Hmmmmm.....
Shiera merasa jantungnya berdetak lebih kencang saat langkahnya semakin mendekati River dan Eliana. Wajah keduanya tampak berbeda, namun sama-sama menyiratkan ketegangan yang kian memuncak. River menatap Shiera dengan pandangan tajam, sementara Eliana, yang semula penuh kebingungan, kini menunjukkan ekspresi yang lebih tertutup. Shiera berharap kata-katanya bisa meredakan ketegangan, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Keduanya tampak semakin kaku, seolah kedatangan Shiera menambah bara di dalam situasi yang sudah panas. River menatap Shiera dengan pandangan dingin, sorot matanya tajam, seakan tidak ingin Shiera berada di sana. “Untuk apa kamu datang ke sini?” tanya River dengan nada dingin dan penuh penekanan. Lelaki itu jelas tidak menginginkan kehadiran Shiera di tengah percakapan yang begitu sensitif ini. Dalam hatinya, River tahu bahwa semakin banyak Shiera terlibat, semakin besar potensi Shiera untuk disakiti, terutama oleh Eliana yang sudah menunjukkan tanda-tand
Mata Eliana menelusuri setiap gerak-gerik Shiera dan mamanya, seakan mencari tanda-tanda hubungan lebih di antara mereka. Di matanya, kedekatan ini seperti ancaman yang nyata, sebuah usaha halus untuk mencuri perhatian dan kasih sayang yang seharusnya hanya miliknya. “Shiera, kamu baik-baik saja?” tanya Eliana dengan suara yang seolah ramah, tetapi Shiera bisa merasakan ada ketidaktulusan di balik nada bicaranya. Sebelum Shiera sempat menjawab, mama River langsung menjelaskan. “Eliana, kebetulan mama dan Shiera sama-sama haus.” Senyumnya hangat, mencoba mencairkan suasana yang semakin tegang. Eliana mengangkat alisnya, seolah tidak yakin dengan penjelasan tersebut. “Benarkah? Tidak ada hal lain?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Mama River hanya tersenyum lembut, tidak menyadari atau mungkin memilih untuk mengabaikan ketidakpercayaan yang terpancar dari sikap menantunya. “Ya, tentu saja, Eliana,” jawabnya tenang, sambil melirik ke arah Shiera ya
Shiera menunduk, mencoba menghindari tatapan Eliana yang seolah menembus isi pikirannya. River, di sisi lain, tampak kebingungan. Ia tahu ia harus memberi alasan, tapi tidak tahu alasan apa yang cukup kuat untuk menjelaskan keberadaannya di kamar Shiera. "Aku ... aku hanya ingin memastikan bahwa malam ini Shiera sudah minum obat," jelas River dengan suara serak, mencoba terdengar meyakinkan. Eliana mengangkat alisnya, tatapannya semakin tajam. "Minum obat?" ulangnya sinis. "Kalau begitu, apakah Shiera sudah minum obat?" Pertanyaan Eliana menggantung di udara, dan River hanya bisa terdiam. Jantungnya berdegup kencang, seolah siap meledak. Ia tahu, jika ia salah bicara, kebohongan yang baru saja ia buat bisa terbongkar seketika. "Tentu saja aku sudah minum obat, El. Aku baik-baik saja," sahut Shiera cepat, mencoba menyelamatkan keadaan. Namun suaranya terdengar goyah, seolah ada sesuatu yang tidak beres di balik ucapannya. Eliana menatap River dengan tatapan yang seolah ingin me
Keesokan paginya, sinar matahari menerobos lembut melalui jendela dapur rumah besar keluarga River. Di sana, Shiera dan Laura, mama River, sedang sibuk menyiapkan berbagai makanan untuk sarapan. Aroma masakan memenuhi seluruh ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Shiera tampak bersemangat, senyumnya tak henti-henti terlukis di wajahnya saat ia bercanda dengan Laura. Wanita itu memang selalu merasa nyaman berada di sekitar mama River. Meskipun hubungan mereka tidak memiliki ikatan darah, Shiera selalu diperlakukan dengan baik oleh Laura. “Shiera, tolong ambilkan garamnya. Aku rasa sup ini butuh sedikit tambahan rasa,” ucap Laura sambil mengaduk panci di depannya. “Baik, Tante,” jawab Shiera sambil tersenyum, cepat-cepat mengambil garam di rak dapur. Mereka berdua melanjutkan masak sambil sesekali melemparkan candaan kecil. Shiera merasa sangat nyaman dengan Laura, seolah mereka memang ibu dan anak kandung. Hubungan ini membuat Shiera merasa lebih diterima di ru
River diam terpaku menatap tiap langkah Shiera yang berjalan ke arahnya. Warna gaun yang kebetulan senada dengan setelan jas River membuat keduanya terlihat seperti pasangan serasi yang memikat mata siapa pun yang melihat. River merasakan dadanya berdesir saat Shiera melangkah mendekat. Ia tahu betul bahwa Shiera selalu cantik, tetapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Gaun itu bukan hanya memperlihatkan kecantikannya, tetapi juga membawa sisi anggun dan mempesona yang membuatnya sulit untuk tidak terpesona. Seketika, semua masalah yang membebani pikirannya terlupakan. Untuk beberapa detik, yang ada hanya Shiera di hadapannya. Shiera, yang masih menata rambutnya sedikit gugup, menatap River dari ujung mata. “Apakah terlalu mencolok? Aku tidak yakin dengan gaun ini, tapi …” River tidak menjawab segera. Lidahnya seolah terikat oleh pemandangan di depannya. Ia merasa dirinya aneh, seperti remaja yang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Perasaan hangat membanjiri dadanya, mesk
Lelaki itu menarik tangan Shiera dengan kasar, membuatnya terjatuh.“Lepaskan aku!”Shiera berteriak sekuat tenaga. Suaranya menggema.Wanita itu mencoba bangkit, tetapi James lebih kuat dan menahannya dengan mudah.“Jangan ... aku mohon,” ucap Shiera dengan suara yang bergetar penuh ketakutan.James merasa senang melihat Shiera lemah tak berdaya. Lelaki itu sudah tidak bisa menahan diri lagi. Shiera merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak lagi dalam situasi mengerikan seperti ini.“Berhenti! Tolong ... siapa saja, tolong aku!” Shiera berteriak sekeras mungkin. Ia berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya.James tertawa kecil. “Tidak ada yang akan mendengarmu, Cantik. Sekarang kamu tidak bisa lari lagi dariku.”Shiera berusaha untuk melawan, menggeliat dengan seluruh tenaga yang tersisa. Namun kekuatannya tidak sebanding dengan James yang lebih kuat dan lebih berpengalaman. James menarik baju Shier
River menatap mamanya dengan ekspresi tak tenang saat ia mendengar pertanyaan yang terus menghantui pikirannya sejak tadi.“Tadi Shiera belum makan, Ma. Dia sedang hamil,” ucap River dengan suara rendah, namun tegas. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya, meski ia tahu, dalam situasi seperti ini, menyebutkan hal tersebut hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari sang mama.Laura, yang sejak tadi memperhatikan dengan seksama, langsung menyipitkan matanya, tampak tidak puas dengan jawaban River. Sorot matanya menyelidik, seperti ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. “Eliana juga hamil, River. Kamu tidak menanyakan dia sudah makan atau belum?” Nada suaranya terdengar tegas, bahkan sedikit menegur, seperti seorang mama yang memarahi anaknya karena lupa akan tanggung jawabnya.“Ma …!!!” River berusaha membantah, tapi suaranya terputus di tengah jalan. Ia tahu, mamanya tidak mudah diyakinkan ketika sudah punya pendapat.Laura menghela napas panjang, seolah menyerah unt
River melirik ke arah Eliana, berharap bisa meredakan ketegangan, tetapi tatapan istrinya tetap penuh kekecewaan. Meski begitu, ia tahu Eliana tidak akan mengungkapkan lebih banyak di depan Laura. “River, ini bukan soal mempersulit keadaan. Ini soal kejujuran. Kalian sudah menikah, tapi rasanya seperti kalian tidak hidup bersama. Eliana terlalu sibuk, dan kamu, River ... kamu juga harus lebih tegas soal apa yang kamu inginkan.” Eliana merasakan rasa sakit menjalar di dadanya. Setiap kata yang diucapkan oleh mertuanya seperti pisau yang menusuk hatinya. Tetapi, di tengah rasa sakit itu, ia merasa marah pada dirinya sendiri. Apakah benar ia terlalu fokus pada pekerjaan dan melupakan hal-hal penting lainnya? Apakah karena itu River semakin menjauh? Akhirnya, Eliana memutuskan untuk diam. Ia tahu jika ia melanjutkan perdebatan ini, itu hanya akan semakin memperburuk keadaan. Ia menelan ludah dan menatap ke arah River dengan harapan bahwa suaminya akan memberikan dukungan atau setida
Ia tak menyangka bahwa Shiera, yang biasanya selalu sabar dan menerima, kini berani menuntut haknya. “Shiera, aku tidak ingin kamu pergi. Dan sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa pergi.” “Oh ya? Aku butuh seseorang yang bisa menghargai dan memperjuangkan keberadaanku. Bukan sekadar seseorang yang menganggapku pilihan kedua.” Shiera beranjak menuju jendela, menatap langit. Ia ingin mencari ketenangan. Hening sejenak, sampai River akhirnya bangkit berdiri, mendekati Shiera dan berhenti di sampingnya. “Aku paham, Shiera. Dan mungkin sudah saatnya aku mengambil keputusan. Aku tahu kamu layak mendapatkan cinta yang penuh, bukan yang setengah-setengah. Dan mungkin, selama ini aku terlalu egois mempertahankanmu tanpa benar-benar berusaha mencintaimu seutuhnya.” Shiera menoleh, menatap wajah River yang terlihat begitu terluka. Rasa kasihan dan simpati tiba-tiba muncul di hatinya, meski ia tahu bahwa perasaannya tidak akan mengubah kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi. “Jadi,
Shiera berusaha menjaga ketenangannya, meski di dalam hatinya ada perasaan gelisah yang semakin kuat. “Kami hanya mengobrol biasa El,” jawab Shiera singkat namun dengan nada tegas, berusaha tidak menunjukkan kelemahan di depan wanita yang tampak seperti menikmati kehadirannya untuk menguji kesabarannya. Eliana tersenyum sinis, lalu melangkah mendekat. Setiap langkahnya penuh percaya diri, seolah ingin menunjukkan bahwa ia yang memegang kendali di sini. “Ah, hanya berbicara, ya? Apakah kamu yakin itu saja, Shiera?” Shiera mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, berusaha mengendalikan emosinya yang semakin mendidih. Ia tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan merespons secara emosional. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun padamu, Eliana,” ucapnya tegas, meski hatinya berdebar kencang. “Oh, benar sekali. Tapi, kamu harus ingat, Shiera, kamu hanyalah tamu di rumah ini,” jawab Eliana dengan nada tajam yang terasa menghujam hati Shiera. “Kamu han
Shiera menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Eliana…” bisiknya lirih. “Bagaimana dengan dia, River? Bagaimana kamu bisa mencintaiku jika dia masih ada di antara kita?” River terdiam, wajahnya menegang sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. “Aku mengerti,” ujarnya dengan suara berat. “Aku tahu, selama ini kehadiran Eliana adalah bayangan yang terus menghantuimu. Tapi percayalah, Shiera … perasaanku padamu tidak bisa diukur dengan perasaan yang pernah kumiliki untuknya.” Ia berhenti sejenak, matanya mengerjap seperti menahan emosi yang bergejolak. “Eliana… mungkin dia adalah masa lalu yang dulu pernah kuanggap segalanya,” lanjutnya dengan suara rendah. “Tapi sekarang, Shiera … yang kuinginkan hanya kamu.” Ia menggenggam tangan Shiera lebih erat, seperti mencoba meyakinkan perempuan itu bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya bukanlah kebohongan. Shiera masih terpaku, hatinya berperang antara rasa bahagia dan ketakutan yang tak te
Shiera mendongak perlahan, menatap mata River yang tampak penuh keraguan namun juga ketulusan yang jarang ia lihat. “Aku sudah terlalu lama memendam ini,” ujar River dengan suara yang sedikit bergetar. “Dan mungkin aku seharusnya mengatakannya lebih cepat.” Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam seakan mencari kekuatan untuk melanjutkan. Shiera menatapnya, perasaan campur aduk antara harapan dan ketidakpercayaan. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh River? “Shiera, aku …,” River kembali menghela napas panjang, seperti sedang melawan dirinya sendiri. “Aku mencintaimu.” Ucapan itu keluar dengan penuh kesungguhan, namun terasa bagai ledakan di kepala Shiera. Ia terpaku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Segala amarah, kekecewaan, dan rasa sakit yang ia rasakan beberapa saat lalu mendadak menguap, digantikan oleh rasa terkejut dan kehangatan yang perlahan menyusup ke hatinya. “River … kamu … apa maksudmu?” Shiera bertanya dengan suara bergetar, mencoba memastikan apa yang
Shiera turun dari mobil dengan penuh kebingungan. Saat kakinya menginjak aspal, mobil River langsung melaju kencang meninggalkannya di pinggir jalan. Shiera hanya bisa menatap punggung mobil suaminya yang semakin menjauh, perasaan kesal dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa River bersikap seperti ini lagi?” gumamnya, merasa tertekan dan bingung. Tak ingin berlama-lama berdiri sendirian di pinggir jalan, Shiera segera mencari taksi untuk pulang. Di dalam perjalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh sikap River yang berubah-ubah. Dari suasana manis dan penuh tawa di pasar tadi, tiba-tiba berubah menjadi sikap dingin yang tak bisa ia pahami. Setibanya di rumah, Shiera mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dengan dahi mengerut, ia berpikir mungkin River sudah tiba lebih dulu. Shiera menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega bahwa River sudah pulang lebih dulu. Ia berharap bisa mendapatkan penjelasan atas sikap suaminya barusan. Namun, saat
“Sayur-sayuran, bumbu dapur, dan mungkin beberapa bahan segar untuk masak nanti,” jawab Shiera riang. River hanya berdiri di belakangnya, tampak bingung namun terhibur melihat antusiasme Shiera. “Kamu kelihatan sangat menikmati ini,” ujarnya. Shiera tertawa kecil. “Tentu saja. Belanja di sini terasa lebih hidup. Setiap bahan yang aku pilih langsung dari sumbernya dan aku bisa tawar-menawar dengan penjualnya,” jawabnya sambil tersenyum. River dan Shiera melangkah lebih jauh memasuki pasar tradisional dengan keramaian dan aroma khas rempah-rempah yang begitu berbeda dari lingkungan kantor atau mall mewah yang biasa dikunjungi River. CEO Tmtampan itu sesekali melirik sekeliling dengan wajah sedikit bingung, sementara Shiera terlihat sangat antusias, langsung menuju lapak sayuran. Mereka berhenti di sebuah kios sayur yang penjualnya tampak ramah menyambut. Shiera mulai memilih sayuran satu per satu. “Yang ini segar, ya, Bu?” tanyanya sambil mengangkat tomat merah. Penjualnya men
Shiera terkejut melihat sosok yang sangat ia kenal itu mendekatinya dengan senyum miring yang penuh maksud. Lelaki itu adalah ayahnya yang tampak jauh lebih berantakan dari terakhir kali ia melihatnya. Rudi berjalan mendekat. Shiera menelan ludah, gugup. “Ayah ... apa yang Ayah lakukan di sini?” Rudi tersenyum sinis, matanya berbinar penuh keyakinan. “Berani sekali kamu kabur dari James. Gara-gara kamu, aku kehilangan tempat tinggal. Kamu pikir bisa seenaknya meninggalkan ayahmu ini, Shiera? Ayo, ikut denganku!” Rudi mencengkeram kuat tangan Shiera, seakan tak peduli bahwa ia sedang di tempat umum. Shiera terperangah, berusaha menarik tangannya. “Tidak, Ayah. Aku tidak mau. Tolong lepaskan aku!” Namun Rudi tidak mendengarkan. Ia menggenggam lebih erat, bahkan dengan tatapan marah. “Kamu yang harus membayarkan semua ini, Shiera. Karena ulahmu, aku kehilangan segalanya. Jangan sok pintar dengan menolak. Ikut denganku!” Wanita muda itu menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan d
River menatap Shiera, lalu menghela napas panjang. “Jangan dengarkan apa yang dia katakan. Vikram memang selalu begitu. Suka bermain-main dengan perasaan orang. Jangan ambil hati, Shiera.” Shiera mengangguk, tetapi perasaan tidak enak masih menghantuinya. Ia tahu bahwa selama Vikram berada di rumah ini, ketenangan mereka tidak akan bertahan lama. Ucapan River tidak membuat Shiera merasa tenang. Tuduhan Vikram tadi benar-benar mengusik, seolah menuduhnya memiliki maksud tersembunyi yang tak ia miliki. “River, aku di sini karena permintaan Eliana. Aku tidak pernah punya niat apa pun selain membantu,” ujarnya pelan, namun cukup terdengar getir. River menggenggam tangannya sebentar, menunjukkan ketulusan dalam sorot matanya. “Aku tahu, Shiera. Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa pun, apalagi pada orang seperti Vikram.” Nada suara River terdengar penuh kepastian, tetapi Shiera merasa ada sesuatu yang tak tersampaikan di sana. Dengan perlahan Shiera melepaskan genggaman t
River membawa Vikram masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu di belakang mereka. Shiera, yang masih berada di ruang makan, merasa perasaannya campur aduk. Antara lega dan tegang. Ia tahu bahwa kehadiran Vikram bisa menjadi ancaman untuknya, apalagi dengan sikapnya yang seolah ingin mendekatinya tanpa peduli pada perasaan River. Di dalam ruang kerja, River menatap Vikram tajam. “Apa yang kamu lakukan, Vikram?” tanyanya dengan nada rendah namun penuh tekanan. Vikram hanya tersenyum kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah. “Aku cuma bercanda, Bang. Lagipula, Shiera orangnya asyik. Kamu beruntung punya dia di rumah ini.” “Jangan macam-macam dengannya, Vikram!” tegas River, suaranya kini lebih dalam. “Dia bukan orang yang bisa kamu perlakukan seenaknya. Shiera punya harga diri.” Vikram mengangkat bahu, tampak acuh. “Kenapa, Bang? Cemburu? Kalau memang iya, kenapa tidak bilang saja?” River menghela napas panjang, menahan gejolak emosi yang semakin membara. Ia tahu bahwa Vikr