yaduh, kasian Mak Lampir ♪~(´ε` )
Shiera terdiam sejenak, merasa terpojok. Ia melirik ke arah River, berharap mendapat sinyal atau petunjuk. Namun, lelaki itu tampak biasa saja, tidak marah dan seolah tidak merasa keberatan. Pandangan matanya tidak menunjukkan emosi apa pun yang bisa Shiera tafsirkan, hanya ada ketenangan yang tidak biasa. “Aku … tapi, Tante?” Shiera kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menolak tawaran itu tanpa menyinggung perasaan mama River. “Tidak pakai tapi-tapian, Sayang. Duduk di sebelah Tante sini,” ujar mama River dengan senyum yang tetap ramah, namun jelas tidak memberi ruang bagi penolakan. Shiera akhirnya mengangguk pelan, mencoba menekan rasa gugup yang terus menggelayut. Ia kemudian melangkah mendekat dan duduk di sebelah mama River, merasa seluruh perhatian kini terfokus pada dirinya. Perasaan canggung dan tidak nyaman semakin besar, namun Shiera berusaha menutupinya dengan senyuman tipis. Selama beberapa saat, keheningan melingkupi ruangan, membuat Shiera semakin merasa t
Shiera merasa jantungnya berdetak lebih kencang saat langkahnya semakin mendekati River dan Eliana. Wajah keduanya tampak berbeda, namun sama-sama menyiratkan ketegangan yang kian memuncak. River menatap Shiera dengan pandangan tajam, sementara Eliana, yang semula penuh kebingungan, kini menunjukkan ekspresi yang lebih tertutup. Shiera berharap kata-katanya bisa meredakan ketegangan, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Keduanya tampak semakin kaku, seolah kedatangan Shiera menambah bara di dalam situasi yang sudah panas. River menatap Shiera dengan pandangan dingin, sorot matanya tajam, seakan tidak ingin Shiera berada di sana. “Untuk apa kamu datang ke sini?” tanya River dengan nada dingin dan penuh penekanan. Lelaki itu jelas tidak menginginkan kehadiran Shiera di tengah percakapan yang begitu sensitif ini. Dalam hatinya, River tahu bahwa semakin banyak Shiera terlibat, semakin besar potensi Shiera untuk disakiti, terutama oleh Eliana yang sudah menunjukkan tanda-tand
Mata Eliana menelusuri setiap gerak-gerik Shiera dan mamanya, seakan mencari tanda-tanda hubungan lebih di antara mereka. Di matanya, kedekatan ini seperti ancaman yang nyata, sebuah usaha halus untuk mencuri perhatian dan kasih sayang yang seharusnya hanya miliknya. “Shiera, kamu baik-baik saja?” tanya Eliana dengan suara yang seolah ramah, tetapi Shiera bisa merasakan ada ketidaktulusan di balik nada bicaranya. Sebelum Shiera sempat menjawab, mama River langsung menjelaskan. “Eliana, kebetulan mama dan Shiera sama-sama haus.” Senyumnya hangat, mencoba mencairkan suasana yang semakin tegang. Eliana mengangkat alisnya, seolah tidak yakin dengan penjelasan tersebut. “Benarkah? Tidak ada hal lain?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Mama River hanya tersenyum lembut, tidak menyadari atau mungkin memilih untuk mengabaikan ketidakpercayaan yang terpancar dari sikap menantunya. “Ya, tentu saja, Eliana,” jawabnya tenang, sambil melirik ke arah Shiera ya
“Menikahlah dengan suamiku, Shiera. Lahirkan anak untuk kami.” “A–apa? Menikah?” Shiera terperanjat. Matanya melebar seiring detak jantungnya yang semakin cepat. Wanita itu menatap Eliana dengan wajah penuh keterkejutan dan kebingungan. Kata demi kata sahabatnya tersebut terus bergema di kepalanya. Ruangan yang tadinya terasa hangat dan nyaman seketika berubah menjadi penuh ketegangan. “Tidak, El. Bagaimana mungkin aku menikah dengan suami sahabatku sendiri? Ini tidak benar.” Shiera merasa dunia di sekitarnya berputar. Tangannya yang tadi diam di atas meja kini gemetar tak terkendali. Ia meremas ujung pakaiannya dengan erat. Wanita itu segera berdiri dan berusaha mencari pegangan di tengah badai emosi yang melanda. Lidah Shiera terasa kelu. Sulit baginya menemukan kata-kata yang tepat untuk merespons permintaan yang begitu mendadak dan mengejutkan. Eliana justru menundukkan kepala. Ia seolah-olah berusaha menahan air mata yang kembali mengalir. Wanita itu kemudia
Shiera merasa bersalah atas semua hal yang terjadi. Seharusnya ia tidak masuk ke dalam kehidupan rumah tangga Eliana dan suami sahabatnya. Wanita itu menatap Eliana dengan penuh kekhawatiran. Ia mengenal sahabatnya itu cukup lama. Eliana bisa saja melakukan hal-hal yang membahayakan jika tidak dituruti kemauannya. Shiera berusaha menenangkan Eliana. Ia merangkul bahu sang sahabat. “Eliana ... kamu sabar, ya? Kita pasti punya solusi lain.” Eliana menepis tangan Shiera dengan cukup kasar. “Tidak, Shiera. Hanya ini satu-satunya cara yang tepat tanpa harus menyakiti perasaan mamaku. Mama tidak mau cucunya lahir dari cara bayi tabung atau yang lainnya. Dia sangat tradisional dan percaya bahwa keluarga harus dibangun dengan pernikahan yang sah dan anak-anak yang lahir dari cinta sejati.” Shiera terdiam seketika. Mama Eliana adalah orang yang sangat baik. Semenjak kedua orang tua Shiera bercerai dan ia harus tinggal bersama ayahnya, Mama Eliana selalu ada untuknya, menyayangi se
Eliana mencoba meyakinkan Shiera. Ia berkata dengan lirih. “Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Shiera. Aku yakin River pasti mau menerima pernikahan ini.” “Aku akan memikirkannya,” ucap Shiera berbisik. Suaranya terdengar ragu. Eliana tersenyum, tapi kali ini senyumannya tampak lebih hangat dan penuh pengharapan. “Terima kasih, Shiera. Aku hanya bisa berharap padamu.” Shiera hanya terdiam. Ia tak lagi membantah ucapan sahabatnya itu. Eliana segera bangkit dari duduknya. Ia keluar dari ruangan itu untuk menyusul kepergian suaminya. Sementara Shiera juga melangkah pergi dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tiba di kamar Shiera langsung terduduk lemas di tepi ranjang. Ia tidak pernah menyangka akan diminta menjadi istri kedua dari seorang lelaki yang tidak pernah mencintainya. Pikirannya berkecamuk. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah-olah ada beban besar yang menekan pundaknya. Bayangan Eliana yang menangis terus terngiang di benaknya, membuat hatinya semakin bim
Malam harinya Shiera memutuskan untuk menemui Eliana di ruang kerjanya. “Aku setuju Eliana,” ucap Shiera dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku bersedia untuk menikah dengan River.” Wajah Eliana seketika berseri-seri. Ia segera menghampiri Shiera dan memeluknya erat-erat. “Terima kasih, Shiera. Aku tahu kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.” Eliana segera mengatur segalanya. Semua dokumen telah lengkap. Pernikahan Shiera dan River terlaksana dengan baik. Shiera tidak bisa menutupi segala perasaannya. Semua terasa campur aduk. Di satu sisi Shiera merasa aneh dan tak nyaman, tetapi di sisi lain ia melihat kebahagiaan di wajah Eliana. Sahabatnya itu tampak lebih tenang dan penuh harapan. Setelah pernikahan selesai, Shiera dan River diminta untuk menandatangani surat perjanjian pernikahan kontrak yang telah disiapkan. Perjanjian itu menyatakan bahwa pernikahan hanya akan berlangsung sampai Shiera melahirkan bayi laki-laki untuk Eliana dan River. Setela
Shiera merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Eliana. “Bagaimana mungkin? Tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini,” lirihnya. Ia berusaha menahan air matanya dan tetap tersenyum. Setelah Eliana keluar dari dapur, Shiera kembali fokus pada masakannya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Shiera menyiapkan makanan di atas meja yang masih kosong. Pagi itu tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan River di sana. Hanya Eliana yang turun dari tangga dengan wajah penuh kesibukan. “Shiera, maaf ya, pagi ini aku tidak bisa menemanimu makan pagi,” kata Eliana dengan nada terburu-buru. Pekerjaan membuat Shiera selalu disibukkan dengan syuting dan pemotretan. Kadang ia juga tidak bisa pulang dan harus menginap di lokasi syuting. “Oh, iya. River juga harus berangkat pagi tadi. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.” Eliana segera berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan Shiera yang merasa semakin kesepian. “Tapi, El—” kata Shiera, tapi Eliana