Sentuhan tangan Eliana yang lembut seharusnya bisa menenangkan hati River, namun malam itu, justru memunculkan rasa gelisah yang semakin kuat. River menatap Eliana dalam-dalam, mencari sesuatu di balik mata wanita itu, seolah berharap bisa menemukan jawaban atas kebingungannya sendiri. “Apa maksud kamu, El?” River akhirnya balik bertanya, alisnya terangkat sedikit, ekspresi wajahnya berubah dingin dan tak percaya. Ia merasa Eliana tengah memojokkannya, meskipun ia tidak bisa memahami alasan di balik kata-kata wanita itu. “Apa yang ingin kamu katakan?” lanjutnya dengan nada yang lebih tegas. Eliana menghela napas panjang, tetap menjaga senyumnya yang tenang. Ia tahu bahwa River tidak mudah dihadapi ketika sedang dalam suasana hati yang buruk. “Kamu tahu maksudku, River,” jawab Eliana lembut namun penuh makna. “Shiera adalah bagian dari hidup kita sekarang, tapi jangan sampai dia membuat kita kehilangan momen-momen seperti ini.” River mengerutkan kening, merasakan rasa mar
Satu bulan kemudian. Pagi itu masih begitu sunyi di luar rumah, tetapi di dalam, Shiera sudah sedikit panik. Ia baru saja terbangun dan melihat jarum jam sudah mendekati pukul delapan. Waktu terasa berlalu begitu cepat dan Shiera merasakan sedikit pusing ketika beranjak dari tempat tidur. Matahari sudah mulai meninggi, menembus tirai kamar dan menyinari wajahnya yang pucat. Meskipun kepalanya masih terasa berat, Shiera tahu ia tidak bisa membiarkan dirinya terlambat lagi. Shiera menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar-putar. Keseimbangannya sempat goyah ketika ia berdiri, tetapi ia berusaha menepis rasa khawatir yang muncul di benaknya. “Ini pasti hanya karena aku bangun terlalu cepat,” pikirnya. Saat ia turun ke lantai bawah untuk sarapan, Shiera merasa seluruh dunia berputar dengan lambat. Tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya, namun ia berusaha untuk tidak menampakkannya. Di meja makan, River dan Eliana sudah menunggu, keduanya tampak
“Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, dapat dipastikan bahwa istri Anda sedang hamil, Pak River. Selamat, Anda akan menjadi seorang ayah.” Kata-kata dokter itu meluncur lembut, namun dampaknya begitu besar bagi River. Sesaat, ia hanya terdiam, matanya melebar saat mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. ‘Hamil? Shiera hamil?’ Ada kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam tubuh wanita yang kini berstatus sebagai istri keduanya. Perasaan yang begitu kompleks mengalir di dalam dirinya—campuran antara kebahagiaan, keterkejutan, dan sedikit ketakutan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, River akhirnya berhasil menguasai dirinya. “Apakah Shiera sudah tahu tentang ini?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar. Dokter itu menggeleng pelan. “Belum. Saya belum memberitahukan hal ini kepada Ibu Shiera. Saya berpikir untuk memberi tahu Anda terlebih dahulu, mengingat kondisi fisiknya yang masih lemah.” River merasa lega mendengar itu. Sebuah
“Kamu serius, River?” tanya Eliana, suaranya bergetar dengan campuran ketidakpercayaan dan kegembiraan yang nyaris tak tertahankan. Matanya berbinar-binar seolah tidak mampu menahan antusiasme yang tiba-tiba meledak di dalam dirinya. River mengangguk, wajahnya tetap tenang meski di dalam hatinya ada gejolak yang tak terucapkan. “Iya, Eliana. Shiera hamil,” jawabnya pelan, mencoba menahan gelombang emosi yang datang bersamaan dengan kabar ini. Meskipun dia berusaha menyembunyikannya, ada sedikit kegugupan di balik mata River. Eliana menatapnya dengan ekspresi penuh harap. “Ini luar biasa, River! Aku tidak percaya akhirnya kita akan punya anak di keluarga kita.” Suara Eliana penuh dengan kebahagiaan yang meluap-luap. Ia langsung memikirkan betapa bahagianya orang tua mereka ketika mendengar kabar ini. Betapa besar harapan yang mereka gantungkan pada kehadiran seorang cucu. Tetapi di balik kebahagiaan itu, ada sedikit rasa takut yang muncul. Eliana menyadari bahwa hubungan anta
River berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit, langkahnya mantap namun penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Setiap langkah yang diambilnya semakin mempercepat detak jantungnya, mencerminkan kekhawatiran yang selama ini ia coba abaikan. Pikirannya masih penuh dengan bayangan Shiera—wanita yang telah ia biarkan sendirian terlalu lama. Ketika River mendekati pintu ruangan Shiera, langkahnya perlahan melambat, tubuhnya tiba-tiba kaku saat mendengar suara dari dalam ruangan. Ia mengenali suara Shiera, lembut penuh dengan rasa terima kasih. Namun, ada nada lain yang membuat darahnya mendidih—suara seorang pria yang tidak ia duga akan berada di sana. “Terima kasih, Adnan. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika tidak ada kamu di sini,” suara Shiera terdengar jelas di telinga River, seakan menusuk tepat ke dalam hatinya. River berhenti sejenak di depan pintu, napasnya tersendat. Emosi berkecamuk di dalam dirinya, kombinasi antara rasa bersalah dan marah yang membuatnya in
Eliana mengumpat di dalam hatinya. Bibirnya tertutup rapat, namun pikirannya berkecamuk penuh dengan emosi yang tak terbendung. Amarah yang membara di dadanya hampir meledak saat ia melihat apa yang tak pernah ia bayangkan. River memeluk Shiera dengan erat, seolah takut kehilangan wanita itu. Rasa cemburu menusuk tajam di hatinya. Bukankah ia yang telah merencanakan semuanya? Bukankah ia yang mengirim Adnan ke rumah sakit dengan harapan bahwa kehadirannya akan membuat River marah dan menjauhi Shiera? Namun, yang terjadi justru sebaliknya. River malah semakin peduli pada Shiera, menambahkan lebih banyak kebencian dalam diri Eliana. Di depan pintu ruangan Shiera, Eliana menatap dengan tajam. Ia mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Wajahnya berubah tenang, senyuman palsu terukir di bibirnya saat ia mengetuk pintu dengan lembut, lalu membukanya tanpa menunggu jawaban. River dan Shiera yang sedang berpelukan langsung tersentak, seakan waktu berhenti sejenak. Mere
River menarik napas panjang dan dalam, memejamkan mata sejenak sebelum membuka bibirnya untuk mengucapkan kata-kata yang terasa begitu berat di hatinya. “Baiklah, aku akan tetap di sini untukmu,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan yang ditujukan lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Eliana. River terpaksa mengingkari janjinya kepada Shiera. Rasa bersalah menghantui pikiran River, membuatnya sulit tidur, meski tubuhnya berada di samping Eliana. Ia merasa terjebak dalam perasaannya sendiri, tidak mampu melawan arus situasi yang semakin rumit.Keesokan paginya, setelah Eliana berangkat bekerja, River masih merasa tak tenang. Pikirannya terus melayang ke arah Shiera. Kekhawatiran itu semakin mendesak hingga akhirnya ia memutuskan untuk membawakan sarapan bagi istri keduanya tersebut.River tahu bahwa ia harus memastikan Shiera baik-baik saja sebelum dirinya sendiri bisa merasa tenang. Meskipun River seharusnya sudah berada di kantor saat ini, keinginan melihat Shiera, untuk
Shiera menatap layar ponselnya, jantungnya berdebar keras. Bagaimana bisa Eliana tahu? Shiera tidak pernah membayangkan situasi ini menjadi begitu rumit. Dengan tangan gemetar, ia membalas pesan tersebut. [Bukan seperti itu maksudku, El. Aku hanya merasa syok.] Sejenak, Shiera menunggu balasan dari Eliana dengan perasaan cemas. Pikiran-pikirannya berkecamuk, membayangkan bagaimana Eliana mungkin bereaksi. Tiba-tiba, notifikasi pesan berbunyi lagi. [Jaga baik-baik calon bayiku dan River. Jangan sampai dia kenapa-napa. Ingat! bayi itu akan menjadi milikku dan milik River.] Kalimat itu menusuk hati Shiera seperti belati tajam. Pesan dari Eliana membuatnya merasa sangat sakit. Hati kecilnya berontak, tak ingin memberikan calon bayinya kepada siapapun. Ia ingin anak itu menjadi miliknya—bayi yang ia kandung dengan penuh kasih sayang. Namun, di sisi lain, ia telah berjanji kepada Eliana. Perasaan bersalah dan ketakutan menggerogoti dirinya. Shiera merasakan nafsu makannya