Share

Chapter 5 : Jangan Mencaritahu Apapun

"Aku sudah melakukan apa yang kau mau. Kini, saatnya kau berikan apa yang aku mau." David menatap ayahnya dengan serius.

Thomas terkekeh masam, memandang remeh putranya. "Kau kira aku bodoh, David? Aku tahu bahwa wanita itu telah kau bayar untuk menjadi istrimu. Kalian bahkan tidak saling mengenal, kan?"

"Akkkkhhh! FUCK!" maki David menggebrak meja kerja ayahnya.

"Tenanglah... Itu bukan urusanku. Satu-satunya urusanku adalah ... jika kau memang benar menginginkan perusahaan ini, maka menikahlah dan pastikan kau memberikanku keturunan untuk melanjutkan perusahaan ini kedepannya. Aku tidak ingin perusahaan ini hancur atau jatuh ke tangan selain darah dagingku." Thomas menyesap minumannya dengan tenang, menatap David yang masih memandangnya begitu sengit.

"Kau akan menyesal telah mempersulit hidupku, Tua Bangka!" maki David lagi yang kemudian meninggalkan ruang kerja ayahnya.

Ia mendorong kursi rodanya menuju tempat ia meminta Alexa menunggu. Sayangnya, tempat itu telah kosong tanpa siapapun. Kemana gadis itu pergi? Bahkan belum menjadi istri David saja dia sudah tidak menurut? Sialan!

David menggeram dan memanggil para penjaga untuk membawa Alexa ke hadapannya. Tanpa menunggu para penjaga membuahkan hasil, David juga turut bergerak sendiri menelusuri rumah ayahnya.

Saat melewati sebuah ruangan di pojok dekat gudang, David terhenti melihat satu buah sepatu heels entah milik siapa. Tapi, itu cukup mencurigakan, sebab hanya sebelah saja. Kemana pasangannya?

Tanpa berpikir, David langsung membuka pintu yang ternyata mengarah ke lorong panjang dan gelap. David menghirup aroma darah yang begitu menyengat dari dalam sana. Ia langsung tahu, bahwa ruangan ini adalah pintu menuju ruang eksekusi. Entah digunakan untuk apa oleh ayahnya, David tak peduli. Ia langsung mendorong dirinya masuk.

***

"BUKA MULUTMU, SIALAN! KAU BENAR-BENAR JALANG MURAHAN!" maki Miranda yang semakin kuat mencengkeram rahang Alexa.

Alexa menggeleng dengan terus mempertahankan mulutnya yang mengatup dengan kuat. Air mata sudah mengalir sebab ketakutan ia akan mati di ruangan ini. Bagaimana tidak, kedua calon ibu mertuanya ini mengurung ia dalam sebuah ruangan gelap dan berbau darah, dengan kedua tangannya yang terikat kencang, tidak sampai disana, ia juga dipaksa meminum sesuatu entah apa itu.

"EMMMMHHHH!" jerit Alexa.

"DASAR PELACUR MURAHAN!" Miranda murka dan langsung menampar Alexa dengan kuat hingga meninggalkan bekam yang cukup nyata di pipi gadis berkulit gelap itu.

"Sudahlah, pakai ini saja." Camilla menunjukkan sesuatu ke hadapan Miranda. Itu adalah sebuah spuit yang telah berisi obat.

Miranda tersenyum licik. "Pintar juga rupanya dirimu, Camille!"

Camilla berdecih. "Kau yang terlambat berpikir bodoh!"

"KAU!" Miranda menggeram.

"Cukup! Kita tak punya waktu untuk pertengkaran ini." Camilla langsung melerai.

Miranda tak menyahut dan meraih dengan kasar spuit dari tangan madunya itu. "Ada kata terakhir? Mungkin, aku tidak keberatan menyampaikannya pada calon suami yang kau cintai itu." Tawa Miranda terdengar memantul hingga ke tiap-tiap ruangan.

"Untuk apa repot-repot? Aku bisa mendengarnya dari sini."

Miranda dan Camilla langsung menoleh pada asal suara asing di belakang mereka. Mereka tersentak lantaran disana sudah ada David dengan pecut di tangannya yang ia temukan di bilik senjata pribadi ayahnya.

"Aku sungguh terkesan pada dua jalang tua bangka itu dalam mendidik calon istriku. Terima kasih banyak. Kalian melatihnya untuk lebih berani." David tersenyum miring dan mendekati ketiga wanita itu dengan langkah lembut. "Sayangnya, aku tak punya waktu banyak untuk membiarkan kalian mendidik calon istriku. Aku harus segera pulang, dan biar kuberitahu apa itu kejam." Dengan satu gerakan cepat, David menggerakkan pecutnya dengan begitu ahli ke arah dua ibu tirinya itu.

"AAAARRRGGHHH!" jerit Miranda dan Camilla bersamaan.

"Hentikan! Atau kami akan laporkan kau pada ayahmu yang membuat namamu dihapuskan dalam daftar pewaris." Camilla mengancam.

"Tolong jangan lupa untuk membujuk si tua bangka kesayangan kalian itu untuk menjadikan anak haramnya sebagai pewaris untuk menggantikanku. Sejujurnya, aku ragu untuk itu." David tertawa keras dibarengi dengan pecut yang kembali terayun untuk kedua kalinya.

"Akhh! HENTIKAN DAVID!" jerit Miranda yang kakinya merasakan perih yang cukup mendalam dari tali pecut yang David ayunkan.

"KAU?! KALI INI AKU AKAN—"

"Akan apa?" potong David dari ucapan Camilla. "Kau mau mencoba membunuh setiap calon istriku lagi, hah? Aku curiga, mungkinkah kematian Anna dan kelumpuhanku ada kaitannya dengan keluarga murahan ini?" David tersenyum miring menatap ekspresi panik dari dua ibu tirinya. "Apapun itu, akan kupastikan dia akan mati dari tanganku sendiri!" David mengepalkan tangannya yang lain dengan penuh emosi.

***

Alexa terdiam menatap cermin di dalam salah satu kamar orang yang katanya telah membeli dirinya untuk dijadikan istri. Jujur saja, Alexa masih menolak itu. Tapi, bukan itu yang mengganggu pikirannya saat ini. Melainkan soal kejadian penyiksaan oleh dua ibu tiri David.

Jujur saja, Alexa juga terkejut bahwa bukan hanya David yang gila, keluarganya pun juga. Hari ini, dia hampir mati karena racun aneh yang mereka paksa untuk Alexa meminumnya. Karena penolakan, Alexa selamat dalam beberapa detik. Karena ternyata, salah satu dari mereka mengganti cara pemberian obat yaitu dengan melalui suntikan. Untungnya, David segera tiba dan membuatnya berhasil selamat.

Masih teringat jelas bagaimana David mengayunkan pecut itu kepada dua ibu tirinya, kemudian membuat mereka lari terbirit dan membawa Alexa pergi dari sana.

"Apa aku harus berterima kasih padanya?" gumam Alexa memegangi pipinya yang memerah. Tamparan itu begitu keras sampai membuat kulitnya yang ia buat kecokelatan menampilkan kemerahan. Entah bagaimana penampakan bekas tamparan itu pada kulit aslinya. Alexa juga tak tahu.

Tok! Tok! Tok!

Alexa terkesiap menoleh pada pintu. Tak lama kemudian, dua pelayan masuk tanpa menunggu ia memberikan izin. Mereka menunduk hormat sejenak dan mengatakan. "Nona, anda diminta untuk menemui Tuan Roland sekarang."

"Ro—land?" gumam Alexa rendah. Ia bangkit dan menurut dan tuntun keluar dari kamar.

Ia dibawa pada satu ruang kerja dengan nuansa elegan mewah. Disana, tampak pria tengah membolak-balikkan kertas yang menjadi pekerjaannya.

"Tuan, Nona Alexa telah hadir." Para pelayan menyapa dan membuat pria bernama Roland itu menoleh.

Satu senyum terulas sebelum akhirnya meminta para pelayan itu pergi dan menyuruh Alexa mengambil duduk di depan meja kerjanya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Roland dengan sedikit gugup.

"Hmm," gumam Alexa yang bingung harus mengatakan apa. Dia baik, tetapi juga terbelenggu. Begitulah sekiranya yang ia rasakan.

"Baiklah, ada hal-hal penting yang harus kau ketahui mengenai peranmu ke depannya sebagai seorang istri dari Tuan David."

"APA?!" sentak Alexa. "Aku benar-benar akan menjadi istri lelaki tidak jelas itu?" Alexa menatap Roland serius.

Roland mengangguk tanpa ragu. "Takdirmu hanyalah menjadi istri Tuan David, Nona."

Alexa menggeleng cepat. "Aku menolak keras."

"Kenapa?" tanya Roland.

Alexa berubah terkejut. Apakah ia harus memberikan alasan yang mana semua orang juga bisa melihatnya betapa posisi Alexa sungguh tidak mengenakkan di posisinya.

"Kenapa? Tentu saja karena aku tidak mengenal David, aku tidak tahu siapa dia, seluk beluk kehidupannya, bahkan namanya saja baru aku ketahui. Selanjutnya, dia juga tidak mengenal aku dengan baik. Dalam pernikahan, saling mengenal dan mengerti satu sama lain itu—"

"Tidak penting sama sekali." Roland memutus perkataan Alexa.

Alexa bersiap membalas dengan serentetan kalimat penolakan sebelum akhirnya Roland mengatakan hal yang sangat menusuk hatinya.

"Tidak penting karena kau hanyalah seorang pelacur yang dibeli oleh Tuan David untuk dijadikan istri. Pengenalan tidak penting, jika yang membelimu tidak menginginkannya. Ada alasan lain?" sambung Roland dengan santainya.

Bahkan dibalik wajah setenang itu, perkataan Roland bisa sungguh sangat menusuk jiwa Alexa dan menyadarkannya pada kenyataan, bahwa dia hanyalah seorang pelacur. Tidak, dia pelacur istimewa. Tidak ada satupun pria yang pernah menyentuhnya. Tidak ada, karena dirinya derajatnya hanyalah pelacur rendahan.

"Karena kau hanya diam, kuanggap tidak ada. Jadi, silakan kau tanda tangani surat perjanjian ini. Kau boleh membacanya dan bertanya hal yang tidak kau mengerti. Ingat, bertanya! Bukan mengajukan keringanan. Seluruh isi perjanjian ini tidak dapat diubah, kecuali oleh Tuan David sendiri," jelas Roland.

"Tapi, aku tetap menolak menjadi istri David. Bagaimana?" Alexa menurunkan nadanya menjadi frustrasi, berharap Roland menaruh belas kasihan padanya.

"Baiklah. Akan coba kubicarakan dengan Tuan David tentang penolakan kerasmu, sekaligus mengajukan pemusnahan terhadap dirimu tanpa rasa sakit yang berkepanjangan." Roland meraih kembali dokumen di depan Alexa.

"Apa maksudmu? Pemusnahan terhadapku?" Alexa membulat.

"Hmm." Roland mengangguk pasti. "Jika kau menolak, maka sudah dipastikan kau pasti mati di rumah ini. Satu peraturan yang tidak kau ketahui adalah ... siapapun manusia asing yang masuk ke rumah ini, harus melewati kematian untuk dapat keluar dari kawasan rumah ini dengan tenang."

"Peraturan gila macam apa itu? Bagaimana bisa kalian menganggap nyawa seseorang begitu murah? Siapa kalian sebenarnya? Aku tidak mengerti dengan tujuan hidup kalian, dan kenapa—" Alexa tercekat saat tangan besar Roland menarik dagunya untuk mendekat wajah lelaki itu yang seketika berubah mengerikan.

"Dengar Alexa. Semakin banyak yang kau tahu, semakin sakit kematianmu, mengerti?" Roland tersenyum miring tepat di depan wajah ketakutan Alexa saat ini.

"Tuhan, tolong aku!" jerit Alexa dalam hatinya.

****

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status