Dari dalam mobil, River bisa melihat Shiera berbicara dengan beberapa karyawan restoran. Ia tampak akrab dengan mereka, mungkin mereka adalah teman kerjanya. Setelah beberapa saat Shiera mengganti pakaiannya dengan seragam restoran yang sederhana, tetapi tetap terlihat anggun. Wajahnya tampak lebih cerah dibandingkan ketika di rumah, meskipun masih ada bayang-bayang kelelahan di matanya. Adnan merasa lega melihat Shiera kembali bekerja. Namun ia masih khawatir dengan keadaan sahabatnya. River keluar dari mobil dan mendekati restoran dengan hati-hati. Ia memilih tempat yang tidak terlalu mencolok, tetapi cukup strategis untuk bisa mengamati Shiera tanpa ketahuan. Di balik kaca jendela restoran, ia melihat Shiera bergerak lincah, melayani pelanggan dengan senyum yang tulus. Ada sesuatu dalam cara Shiera bekerja yang membuat hati River bergetar. “Dia benar-benar menikmati pekerjaannya di sini,” pikir River. “Mungkin ini alasan dia sering menghilang dari rumah.” Mata River ta
Shiera tidak berani mengangkat wajahnya. Ia merasakan kegelisahan yang membayang di benaknya. Suara River terdengar penuh ketegangan, dan ia takut salah bicara. “Aku ... aku hanya merasa tidak nyaman,” jawab Shiera pelan, suaranya hampir seperti bisikan. River mendesah kasar, memukul setir mobil dengan tangannya. “Apa yang kamu lakukan di restoran itu dengan lelaki tadi?” tanyanya dengan nada yang penuh tekanan. Shiera mengangkat wajahnya perlahan, melihat ekspresi River yang tegang dan penuh amarah. “Aku ... aku bekerja di sana, River. Itu pekerjaanku,” jawabnya dengan suara bergetar meski tidak menjawab semua pertanyaan River. River menatap Shiera dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya menyiratkan perasaan yang bercampur aduk, antara marah dan kecewa. “Kamu bekerja di sana? Kenapa kamu tidak pernah bilang?” tanyanya dengan nada yang tajam. Shiera terdiam, merasa bingung dengan perubahan sikap River. Ia tidak mengerti mengapa River begitu marah. “Aku ... a
Shiera hanya bisa menggeleng pelan. “Aku ... aku butuh bicara denganmu, Adnan. Bisakah kita berbicara sebentar?” pintanya dengan suara yang hampir pecah. Adnan mengangguk, menuntun Shiera ke meja kosong di pojok restoran. “Apa yang terjadi, Shiera? Ceritakan padaku,” ucap Adnan sambil menatap sahabatnya dengan penuh perhatian. Shiera menarik napas kuat-kuat. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menceritakan semuanya kepada Adnan. “River marah kepadaku, Adnan. Aku tidak tahu apa yang salah. Aku hanya bekerja di sini, tetapi dia terlihat begitu kecewa dan marah,” ungkap Shiera dengan suara yang penuh kepedihan. Adnan mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami situasi yang dihadapi sahabatnya. “Tunggu dulu, sebenarnya ada hubungan apa antara kamu dengan River?” tanya Adnan penuh selidik. Shiera menatap Adnan dengan mata yang berkaca-kaca. Rasa malu dan takut bercampur menjadi satu dalam hatinya. Ia tahu bahwa waktunya telah tiba untuk mengungkapkan kebenaran yang
River tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, menciptakan atmosfer yang semakin mencekam. Langkah kakinya yang berat terdengar menggema saat ia mendekati Shiera dengan pelan, penuh perhitungan. Setiap langkahnya membuat detak jantung Shiera semakin cepat, seolah menghantam dadanya dengan kekuatan yang sulit diabaikan.Tatapan tajam River mengunci mata Shiera, memaksanya untuk tetap berada di tempat, meski keinginannya untuk lari begitu kuat. “Kenapa kamu selalu menunduk setiap kali berhadapan denganku?” tanya River dengan suara rendah yang terasa menekan. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Shiera merasa semakin kecil, seolah semua udara di ruangan itu menghilang dalam sekejap.Shiera menundukkan wajahnya lebih dalam, takut menatap langsung ke mata River. Ada ketegangan yang mengalir deras dalam pembuluh darahnya, membuat tubuhnya gemetar halus. Ia tidak tahu harus menjawab apa, bahkan untuk sekadar mengeluarkan suara pun terasa berat.
Sentuhan tangan Eliana yang lembut seharusnya bisa menenangkan hati River, namun malam itu, justru memunculkan rasa gelisah yang semakin kuat. River menatap Eliana dalam-dalam, mencari sesuatu di balik mata wanita itu, seolah berharap bisa menemukan jawaban atas kebingungannya sendiri. “Apa maksud kamu, El?” River akhirnya balik bertanya, alisnya terangkat sedikit, ekspresi wajahnya berubah dingin dan tak percaya. Ia merasa Eliana tengah memojokkannya, meskipun ia tidak bisa memahami alasan di balik kata-kata wanita itu. “Apa yang ingin kamu katakan?” lanjutnya dengan nada yang lebih tegas. Eliana menghela napas panjang, tetap menjaga senyumnya yang tenang. Ia tahu bahwa River tidak mudah dihadapi ketika sedang dalam suasana hati yang buruk. “Kamu tahu maksudku, River,” jawab Eliana lembut namun penuh makna. “Shiera adalah bagian dari hidup kita sekarang, tapi jangan sampai dia membuat kita kehilangan momen-momen seperti ini.” River mengerutkan kening, merasakan rasa mar
Satu bulan kemudian. Pagi itu masih begitu sunyi di luar rumah, tetapi di dalam, Shiera sudah sedikit panik. Ia baru saja terbangun dan melihat jarum jam sudah mendekati pukul delapan. Waktu terasa berlalu begitu cepat dan Shiera merasakan sedikit pusing ketika beranjak dari tempat tidur. Matahari sudah mulai meninggi, menembus tirai kamar dan menyinari wajahnya yang pucat. Meskipun kepalanya masih terasa berat, Shiera tahu ia tidak bisa membiarkan dirinya terlambat lagi. Shiera menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar-putar. Keseimbangannya sempat goyah ketika ia berdiri, tetapi ia berusaha menepis rasa khawatir yang muncul di benaknya. “Ini pasti hanya karena aku bangun terlalu cepat,” pikirnya. Saat ia turun ke lantai bawah untuk sarapan, Shiera merasa seluruh dunia berputar dengan lambat. Tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya, namun ia berusaha untuk tidak menampakkannya. Di meja makan, River dan Eliana sudah menunggu, keduanya tampak
“Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, dapat dipastikan bahwa istri Anda sedang hamil, Pak River. Selamat, Anda akan menjadi seorang ayah.” Kata-kata dokter itu meluncur lembut, namun dampaknya begitu besar bagi River. Sesaat, ia hanya terdiam, matanya melebar saat mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. ‘Hamil? Shiera hamil?’ Ada kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam tubuh wanita yang kini berstatus sebagai istri keduanya. Perasaan yang begitu kompleks mengalir di dalam dirinya—campuran antara kebahagiaan, keterkejutan, dan sedikit ketakutan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, River akhirnya berhasil menguasai dirinya. “Apakah Shiera sudah tahu tentang ini?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar. Dokter itu menggeleng pelan. “Belum. Saya belum memberitahukan hal ini kepada Ibu Shiera. Saya berpikir untuk memberi tahu Anda terlebih dahulu, mengingat kondisi fisiknya yang masih lemah.” River merasa lega mendengar itu. Sebuah
“Kamu serius, River?” tanya Eliana, suaranya bergetar dengan campuran ketidakpercayaan dan kegembiraan yang nyaris tak tertahankan. Matanya berbinar-binar seolah tidak mampu menahan antusiasme yang tiba-tiba meledak di dalam dirinya. River mengangguk, wajahnya tetap tenang meski di dalam hatinya ada gejolak yang tak terucapkan. “Iya, Eliana. Shiera hamil,” jawabnya pelan, mencoba menahan gelombang emosi yang datang bersamaan dengan kabar ini. Meskipun dia berusaha menyembunyikannya, ada sedikit kegugupan di balik mata River. Eliana menatapnya dengan ekspresi penuh harap. “Ini luar biasa, River! Aku tidak percaya akhirnya kita akan punya anak di keluarga kita.” Suara Eliana penuh dengan kebahagiaan yang meluap-luap. Ia langsung memikirkan betapa bahagianya orang tua mereka ketika mendengar kabar ini. Betapa besar harapan yang mereka gantungkan pada kehadiran seorang cucu. Tetapi di balik kebahagiaan itu, ada sedikit rasa takut yang muncul. Eliana menyadari bahwa hubungan anta