera tertawa kecil. “Tentu saja. Belanja di sini terasa lebih hidup. Setiap bahan yang aku pilih langsung dari sumbernya dan aku bisa tawar-menawar dengan penjualnya,” jawabnya sambil tersenyum. River dan Shiera melangkah lebih jauh memasuki pasar tradisional dengan keramaian dan aroma khas rempah-rempah yang begitu berbeda dari lingkungan kantor atau mall mewah yang biasa dikunjungi River. CEO Tmtampan itu sesekali melirik sekeliling dengan wajah sedikit bingung, sementara Shiera terlihat sangat antusias, langsung menuju lapak sayuran. Mereka berhenti di sebuah kios sayur yang penjualnya tampak ramah menyambut. Shiera mulai memilih sayuran satu per satu. “Yang ini segar, ya, Bu?” tanyanya sambil mengangkat tomat merah. Penjualnya men
Shiera terkejut melihat sosok yang sangat ia kenal itu mendekatinya dengan senyum miring yang penuh maksud. Lelaki itu adalah ayahnya yang tampak jauh lebih berantakan dari terakhir kali ia melihatnya. Rudi berjalan mendekat. Shiera menelan ludah, gugup. “Ayah ... apa yang Ayah lakukan di sini?” Rudi tersenyum sinis, matanya berbinar penuh keyakinan. “Berani sekali kamu kabur dari James. Gara-gara kamu, aku kehilangan tempat tinggal. Kamu pikir bisa seenaknya meninggalkan ayahmu ini, Shiera? Ayo, ikut denganku!” Rudi mencengkeram kuat tangan Shiera, seakan tak peduli bahwa ia sedang di tempat umum. Shiera terperangah, berusaha menarik tangannya. “Tidak, Ayah. Aku tidak mau. Tolong lepaskan aku!” Namun Rudi tidak mendengarkan. Ia menggenggam lebih erat, bahkan dengan tatapan marah. “Kamu yang harus membayarkan semua ini, Shiera. Karena ulahmu, aku kehilangan segalanya. Jangan sok pintar dengan menolak. Ikut denganku!” Wanita muda itu menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan d
River menatap Shiera, lalu menghela napas panjang. “Jangan dengarkan apa yang dia katakan. Vikram memang selalu begitu. Suka bermain-main dengan perasaan orang. Jangan ambil hati, Shiera.” Shiera mengangguk, tetapi perasaan tidak enak masih menghantuinya. Ia tahu bahwa selama Vikram berada di rumah ini, ketenangan mereka tidak akan bertahan lama. Ucapan River tidak membuat Shiera merasa tenang. Tuduhan Vikram tadi benar-benar mengusik, seolah menuduhnya memiliki maksud tersembunyi yang tak ia miliki. “River, aku di sini karena permintaan Eliana. Aku tidak pernah punya niat apa pun selain membantu,” ujarnya pelan, namun cukup terdengar getir. River menggenggam tangannya sebentar, menunjukkan ketulusan dalam sorot matanya. “Aku tahu, Shiera. Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa pun, apalagi pada orang seperti Vikram.” Nada suara River terdengar penuh kepastian, tetapi Shiera merasa ada sesuatu yang tak tersampaikan di sana. Dengan perlahan Shiera melepaskan genggaman t
River membawa Vikram masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu di belakang mereka. Shiera, yang masih berada di ruang makan, merasa perasaannya campur aduk. Antara lega dan tegang. Ia tahu bahwa kehadiran Vikram bisa menjadi ancaman untuknya, apalagi dengan sikapnya yang seolah ingin mendekatinya tanpa peduli pada perasaan River. Di dalam ruang kerja, River menatap Vikram tajam. “Apa yang kamu lakukan, Vikram?” tanyanya dengan nada rendah namun penuh tekanan. Vikram hanya tersenyum kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah. “Aku cuma bercanda, Bang. Lagipula, Shiera orangnya asyik. Kamu beruntung punya dia di rumah ini.” “Jangan macam-macam dengannya, Vikram!” tegas River, suaranya kini lebih dalam. “Dia bukan orang yang bisa kamu perlakukan seenaknya. Shiera punya harga diri.” Vikram mengangkat bahu, tampak acuh. “Kenapa, Bang? Cemburu? Kalau memang iya, kenapa tidak bilang saja?” River menghela napas panjang, menahan gejolak emosi yang semakin membara. Ia tahu bahwa Vikr