River melirik ke arah Eliana, berharap bisa meredakan ketegangan, tetapi tatapan istrinya tetap penuh kekecewaan. Meski begitu, ia tahu Eliana tidak akan mengungkapkan lebih banyak di depan Laura. “River, ini bukan soal mempersulit keadaan. Ini soal kejujuran. Kalian sudah menikah, tapi rasanya seperti kalian tidak hidup bersama. Eliana terlalu sibuk, dan kamu, River ... kamu juga harus lebih tegas soal apa yang kamu inginkan.” Eliana merasakan rasa sakit menjalar di dadanya. Setiap kata yang diucapkan oleh mertuanya seperti pisau yang menusuk hatinya. Tetapi, di tengah rasa sakit itu, ia merasa marah pada dirinya sendiri. Apakah benar ia terlalu fokus pada pekerjaan dan melupakan hal-hal penting lainnya? Apakah karena itu River semakin menjauh? Akhirnya, Eliana memutuskan untuk diam. Ia tahu jika ia melanjutkan perdebatan ini, itu hanya akan semakin memperburuk keadaan. Ia menelan ludah dan menatap ke arah River dengan harapan bahwa suaminya akan memberikan dukungan atau setida
Pak Rahmat mengerutkan alisnya, matanya terus menatap jalan di depannya dengan kewaspadaan yang meningkat. “Sepertinya ada yang sengaja mau bikin onar, Bu Shiera,” jawabnya tegang, meskipun berusaha menjaga suaranya tetap tenang. Lelaki itu segera menurunkan kecepatan mobil, matanya mengawasi mobil di belakang mereka yang semakin mendekat. Shiera merasakan firasat buruk. Jantungnya berdetak semakin cepat, seiring dengan meningkatnya ketegangan di dalam mobil. “Apa maksudnya, Pak Rahmat? Siapa mereka?” tanyanya panik, tubuhnya mulai gemetar. Namun sebelum ia mendapat jawaban, mobil di belakang mereka berhenti mendadak di sisi kanan, memaksa Pak Rahmat juga berhenti. Pak Rahmat menatap Shiera melalui kaca spion, wajahnya tampak tegang. “Tetap di dalam, Bu. Saya akan lihat apa yang mereka inginkan.” Shiera tidak sempat berkata apa-apa ketika Pak Rahmat membuka pintu dan keluar dari mobil. Dengan langkah waspada, ia berjalan mendekati mobil yang baru saja menghentikan mereka. Sh
Suasana di luar gudang semakin tegang. River memimpin anak buahnya dengan tekad kuat untuk menyelamatkan Shiera. Di dalam hatinya, ada amarah yang membara, bercampur dengan rasa takut kehilangan. Setiap langkah yang ia ambil penuh ketegangan. Napasnya memburu dan matanya tak henti-hentinya mengamati setiap sudut sekeliling mereka. “Kita hampir sampai,” ucap salah satu anak buahnya yang membawa senjata di tangan. Suaranya rendah, penuh waspada. River mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu besar gudang yang tampak kokoh di hadapan mereka. Di dalam gudang, Shiera masih terikat di kursi, mulutnya disumpal, dan keringat dingin membasahi dahinya. Tatapan James yang tajam dan sinis semakin mendekat, membuat Shiera semakin panik. Jantungnya berdetak sangat cepat, sementara rasa takut menyelimutinya. Pikirannya berputar, mencoba mencari jalan keluar, tetapi ia terlalu lemah untuk melawan. James berhenti beberapa langkah di depannya, senyum bengisnya semakin menebal.
Shiera tidak menjawab, melainkan terus merobek bagian lengan bajunya hingga terbentuk kain panjang. Dengan cekatan, ia membalut lengan River yang terluka. “Luka ini harus segera diobati. Kamu kehilangan banyak darah, River. Kita sebaiknya segera ke rumah sakit sekarang,” kata Shiera dengan nada penuh kekhawatiran. River meraih tangan Shiera yang sibuk membalut lukanya. Sentuhannya hangat, namun juga terasa berat. “Shiera, ada yang ingin aku katakan kepadamu.” Shiera terdiam, matanya bertemu dengan mata River yang penuh dengan keseriusan. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang penting dari nada suaranya. River kembali mendekatkan wajahnya, jemarinya lembut membelai pipi Shiera. Jantung Shiera berdegup semakin kencang, menunggu apa yang akan dikatakan oleh River. “Shiera … sebenarnya aku—” Suara River terputus oleh dering telepon yang memecah keheningan di antara mereka. River tampak kesal, tetapi ia mengeluarkan ponselnya dan melihat siapa yang menelepon. Nama Eliana muncul di
Laura merasa panik melihat Eliana yang memegangi perutnya dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Sayang? Apa yang terjadi?”Eliana menggigit bibirnya, seolah sedang menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul. Ia tahu bahwa ini satu-satunya cara untuk mengalihkan perhatian ibunya dari pertanyaan-pertanyaan mengenai Shiera dan River. “Perutku ... sakit sekali, Ma.” Eliana berbisik lemah, berharap aktingnya bisa meyakinkan.Laura dengan sigap menggenggam tangan Eliana. “Kita harus panggil dokter sekarang!”Tanpa pikir panjang, Laura memanggil perawat yang segera membawa Eliana ke ruang pemeriksaan. Shiera hanya bisa menonton dengan perasaan campur aduk, tak tahu harus merasa lega atau semakin cemas. Keadaan ini terlalu rumit untuk dihadapi, dan kini dia terjebak dalam pusaran kebohongan yang semakin menjerat.Saat Eliana dibawa pergi, River keluar dari ruangan periksa, dengan perban yang melilit lengannya. Wajahnya terlihat lelah, tetapi tatapannya langsung mencari Shiera.“Apa yang
Eliana menghela napas panjang. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak peduli tentang hubunganmu dengan River. Tetapi ada satu hal yang harus kamu pahami. Keluargaku tidak akan pernah membiarkan River pergi begitu saja.” Shiera menegang. “Maksudmu, El?” Eliana tersenyum tipis, kali ini tanpa kepahitan. “Keluargaku ... mereka tidak akan membiarkan River bebas. Jika dia mencoba meninggalkan pernikahan ini, keluarganya akan hancur. Bisnis mereka akan runtuh dan itu semua akan berakhir pada satu hal. River akan kehilangan segalanya.” “Aku tidak percaya!” ucap Shiera tegas. Wanita itu yakin jika Eliana hanya mengada-ada saja. Posisi River cukup kuat sebagai seorang CEO yang populer. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” “Aku?” Eliana tersenyum lemah. “Aku tidak akan melakukan apa-apa. Tetapi keluargaku ... mereka sudah menyiapkan segalanya. Jika River mencoba meninggalkanku, mereka tidak akan tinggal diam. Bukan hanya dia yang akan menderita. Kamu juga, Shiera.” Shiera menggeleng, mencoba m
Shiera terdiam sejenak sebelum menjawab. “Ya, cukup nyenyak,” jawabnya pendek, berusaha menyembunyikan kegelisahan di suaranya. River tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk sambil memainkan garpunya. Tatapannya kosong, tetapi Shiera bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Seolah mereka berdua sedang bermain sandiwara yang rumit, berpura-pura tidak saling peduli. Laura, yang duduk di ujung meja, mengamati mereka dengan pandangan penuh perhatian. “Kalian berdua terlihat tegang,” katanya sambil tersenyum tipis. “Tidak perlu canggung, Shiera. Anggap saja ini rumahmu sendiri.” Shiera memaksakan senyum, meskipun di dalam hatinya merasa semakin terjebak. Bukan hanya karena River dan Eliana, tetapi juga karena Laura, yang selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ia tahu, di rumah ini dia hanya menjadi pion dalam permainan mereka. Eliana menyentuh lengan River dengan lembut, tatapannya terfokus padanya. “Sayang, hari ini kamu sibuk di kantor?” tanyanya dengan nada lembut, seolah tak
Ponsel Shiera kembali bergetar, membuatnya merasa sedikit gelisah. Ia membuka pesan itu dan melihat nama yang muncul di layarnya. Itu dari Adnan. [Shiera? Kamu ke mana saja? Aku sangat merindukanmu. Bos juga sudah menanyakan tentang kamu. Bisakah kita bertemu?] Mata Shiera membulat ketika membaca pesan tersebut. Rasanya sudah sekian lama ia tidak berhubungan dengan Adnan, sahabatnya di restoran. Rasa nostalgia yang sebelumnya hanya sekilas melintas kini menyerang lebih kuat. Ia teringat pada kenangan-kenangan lamanya saat bekerja di restoran bersama Adnan. Meski semuanya kini telah berubah, pesan itu mengingatkan Shiera pada kehidupan yang dulu terasa sederhana. Shiera menggigit bibirnya, merasa bingung harus merespons atau tidak. Di satu sisi, Adnan selalu menjadi teman yang baik. Di sisi lain, hidupnya kini berada di titik yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Pikirannya bercabang antara peringatan River dan pesan penuh kerinduan dari Adnan. Ia mendesah panjang, menatap layar
Ia tak menyangka bahwa Shiera, yang biasanya selalu sabar dan menerima, kini berani menuntut haknya. “Shiera, aku tidak ingin kamu pergi. Dan sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa pergi.” “Oh ya? Aku butuh seseorang yang bisa menghargai dan memperjuangkan keberadaanku. Bukan sekadar seseorang yang menganggapku pilihan kedua.” Shiera beranjak menuju jendela, menatap langit. Ia ingin mencari ketenangan. Hening sejenak, sampai River akhirnya bangkit berdiri, mendekati Shiera dan berhenti di sampingnya. “Aku paham, Shiera. Dan mungkin sudah saatnya aku mengambil keputusan. Aku tahu kamu layak mendapatkan cinta yang penuh, bukan yang setengah-setengah. Dan mungkin, selama ini aku terlalu egois mempertahankanmu tanpa benar-benar berusaha mencintaimu seutuhnya.” Shiera menoleh, menatap wajah River yang terlihat begitu terluka. Rasa kasihan dan simpati tiba-tiba muncul di hatinya, meski ia tahu bahwa perasaannya tidak akan mengubah kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi. “Jadi,
Shiera berusaha menjaga ketenangannya, meski di dalam hatinya ada perasaan gelisah yang semakin kuat. “Kami hanya mengobrol biasa El,” jawab Shiera singkat namun dengan nada tegas, berusaha tidak menunjukkan kelemahan di depan wanita yang tampak seperti menikmati kehadirannya untuk menguji kesabarannya. Eliana tersenyum sinis, lalu melangkah mendekat. Setiap langkahnya penuh percaya diri, seolah ingin menunjukkan bahwa ia yang memegang kendali di sini. “Ah, hanya berbicara, ya? Apakah kamu yakin itu saja, Shiera?” Shiera mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, berusaha mengendalikan emosinya yang semakin mendidih. Ia tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan merespons secara emosional. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun padamu, Eliana,” ucapnya tegas, meski hatinya berdebar kencang. “Oh, benar sekali. Tapi, kamu harus ingat, Shiera, kamu hanyalah tamu di rumah ini,” jawab Eliana dengan nada tajam yang terasa menghujam hati Shiera. “Kamu han
Shiera menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Eliana…” bisiknya lirih. “Bagaimana dengan dia, River? Bagaimana kamu bisa mencintaiku jika dia masih ada di antara kita?” River terdiam, wajahnya menegang sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. “Aku mengerti,” ujarnya dengan suara berat. “Aku tahu, selama ini kehadiran Eliana adalah bayangan yang terus menghantuimu. Tapi percayalah, Shiera … perasaanku padamu tidak bisa diukur dengan perasaan yang pernah kumiliki untuknya.” Ia berhenti sejenak, matanya mengerjap seperti menahan emosi yang bergejolak. “Eliana… mungkin dia adalah masa lalu yang dulu pernah kuanggap segalanya,” lanjutnya dengan suara rendah. “Tapi sekarang, Shiera … yang kuinginkan hanya kamu.” Ia menggenggam tangan Shiera lebih erat, seperti mencoba meyakinkan perempuan itu bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya bukanlah kebohongan. Shiera masih terpaku, hatinya berperang antara rasa bahagia dan ketakutan yang tak te
Shiera mendongak perlahan, menatap mata River yang tampak penuh keraguan namun juga ketulusan yang jarang ia lihat. “Aku sudah terlalu lama memendam ini,” ujar River dengan suara yang sedikit bergetar. “Dan mungkin aku seharusnya mengatakannya lebih cepat.” Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam seakan mencari kekuatan untuk melanjutkan. Shiera menatapnya, perasaan campur aduk antara harapan dan ketidakpercayaan. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh River? “Shiera, aku …,” River kembali menghela napas panjang, seperti sedang melawan dirinya sendiri. “Aku mencintaimu.” Ucapan itu keluar dengan penuh kesungguhan, namun terasa bagai ledakan di kepala Shiera. Ia terpaku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Segala amarah, kekecewaan, dan rasa sakit yang ia rasakan beberapa saat lalu mendadak menguap, digantikan oleh rasa terkejut dan kehangatan yang perlahan menyusup ke hatinya. “River … kamu … apa maksudmu?” Shiera bertanya dengan suara bergetar, mencoba memastikan apa yang
Shiera turun dari mobil dengan penuh kebingungan. Saat kakinya menginjak aspal, mobil River langsung melaju kencang meninggalkannya di pinggir jalan. Shiera hanya bisa menatap punggung mobil suaminya yang semakin menjauh, perasaan kesal dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa River bersikap seperti ini lagi?” gumamnya, merasa tertekan dan bingung. Tak ingin berlama-lama berdiri sendirian di pinggir jalan, Shiera segera mencari taksi untuk pulang. Di dalam perjalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh sikap River yang berubah-ubah. Dari suasana manis dan penuh tawa di pasar tadi, tiba-tiba berubah menjadi sikap dingin yang tak bisa ia pahami. Setibanya di rumah, Shiera mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dengan dahi mengerut, ia berpikir mungkin River sudah tiba lebih dulu. Shiera menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega bahwa River sudah pulang lebih dulu. Ia berharap bisa mendapatkan penjelasan atas sikap suaminya barusan. Namun, saat
“Sayur-sayuran, bumbu dapur, dan mungkin beberapa bahan segar untuk masak nanti,” jawab Shiera riang. River hanya berdiri di belakangnya, tampak bingung namun terhibur melihat antusiasme Shiera. “Kamu kelihatan sangat menikmati ini,” ujarnya. Shiera tertawa kecil. “Tentu saja. Belanja di sini terasa lebih hidup. Setiap bahan yang aku pilih langsung dari sumbernya dan aku bisa tawar-menawar dengan penjualnya,” jawabnya sambil tersenyum. River dan Shiera melangkah lebih jauh memasuki pasar tradisional dengan keramaian dan aroma khas rempah-rempah yang begitu berbeda dari lingkungan kantor atau mall mewah yang biasa dikunjungi River. CEO Tmtampan itu sesekali melirik sekeliling dengan wajah sedikit bingung, sementara Shiera terlihat sangat antusias, langsung menuju lapak sayuran. Mereka berhenti di sebuah kios sayur yang penjualnya tampak ramah menyambut. Shiera mulai memilih sayuran satu per satu. “Yang ini segar, ya, Bu?” tanyanya sambil mengangkat tomat merah. Penjualnya men
Shiera terkejut melihat sosok yang sangat ia kenal itu mendekatinya dengan senyum miring yang penuh maksud. Lelaki itu adalah ayahnya yang tampak jauh lebih berantakan dari terakhir kali ia melihatnya. Rudi berjalan mendekat. Shiera menelan ludah, gugup. “Ayah ... apa yang Ayah lakukan di sini?” Rudi tersenyum sinis, matanya berbinar penuh keyakinan. “Berani sekali kamu kabur dari James. Gara-gara kamu, aku kehilangan tempat tinggal. Kamu pikir bisa seenaknya meninggalkan ayahmu ini, Shiera? Ayo, ikut denganku!” Rudi mencengkeram kuat tangan Shiera, seakan tak peduli bahwa ia sedang di tempat umum. Shiera terperangah, berusaha menarik tangannya. “Tidak, Ayah. Aku tidak mau. Tolong lepaskan aku!” Namun Rudi tidak mendengarkan. Ia menggenggam lebih erat, bahkan dengan tatapan marah. “Kamu yang harus membayarkan semua ini, Shiera. Karena ulahmu, aku kehilangan segalanya. Jangan sok pintar dengan menolak. Ikut denganku!” Wanita muda itu menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan d
River menatap Shiera, lalu menghela napas panjang. “Jangan dengarkan apa yang dia katakan. Vikram memang selalu begitu. Suka bermain-main dengan perasaan orang. Jangan ambil hati, Shiera.” Shiera mengangguk, tetapi perasaan tidak enak masih menghantuinya. Ia tahu bahwa selama Vikram berada di rumah ini, ketenangan mereka tidak akan bertahan lama. Ucapan River tidak membuat Shiera merasa tenang. Tuduhan Vikram tadi benar-benar mengusik, seolah menuduhnya memiliki maksud tersembunyi yang tak ia miliki. “River, aku di sini karena permintaan Eliana. Aku tidak pernah punya niat apa pun selain membantu,” ujarnya pelan, namun cukup terdengar getir. River menggenggam tangannya sebentar, menunjukkan ketulusan dalam sorot matanya. “Aku tahu, Shiera. Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa pun, apalagi pada orang seperti Vikram.” Nada suara River terdengar penuh kepastian, tetapi Shiera merasa ada sesuatu yang tak tersampaikan di sana. Dengan perlahan Shiera melepaskan genggaman t
River membawa Vikram masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu di belakang mereka. Shiera, yang masih berada di ruang makan, merasa perasaannya campur aduk. Antara lega dan tegang. Ia tahu bahwa kehadiran Vikram bisa menjadi ancaman untuknya, apalagi dengan sikapnya yang seolah ingin mendekatinya tanpa peduli pada perasaan River. Di dalam ruang kerja, River menatap Vikram tajam. “Apa yang kamu lakukan, Vikram?” tanyanya dengan nada rendah namun penuh tekanan. Vikram hanya tersenyum kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah. “Aku cuma bercanda, Bang. Lagipula, Shiera orangnya asyik. Kamu beruntung punya dia di rumah ini.” “Jangan macam-macam dengannya, Vikram!” tegas River, suaranya kini lebih dalam. “Dia bukan orang yang bisa kamu perlakukan seenaknya. Shiera punya harga diri.” Vikram mengangkat bahu, tampak acuh. “Kenapa, Bang? Cemburu? Kalau memang iya, kenapa tidak bilang saja?” River menghela napas panjang, menahan gejolak emosi yang semakin membara. Ia tahu bahwa Vikr