"Roland, antar aku ke markas." David berkata. Roland yang tengah mengobrol hal penting langsung menoleh pada ke belakang dan mendapati David melangkah menuju arahnya. "Markas, Tuan?" Roland mengulang. David mengangguk tak terbantahkan. "Sekarang." "Ada apa, Tuan? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Roland mendekati tuannya setelah menyuruh penjaga untuk menyiapkan mobil keberangkatan mereka. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Karena Bajingan itu keras kepala pada peraturan buatannya sendiri, biar kugunakan caraku," jelas David. "Maksudmu, Tuan Thomas, ayahmu, Tuan?" tanya Roland dengan hati-hati. David memalingkan wajahnya tanpa sahutan. Setiap kali teringat bahwa Thomas adalah ayahnya, David merasa malu. Baginya, adalah hal penuh kesialan menjadi putra seorang Tho
"Bagaimana mungkin mesin pengendali itu menyala?" gumam David dalam hatinya. Meskipun hanya terdengar di dalam hatinya, raut wajah David benar-benar tak mampu menyembunyikan kebingungannya. Roland melihat itu dengan jelas. David menatap kakinya dengan alis yang hampir menyatu. Menandakan lelaki itu tengah berpikir cukup keras. "Tuan, apa yang tengah anda pikirkan? Apa ada masalah?" "Hmm?" David tersentak dan menoleh ke depan pada tempat Roland mengemudi saat ini. "Tidak ada. Hanya tengah memikirkan bagaimana aku bisa menghancurkan bajingan tua itu," dustanya. Roland tersenyum dan memberikan sedikit nasehat. Benar. Hanya Roland satu-satunya orang bisa memberikan nasehat, saran, atau hal-hal lainnya dengan David selain Anna. "Tolong beristirahat dengan baik, Tuan. Kau terlihat sangat lelah." Roland mengangguk hormat setelah ia berhasil mengantar David ke dalam kamarnya. Tanpa menunggu sahutan, Roland segera beranjak pergi. Tidak, ia tidak pergi ke kamarnya, melainkan menuju kamar o
Alexa berlarian dengan terburu menuju kamar suaminya. Melupakan segala perasaan sakit yang di dapat beberapa menit yang lalu dari suaminya sendiri. Dengan intonasi cepat, Alexa mengetuk pintu kamar suaminya. Pintu itu terbuka dengan sendirinya dan menampilkan David yang tengah disibukkan dengan laptop dan beberapa dokumen di atas kasurnya. "Ada apa lagi?" Wajah datar itu menyapa istrinya dengan malas. Namun, sayang sekali Alexa tak menanggapi itu. Ia masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "David, tolong kunci pintunya." Wajah Alexa tampak panik. David berdecih. "Apa sekarang kau akan memulai aksimu sebagai pelacur? Menunjukkan dirimu yang asli? KELUAR! Aku tidak tertarik." David kembali menatap pekerjaannya. "Tidak. Ini tentang Roland. Tolong, aku mohon..." Alexa menyahut dengan frustrasi. Dengan menghela napas, David menuruti kata istri yang tak dianggapnya itu dengan sekali menekan tombol untuk
'PLAK! "Dasar Bajingan, kau! Tidak bisakah sekali saja dalam hidupmu menjadi orang yang sedikit lebih berguna? Kenapa kau selalu saja menyusahkanku, hah?!" bentak lelaki bertopi yang sudah berumur di atas lima puluh tahun. Ia menatap dengan penuh kebencian pada gadis malang yang hanya bisa menahan isak tangisnya penuh dengan ketakutan. "Ampun! Maafkan aku, Tuan. Aku tidak sengaja menumpahkan minuman itu, karena pria itu berusaha melecehkanku." Gadis malang itu menyahut. Lelaki bertopi itu lantas tertawa terbahak. Kemudian, tangannya terulur menarik rambut gadis itu hingga menjerit perih. "Aaarrrrghhh!" "Kau kira, dimana dirimu saat ini, hah? Di gereja? KAU DI RUMAH PELACUR, SIALAN!" bentak lelaki itu. "Seharusnya, kau merasa beruntung karena ada lelaki yang tertarik pada tubuhmu yang jelek ini, agar kau dapat meminta bayaran dan memberikanku uang untuk membayar segala kebutuhanmu disini, kau mengerti?!" Lelaki itu mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar gadis muda di depa
"Tidak bisakah kau kembali padaku, Ann? Aku sungguh rindu padamu. Aku harus apa sekarang tanpamu, Ann?" lirih seorang pria yang duduk pada kursi roda canggihnya yang menggunakan teknologi terbaru, dan desain hanya untuknya. Matanya memerah dan berair menatap foto besar pernikahannya. Tepat di depan foto itu terdapat guci mewah, untuk menyimpan abu sang istri. "Ann, aku—" Lelaki itu terisak perih mencengkeram kaos yang ia gunakan. "Bisakah kau bawa aku bersamamu? Bagaimana bisa kau meninggalkan aku disini sendirian? Kau adalah kekuatanku, Ann," lanjutnya. Lagi. Sudah tak terhitung banyaknya David selalu menangis di depan foto mendiang istrinya. Terus merasa menyesal, frustrasi dan marah karena gagal melindungi istrinya sendiri. "Kenapa? Kenapa aku tidak bisa lebih tegas lagi? Seharusnya, aku lebih tegas untuk berkata tidak atas keinginanmu yang ingin pergi ke Rusia. Kenapa—kenapa aku—?" racau David lagi dan mulai kembali menangisi kenangan 6 bulan lalu yang terlintas saat Anna—
"Tidak perlu drama. Katakan apa maumu? Berapa yang harus kubayar?" tanya David. "Tidak mudah, tapi tidak sulit." Thomas bergumam panjang. "Menikahlah lagi dan berikan aku pewaris." "APA?!" David membentak dengan keras. Tangannya langsung mengepal menggeram penuh dendam pada ayahnya. Thomas mengangkat kedua bahunya acuh. "Terserah. Itu bukan syarat dariku, tetapi syarat dari pewaris terdahulu. Perusahaan ini hanya akan jatuh ke tangan pewaris sah dari pernikahan yang sah, dengan syarat ia mampu memberikan perusahaan ini pewaris selanjutnya," terang Thomas. "KAU—" David mendengus dan mulai hilang kesabaran. "Aku tidak memaksa, David. Jika kau benar-benar menginginkan perusahaan ini, maka pergi dan temui aku kembali bersama calon istrimu. Jika tidak ... untuk menghancurkan perusahaan ini jauh lebih mudah, Nak. Siapapun bisa melakukannya." Thomas mengulas senyum manis yang berisi ejekan pada putranya. "Aku tidak akan pernah menikah lagi. Cintaku, istriku hanya ada satu dan sel
"Apa yang sudah kau temukan, Roland?" tanya David yang langsung menginterupsi asisten pribadinya, bahkan saat Roland belum sempat menyapa. Roland tersentak. Ia merapikan sedikit jasnya dan melangkah mendekati David. "Maaf, Tuan. Penyusup itu berhasil kabur. Ada seseorang yang berusaha menyelamatkannya. Jika kau tetap menginginkan—" "Tidak perlu dikejar. Biarkan dia kembali pada tuannya. Informasi apa yang berhasil kau dapatkan?" David bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop. "Pelaku yang sudah berusaha menggagalkan rencanamu mencari calon istri adalah kedua ibu turumu sendiri, Tuan. Mereka bersekongkol untuk membuat setiap kandidat trauma. Entah dengan meracuninya, bahkan menculiknya. Sudah kutemukan beberapa kandidat yang hilang begitu saja tanpa kabar." Roland menjelaskan. David mengangguk paham. "Kalau begitu, kau tunggu apa lagi? Culik anak-anak mereka, dan lakukan yang sama persis dengan yang ibu mereka lakukan." David memerintah tegas. "Maksudmu ... kau ingi
"AAAARRRGGHHH! LEPAS!" jerit Alexa yang terus memberontak sekuatnya saat dua lelaki besar menarik tubuhnya keluar dari rumah pelacuran James, menuju sebuah mobil mewah. "Lepaskan aku! Kau tidak bisa membeliku. Aku tidak dijual! LEPAAASSS!" Alexa menangis dalam jeritannya. Sia-sia saja dirinya memberontak dengan gila, sebab tenaganya tak cukup membuatnya lepas, tetapi justru semakin terikat. "Tuan, apa kau yakin dengan pilihanmu? Dia--maksudku Alexa adalah bukun wanita seperti kebanyakan pada umumnya. Coba kau lihat dia, Tuan. Dia adalah pelacurku yang paling tidak menguntungkan sebab wajah jelek, dekil sekali, tidak cantik, apalagi seksi. Dia selalu membuat masalah di tempatku ini. Tapi, kau justru memilihnya. Aku takut, dia akan membuat masalah dan--" "Aku tidak buuh penilaianmu," sentak David. James langsung menunduk seketika dengan mulut terkunci rapat tanpa lem. "Datanglah ke pernikahanku nanti, kau akan lihat bahwa penilaianmu adalah sampah." David menutup pertemuan kedua