Gimana nih?????
“Kamu serius, River?” tanya Eliana, suaranya bergetar dengan campuran ketidakpercayaan dan kegembiraan yang nyaris tak tertahankan. Matanya berbinar-binar seolah tidak mampu menahan antusiasme yang tiba-tiba meledak di dalam dirinya. River mengangguk, wajahnya tetap tenang meski di dalam hatinya ada gejolak yang tak terucapkan. “Iya, Eliana. Shiera hamil,” jawabnya pelan, mencoba menahan gelombang emosi yang datang bersamaan dengan kabar ini. Meskipun dia berusaha menyembunyikannya, ada sedikit kegugupan di balik mata River. Eliana menatapnya dengan ekspresi penuh harap. “Ini luar biasa, River! Aku tidak percaya akhirnya kita akan punya anak di keluarga kita.” Suara Eliana penuh dengan kebahagiaan yang meluap-luap. Ia langsung memikirkan betapa bahagianya orang tua mereka ketika mendengar kabar ini. Betapa besar harapan yang mereka gantungkan pada kehadiran seorang cucu. Tetapi di balik kebahagiaan itu, ada sedikit rasa takut yang muncul. Eliana menyadari bahwa hubungan anta
River berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit, langkahnya mantap namun penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Setiap langkah yang diambilnya semakin mempercepat detak jantungnya, mencerminkan kekhawatiran yang selama ini ia coba abaikan. Pikirannya masih penuh dengan bayangan Shiera—wanita yang telah ia biarkan sendirian terlalu lama. Ketika River mendekati pintu ruangan Shiera, langkahnya perlahan melambat, tubuhnya tiba-tiba kaku saat mendengar suara dari dalam ruangan. Ia mengenali suara Shiera, lembut penuh dengan rasa terima kasih. Namun, ada nada lain yang membuat darahnya mendidih—suara seorang pria yang tidak ia duga akan berada di sana. “Terima kasih, Adnan. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika tidak ada kamu di sini,” suara Shiera terdengar jelas di telinga River, seakan menusuk tepat ke dalam hatinya. River berhenti sejenak di depan pintu, napasnya tersendat. Emosi berkecamuk di dalam dirinya, kombinasi antara rasa bersalah dan marah yang membuatnya in
Eliana mengumpat di dalam hatinya. Bibirnya tertutup rapat, namun pikirannya berkecamuk penuh dengan emosi yang tak terbendung. Amarah yang membara di dadanya hampir meledak saat ia melihat apa yang tak pernah ia bayangkan. River memeluk Shiera dengan erat, seolah takut kehilangan wanita itu. Rasa cemburu menusuk tajam di hatinya. Bukankah ia yang telah merencanakan semuanya? Bukankah ia yang mengirim Adnan ke rumah sakit dengan harapan bahwa kehadirannya akan membuat River marah dan menjauhi Shiera? Namun, yang terjadi justru sebaliknya. River malah semakin peduli pada Shiera, menambahkan lebih banyak kebencian dalam diri Eliana. Di depan pintu ruangan Shiera, Eliana menatap dengan tajam. Ia mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Wajahnya berubah tenang, senyuman palsu terukir di bibirnya saat ia mengetuk pintu dengan lembut, lalu membukanya tanpa menunggu jawaban. River dan Shiera yang sedang berpelukan langsung tersentak, seakan waktu berhenti sejenak. Mere
River menarik napas panjang dan dalam, memejamkan mata sejenak sebelum membuka bibirnya untuk mengucapkan kata-kata yang terasa begitu berat di hatinya. “Baiklah, aku akan tetap di sini untukmu,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan yang ditujukan lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Eliana. River terpaksa mengingkari janjinya kepada Shiera. Rasa bersalah menghantui pikiran River, membuatnya sulit tidur, meski tubuhnya berada di samping Eliana. Ia merasa terjebak dalam perasaannya sendiri, tidak mampu melawan arus situasi yang semakin rumit.Keesokan paginya, setelah Eliana berangkat bekerja, River masih merasa tak tenang. Pikirannya terus melayang ke arah Shiera. Kekhawatiran itu semakin mendesak hingga akhirnya ia memutuskan untuk membawakan sarapan bagi istri keduanya tersebut.River tahu bahwa ia harus memastikan Shiera baik-baik saja sebelum dirinya sendiri bisa merasa tenang. Meskipun River seharusnya sudah berada di kantor saat ini, keinginan melihat Shiera, untuk
Shiera menatap layar ponselnya, jantungnya berdebar keras. Bagaimana bisa Eliana tahu? Shiera tidak pernah membayangkan situasi ini menjadi begitu rumit. Dengan tangan gemetar, ia membalas pesan tersebut. [Bukan seperti itu maksudku, El. Aku hanya merasa syok.] Sejenak, Shiera menunggu balasan dari Eliana dengan perasaan cemas. Pikiran-pikirannya berkecamuk, membayangkan bagaimana Eliana mungkin bereaksi. Tiba-tiba, notifikasi pesan berbunyi lagi. [Jaga baik-baik calon bayiku dan River. Jangan sampai dia kenapa-napa. Ingat! bayi itu akan menjadi milikku dan milik River.] Kalimat itu menusuk hati Shiera seperti belati tajam. Pesan dari Eliana membuatnya merasa sangat sakit. Hati kecilnya berontak, tak ingin memberikan calon bayinya kepada siapapun. Ia ingin anak itu menjadi miliknya—bayi yang ia kandung dengan penuh kasih sayang. Namun, di sisi lain, ia telah berjanji kepada Eliana. Perasaan bersalah dan ketakutan menggerogoti dirinya. Shiera merasakan nafsu makannya
River beranjak pergi meninggalkan kamar Shiera. Lelaki itu tampak tenang, namun dalam benaknya ada kegelisahan yang tidak bisa ia ungkapkan. Ia tahu bahwa situasi ini tidak mudah bagi siapa pun, terutama bagi Shiera yang sedang mengandung. Di dalam kamar, Shiera terduduk diam di tepi ranjang. Matanya masih terpaku pada pintu yang baru saja tertutup di belakang River. Ada kehangatan yang menjalar di dadanya, namun juga keraguan yang tak bisa ia hilangkan begitu saja. Segala sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini membuat pikirannya berputar-putar tanpa henti. Ia merasa cemas, takut, dan bingung dengan perasaannya sendiri. Shiera menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Shiera masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri, suaranya lirih, hampir tak terdengar. Ia merasa ada yang mengganjal di hatinya—sebuah pertanyaan yang terus menghantui setiap kali River menunjukkan perhatian padanya. Apakah River benar-benar peduli padanya? Ataukah semua itu hanyalah demi bayi yang sedan
Shiera merasa kaget. Belum hilang rasa gelisah di hatinya setelah River mencium keningnya tadi, kini lelaki itu justru menunjukkan perhatian lebih melalui pesan. Perasaan Shiera campur aduk, bingung harus menafsirkan apa maksud dari pesan tersebut. Ia menatap layar ponselnya dengan penuh keraguan, merasa terjebak antara keinginan untuk merespon dengan hangat dan rasa takut akan reaksi River yang mungkin tidak bisa ia prediksi. “Aku harus menjawab apa?” gumam Shiera, kebingungan. Wanita itu tahu bahwa apapun yang ia katakan mungkin akan mempengaruhi hubungan mereka ke depannya, namun ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan dari situasi ini. Setelah merenung sejenak, Shiera akhirnya memutuskan untuk menjawab seadanya. [Aku tidak butuh apa-apa, River. Terima kasih.] Ia mengirim pesan itu dengan perasaan harap-harap cemas, berharap agar River tidak merasa tersinggung atau marah karena jawabannya yang mungkin terdengar dingin. Namun, beberapa menit berlalu dan tidak ada
Shiera terdiam sejenak, merasa terpojok. Ia melirik ke arah River, berharap mendapat sinyal atau petunjuk. Namun, lelaki itu tampak biasa saja, tidak marah dan seolah tidak merasa keberatan. Pandangan matanya tidak menunjukkan emosi apa pun yang bisa Shiera tafsirkan, hanya ada ketenangan yang tidak biasa. “Aku … tapi, Tante?” Shiera kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menolak tawaran itu tanpa menyinggung perasaan mama River. “Tidak pakai tapi-tapian, Sayang. Duduk di sebelah Tante sini,” ujar mama River dengan senyum yang tetap ramah, namun jelas tidak memberi ruang bagi penolakan. Shiera akhirnya mengangguk pelan, mencoba menekan rasa gugup yang terus menggelayut. Ia kemudian melangkah mendekat dan duduk di sebelah mama River, merasa seluruh perhatian kini terfokus pada dirinya. Perasaan canggung dan tidak nyaman semakin besar, namun Shiera berusaha menutupinya dengan senyuman tipis. Selama beberapa saat, keheningan melingkupi ruangan, membuat Shiera semakin merasa t
Ia tak menyangka bahwa Shiera, yang biasanya selalu sabar dan menerima, kini berani menuntut haknya. “Shiera, aku tidak ingin kamu pergi. Dan sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa pergi.” “Oh ya? Aku butuh seseorang yang bisa menghargai dan memperjuangkan keberadaanku. Bukan sekadar seseorang yang menganggapku pilihan kedua.” Shiera beranjak menuju jendela, menatap langit. Ia ingin mencari ketenangan. Hening sejenak, sampai River akhirnya bangkit berdiri, mendekati Shiera dan berhenti di sampingnya. “Aku paham, Shiera. Dan mungkin sudah saatnya aku mengambil keputusan. Aku tahu kamu layak mendapatkan cinta yang penuh, bukan yang setengah-setengah. Dan mungkin, selama ini aku terlalu egois mempertahankanmu tanpa benar-benar berusaha mencintaimu seutuhnya.” Shiera menoleh, menatap wajah River yang terlihat begitu terluka. Rasa kasihan dan simpati tiba-tiba muncul di hatinya, meski ia tahu bahwa perasaannya tidak akan mengubah kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi. “Jadi,
Shiera berusaha menjaga ketenangannya, meski di dalam hatinya ada perasaan gelisah yang semakin kuat. “Kami hanya mengobrol biasa El,” jawab Shiera singkat namun dengan nada tegas, berusaha tidak menunjukkan kelemahan di depan wanita yang tampak seperti menikmati kehadirannya untuk menguji kesabarannya. Eliana tersenyum sinis, lalu melangkah mendekat. Setiap langkahnya penuh percaya diri, seolah ingin menunjukkan bahwa ia yang memegang kendali di sini. “Ah, hanya berbicara, ya? Apakah kamu yakin itu saja, Shiera?” Shiera mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, berusaha mengendalikan emosinya yang semakin mendidih. Ia tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan merespons secara emosional. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun padamu, Eliana,” ucapnya tegas, meski hatinya berdebar kencang. “Oh, benar sekali. Tapi, kamu harus ingat, Shiera, kamu hanyalah tamu di rumah ini,” jawab Eliana dengan nada tajam yang terasa menghujam hati Shiera. “Kamu han
Shiera menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Eliana…” bisiknya lirih. “Bagaimana dengan dia, River? Bagaimana kamu bisa mencintaiku jika dia masih ada di antara kita?” River terdiam, wajahnya menegang sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. “Aku mengerti,” ujarnya dengan suara berat. “Aku tahu, selama ini kehadiran Eliana adalah bayangan yang terus menghantuimu. Tapi percayalah, Shiera … perasaanku padamu tidak bisa diukur dengan perasaan yang pernah kumiliki untuknya.” Ia berhenti sejenak, matanya mengerjap seperti menahan emosi yang bergejolak. “Eliana… mungkin dia adalah masa lalu yang dulu pernah kuanggap segalanya,” lanjutnya dengan suara rendah. “Tapi sekarang, Shiera … yang kuinginkan hanya kamu.” Ia menggenggam tangan Shiera lebih erat, seperti mencoba meyakinkan perempuan itu bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya bukanlah kebohongan. Shiera masih terpaku, hatinya berperang antara rasa bahagia dan ketakutan yang tak te
Shiera mendongak perlahan, menatap mata River yang tampak penuh keraguan namun juga ketulusan yang jarang ia lihat. “Aku sudah terlalu lama memendam ini,” ujar River dengan suara yang sedikit bergetar. “Dan mungkin aku seharusnya mengatakannya lebih cepat.” Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam seakan mencari kekuatan untuk melanjutkan. Shiera menatapnya, perasaan campur aduk antara harapan dan ketidakpercayaan. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh River? “Shiera, aku …,” River kembali menghela napas panjang, seperti sedang melawan dirinya sendiri. “Aku mencintaimu.” Ucapan itu keluar dengan penuh kesungguhan, namun terasa bagai ledakan di kepala Shiera. Ia terpaku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Segala amarah, kekecewaan, dan rasa sakit yang ia rasakan beberapa saat lalu mendadak menguap, digantikan oleh rasa terkejut dan kehangatan yang perlahan menyusup ke hatinya. “River … kamu … apa maksudmu?” Shiera bertanya dengan suara bergetar, mencoba memastikan apa yang
Shiera turun dari mobil dengan penuh kebingungan. Saat kakinya menginjak aspal, mobil River langsung melaju kencang meninggalkannya di pinggir jalan. Shiera hanya bisa menatap punggung mobil suaminya yang semakin menjauh, perasaan kesal dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa River bersikap seperti ini lagi?” gumamnya, merasa tertekan dan bingung. Tak ingin berlama-lama berdiri sendirian di pinggir jalan, Shiera segera mencari taksi untuk pulang. Di dalam perjalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh sikap River yang berubah-ubah. Dari suasana manis dan penuh tawa di pasar tadi, tiba-tiba berubah menjadi sikap dingin yang tak bisa ia pahami. Setibanya di rumah, Shiera mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dengan dahi mengerut, ia berpikir mungkin River sudah tiba lebih dulu. Shiera menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega bahwa River sudah pulang lebih dulu. Ia berharap bisa mendapatkan penjelasan atas sikap suaminya barusan. Namun, saat
“Sayur-sayuran, bumbu dapur, dan mungkin beberapa bahan segar untuk masak nanti,” jawab Shiera riang. River hanya berdiri di belakangnya, tampak bingung namun terhibur melihat antusiasme Shiera. “Kamu kelihatan sangat menikmati ini,” ujarnya. Shiera tertawa kecil. “Tentu saja. Belanja di sini terasa lebih hidup. Setiap bahan yang aku pilih langsung dari sumbernya dan aku bisa tawar-menawar dengan penjualnya,” jawabnya sambil tersenyum. River dan Shiera melangkah lebih jauh memasuki pasar tradisional dengan keramaian dan aroma khas rempah-rempah yang begitu berbeda dari lingkungan kantor atau mall mewah yang biasa dikunjungi River. CEO Tmtampan itu sesekali melirik sekeliling dengan wajah sedikit bingung, sementara Shiera terlihat sangat antusias, langsung menuju lapak sayuran. Mereka berhenti di sebuah kios sayur yang penjualnya tampak ramah menyambut. Shiera mulai memilih sayuran satu per satu. “Yang ini segar, ya, Bu?” tanyanya sambil mengangkat tomat merah. Penjualnya men
Shiera terkejut melihat sosok yang sangat ia kenal itu mendekatinya dengan senyum miring yang penuh maksud. Lelaki itu adalah ayahnya yang tampak jauh lebih berantakan dari terakhir kali ia melihatnya. Rudi berjalan mendekat. Shiera menelan ludah, gugup. “Ayah ... apa yang Ayah lakukan di sini?” Rudi tersenyum sinis, matanya berbinar penuh keyakinan. “Berani sekali kamu kabur dari James. Gara-gara kamu, aku kehilangan tempat tinggal. Kamu pikir bisa seenaknya meninggalkan ayahmu ini, Shiera? Ayo, ikut denganku!” Rudi mencengkeram kuat tangan Shiera, seakan tak peduli bahwa ia sedang di tempat umum. Shiera terperangah, berusaha menarik tangannya. “Tidak, Ayah. Aku tidak mau. Tolong lepaskan aku!” Namun Rudi tidak mendengarkan. Ia menggenggam lebih erat, bahkan dengan tatapan marah. “Kamu yang harus membayarkan semua ini, Shiera. Karena ulahmu, aku kehilangan segalanya. Jangan sok pintar dengan menolak. Ikut denganku!” Wanita muda itu menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan d
River menatap Shiera, lalu menghela napas panjang. “Jangan dengarkan apa yang dia katakan. Vikram memang selalu begitu. Suka bermain-main dengan perasaan orang. Jangan ambil hati, Shiera.” Shiera mengangguk, tetapi perasaan tidak enak masih menghantuinya. Ia tahu bahwa selama Vikram berada di rumah ini, ketenangan mereka tidak akan bertahan lama. Ucapan River tidak membuat Shiera merasa tenang. Tuduhan Vikram tadi benar-benar mengusik, seolah menuduhnya memiliki maksud tersembunyi yang tak ia miliki. “River, aku di sini karena permintaan Eliana. Aku tidak pernah punya niat apa pun selain membantu,” ujarnya pelan, namun cukup terdengar getir. River menggenggam tangannya sebentar, menunjukkan ketulusan dalam sorot matanya. “Aku tahu, Shiera. Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa pun, apalagi pada orang seperti Vikram.” Nada suara River terdengar penuh kepastian, tetapi Shiera merasa ada sesuatu yang tak tersampaikan di sana. Dengan perlahan Shiera melepaskan genggaman t
River membawa Vikram masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu di belakang mereka. Shiera, yang masih berada di ruang makan, merasa perasaannya campur aduk. Antara lega dan tegang. Ia tahu bahwa kehadiran Vikram bisa menjadi ancaman untuknya, apalagi dengan sikapnya yang seolah ingin mendekatinya tanpa peduli pada perasaan River. Di dalam ruang kerja, River menatap Vikram tajam. “Apa yang kamu lakukan, Vikram?” tanyanya dengan nada rendah namun penuh tekanan. Vikram hanya tersenyum kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah. “Aku cuma bercanda, Bang. Lagipula, Shiera orangnya asyik. Kamu beruntung punya dia di rumah ini.” “Jangan macam-macam dengannya, Vikram!” tegas River, suaranya kini lebih dalam. “Dia bukan orang yang bisa kamu perlakukan seenaknya. Shiera punya harga diri.” Vikram mengangkat bahu, tampak acuh. “Kenapa, Bang? Cemburu? Kalau memang iya, kenapa tidak bilang saja?” River menghela napas panjang, menahan gejolak emosi yang semakin membara. Ia tahu bahwa Vikr