Share

Chapter 1 : Harus Menikah Lagi

"Tidak bisakah kau kembali padaku, Ann? Aku sungguh rindu padamu. Aku harus apa sekarang tanpamu, Ann?" lirih seorang pria yang duduk pada kursi roda canggihnya yang menggunakan teknologi terbaru, dan desain hanya untuknya. Matanya memerah dan berair menatap foto besar pernikahannya. Tepat di depan foto itu terdapat guci mewah, untuk menyimpan abu sang istri.

"Ann, aku—" Lelaki itu terisak perih mencengkeram kaos yang ia gunakan. "Bisakah kau bawa aku bersamamu? Bagaimana bisa kau meninggalkan aku disini sendirian? Kau adalah kekuatanku, Ann," lanjutnya.

Lagi. Sudah tak terhitung banyaknya David selalu menangis di depan foto mendiang istrinya. Terus merasa menyesal, frustrasi dan marah karena gagal melindungi istrinya sendiri.

"Kenapa? Kenapa aku tidak bisa lebih tegas lagi? Seharusnya, aku lebih tegas untuk berkata tidak atas keinginanmu yang ingin pergi ke Rusia. Kenapa—kenapa aku—?" racau David lagi dan mulai kembali menangisi kenangan 6 bulan lalu yang terlintas saat Anna—sang mendiang istrinya merengek padanya meminta liburan ke Rusia—kampung halaman keduanya.

David akan terus menangis bahkan hingga matahari kembali terbenam, jika saja ketukan pada pintu tidak masuk ke telinganya. Kepalanya tertoleh dan buru-buru mengusap air matanya. Meskipun tengah frustrasi, tetapi ia tak ingin kehilangan kewibawaannya dihadapan anak buahnya sendiri.

"Masuk!" tegas David.

Seorang pria tinggi berjasa hitam dengan wajahnya datar merunduk memberikan hormat pada David.

"Ada apa, Roland?" tanya David tanpa basa basi.

"Maaf, mengganggumu, Tuan. Aku baru saja menemukan sebuah rekaman suara yang terlempar cukup jauh dari tempat kejadian kecelakaan 6 bulan lalu, Tuan." Roland mengeluarkan sebuah benda hitam seperti radio kecil, dari saku jasnya.

"Aku telah memeriksanya, Tuan. Dan, ada informasi penting yang harus kau ketahui," lanjut Roland.

"Putar sekarang!" titah David dengan wajah datarnya.

Tanpa menyahut lagi, Roland langsung memutar rekaman suara itu. Mulanya, penuh dengan suara bising tidak jelas, sampai mulai terdengar suara dua orang yang mulai berinteraksi. Suara pertama, jelas seorang lelaki, tetapi suara lawan bicaranya tak dapat ia deteksi karena menggunakan alat pengamar suara.

"Tapi, bagaimana dengan aku? Aku takut jika rencana ini gagal, bagaimana?" suara lelaki itu terdengar bergetar jelas melalui rekaman yang tengah di putar.

"Bagaimana? Hahahaha! Maka kau akan mati di tangan David, Bodoh!" Suara asing itu menyahut.

"Tolong, aku tidak ingin mati. Aku mau tetap hidup dan harus tetap hidup. Kumohon..." Terdengar isak tangis mengiringi sahutan lelaki dalam rekaman itu.

"Tidak perlu takut. Jalankan saja sesuai apa yang kukatakan padamu. Tidak akan ada penghalang apapun, jika kau melakukannya sesuai yang kukatakan. Jika kau gagal, itu berarti kau sendiri yang mengacaukannya. Maka, bersiaplah untuk mati!" Suara asing itu terdengar murka menyahut lelaki yang menjadi lawan bicaranya—yang Dagid simpulkan bahwa ia adalah anak buah dari orang asing itu.

"Ba—baik. Akan kulakukan sesuai yang kau katakan. Tapi, siapa dirimu? Apa kau musuh dari Tuan David? Bagaimana bisa kau masuk ke wilayah ini dengan mudah dan merencanakan semua ini?" Lelaki itu terdengar bertanya. Disini, David mulai menyipitkan matanya dan mempertajam pendengarannya.

Suara kresek' terdengar kembali. David makin dibuat penasaran. "Kau seperti—TUNGGU, KAU—" Suara lelaki itu menjerit dengan terkejut membuat David menggeram dalam diam.

"Bagaimana bisa kau melakukan ini pada Tuan David? Kau adalah keluarganya. Kau orang terdekatnya." Suara lelaki dalam rekaman itu melanjutkan perkataannya. David masih menunggu dia mengucapkan sesuatu yang berkaitan dengan pelaku.

"DIAM!" Suara asing samar itu membentak. "Itu bukan urusanmu. Lakukan perintahku, atau kau akan mati disini!" ancam dari seseorang pemilik suara tersamarkan itu.

"David tidak ada apa-apanya dibanding aku. Dia hanyalah mafia bodoh yang otaknya berisi cinta. Akulah mafia yang sebenarnya. Akulah malaikat kematian bagi The Fucking Killer dan perusahaan yang diwariskan padanya," lanjut si pemilik suara samar itu yang membuat David kian bertambah murka hingga kepalan tangannya bergetar.

"Ba—baik. Aku harap, kau tidak menyesal melakukan ini, karena Tuan David sangat—" Ucapan lelaki itu terputus karena suara kresek rekaman itu terdengar dan langsung berakhir begitu saja meninggalkan teka teki dalam pikiran David.

"BAJINGAN!" geram David yang memukul remot kontrol yang menyatu pada kursi rodanya. "Roland, pergi dan cari tahu sekarang siapa yang berani melakukan hal ini padaku. Biarkan tanganku ini meremas jantungnya hingga mati!" David mengangkat tangannya dan bergerak mengatup kuat secara perlahan.

Amarahnya benar-benar memuncak dengan gila. Kecelakaan yang membunuh Anna dan calon anaknya adalah perbuatan orang terdekat David? Sial! Kenapa David tak pernah memikirkan kemungkinan itu? Atau karena ia terlalu larut dalam kesedihannya hingga 6 bulan terakhir ini?

"Baik, Tuan." Roland mengangguk patuh dan pamit undur diri meninggalkan David yang masih dengan amarahnya.

"Aku berjanji atas namamu, Anna, aku akan membunuh dan menghabisi siapapun yang melakukan hal keji menjijikan itu padamu, yang membuat kita harus menderita karena perpisahan ini." David menatap wajah Anna yang terpampang di dinding dengan senyum indahnya. Senyum yang satu kalipun tidak pernah luput dari penglihatan David.

***

"Siang, Tuan. Maaf, mengganggumu. Aku baru saja mendapat informasi mengenai data pribadi seluruh anggota keluargamu. Tapi—" Ronald menggantung perkataannya.

Hal itu membuat David yang tengah memberikan ikannya makan siang, langsung menoleh sejenak pada Ronald yang berada di belakangnya. "Katakan dengan jelas!" geram David yang sangat anti basa-basi.

"Aku telah memeriksa satu demi satu profil pribadi seluruh anggota keluargamu. Mereka semua aman, kecuali keluarga tirimu. Dua Ibu tirimu itu memiliki hubungan khusus dengan mafia lain." Ronald menjelaskan sembari menunjukkan tablet yang berisi file penting itu.

"Zhiro?" David menebak.

"Tidak, tepatnya Zeo. Mafia penjilat Zhiro." Ronald menyahut.

David tersenyum miring. "Bukan lawanku," sahutnya enteng. "Jadi, kau tahu siapa pelakunya?"

"Belum tahu. Tidak ada satupun bukti yang bisa aku temukan mengarah pada salah satu keluarga tirimu, Tuan. Kupastikan, mereka hanya membutuhkan kepuasan dan uang belaka dalam dunia mafia. Tidak ada sangkut paut apapun dengan kecelakaan yang menimpamu, Tuan. Bahkan, aku yakin mereka tidak tahu bahwa kau adalah pemilik The Fucking Killer." Roland menjelaskan.

"Ada info lain?" tanya David yang mulai berbalik menghadap Roland dengan jelas.

Lelaki itu menggeleng sedih dengan pandangan tertunduk di depan David. "Tapi, aku punya saran untukmu, Tuan."

David menyipit. "Katakan!" sentaknya.

"Jika kita belum dapat mengetahui siapa pelakunya melalui pencarian identitas, bukankah kita bisa memancing pelaku untuk menunjukkan dirinya secara langsung?" Roland menjelaskan sembari menatap David dengan pandangan mata serius.

"Kau benar. Kita bisa menariknya untuk lebih dekat padaku dengan rupanya yang asli." David menarik satu sudut bibirnya membentuk senyum mengerikan. "Aku ingin bertemu ayahku. Hubungi dia, dan atur pertemuannya segera," titah David yang langsung mendorong kursi rodanya pergi meninggalkan Roland yang mengangguk patuh.

***

Pagi ini, kediaman milik keluarga Orlando digegerkan dengan kedatangan keturunan sah dan pewaris sah satu-satunya kekayaan milik Thomas Orlando. Bagaimana tidak, David yang beberapa tahun lalu memutus hubungan dengan ayahnya, kembali hadir dengan rupa yang berbeda, sudah tak segagah dan sewibawa dahulu, walaupun mimik menyeramkan itu masih tampak jelas di wajahnya.

Kedatangan David memberikan suasana mencekam di kegiatan sarapan pagi ini. Semua mata menatap nyalang penuh kebencian pada David. Kecuali, Thomas yang tampak senang melihat kehadiran putranya.

"Selamat datang kembali, David? Apa sekarang kau sudah ingat pada rumahmu?" ujar Thomas yang mendekati putranya.

"Aku ingin bicara mengenai hakku sebagai pewaris sah dan satu-satunya di keluarga ini." David berkata dengan menekankan tiap katanya. Matanya melebar menatap tiap dua pelacur ayahnya, beserta anak bawaan mereka dan juga para adik tiri haramnya. Senyum masam tak pernah luntur dari wajahnya saat menatap mereka satu demi satu.

"Tentu. Ikut aku." Thomas mempersilakan.

David dengan senang hati mengikuti kemana Thomas membawanya. Ternyata, lelaki tua yang usianya sudah lebih dari 60 tahun itu, membawanya menuju ruang kerja yang juga termasuk tempat pribadinya.

"Tak menyangka kau berakhir sama sepertiku, Nak...," ejek Thomas menatap David yang terduduk di kursi roda, sama sepertinya.

David memutar bola matanya malas dan tak berniat menyahuti ayahnya yang paling ia benci setelah ibunya sendiri. "Berhenti. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu, Tommy!"

Thomas tertawa cukup keras dan mendorong dirinya lebih dekat pada Sang putra dengan tangannya yang sudah keriput. "Sudah kuduga, kau kemari untuk meminta sesuatu padaku. Jangan sungkan, aku ayahmu, Dave. Senang bisa melihatmu datang menemuiku."

"Berikan perusahaanmu padaku," ujar David jelas.

Thomas tertawa hingga terbahak. Ia menatap David yang sama sekali tidak bergeming dengan raut wajah datarnya. "Setelah kau memilih memutus hubungan keluarga denganku, kau tiba-tiba datang meminta perusahaanku?"

"Terserah apa katamu. Berikan padaku tanpa pertikaian, atau aku akan merebutnya dengan darah. Itu pilihanku untukmu." David menyahut tegas.

Thomas meraih satu tangan putranya yang langsung ditepis oleh David dengan kasar. "Jangan sentuh aku." David memperingati.

"Dasar Bajingan!" Thomas terkekeh. "Kau tahu aku tidak akan pernah memberikan perusahaan itu dengan mudahnya, tetapi aku juga tidak ingin ada pertumpahan darah antar keluargaku sendiri."

"Kau takut aku membunuh pelacur dan anak harammu itu?" David berdecih geli menatap ayahnya.

"Bukan. Karena hanya kau pewarisku," ungkap Thomas dengan mimik wajah ayah yang merindu anaknya.

"Tidak perlu drama. Katakan apa maumu? Berapa yang harus kubayar?" tanya David.

"Tidak mudah, tapi tidak sulit." Thomas bergumam panjang. "Menikahlah lagi dan berikan aku pewaris."

"APA?!" David membentak.

****

~Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status