“Oh, Adnan! Kamu mengejutkanku,” kata Shiera dengan suara sedikit lega setelah melihat sahabatnya berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. “Maaf, Shiera. Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku tadi ke toilet sebentar,” kata Adnan sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kamu sudah pesan makanan?” Shiera mengangguk. “Iya, sudah. Kamu mau pesan apa?” Adnan pun ikut memesan makanan dan mereka mulai makan dengan suasana yang sedikit canggung. Adnan tidak bisa mengabaikan raut wajah Shiera yang tampak murung. “Shiera, kenapa kamu terlihat aneh hari ini? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Shiera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Adnan. “Aneh? Aku merasa biasa saja, Adnan. Mungkin hanya perasaanmu saja.” Adnan menatap Shiera dengan cermat. “Mungkin, tapi aku tahu kamu cukup lama untuk tahu ada yang tidak beres. Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shiera.” Shiera tersenyum tipis, berusaha menenangkan Adnan. “Benar, aku baik-baik saja. Hanya sed
Shiera merasa takut kepada tatapan tajam River. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan yang seolah penuh ancaman itu. Namun wanita tersebut tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. “Ke mana saja kamu?” Suara River terdengar dingin dan penuh tuntutan. Shiera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya bergetar ringan. “Aku menjenguk ibuku yang baru pulang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh.” Di dalam hatinya, River merasa sedikit bersalah. Ia tidak sedikitpun peduli dengan kehidupan Shiera selama ini. Bahkan ia tidak tahu jika ibu Shiera sakit. Tetapi River hanya diam dan masih menunjukkan keangkuhannya, ekspresi wajahnya tetap kaku tanpa emosi. Shiera merasakan ketegangan semakin meningkat. Udara di sekitar mereka terasa semakin menekan. River masih menatapnya dengan pandangan yang tajam, seolah menantang Shiera untuk mengatakan sesuatu yang salah. Setelah beberapa saat berlalu, River akhirnya berbicara lagi. “Eliana ada di mana?
Di tempat peristirahatan, Eliana baru saja memeriksa ponselnya saat menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyandarkan kepalanya di sebuah kursi panjang. “Lelah sekali hari ini.” Eliana melihat seseorang mengulurkan segelas minuman untuknya. “Maxime?” Eliana segera menegakkan tubuhnya. “Mau minuman? Aktingmu luar biasa hari ini. Aku sangat kagum kepadamu.” Eliana merasa tersipu. Ia tidak menyangka Maxime akan memujinya. Setelah memberikan segelas minuman, aktor tampan itu pergi ke toilet. Eliana menikmati minuman itu. Kemudian ia melihat beberapa pesan di ponselnya. “Apa? River tadi datang ke sini? Itu berarti ... tidak. Tidak mungkin. Dia pasti sangat marah jika melihatku bersama Maxime. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku sangat mengagumi Maxime. Aku tidak mungkin bisa menolak permintaan ini.” Eliana berdiri dengan resah. Ia mondar-mandir seorang diri. Memikirkan cara yang tepat agar River tidak marah dan menyuruhnya berhenti sebagai pemain film dewasa. Sementara
River berniat untuk membuntuti Eliana, tetapi sekretarisnya datang dan memberikan beberapa dokumen yang harus ditandatangani segera. River mendesah pelan. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Rasa pusing yang tiba-tiba muncul membuatnya merasa seakan-akan dunia berputar di sekelilingnya. Pikiran tentang Eliana yang terus mengganggu dan beban pekerjaan yang tak kunjung habis, semakin memperparah kondisinya. “Pak River, ini dokumen yang harus segera ditandatangani,” ujar Nada—sang sekretaris dengan suara lembut namun tegas. River menatap tumpukan dokumen di hadapannya dengan tatapan lelah. “Baiklah, Nada. Letakkan di meja saya,” jawabnya sambil menghela napas panjang. Nada mengangguk dan meninggalkan ruangan, membiarkan River bergulat dengan pikirannya sendiri. CEO tampan itu meraih dokumen pertama, mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke Eliana. River menggeleng, kali ini dengan gerakan yang lebih tegas. Wajahnya tetap dingin dan tatapannya jau
Malam semakin larut. Shiera berdiri gemetar di sudut ruangan kamar hotel mewah itu. “Aku yakin River tidak akan datang.” Shiera berjalan mondar-mandir. Kain tipis gaunnya melambai lembut setiap kali dia bergerak. Namun setiap sentuhan kain di kulitnya membuatnya merasa semakin resah dan takut. “Apa yang harus aku lakukan? Mana mungkin aku bisa menggoda River? Bahkan ia tidak mengharapkan kehadiranku sama sekali.” Tiba-tiba pintu kamar terbuka. River berdiri dengan tenang. Ia mengenakan jas hitam yang tampak sempurna melekat pada tubuh atletisnya. Jas itu dipotong rapi, menonjolkan bahu lebarnya dan pinggang yang ramping. Kemeja putih bersih yang dikenakannya terlihat kontras dengan warna gelap jasnya, sementara dasi hitam menambah sentuhan elegan pada penampilannya. Sepasang mata tajam berwarna hitam pekat itu seolah bisa menembus jiwa siapa pun yang ditatapnya. River berjalan mendekat. Setiap langkahnya membuat Shiera semakin takut. Jari-jarinya yang kurus meremas uj
Shiera duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa lemas. Ia merasakan ngilu di bagian miliknya, sisa-sisa peristiwa yang tak ingin ia ingat kembali. Dengan gemetar, Shiera membuka ponselnya dan mencari cara di internet untuk mengurangi rasa sakitnya. Setiap kata yang ia baca hanya menambah kepedihannya, mengingatkan akan kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Cukup lama Shiera beristirahat di kamar, terjebak dalam pikirannya yang penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Ponselnya berdering tanpa henti, mengganggu ketenangan semunya. Wanita itu segera memeriksanya, melihat nama Adnan tertera di layar. “Shiera, kamu di mana? Ini sudah siang, kenapa kamu belum sampai di restoran?” tanya Adnan dari balik telepon, suaranya terdengar khawatir. “Aku sedang tidak enak badan, Adnan. Tolong sampaikan ke Pak Bos, ya? Aku ingin beristirahat hari ini,” jawab Shiera dengan suara lemah. Adnan terdiam sejenak, mencerna kata-kata Shiera. “Baik, aku akan sampaikan. Tapi Shiera, kamu yaki
Eliana berhenti sejenak, menatap Shiera dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa itu, Shiera?” Shiera menatap Eliana dengan ragu-ragu, namun akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya. “Aku dengar dari adikku kalau kamu yang menolong ibuku saat sakit. Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?” Eliana sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi segera ia menguasai dirinya. Wanita itu memasang senyum samar dan menjawab dengan tenang. “Oh, itu. Sebenarnya aku sedang menjenguk teman yang sakit di rumah sakit yang sama. Ketika aku melihat ibumu, aku merasa berkewajiban untuk menolongnya.” Shiera mengerutkan kening, tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. “Tapi kenapa kamu tidak memberitahuku, El? Aku mungkin bisa datang lebih cepat kalau tahu.” Eliana berusaha mencari alasan yang tepat agar Shiera percaya. Ia berpikir cepat, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Shiera ... itu karena keadaan sangat mendesak. Aku tidak dapat berpikir lagi. Aku sudah punya r
River mengemudi tanpa tujuan yang jelas. Ia hanya ingin menjauh dari semua yang telah mengganggu konsentrasinya. Lelaki itu berharap bisa menemukan ketenangan dalam keheningan. Namun pikirannya tetap terikat pada Shiera, pada kejadian malam itu, dan pada perasaan bersalah yang semakin mendalam. Eliana menatap pintu yang baru saja ditutup oleh River. Dia tahu suaminya tidak jujur. Ada sesuatu yang sangat mengganggunya dan itu bukan hanya pekerjaan. Tetapi Eliana memilih untuk tidak menekannya lebih lanjut. Sebaliknya, dia mencoba mengalihkan pikirannya dengan sarapan yang ada di hadapannya, meskipun nafsu makannya juga mulai berkurang. Di lantai atas, Shiera mendengar suara mobil River yang menjauh. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan bergabung dengan Eliana. “Pagi, El. Maaf, aku bangun kesiangan.” Shiera segera duduk berhadapan dengan Eliana. Ia ikut sarapan dalam keadaaan lebih rileks. “Oh, ya, tidak apa-apa, Shiera. Santai saja. Makanlah yang banyak, jangan sam
Ia tak menyangka bahwa Shiera, yang biasanya selalu sabar dan menerima, kini berani menuntut haknya. “Shiera, aku tidak ingin kamu pergi. Dan sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa pergi.” “Oh ya? Aku butuh seseorang yang bisa menghargai dan memperjuangkan keberadaanku. Bukan sekadar seseorang yang menganggapku pilihan kedua.” Shiera beranjak menuju jendela, menatap langit. Ia ingin mencari ketenangan. Hening sejenak, sampai River akhirnya bangkit berdiri, mendekati Shiera dan berhenti di sampingnya. “Aku paham, Shiera. Dan mungkin sudah saatnya aku mengambil keputusan. Aku tahu kamu layak mendapatkan cinta yang penuh, bukan yang setengah-setengah. Dan mungkin, selama ini aku terlalu egois mempertahankanmu tanpa benar-benar berusaha mencintaimu seutuhnya.” Shiera menoleh, menatap wajah River yang terlihat begitu terluka. Rasa kasihan dan simpati tiba-tiba muncul di hatinya, meski ia tahu bahwa perasaannya tidak akan mengubah kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi. “Jadi,
Shiera berusaha menjaga ketenangannya, meski di dalam hatinya ada perasaan gelisah yang semakin kuat. “Kami hanya mengobrol biasa El,” jawab Shiera singkat namun dengan nada tegas, berusaha tidak menunjukkan kelemahan di depan wanita yang tampak seperti menikmati kehadirannya untuk menguji kesabarannya. Eliana tersenyum sinis, lalu melangkah mendekat. Setiap langkahnya penuh percaya diri, seolah ingin menunjukkan bahwa ia yang memegang kendali di sini. “Ah, hanya berbicara, ya? Apakah kamu yakin itu saja, Shiera?” Shiera mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, berusaha mengendalikan emosinya yang semakin mendidih. Ia tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan merespons secara emosional. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun padamu, Eliana,” ucapnya tegas, meski hatinya berdebar kencang. “Oh, benar sekali. Tapi, kamu harus ingat, Shiera, kamu hanyalah tamu di rumah ini,” jawab Eliana dengan nada tajam yang terasa menghujam hati Shiera. “Kamu han
Shiera menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Eliana…” bisiknya lirih. “Bagaimana dengan dia, River? Bagaimana kamu bisa mencintaiku jika dia masih ada di antara kita?” River terdiam, wajahnya menegang sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. “Aku mengerti,” ujarnya dengan suara berat. “Aku tahu, selama ini kehadiran Eliana adalah bayangan yang terus menghantuimu. Tapi percayalah, Shiera … perasaanku padamu tidak bisa diukur dengan perasaan yang pernah kumiliki untuknya.” Ia berhenti sejenak, matanya mengerjap seperti menahan emosi yang bergejolak. “Eliana… mungkin dia adalah masa lalu yang dulu pernah kuanggap segalanya,” lanjutnya dengan suara rendah. “Tapi sekarang, Shiera … yang kuinginkan hanya kamu.” Ia menggenggam tangan Shiera lebih erat, seperti mencoba meyakinkan perempuan itu bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya bukanlah kebohongan. Shiera masih terpaku, hatinya berperang antara rasa bahagia dan ketakutan yang tak te
Shiera mendongak perlahan, menatap mata River yang tampak penuh keraguan namun juga ketulusan yang jarang ia lihat. “Aku sudah terlalu lama memendam ini,” ujar River dengan suara yang sedikit bergetar. “Dan mungkin aku seharusnya mengatakannya lebih cepat.” Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam seakan mencari kekuatan untuk melanjutkan. Shiera menatapnya, perasaan campur aduk antara harapan dan ketidakpercayaan. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh River? “Shiera, aku …,” River kembali menghela napas panjang, seperti sedang melawan dirinya sendiri. “Aku mencintaimu.” Ucapan itu keluar dengan penuh kesungguhan, namun terasa bagai ledakan di kepala Shiera. Ia terpaku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Segala amarah, kekecewaan, dan rasa sakit yang ia rasakan beberapa saat lalu mendadak menguap, digantikan oleh rasa terkejut dan kehangatan yang perlahan menyusup ke hatinya. “River … kamu … apa maksudmu?” Shiera bertanya dengan suara bergetar, mencoba memastikan apa yang
Shiera turun dari mobil dengan penuh kebingungan. Saat kakinya menginjak aspal, mobil River langsung melaju kencang meninggalkannya di pinggir jalan. Shiera hanya bisa menatap punggung mobil suaminya yang semakin menjauh, perasaan kesal dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa River bersikap seperti ini lagi?” gumamnya, merasa tertekan dan bingung. Tak ingin berlama-lama berdiri sendirian di pinggir jalan, Shiera segera mencari taksi untuk pulang. Di dalam perjalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh sikap River yang berubah-ubah. Dari suasana manis dan penuh tawa di pasar tadi, tiba-tiba berubah menjadi sikap dingin yang tak bisa ia pahami. Setibanya di rumah, Shiera mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dengan dahi mengerut, ia berpikir mungkin River sudah tiba lebih dulu. Shiera menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega bahwa River sudah pulang lebih dulu. Ia berharap bisa mendapatkan penjelasan atas sikap suaminya barusan. Namun, saat
“Sayur-sayuran, bumbu dapur, dan mungkin beberapa bahan segar untuk masak nanti,” jawab Shiera riang. River hanya berdiri di belakangnya, tampak bingung namun terhibur melihat antusiasme Shiera. “Kamu kelihatan sangat menikmati ini,” ujarnya. Shiera tertawa kecil. “Tentu saja. Belanja di sini terasa lebih hidup. Setiap bahan yang aku pilih langsung dari sumbernya dan aku bisa tawar-menawar dengan penjualnya,” jawabnya sambil tersenyum. River dan Shiera melangkah lebih jauh memasuki pasar tradisional dengan keramaian dan aroma khas rempah-rempah yang begitu berbeda dari lingkungan kantor atau mall mewah yang biasa dikunjungi River. CEO Tmtampan itu sesekali melirik sekeliling dengan wajah sedikit bingung, sementara Shiera terlihat sangat antusias, langsung menuju lapak sayuran. Mereka berhenti di sebuah kios sayur yang penjualnya tampak ramah menyambut. Shiera mulai memilih sayuran satu per satu. “Yang ini segar, ya, Bu?” tanyanya sambil mengangkat tomat merah. Penjualnya men
Shiera terkejut melihat sosok yang sangat ia kenal itu mendekatinya dengan senyum miring yang penuh maksud. Lelaki itu adalah ayahnya yang tampak jauh lebih berantakan dari terakhir kali ia melihatnya. Rudi berjalan mendekat. Shiera menelan ludah, gugup. “Ayah ... apa yang Ayah lakukan di sini?” Rudi tersenyum sinis, matanya berbinar penuh keyakinan. “Berani sekali kamu kabur dari James. Gara-gara kamu, aku kehilangan tempat tinggal. Kamu pikir bisa seenaknya meninggalkan ayahmu ini, Shiera? Ayo, ikut denganku!” Rudi mencengkeram kuat tangan Shiera, seakan tak peduli bahwa ia sedang di tempat umum. Shiera terperangah, berusaha menarik tangannya. “Tidak, Ayah. Aku tidak mau. Tolong lepaskan aku!” Namun Rudi tidak mendengarkan. Ia menggenggam lebih erat, bahkan dengan tatapan marah. “Kamu yang harus membayarkan semua ini, Shiera. Karena ulahmu, aku kehilangan segalanya. Jangan sok pintar dengan menolak. Ikut denganku!” Wanita muda itu menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan d
River menatap Shiera, lalu menghela napas panjang. “Jangan dengarkan apa yang dia katakan. Vikram memang selalu begitu. Suka bermain-main dengan perasaan orang. Jangan ambil hati, Shiera.” Shiera mengangguk, tetapi perasaan tidak enak masih menghantuinya. Ia tahu bahwa selama Vikram berada di rumah ini, ketenangan mereka tidak akan bertahan lama. Ucapan River tidak membuat Shiera merasa tenang. Tuduhan Vikram tadi benar-benar mengusik, seolah menuduhnya memiliki maksud tersembunyi yang tak ia miliki. “River, aku di sini karena permintaan Eliana. Aku tidak pernah punya niat apa pun selain membantu,” ujarnya pelan, namun cukup terdengar getir. River menggenggam tangannya sebentar, menunjukkan ketulusan dalam sorot matanya. “Aku tahu, Shiera. Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa pun, apalagi pada orang seperti Vikram.” Nada suara River terdengar penuh kepastian, tetapi Shiera merasa ada sesuatu yang tak tersampaikan di sana. Dengan perlahan Shiera melepaskan genggaman t
River membawa Vikram masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu di belakang mereka. Shiera, yang masih berada di ruang makan, merasa perasaannya campur aduk. Antara lega dan tegang. Ia tahu bahwa kehadiran Vikram bisa menjadi ancaman untuknya, apalagi dengan sikapnya yang seolah ingin mendekatinya tanpa peduli pada perasaan River. Di dalam ruang kerja, River menatap Vikram tajam. “Apa yang kamu lakukan, Vikram?” tanyanya dengan nada rendah namun penuh tekanan. Vikram hanya tersenyum kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah. “Aku cuma bercanda, Bang. Lagipula, Shiera orangnya asyik. Kamu beruntung punya dia di rumah ini.” “Jangan macam-macam dengannya, Vikram!” tegas River, suaranya kini lebih dalam. “Dia bukan orang yang bisa kamu perlakukan seenaknya. Shiera punya harga diri.” Vikram mengangkat bahu, tampak acuh. “Kenapa, Bang? Cemburu? Kalau memang iya, kenapa tidak bilang saja?” River menghela napas panjang, menahan gejolak emosi yang semakin membara. Ia tahu bahwa Vikr