"Apa yang sudah kau temukan, Roland?" tanya David yang langsung menginterupsi asisten pribadinya, bahkan saat Roland belum sempat menyapa.
Roland tersentak. Ia merapikan sedikit jasnya dan melangkah mendekati David. "Maaf, Tuan. Penyusup itu berhasil kabur. Ada seseorang yang berusaha menyelamatkannya. Jika kau tetap menginginkan—" "Tidak perlu dikejar. Biarkan dia kembali pada tuannya. Informasi apa yang berhasil kau dapatkan?" David bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop. "Pelaku yang sudah berusaha menggagalkan rencanamu mencari calon istri adalah kedua ibu turumu sendiri, Tuan. Mereka bersekongkol untuk membuat setiap kandidat trauma. Entah dengan meracuninya, bahkan menculiknya. Sudah kutemukan beberapa kandidat yang hilang begitu saja tanpa kabar." Roland menjelaskan. David mengangguk paham. "Kalau begitu, kau tunggu apa lagi? Culik anak-anak mereka, dan lakukan yang sama persis dengan yang ibu mereka lakukan." David memerintah tegas. "Maksudmu ... kau ingin saudara tirimu—" "IYA!" David menyela tegas. "Aku frustrasi karena kehilangan istriku, bukan berarti kekejianku hilang." "Ba—baik, Tuan." Roland undur diri tanpa berani mengatakan sepatah katapun. *** "AAAKKKHHHH... APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU, HAH?!" jerit Gerrick saat tali pecut menggores kulit dadanya dengan perih. Membuat bekas memerah hingga mengeluarkan darah. 'CIUTTT! "AAAKKKHHHH! BERANI KAU MELAKUKAN INI PADAKU, BRENGSEK?!" maki Garry dengan gigi bertaut menahan sakit. "Apa kau tidak tahu siapa aku, hah?! Apa kau tidak tahu bahwa aku adalah anak Thomas Orlando. Keluargaku akan membunuhmu beserta seluruh bos dan teman-temanmu. Kau mengerti? Cepat lepaskan aku!" Gerrick menjerit lagi berusaha menarik tangannya yang terikat pada tiap ujung tiang. Suara tawa terdengar menggelegar. Terdengar mengerikan dan penuh amarah. "Maksudmu anak haram Thomas Orlando? Begitu banggakah kau menjadi anak haramnya?" sentak David dengan mendorong dirinya memasuki bilik penyiksaan itu. Tempat dimana ia biasa melakukan kekejian, penyiksaan, dan pembunuhan disana. "Da—vid?" gumam Gerrick menatap terkejut pada sosok yang baru saja hadir di depannya. "KAU—BERANINYA KAU—" "Kau kira, siapa dirimu di mataku, selain debu yang bertebaran dengan bebas?" David menyela mengusap senyum miringnya. "Aku akan melaporkanmu pada Daddy. Lihat saja!" ancam Gerrick dengan mata menyalang penuh dendam. "Kau tidak boleh memperlakukanku begini." "Oh, ya?" Satu alis David terangkat. "Siksa dia, sampai dia menangis memohon ampun padaku!" ujar David dengan kekehan mengerikan. Lelaki berjubah hitam yang memecut Gerrick hanya mengangguk patuh dengan perintah tuannya. Ia kembali mendekati Gerrick dan mulai kembali menyambuk adik tiri David. 'CIUUT! "AKKKHHHH! SIALAN, KAU DAVID!" jerit Gerrick yang tak dihiraukan David sama sekali. "Aku sudah dapat videonya, Tuan. Mari kita pergi." Roland yang sedaritadi merekam semua kejadian itu, melapor pada David. Tanpa berpikir lagi, David memutar kursi rodanya menggunakan remot dan keluar dari bilik penyiksaan Gerrick dan beralih pada bilik selanjutnya. Tempat dimana anak perempuan Camilla di tawan disana. "LEPASKAN AKU, BRENGSEK!" Suara jerit Sofia terdengar bahkan sebelum David benar-benar memasuki bilik tersebut. "LEPASKAN AKU SEKARANG, SELAGI AKU MENGAMPUNIMU, ATAU KALAU TIDAK ... ANAK BUAH DADDYKU AKAN MENGHABISIMU DAN KELUARGAMU! KAU DENGAR?" sambung gadis itu yang terus memberontak di kursinya. "Alan kita apakan dia, Tuan?" tanya Roland. "Lakukan hal yang sama seperti apa yang ibu mereka lakukan pada Adaline," tegas David. Roland hanya mengangguk dan akhirnya mempersilakan David untuk masuk, dan langsung disambut dengan jerit cempreng Sofia yang memekakkan telinganya. "LEPASSSSS!" jerit gadis itu. "Akhh! Dasar pelacur kecil sialan! Telingaku bisa rusak karena teriakannya!" David mengeluh pelan dan berhasil menyita perhatian Sofia. "David? Kau datang? Apa kau dikirim untuk menyelamatkanku?" tanya Sofia dengan penuh percaya diri dan nada centilnya. "Ayo, lepaskan aku, dan habisi mereka! Mereka telah berani—" "Aku yang menculikmu, Bodoh!" sentak David yang sangat malas menanggapi kecentilan Sofia. Sofia adalah putri bawaan dari Camilla, yang artinya David tak memilki hubungan darah apapun dengan gadis cempreng itu. Sejak awal Sofia dibawa ibunya memasuki keluarga Orlando, gadis itu sudah mengincar David berulang kali. Mencoba mengajaknya tidur bersama, dan bahkan memaksa David untuk meninggalkan Anna. Benar-benar gila, dan sialnya sampai sekarang belum juga berubah. "Apa? Kenapa? Kenapa kau menculikku? Kau tidak perlu menculikku, David. Jika kau menginginkanku, telepon saja aku, aku akan langsung datang padamu. Kau tidak tahu bertapa aku menyukaimu, kan?" Sofia menatap David dengan penuh harap. "Aku lebih menyukaimu dibanding dengan istrimu yang gosong itu!" ujar Sofia dengan bola mata yang memutar. David menggeram berusaha menahan amarahnya dengan susah payah. "Benarkah?" tanya David dengan tatapan mengerikan. Sofia mengangguk tegas. "Akan kulakukan apapun untuk bisa hidup bersamamu," ujar Sofia dengan serius. David tersenyum miring dan mendekati gadis itu. "Kalau begitu, maukah kau meminum ini untukku?" tanya David mengacung botol kecil yang berisi sebuah obat yang akan membuat Sofia berakhir seperti Adaline. "Apa itu?" Sofia balas dengan bertanya menatap heran pada benda yang diacungkan David padanya. "Minuman yang akan membuatku melihatmu dengan berbeda. Maukah kau meminumnya dan menanggung derita demi diriku? Jika kau benar mencintaiku—" "Tidak, jika tanpa ciumanmu," sela Sofia dengan tatapan mendamba. Berharap kali ini ia berhasil meraih David. David tersenyum miring. Ia mulai membuka tutup botolnya dengan gerakan cepat. Dan lebih cepat lagi dalam mencekik leher gadis itu yang membuat Sofia tercekat. 'Uhuk! 'Uhuk! "Aaakkkhhhh, lepas, David! Sa—sakit. Kau—bisa membu—nuhku!" ungkap Sofia. "Itu yang kuinginkan!" Dengan satu gerakan, David berhasil menuang isi dalam botol itu ke dalam mulut Sofia. Ia sudah terlalu malas meladeni gadis menjijikan seperti Sofia. Apalagi, gadis itu baru saja menghina Anna-nya. "Aaakkkhhhh!" jerit Sofia. *** "HONEY!" jerit Miranda keluar dari lift dengan mata penuh air mata. Ia menghampiri suaminya dengan keadaan yang sungguh memprihatinkan. "Ada apa?" tanya Thomas yang langsung mematikan televisinya saat melihat pelacur pertamanya datang dan menangis. "Aaarrrghhh!" jerit wanita itu meraung berlutut di kaki suaminya. "Tolong, tolong selamatkan putra kita, Honey. Gerrick—Gerrick telah diculik dan disiksa!" Miranda kembali menangis memukul dadanya yang sesak. "APA?! BERANINYA!" geram Thomas. "Benar. Dan yang telah menculiknya adalah David. Putra kesayanganmu itu!" sentak Miranda dengan murka. "Lihat ini! David mengirimkan ini padaku dan mengatakan bahwa nyawa Gerrick berada di tangannya saat ini." Miranda menunjukkan sebuah video di ponselnya. Video penyiksaan yang dilakukan anak buah David pada putranya, Gerrick. "Lihat pada apa yang dilakukan putra brengsekmu itu!" Miranda kembali menangis. "Tolong, selamatkan dia. Selamatkan putra kita—" "SAYANGGG!" Suara menjerit disertai tangisan kembali terdengar dan menghentikan pembicaraan Thomas dengan Miranda. Itu teriakan Camilla yang tengah berlari dengan terburu menuruni anak tangga. "Ada apa lagi ini?" Thomas menggerem. "Lihatlah! Lihat apa yang dilakukan David pada putriku Sofia." Tanpa berpikir panjang lagi, Camilla langsung memperlihatkan sebuah video di ponselnya. "Lihat! David mengirimkan ini padaku." "Kau juga?" sentakan Miranda yang masih penuh air mata. "David juga menculik putraku Gerrick, dan dia menculik Sofia juga?" Mendengar itu, Camilla langsung membulat. Ia menatap suaminya yang menggeram murka di kursi rodanya. "Kau harus melakukan sesuatu Sayang! Berikan David peringatan dan bawalah putra putrimu kembali dengan selamat," tegas Camilla. "William? Bagaimana dengan William? Apa dia baik-baik saja?" tanya Thomas menatap Camilla, mempertanyakan anak kandungnya dari hasil hubungan tidak sah-nya dengan Camilla. "Dia aman. Dia sedang di kamar bermain bersamaku tadi," sahut Camilla mengingat putranya yang paling kecil masih berusia 12 tahun. "Da-vid! Kau benar-benar keterlaluan." geram Thomas. "ANDREAS! CEPAT SERET DAVID KE HADAPANKU SEKARANG!" pekik lelaki itu itu pada asisten pribadinya. "Habislah kau, David!" Miranda bergumam pelan saling bertatapan dengan Camilla. *** David tersentak mendengar suara ketukan pintu yang tidak ramah. Ia bangkit dari tidurnya dan melihat Roland masuk dengan wajah paniknya. "Tuan, maaf aku menganggu tidurmu." Roland menundukkan kepalanya memberi hormat. "Ada apa?" tanya David yang menolak basa-basi. "Andreas, tangan kanan ayahmu, berhasil menemukan kediamanmu, Tuan. Dia saat ini sedang mencoba menerobos untuk masuk melalui pintu depan. Apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya Roland menjelaskan situasi. "Lepaskan anak-anak haram Thomas itu, dan biarkan mereka membawanya." David memutuskan. Suara ketuk pintu terdengar kembali. Roland segera membukanya dan muncul wajah anak buah David dengan luka tembak di lengan. "Lapor, Tuan. Mereka telah berhasil menembus pertahanan depan dan meminta Tuan David membebaskan tawanannya, dan ikut bersama mereka menghadap Tuan Thomas, akkh!" ujar anak buah David yang langsung pergi setelah mendapat anggukan dari David. "Bagaimana ini, Tuan?" tanya Roland beralih pada David. "Lalukan perintahku yang tadi. Dan katakan pada mereka, aku menolak hadir dengan alasan sedang bercinta dengan calon istriku." David menyahut santai dan langsung menarik selimutnya kembali, untuk melanjutkan tidur malamnya yang tertunda. Roland membeku sesaat mendengar perintah tuannya. Tetapi, ia tak ada pilihan lain selain menuruti itu dan membiarkan tuannya kembali beristirahat. Selang beberapa menit setelah kepergian Roland, David kembali membuat matanya. Ia kembali duduk di kursi rodanya dan mendekati gucci Anna dengan tatapan sedih. "Sayangku, aku sedang menghadapi hal yang sedikit mengganggu langkahku mencaritahu siapa pelaku yang membuatku kehilanganmu dan anak kita. Izinkan aku bertindak sendiri dalam hal ini, Sayang. Tidak, buka aku berniat menduakanmu. Tapi, pernikahan ini harus segera terjadi dan aku membutuhkan wanita lain untuk memenuhi syarat mewarisi perusahaan. "Kau tetap pilihanku. Satu dan selamanya. Kau cintaku, dan kekasihku selamanya." David memeluk gucci Anna dan segera melancarkan aksi pribadinya tanpa perlu diskusi dengan Roland. Lelaki itu melangkah memasuki kamar mandi dan menekan sebuah sandi yang membawanya pada sebuah tempat rahasia untuk keluar dari kediamannya yang berada di tengah-tengah hutan. Ruang rahasia itu langsung menghubungkannya menuju jalanan yang membawanya pada jalanan kota yang ramai. *** "Dimana pemilik tempat ini? Panggil dia! Aku ingin bertemu dengannya," ujar David pada bartender yang baru saja menyajikan minuman untuknya. "Aku tidak tahu," sahut si bartender itu dengan tatapan malas dan tak ramah. David menyipit menggeram. "Panggilkan dia!" ujar David yang meneguk minumannya dalam sekali teguk. Bartender itu berdecak. "Kau kira dirimu siapa, hah, berani memerintahku? Kalau kau tidak bisa pergi sendiri, maka jangan menyuruhku, mengerti?" sentak bartender itu. "Apa kau tidak tahu siapa aku, hah?!" David menggeram dan meremas gelas minumannya. "Hei, lumpuh! Kau kira aku akan takut dengan ancamanmu, hah? Apa kau akan mengaku bahwa dirimu adalah Zhiro untuk membuatku tunduk padamu? Atau kau akan mengaku bahwa dirimu adalah David Orlando, si mafia lumpuh yang frustrasi itu? Kau kira aku akan percaya?" Bartender itu tertawa mengejek David. "Jadi, ini yang kau lakukan saat kau bosan dengan hidupmu, hah?" David tersenyum miring dan mengeluarkan senjatanya. Bartender itu langsung dibuat merinding saat melihat senjata milik David yang ditandai dengan 3 huruf, TFK. Yang artinya, The Fucking Killer. Bartender itu tergugu. "Ka—kau David Orlando?" gumamnya dengan penuh ketakutan hingga menjatuhkan gelas yang tengah digenggamnya. David terkekeh iblis. "Oh, pengamatanmu cukup baik. Apa itu kelebihanmu? Apa menghina tanpa tahu—" 'Brukk! "Akhh, maaf! Maafkan aku, Tuan. Maaf, aku tidak senga—" Gadis yang menabrak David langsung tersentak saat melihat mata iblis lelaki di depannya yang tengah mengacungkan senjata api. David menoleh sekilas pada gadis yang menubruknya. Ia langsung beralih pada bartender yang beberapa menit menghinanya, tetapi sudah menghilang bagaikan angin dari hadapan David. "Aaarrrghhh! Dasar Bajingan!" maki David yang begitu murka. Ia langsung menatap gadis yang menyebabkannya kehilangan si bartender—dengan tatapan membunuh. Dengan satu gerakan, David berhasil menarik rambut gadis itu hingga berlutut di depannya. "Gara-gara ulahmu, aku—" "AAARRRGHHH SAKITT!!!" jerit gadis itu yang membuat suasana dalam bar seketika terhenti dan menatap pada suara dimana jeritan itu berasal. "LEPASSS! AMPUNNNN!" jerit gadis itu lagi. "Aakkhh!" David menutup telinganya dengan telapak tangannya yang lain. "ALEXA!" pekik James yang menengahi kekacauan. Ia datang menghampiri satu pelacur paling tidak bergunanya. James tersenyum ramah pada David. "Tuan, ada yang bisa aku bantu? Apa yang sudah dilakukan pelacurku ini padamu, Tuan?" tanya James dengan keramahan. David mengangkat wajahnya. "Pelacurmu ini telah—" "Tu—tuan David?!" gugu James saat menatap wajah bos dan pemilik bar ini sesungguhnya. Seseorang yang telah menghilang selama 6 bulan yang lalu. Kabar terakhir yang James dengar tentang David adalah tentang kecelakaannya dan setelah itu, James tak tahu apakah David masih hidup atau tidak. Tetapi, ketika malam ini ia melihat secara nyata, ia justru tersentak. Setelah mengetahui bahwa orang yang membuat sedikit kekacauan itu adalah David, James segera membawa lelaki itu pergi menuju sebuah ruangan khusus. Ruangan yang memang di desain dulu untuk David saat lelaki itu berkunjung kemari. Tetapi itu dulu, sampai setelah 6 bulan tak pernah berkunjung kembali, ruangan itu dialihkan menjadi ruangan pribadi James untuk mabuk dan berpesta bersama pelacur-pelacurnya. "A—apa ada yang bisa kulakukan, Tuan?" tanya James dengan takut. David terdiam dan menatap tiap sudut ruangan pribadi James. "Kau menyulap ruangan ini dengan baik, James," ujar David dengan senyum miringnya. James tersentak. "Aku akan segera mengembalikannya seperti semula, Tuan." "Tidak perlu. Ambil saja ruangan ini sebagai hadiahku untukmu," ungkap David yang mulai menjatuhkan pandangannya pada James yang menunduk ketakutan. "Kau pasti terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini. Sejujurnya, aku kemari untuk satu tujuan." "Apa yang bisa kulakukan untukmu, Tuan?" James mengangkat wajahnya dengan binar penuh penghambaan. "Aku mau kau keluarkan pelacur terbaikmu. Aku menginginkannya satu untuk jadi istriku," ujar David santai. "APA?!" James tersentak. "Kau mencari pelacur untuk menjadi istrimu?" David menggeram. "Bawakan saja pelacur terbaik yang kau punya. Tidak perlu banyak bertanya, biar aku yang memilih sendiri." James tersentak. "Ba—baik, Tuan." James langsung bangkit dan melangkah pergi keluar ruangan. Ia langsung memanggil para pelacur-pelacur senior, atau pelacur terbaik dengan harga dan bayaran yang sangat mahal. Mereka diperhitungkan dari kecantikannya, kemolekan tubuhnya, dan dari pelayanannya. Tidak semua yang berkunjung di bar sekaligus rumah pelacuran ini mampu menyewa pelacur senior ini. Sebab, harga menyewa mereka sangatlah mahal. Hanya para pengusaha, dan mafia kelas kakap yang mampu menyewanya untuk bermain beberapa jam saja. James kembali dengan 7 orang wanita cantik dengan menggunakan pakaian salam saja. Itu James lakukan, agar memudahkan David dalam memilih wanita mana yang cocok dengannya. "Silakan, Tuan. Mereka adalah wanita terbaik yang aku miliki. Mereka sangat jarang mendapat klien, kecuali orang-orang penting sepertimu, Tuan. Silakan, kau pilih mana yang membuat hatimu senang." James tersenyum manis saat David meliriknya. "Kau bahkan boleh mencoba mereka terlebih dahulu, Tuan," ujar James dengan kekehannya. "Cari yang lain. Tidak ada satupun yang aku sukai dari mereka." David menyahut yang membuat James terkejut bersama dengan 7 orang wanita di depan David yang bagaikan supermodel. "Ta—tapi, mereka adalah wanita—" "Permisi, aku ingin mengantarkan minuman pesananmu, Tuan." Seseorang datang dengan memutus perkataan James. "ALEXA! Kenapa kau yang mengantarkan minuman ini, hah? Sudah aku bilang berapa kali untuk kau jangan pernah memasuki ruangan—" "Tunggu!" David menyela James dengan mengangkat tangannya. "Aku mau dia. Berapa yang harus kubayar?" tanyanya menunjuk Alexa. "A—APA?!" James ternganga. **** Bersambung..."AAAARRRGGHHH! LEPAS!" jerit Alexa yang terus memberontak sekuatnya saat dua lelaki besar menarik tubuhnya keluar dari rumah pelacuran James, menuju sebuah mobil mewah. "Lepaskan aku! Kau tidak bisa membeliku. Aku tidak dijual! LEPAAASSS!" Alexa menangis dalam jeritannya. Sia-sia saja dirinya memberontak dengan gila, sebab tenaganya tak cukup membuatnya lepas, tetapi justru semakin terikat. "Tuan, apa kau yakin dengan pilihanmu? Dia--maksudku Alexa adalah bukun wanita seperti kebanyakan pada umumnya. Coba kau lihat dia, Tuan. Dia adalah pelacurku yang paling tidak menguntungkan sebab wajah jelek, dekil sekali, tidak cantik, apalagi seksi. Dia selalu membuat masalah di tempatku ini. Tapi, kau justru memilihnya. Aku takut, dia akan membuat masalah dan--" "Aku tidak buuh penilaianmu," sentak David. James langsung menunduk seketika dengan mulut terkunci rapat tanpa lem. "Datanglah ke pernikahanku nanti, kau akan lihat bahwa penilaianmu adalah sampah." David menutup pertemuan kedua
"Aku sudah melakukan apa yang kau mau. Kini, saatnya kau berikan apa yang aku mau." David menatap ayahnya dengan serius. Thomas terkekeh masam, memandang remeh putranya. "Kau kira aku bodoh, David? Aku tahu bahwa wanita itu telah kau bayar untuk menjadi istrimu. Kalian bahkan tidak saling mengenal, kan?" "Akkkkhhh! FUCK!" maki David menggebrak meja kerja ayahnya. "Tenanglah... Itu bukan urusanku. Satu-satunya urusanku adalah ... jika kau memang benar menginginkan perusahaan ini, maka menikahlah dan pastikan kau memberikanku keturunan untuk melanjutkan perusahaan ini kedepannya. Aku tidak ingin perusahaan ini hancur atau jatuh ke tangan selain darah dagingku." Thomas menyesap minumannya dengan tenang, menatap David yang masih memandangnya begitu sengit. "Kau akan menyesal telah mempersulit hidupku, Tua Bangka!" maki David lagi yang kemudian meninggalkan ruang kerja ayahnya. Ia mendorong kursi rodanya menuju tempat ia meminta Alexa menunggu. Sayangnya, tempat itu telah kosong t
"Aku tetap membutuhkan waktu untuk berpikir, Roland." Alexa mendorong pelan dada Roland hingga menjauhinya. Roland memutar bola matanya malas. "Setidaknya, bacalah dahulu perjanjiannya. Ada sedikit keuntungan yang bisa kau dapatkan." "Hanya sedikit." Alexa bergumam pelan sembari membawa dokumen itu lebih dekat padanya. Baru saja membaca beberapa detik, Alexa langsung mendengus kembali. Isinya sungguh tidak masuk akal, seperti tidak masuk akalnya mereka menyuruh Alexa menjadi istri David. PERJANJIAN PERNIKAHAN ALEXA DAN DAVID 1. Alexa dilarang meminta cerai pada David. Seluruh keputusan perpisahan ada di tangan David. Hanya David yang boleh menceraikan Alexa. 2. Alexa tidak boleh keluar atau pergi tanpa izin atau pengawalan David. 3. Alexa dilarang berhubungan dengan lelaki manapun. 4. Alexa wajib meninggalkan seluruh teman, saudara, ataupun keluarganya. 5. Alexa dilarang mengikutcampuri urusan David. 6. Alexa dilarang melanggar ucapan David. 7. Alexa dilarang
"Oke. 500 juta dolar untuk Tuan—" "1 milyar dolar," teriak seseorang dari kegelapan. Semua tersentak. Mereka tidak mengira ada seseorang yang rela mengorbankan 1 milyar dolarnya untuk acara pelelangan ini. Miranda dan Camilla sama-sama menyipitkan matanya menatap kegelapan arah suara itu berasal. Alexa yang penuh ketakutan benar-benar hanya pasrah saja. Baru kali ini, ia menyesali perbuatannya yang kabur dari David. Nyatanya, Roland benar. Tak ada yang bisa kabur dari David. Dan kini, ia benar-benar sudah lemah. "1 milyar dolar untuk calon istriku." Senyum iblis David tampak keluar dari kegelapan. Membuat keadaan yang semula penuh kehebohan, berubah menjadi keheningan dalam sekejap. "Da—vid?" gumam Zeo. "Apa kabar tikus-tikus pengkhianatku?" sapa David dengan senyum remehnya. Detik berikutnya, langsung terdengar suara tembakan secara membabi buta ke segala arah. Kericuhan langsung terjadi dengan teriakan memenuhi tiap ruangan temaram ini. Semua berusaha berhamburan keluar
"Permisi, Tuan." Roland manyapa. "Keluar! Jika kau ingin mengabarkan mengenai kegilaan gadis itu, aku sedang tidak mau dengar. Habisi saja dia," sahut David dan terus memunggungi Roland. Matanya enggan terlepas dari wajah cantik istrinya yang abadi dalam sebuah foto besar yang terkukung dalam bingkai emas asli dan permata sebagai hiasan pada tiap sudutnya. "Tidak, Tuan. Justru, aku ingin memberitahu bahwa Nona Alexa telah menandatangani surat perjanjian itu dan bersedia menikah denganmu," jelas Roland. David berpaling dengan ekor matanya. "Laksanakan pernikahan lusa." "Baik, Tuan." Roland mengangguk patuh dan bersiap meninggalkan ruangan pribadi David. "Roland." David memanggil saat lelaki paling mengenalnya itu menarik pintu. "Jangan lupa untuk memberitahu segala peraturan di rumah ini padanya." "Dimengerti, Tuan." Roland pamit undur diri. Sepeninggal Roland, David memandang sayu foto Anna yang tampak tersenyum manis itu. "Maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu." Setetes a
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
Alexa berlarian dengan terburu menuju kamar suaminya. Melupakan segala perasaan sakit yang di dapat beberapa menit yang lalu dari suaminya sendiri. Dengan intonasi cepat, Alexa mengetuk pintu kamar suaminya. Pintu itu terbuka dengan sendirinya dan menampilkan David yang tengah disibukkan dengan laptop dan beberapa dokumen di atas kasurnya. "Ada apa lagi?" Wajah datar itu menyapa istrinya dengan malas. Namun, sayang sekali Alexa tak menanggapi itu. Ia masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "David, tolong kunci pintunya." Wajah Alexa tampak panik. David berdecih. "Apa sekarang kau akan memulai aksimu sebagai pelacur? Menunjukkan dirimu yang asli? KELUAR! Aku tidak tertarik." David kembali menatap pekerjaannya. "Tidak. Ini tentang Roland. Tolong, aku mohon..." Alexa menyahut dengan frustrasi. Dengan menghela napas, David menuruti kata istri yang tak dianggapnya itu dengan sekali menekan tombol untuk
"Bagaimana mungkin mesin pengendali itu menyala?" gumam David dalam hatinya. Meskipun hanya terdengar di dalam hatinya, raut wajah David benar-benar tak mampu menyembunyikan kebingungannya. Roland melihat itu dengan jelas. David menatap kakinya dengan alis yang hampir menyatu. Menandakan lelaki itu tengah berpikir cukup keras. "Tuan, apa yang tengah anda pikirkan? Apa ada masalah?" "Hmm?" David tersentak dan menoleh ke depan pada tempat Roland mengemudi saat ini. "Tidak ada. Hanya tengah memikirkan bagaimana aku bisa menghancurkan bajingan tua itu," dustanya. Roland tersenyum dan memberikan sedikit nasehat. Benar. Hanya Roland satu-satunya orang bisa memberikan nasehat, saran, atau hal-hal lainnya dengan David selain Anna. "Tolong beristirahat dengan baik, Tuan. Kau terlihat sangat lelah." Roland mengangguk hormat setelah ia berhasil mengantar David ke dalam kamarnya. Tanpa menunggu sahutan, Roland segera beranjak pergi. Tidak, ia tidak pergi ke kamarnya, melainkan menuju kamar o
"Roland, antar aku ke markas." David berkata. Roland yang tengah mengobrol hal penting langsung menoleh pada ke belakang dan mendapati David melangkah menuju arahnya. "Markas, Tuan?" Roland mengulang. David mengangguk tak terbantahkan. "Sekarang." "Ada apa, Tuan? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Roland mendekati tuannya setelah menyuruh penjaga untuk menyiapkan mobil keberangkatan mereka. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Karena Bajingan itu keras kepala pada peraturan buatannya sendiri, biar kugunakan caraku," jelas David. "Maksudmu, Tuan Thomas, ayahmu, Tuan?" tanya Roland dengan hati-hati. David memalingkan wajahnya tanpa sahutan. Setiap kali teringat bahwa Thomas adalah ayahnya, David merasa malu. Baginya, adalah hal penuh kesialan menjadi putra seorang Tho
"Kalau aku menjadi dia, apa kau akan memandangku?" Alexa menantang tanpa peduli air matanya lagi. "Kau bukan Anna. Selamanya tidak akan pernah menjadi Anna. Karena yang aku inginkan hanyalah Anna-ku yang sesungguhnya.." David mebileh pada foto besar di sebelah ranjangnya. "Bukan orang lain yang menjadi dia," lanjutnya dengan nada merendah. Meski begitu, Alexa tetap mendengarnya cukup jelas. "Apa kau akan tetap mencintainya, meskipun dia mengkhianatimu?" sentak Alexa. "Apa maksudmu, hah?!" David menggeram dan seketika merubah mimik wajahnya menjadi murka. "Kuperingatkan padamu, Alexa. Tidak ada siapapun yang diizinkan menghina Anna. Kau mengerti?" David menatap iblis. Alexa terkekeh. "Dunia ini terlalu penuh humor sebab diisi oleh orang-orang yang buta akan cinta. Aku, kau, dan Anna, yang bahkan aku juga tidak mengenalnya. Lagipula—" "Tuan—?" Seseorang datang yang tidak lain adalah Roland. "Ah, maaf mengganggu kalian. Aku akan—" "Tidak, Roland. Aku sudah selesai." Tanpa me
"Cari tahu lebih mendetail mengenai siapa saja yang menyokong para pelacur itu dan—" David tercekat melihat seorang gadis yang berjalan di tengah malam dengan tatapan kosong entah dari mana dan ingin menuju kemana. "Sedang apa dia?" tanya David pada Roland. Roland segera mengalihkan pandangannya pada apa yang dilihat David. Benar, disana Alexa berjalan dengan tertatih bersama dengan matanya yang kosong. "Apa mungkin dia berniat kabur lagi?" "Dia tidak akan bisa kabur dengan tatapan bodoh itu." David menyahut. Keduanya saling terdiam saat dua binar mereka bertemu. Ini kali pertamanya, ada hal yang membuat David menatap Alexa dengan berbeda. Mata itu. Mata yang menyimpan banyak pertanyaan dan hal-hal yang sepertinya tak mampu disampaikan. Oh, apa David menyakitinya begitu keras tadi pagi, hingga membuat Alexa berubah seperti ini? Alexa membeku sejenak di tempatnya berdiri saat melewati David. Bibir itu bungkam, tetapi tatapan berteriak cukup ker
"Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Camilla menatap suaminya yang langsung mengalihkan pandangannya dari laptop di ruang kerjanya. "Aku harap, ini bukan soal pembagian harta warisan." Thomas menyahut dengan helaan napas. Miranda melirik Camilla untuk membiarkannya mengambil alih. "Bukan soal itu. Tetapi soal kepastian hubungan di antara kau dan kami." "Ada apa lagi? Kalian ingin membeli apa lagi, hm?" sahut Thomas dengan santainya. "Kami menuntut pernikahan. Kau harus menikahi kami, Thomas. Kami tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai pelacurmu." Camilla menegaskan. "Cih! Mengaku juga kalian sebagai pelacur." Bukan Thomas yang menyahut, kini seseorang yang tak pernah diundang dalam pembicaraan ini menimbrung begitu saja. Dialah David yang tiba-tiba hadir dengan wajah mengejek lelaki itu. "Kau! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan kami! Kau sungguh tidak memiliki sopan satu!" Miranda mencela dengan geram. David tertawa mengejek. "Lalu? Apa yang ingin kau lakukan pad
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala