"Aku tetap membutuhkan waktu untuk berpikir, Roland." Alexa mendorong pelan dada Roland hingga menjauhinya.
Roland memutar bola matanya malas. "Setidaknya, bacalah dahulu perjanjiannya. Ada sedikit keuntungan yang bisa kau dapatkan." "Hanya sedikit." Alexa bergumam pelan sembari membawa dokumen itu lebih dekat padanya. Baru saja membaca beberapa detik, Alexa langsung mendengus kembali. Isinya sungguh tidak masuk akal, seperti tidak masuk akalnya mereka menyuruh Alexa menjadi istri David. PERJANJIAN PERNIKAHAN ALEXA DAN DAVID 1. Alexa dilarang meminta cerai pada David. Seluruh keputusan perpisahan ada di tangan David. Hanya David yang boleh menceraikan Alexa. 2. Alexa tidak boleh keluar atau pergi tanpa izin atau pengawalan David. 3. Alexa dilarang berhubungan dengan lelaki manapun. 4. Alexa wajib meninggalkan seluruh teman, saudara, ataupun keluarganya. 5. Alexa dilarang mengikutcampuri urusan David. 6. Alexa dilarang melanggar ucapan David. 7. Alexa dilarang memberitahu siapapun perihal identitas pribadinya ataupun David. 8. Alexa dilarang mencaritahu perihal kehidupan pribadi David. 9. Alexa wajib melayani David selayaknya suami, baik dalam kesehariannya, ataupun dalam urusan ranjang. 10. Alexa dilarang untuk jatuh cinta atau menggunakan jenis perasaan apapun untuk David. 11. Alexa dilarang menjalin hubungan baik dengan keluarga David. 13. Alexa berhak mendapat pelayanan seperti nyonya di rumah ini. 14. Alexa berhak mendapat uang setara 10 juta dollar pertiap bulannya sebagai uang pribadi. 13. Seluruh perjanjian ini bisa berubah hanya atas persetujuan David. Apabila Alexa melanggar salah satunya, maka Alexa siap menerima segala hukuman dalam bentuk apapun di tangan David. Seluruh peraturan itu benar-benar mengejutkan Alexa dan rasanya ia ingin sekali melempari David seluruh kertas perjanjian itu dan mempertanyakan apa itu keadilan di matanya. Seyangnya, hanya napas pasrah yang terembus lemah dari bibir Alexa. "Aku tetap butuh waktu, Roland." Tanpa menunggu jawaban, Alexa langsung bangkit dari duduknya dan melangkah keluar ruangan. "Alexa." Roland memanggil saat Alexa meraih gagang pintu. Alexa diam di tempat tanpa menoleh sedikitpun. "Kuharap kau mengerti, bahwa menolak perjanjian ini, sama saja menerima kematian dengan tubuhmu yang akan menjadi makanan bagi hewan buas Tuan David." "Jangan khawatir," sahut Alexa dan memilih keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi pada Roland. Alexa kembali ke dalam kamarnya. Termenung di balkon kamar menatap hutan rindang yang mulai menggelap karena waktu telah petang. "Mati? Lagipula, kenapa aku harus memilih untuk hidup? Aku bahkan tidak pernah tahu siapa orang tuaku, saudaraku, atau orang yang memiliki garis keturunan yang sama denganku. Lalu, kenapa aku harus takut mati? Bahkan menjadi makanan hewan buas dalam keadaan hidup pun aku tidak peduli." Alexa merengek pelan dengan kucuran air mata. "Tapi, apakah aku memang benar-benar pantas hidup? Apa aku pantas mendapat kebebasan? Apa aku—" Alexa tercekat. "Tuhan, apa aku pantas memiliki seseorang? Apa yang harus kuperjuangkan? Hidup diluar sana? Atau hidup di dalam penjara ini?" lanjutnya. "Puluhan tahun aku sudah hidup di dalam sangkar pelacuran itu, baru kali ini aku keluar dari neraka itu. Tapi, apa aku harus terjebak di neraka lainnya. Aku berjuang mati-matian untuk bertahan di neraka pelacuran itu dan terus menjaga kehormatanku, mungkin saja ini adakah hadiah dari Tuhan atas kesabaranku disana untuk mengambil kebebasanku yang sesungguhnya." Alexa mengelap air mata di pipinya dengan kasar, hingga merusak tabir penutup kulit putih dan beningnya. "Benar, Alexa! Kau harus pergi. Perjuangkan kebebasanmu." Alexa bangkit dan mengambil tabir kecokelatan itu yang selalu ia simpan di pakaian dalamnya. "Kau harus berjuang lagi!" Alexa mulai mengoleskan bagian kulit wajahnya yang tampak putih dengan tabir krim cokelat itu. Berkat krim itu, ia berhasil menjadi pelacur kelas rendah yang selalu tampak menjijikan. Sebab, dengan itu, kulitnya tampak gosong tak terawat dan berhasil membuat tak ada satupun lelaki berani mendekatinya karena jijik. Itu bagus, tetapi juga tidak. Karena tak ada lelaki yang mau membayar untuk tidur dengannya, Alexa tidak pernah mendapat makanan layak, kamar yang layak. Hanya sebatas makanan sisa dari pelacur lainnya, dan kasur tipis tepat di sebelah tempat sampah di dapur. Disanalah Alexa bertahan hidup selama bertahun-tahun. Alexa mulai mengintip keluar ruangan yang hening tanpa penjagaan. Ia mulai keluar dan mengintip ke arah tangga pada lantai satu. Puluhan penjaga berjalan berdiri dengan tegap tanpa satu obrolan pun. Gila memang. Alexa berusaha memikirkan cara untuk bisa menembus mereka. Tiba-tiba alarm berbunyi dari tiap jam tangan para penjaga itu. Alexa melihat itu. Mereka mulai meninggalkan posnya untuk pergi. Sepertinya, akan ada pergantian orang dalam penjagaan. Ini kesempatan! "Yess!" Alexa mengepalkan tangannya dengan senang. Setelah satu persatu mereka pergi, Alexa segera membawa dirinya turun ke lantai satu dan berlari menuju pintu utama yang belum tertutup secara keseluruhan sehingga memudahkan Alexa untuk pergi tanpa perkusi memikirkan kunci membuka pintu. Sial! Ini terlalu mudah. Semudah ini ternyata untuk melarikan diri dari rumah David yang katanya mustahil untuk bisa ia lewati. Benar! Ini bukan mustahil. Hanya saja, kemarin waktunya belum tepat bagi Alexa untuk melarikan diri. Alexa kembali bersembunyi dibalik tiang besar dan tinggi untuk kembali menunggu pergantian anak buah David di bagian depan. Setelah itu, ia kembali melintasi halaman luas rumah David dengan kecepatan lari yang menggila. Ia belum pernah berlari secepat ini. Sebab, ia hanya punya waktu sekitar 30 detik untuk ia benar-benar sampai pada gerbang dan memanjatnya lewat pepohonan. "Ah, sial! Mereka telah kembali." Alexa berdecak dengan napas terendah di balik pohon besar. Itu artinya, ia harus berada disini sampai pergantian penjagaan selanjutnya. Karena mustahil untuk memanjat di tengah penjaga yang sangat sigap. Tapi, entah kenapa, hari ini seluruh takdir berpihak pada Alexa. Baru saja berpikir seperti itu, Alexa langsung diberikan kesempatan dengan matinya lampu di bagian depan ruang David. Ia terkejut sejenak, tetapi langsung memanjat pagar tinggi itu tanpa banyak kebisingan meskipun kakinya begitu sakit menancap besi-besi atau pecahan kaca yang menancap di tiap pagar besi itu. 'Sreeekk! "Shit!" lirih Alexa pelan saat pakaian justru tersangkut ketika dirinya sudah berhasil melompat dari atas pagar besar rumah David. Tanpa berpikir, ia langsung menariknya hingga membuat pakaian belakangnya robek dan mengekspos punggungnya yang putih. Alexa tak peduli. Ia hanya ingin kabur saat ini. Ia tak boleh menyerah begitu saja. Ia sudah berhasil kabur dari rumah David, dan kini saatnya untuk melewati bagian tersulit. Benar, menembus hutan di tengah petang seperti ini. "Hu-tan?" Alexa meneguk ludahnya susah payah. Tapi, ia tak ingin menyerah memperjuangkan hidupnya. Ia tak boleh kembali. Begitulah pedoman hidupnya untuk saat ini. Terdengar kericuhan dan alarm nyaring berbunyi dari arah ruang David. Mungkin, mereka tak menyadari bahwa Alexa tidak ada lagi di rumah itu. Itu semakin membuat Alexa yakin untuk menembus hutan dengan berlari secepatnya. Dengan napas terengah, Alexa terus berlari menembus pepohonan rindang serta mengesampingkan rasa sakit pada kakinya yang sudah mengeluarkan banyak darah. "Akkhh!" Alexa menghentikan langkahnya. Ia terengah dan duduk sesaat. Tenggorokannya seperti terbakar dan perih pada kakinya yang berkedut dan bergetar hebat. Ia pun menyeret dirinya untuk duduk di sebuah batang pohon dan mencoba menutupi lukanya dengan daun-daun yang berguguran. "Shhhh! Akkkhhh! Sakitnya...," keluh Alexa lagi. 'Sreeekkk! 'Srekkkk! Alexa terdiam sejenak mendengar suara aneh itu. Ia langsung membawa kepanya berputar kanan dan kiri. Sayangnya, karena suasana yang sudah hampir malam, membuat tatap pandangnya terbatas. Tapi, pikiran dan hatinya mengatakan itu bukan suara alam, melainkan seseorang tengah mengikutinya. Logikanya mengatakan untuk lari. Ia bangkit tanpa mengatakan apapun dan kembali berlari penuh ketakutan. Semakin dibuat takut, sebab bayangan hitam berlari mengikutinya. Hingga... 'Duaaarrr! "Akkhh!" Alexa tersungkur merasakan sesuatu menembus betisnya. Mungkin itu peluru. Ia tersungkur dan perlahan mulai melemas dengan pandangan kabur dan akhirnya memilih pingsan. *** "Dimana mereka membawanya?" tanya David santai sambil terus menggulirkan layar laptopnya menatap pekerjaan yang selama ini ia tinggalkan. Roland terkesiap saat mendengar pertanyaan bosnya. Ia bahkan belum sempat benar-benar memasuki ruang kerja David, tetapi pertanyaan menginterupsi itu langsung ia dapatkan. "Mereka membawa Nona Alexa menuju markas pribadi mereka. Tempat yang sering mereka gunakan untuk berpesta dengan para bandar mereka. Dan kedua ibu tiri anda adalah—" "Mereka bukan ibuku." David memotong cepat membuat Roland terbungkam di tempat. David menghela napas malas. "Menyulitkan," geram David kemudian. "Apa perintahmu, Tuan? Perlu berapa banyak kita mengirim anak buah untuk menyelamatkan Nona Alexa?" tanya Roland menunggu perintah. "Siapkan supir untuk membawaku kesana. Kau periksa seluruh pekerjaan yang selama ini kutinggalkan. Periksa juga mengenai perkembangan perusahaan ayahku. Biar aku yang mengurus gadis bodoh itu." David mendorong kursi rodanya melewati Roland. "Tapi, Tuan. Bagaimana jika kita melakukan rencana lain? Kita biarkan saja Nona Alexa menjadi tawanan mereka, kau bisa mencari wanita lainnya." Roland menyarankan dengan nada penuh hati-hati. "Tidak, Roland. Aku belum selesai mempermainkan Alexa. Dia begitu membenciku, aku mau dia terus membenciku sampai aku puas dan memilih menyerahkannya pada peliharaan kesayanganku." David meninggalkan Roland di ruang kerjanya. Lelaki itu langsung diantar memasuki mobil mewah yang dulu biasa ia gunakan untuk menghampiri musuhnya. Bedanya, ia membutuhkan supir kali ini. *** 'BYUUUURRRR! "Hah?!!" Alexa tersentak saat air mamasuki rongga hidungnya, memaksa dirinya untuk kembali ke dunia nyata. Napasnya terengah ia mengangkat kepalanya melihat sekeliling yang begitu riuh. Alexa tersentak dengan semua orang yang menertawakannya. Ada banyak orang, baik lelaki maupun wanita menertawakannya seakan dirinya adalah bahan pertunjukan. Dan tatap Alexa terhenti tepat di depan dua wanita yang sebelumnya sempat melakukan hal buruk padanya. Mereka adalah kedua ibu tiri David yang bersantai dengan dikelilingi dayang-dayang pria tampan. "Ssshhh! Akkkhh!" Alexa mengeluh saat ia mencoba bergerak sedikit saja. Ia melihat kedua pergelangan tangannya di ikat pada dua ujung tiang yang berlawanan. "Jangan terlalu banyak bergerak, Sayang. Itu akan menyakitimu." Lelaki tua berteriak pada gadis malang yang kebingungan itu. Alexa berdecih jijik. Kemudian, ia melihat Miranda melangkah mendekatinya. "Ini adalah peringatan kecil untuk pelacur pembangkang sepertimu." Kembali. Alexa rasakan air mengguyur wajahnya. Bedanya, kali ini berasal dari wine milik Miranda. "Pesta kali ini, kupersembahkan hal yang kutemukan di hutan belantara. Aku melelangnya dengan harga 100 juta dolar," ujar Miranda pada setiap orang yang melihatnya. Tunggu. Kedua ibu tiri David menjadikannya barang lelangan? Alexa menggeleng dan menjerit dalam hatinya. Ini benar-benar gila. Gadis itu mulai merasakan ketakutan. "Kau melelang barang dekil sepertinya?" tanya seorang pengusaha yang saat ini namanya cukup tersohor dan masih memiliki kerja sama dengan perusahaan milik ayahnya David. "Tidak. Kau salah melihatnya, Tuan Daroll. Aku tidak mungkin menawarkan barang jelek dan dekil." Miranda meraih pipi Alexa dan mengusapnya, menghilangkan bekas krim yang menutupi kulit mulus Alexa. Semua yang melihat itu terkejut. "Lihatlah. Ini hanyalah tipuan liciknya." "Lepaskan aku. Atau David akan datang dan menghabisi kalian semua!" Alexa mengancam dengan suaranya yang bergetar dan air matanya yang mengalir deras. Miranda tertawa keras. "Kau mengancamku dengan wajah ketakutanmu itu?" ejek wanita itu. "... dan yang terpenting perlu kalian semua tahu, dia adalah calon istri David Orlando." "150 juta untukku." Tuan Daroll menawar. "200 juta!" Lelaki lainnya langsung menyahut. Mendengar nama David disebut, membuat kericuhan tersendiri di acara lelang ilegal ini. "300 juta!" Miranda tersentak mendengar pengusaha tambang menawar Alexa dengan harga berkali lipat. Tak menyangka, bahwa Alexa ditawar dengan cukup mahal. "Aku menawarnya 500 juta!" Mafia Zeo menawarnya. Tidak hanya Miranda, Camilla juga langsung menoleh pada lelaki yang menghembuskan cerutunya dengan santai. Seakan, 500 juga dolar hanyalah angin untuknya. Alexa menatap dengan pandangan membulat pada sosok yang tak ia kenal sama sekali. Wajahnya tampak tegas menyeramkan. Alexa mulai ketakutan jika benar ia dibeli oleh lelaki itu. "Oke. 500 juta dolar untuk Tuan—" "1 milyar dolar," teriak seseorang dari kegelapan. Semua tersentak. Mereka tidak mengira ada seseorang yang rela mengorbankan 1 milyar dolarnya untuk acara pelelangan ini. Miranda dan Camilla sama-sama menyipitkan matanya menatap kegelapan arah suara itu berasal. Alexa yang penuh ketakutan benar-benar hanya pasrah saja. Baru kali ini, ia menyesali perbuatannya yang kabur dari David. Nyatanya, Roland benar. Tak ada yang bisa kabur dari David. Dan kini, ia benar-benar sudah lemah. "1 milyar dolar untuk calon istriku." Senyum iblis David tampak keluar dari kegelapan. Membuat keadaan yang semula penuh kehebohan, berubah menjadi keheningan dalam sekejap. "Da—vid?" gumam Zeo. *** Bersambung...."Oke. 500 juta dolar untuk Tuan—" "1 milyar dolar," teriak seseorang dari kegelapan. Semua tersentak. Mereka tidak mengira ada seseorang yang rela mengorbankan 1 milyar dolarnya untuk acara pelelangan ini. Miranda dan Camilla sama-sama menyipitkan matanya menatap kegelapan arah suara itu berasal. Alexa yang penuh ketakutan benar-benar hanya pasrah saja. Baru kali ini, ia menyesali perbuatannya yang kabur dari David. Nyatanya, Roland benar. Tak ada yang bisa kabur dari David. Dan kini, ia benar-benar sudah lemah. "1 milyar dolar untuk calon istriku." Senyum iblis David tampak keluar dari kegelapan. Membuat keadaan yang semula penuh kehebohan, berubah menjadi keheningan dalam sekejap. "Da—vid?" gumam Zeo. "Apa kabar tikus-tikus pengkhianatku?" sapa David dengan senyum remehnya. Detik berikutnya, langsung terdengar suara tembakan secara membabi buta ke segala arah. Kericuhan langsung terjadi dengan teriakan memenuhi tiap ruangan temaram ini. Semua berusaha berhamburan keluar
"Permisi, Tuan." Roland manyapa. "Keluar! Jika kau ingin mengabarkan mengenai kegilaan gadis itu, aku sedang tidak mau dengar. Habisi saja dia," sahut David dan terus memunggungi Roland. Matanya enggan terlepas dari wajah cantik istrinya yang abadi dalam sebuah foto besar yang terkukung dalam bingkai emas asli dan permata sebagai hiasan pada tiap sudutnya. "Tidak, Tuan. Justru, aku ingin memberitahu bahwa Nona Alexa telah menandatangani surat perjanjian itu dan bersedia menikah denganmu," jelas Roland. David berpaling dengan ekor matanya. "Laksanakan pernikahan lusa." "Baik, Tuan." Roland mengangguk patuh dan bersiap meninggalkan ruangan pribadi David. "Roland." David memanggil saat lelaki paling mengenalnya itu menarik pintu. "Jangan lupa untuk memberitahu segala peraturan di rumah ini padanya." "Dimengerti, Tuan." Roland pamit undur diri. Sepeninggal Roland, David memandang sayu foto Anna yang tampak tersenyum manis itu. "Maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu." Setetes a
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
"Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Camilla menatap suaminya yang langsung mengalihkan pandangannya dari laptop di ruang kerjanya. "Aku harap, ini bukan soal pembagian harta warisan." Thomas menyahut dengan helaan napas. Miranda melirik Camilla untuk membiarkannya mengambil alih. "Bukan soal itu. Tetapi soal kepastian hubungan di antara kau dan kami." "Ada apa lagi? Kalian ingin membeli apa lagi, hm?" sahut Thomas dengan santainya. "Kami menuntut pernikahan. Kau harus menikahi kami, Thomas. Kami tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai pelacurmu." Camilla menegaskan. "Cih! Mengaku juga kalian sebagai pelacur." Bukan Thomas yang menyahut, kini seseorang yang tak pernah diundang dalam pembicaraan ini menimbrung begitu saja. Dialah David yang tiba-tiba hadir dengan wajah mengejek lelaki itu. "Kau! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan kami! Kau sungguh tidak memiliki sopan satu!" Miranda mencela dengan geram. David tertawa mengejek. "Lalu? Apa yang ingin kau lakukan pad
"Cari tahu lebih mendetail mengenai siapa saja yang menyokong para pelacur itu dan—" David tercekat melihat seorang gadis yang berjalan di tengah malam dengan tatapan kosong entah dari mana dan ingin menuju kemana. "Sedang apa dia?" tanya David pada Roland. Roland segera mengalihkan pandangannya pada apa yang dilihat David. Benar, disana Alexa berjalan dengan tertatih bersama dengan matanya yang kosong. "Apa mungkin dia berniat kabur lagi?" "Dia tidak akan bisa kabur dengan tatapan bodoh itu." David menyahut. Keduanya saling terdiam saat dua binar mereka bertemu. Ini kali pertamanya, ada hal yang membuat David menatap Alexa dengan berbeda. Mata itu. Mata yang menyimpan banyak pertanyaan dan hal-hal yang sepertinya tak mampu disampaikan. Oh, apa David menyakitinya begitu keras tadi pagi, hingga membuat Alexa berubah seperti ini? Alexa membeku sejenak di tempatnya berdiri saat melewati David. Bibir itu bungkam, tetapi tatapan berteriak cukup ker
"Kalau aku menjadi dia, apa kau akan memandangku?" Alexa menantang tanpa peduli air matanya lagi. "Kau bukan Anna. Selamanya tidak akan pernah menjadi Anna. Karena yang aku inginkan hanyalah Anna-ku yang sesungguhnya.." David mebileh pada foto besar di sebelah ranjangnya. "Bukan orang lain yang menjadi dia," lanjutnya dengan nada merendah. Meski begitu, Alexa tetap mendengarnya cukup jelas. "Apa kau akan tetap mencintainya, meskipun dia mengkhianatimu?" sentak Alexa. "Apa maksudmu, hah?!" David menggeram dan seketika merubah mimik wajahnya menjadi murka. "Kuperingatkan padamu, Alexa. Tidak ada siapapun yang diizinkan menghina Anna. Kau mengerti?" David menatap iblis. Alexa terkekeh. "Dunia ini terlalu penuh humor sebab diisi oleh orang-orang yang buta akan cinta. Aku, kau, dan Anna, yang bahkan aku juga tidak mengenalnya. Lagipula—" "Tuan—?" Seseorang datang yang tidak lain adalah Roland. "Ah, maaf mengganggu kalian. Aku akan—" "Tidak, Roland. Aku sudah selesai." Tanpa me
Alexa berlarian dengan terburu menuju kamar suaminya. Melupakan segala perasaan sakit yang di dapat beberapa menit yang lalu dari suaminya sendiri. Dengan intonasi cepat, Alexa mengetuk pintu kamar suaminya. Pintu itu terbuka dengan sendirinya dan menampilkan David yang tengah disibukkan dengan laptop dan beberapa dokumen di atas kasurnya. "Ada apa lagi?" Wajah datar itu menyapa istrinya dengan malas. Namun, sayang sekali Alexa tak menanggapi itu. Ia masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "David, tolong kunci pintunya." Wajah Alexa tampak panik. David berdecih. "Apa sekarang kau akan memulai aksimu sebagai pelacur? Menunjukkan dirimu yang asli? KELUAR! Aku tidak tertarik." David kembali menatap pekerjaannya. "Tidak. Ini tentang Roland. Tolong, aku mohon..." Alexa menyahut dengan frustrasi. Dengan menghela napas, David menuruti kata istri yang tak dianggapnya itu dengan sekali menekan tombol untuk
"Bagaimana mungkin mesin pengendali itu menyala?" gumam David dalam hatinya. Meskipun hanya terdengar di dalam hatinya, raut wajah David benar-benar tak mampu menyembunyikan kebingungannya. Roland melihat itu dengan jelas. David menatap kakinya dengan alis yang hampir menyatu. Menandakan lelaki itu tengah berpikir cukup keras. "Tuan, apa yang tengah anda pikirkan? Apa ada masalah?" "Hmm?" David tersentak dan menoleh ke depan pada tempat Roland mengemudi saat ini. "Tidak ada. Hanya tengah memikirkan bagaimana aku bisa menghancurkan bajingan tua itu," dustanya. Roland tersenyum dan memberikan sedikit nasehat. Benar. Hanya Roland satu-satunya orang bisa memberikan nasehat, saran, atau hal-hal lainnya dengan David selain Anna. "Tolong beristirahat dengan baik, Tuan. Kau terlihat sangat lelah." Roland mengangguk hormat setelah ia berhasil mengantar David ke dalam kamarnya. Tanpa menunggu sahutan, Roland segera beranjak pergi. Tidak, ia tidak pergi ke kamarnya, melainkan menuju kamar o
"Roland, antar aku ke markas." David berkata. Roland yang tengah mengobrol hal penting langsung menoleh pada ke belakang dan mendapati David melangkah menuju arahnya. "Markas, Tuan?" Roland mengulang. David mengangguk tak terbantahkan. "Sekarang." "Ada apa, Tuan? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Roland mendekati tuannya setelah menyuruh penjaga untuk menyiapkan mobil keberangkatan mereka. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Karena Bajingan itu keras kepala pada peraturan buatannya sendiri, biar kugunakan caraku," jelas David. "Maksudmu, Tuan Thomas, ayahmu, Tuan?" tanya Roland dengan hati-hati. David memalingkan wajahnya tanpa sahutan. Setiap kali teringat bahwa Thomas adalah ayahnya, David merasa malu. Baginya, adalah hal penuh kesialan menjadi putra seorang Tho
"Kalau aku menjadi dia, apa kau akan memandangku?" Alexa menantang tanpa peduli air matanya lagi. "Kau bukan Anna. Selamanya tidak akan pernah menjadi Anna. Karena yang aku inginkan hanyalah Anna-ku yang sesungguhnya.." David mebileh pada foto besar di sebelah ranjangnya. "Bukan orang lain yang menjadi dia," lanjutnya dengan nada merendah. Meski begitu, Alexa tetap mendengarnya cukup jelas. "Apa kau akan tetap mencintainya, meskipun dia mengkhianatimu?" sentak Alexa. "Apa maksudmu, hah?!" David menggeram dan seketika merubah mimik wajahnya menjadi murka. "Kuperingatkan padamu, Alexa. Tidak ada siapapun yang diizinkan menghina Anna. Kau mengerti?" David menatap iblis. Alexa terkekeh. "Dunia ini terlalu penuh humor sebab diisi oleh orang-orang yang buta akan cinta. Aku, kau, dan Anna, yang bahkan aku juga tidak mengenalnya. Lagipula—" "Tuan—?" Seseorang datang yang tidak lain adalah Roland. "Ah, maaf mengganggu kalian. Aku akan—" "Tidak, Roland. Aku sudah selesai." Tanpa me
"Cari tahu lebih mendetail mengenai siapa saja yang menyokong para pelacur itu dan—" David tercekat melihat seorang gadis yang berjalan di tengah malam dengan tatapan kosong entah dari mana dan ingin menuju kemana. "Sedang apa dia?" tanya David pada Roland. Roland segera mengalihkan pandangannya pada apa yang dilihat David. Benar, disana Alexa berjalan dengan tertatih bersama dengan matanya yang kosong. "Apa mungkin dia berniat kabur lagi?" "Dia tidak akan bisa kabur dengan tatapan bodoh itu." David menyahut. Keduanya saling terdiam saat dua binar mereka bertemu. Ini kali pertamanya, ada hal yang membuat David menatap Alexa dengan berbeda. Mata itu. Mata yang menyimpan banyak pertanyaan dan hal-hal yang sepertinya tak mampu disampaikan. Oh, apa David menyakitinya begitu keras tadi pagi, hingga membuat Alexa berubah seperti ini? Alexa membeku sejenak di tempatnya berdiri saat melewati David. Bibir itu bungkam, tetapi tatapan berteriak cukup ker
"Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Camilla menatap suaminya yang langsung mengalihkan pandangannya dari laptop di ruang kerjanya. "Aku harap, ini bukan soal pembagian harta warisan." Thomas menyahut dengan helaan napas. Miranda melirik Camilla untuk membiarkannya mengambil alih. "Bukan soal itu. Tetapi soal kepastian hubungan di antara kau dan kami." "Ada apa lagi? Kalian ingin membeli apa lagi, hm?" sahut Thomas dengan santainya. "Kami menuntut pernikahan. Kau harus menikahi kami, Thomas. Kami tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai pelacurmu." Camilla menegaskan. "Cih! Mengaku juga kalian sebagai pelacur." Bukan Thomas yang menyahut, kini seseorang yang tak pernah diundang dalam pembicaraan ini menimbrung begitu saja. Dialah David yang tiba-tiba hadir dengan wajah mengejek lelaki itu. "Kau! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan kami! Kau sungguh tidak memiliki sopan satu!" Miranda mencela dengan geram. David tertawa mengejek. "Lalu? Apa yang ingin kau lakukan pad
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala