"Aku sudah melakukan apa yang kau mau. Kini, saatnya kau berikan apa yang aku mau." David menatap ayahnya dengan serius.
Thomas terkekeh masam, memandang remeh putranya. "Kau kira aku bodoh, David? Aku tahu bahwa wanita itu telah kau bayar untuk menjadi istrimu. Kalian bahkan tidak saling mengenal, kan?" "Akkkkhhh! FUCK!" maki David menggebrak meja kerja ayahnya. "Tenanglah... Itu bukan urusanku. Satu-satunya urusanku adalah ... jika kau memang benar menginginkan perusahaan ini, maka menikahlah dan pastikan kau memberikanku keturunan untuk melanjutkan perusahaan ini kedepannya. Aku tidak ingin perusahaan ini hancur atau jatuh ke tangan selain darah dagingku." Thomas menyesap minumannya dengan tenang, menatap David yang masih memandangnya begitu sengit. "Kau akan menyesal telah mempersulit hidupku, Tua Bangka!" maki David lagi yang kemudian meninggalkan ruang kerja ayahnya. Ia mendorong kursi rodanya menuju tempat ia meminta Alexa menunggu. Sayangnya, tempat itu telah kosong tanpa siapapun. Kemana gadis itu pergi? Bahkan belum menjadi istri David saja dia sudah tidak menurut? Sialan! David menggeram dan memanggil para penjaga untuk membawa Alexa ke hadapannya. Tanpa menunggu para penjaga membuahkan hasil, David juga turut bergerak sendiri menelusuri rumah ayahnya. Saat melewati sebuah ruangan di pojok dekat gudang, David terhenti melihat satu buah sepatu heels entah milik siapa. Tapi, itu cukup mencurigakan, sebab hanya sebelah saja. Kemana pasangannya? Tanpa berpikir, David langsung membuka pintu yang ternyata mengarah ke lorong panjang dan gelap. David menghirup aroma darah yang begitu menyengat dari dalam sana. Ia langsung tahu, bahwa ruangan ini adalah pintu menuju ruang eksekusi. Entah digunakan untuk apa oleh ayahnya, David tak peduli. Ia langsung mendorong dirinya masuk. *** "BUKA MULUTMU, SIALAN! KAU BENAR-BENAR JALANG MURAHAN!" maki Miranda yang semakin kuat mencengkeram rahang Alexa. Alexa menggeleng dengan terus mempertahankan mulutnya yang mengatup dengan kuat. Air mata sudah mengalir sebab ketakutan ia akan mati di ruangan ini. Bagaimana tidak, kedua calon ibu mertuanya ini mengurung ia dalam sebuah ruangan gelap dan berbau darah, dengan kedua tangannya yang terikat kencang, tidak sampai disana, ia juga dipaksa meminum sesuatu entah apa itu. "EMMMMHHHH!" jerit Alexa. "DASAR PELACUR MURAHAN!" Miranda murka dan langsung menampar Alexa dengan kuat hingga meninggalkan bekam yang cukup nyata di pipi gadis berkulit gelap itu. "Sudahlah, pakai ini saja." Camilla menunjukkan sesuatu ke hadapan Miranda. Itu adalah sebuah spuit yang telah berisi obat. Miranda tersenyum licik. "Pintar juga rupanya dirimu, Camille!" Camilla berdecih. "Kau yang terlambat berpikir bodoh!" "KAU!" Miranda menggeram. "Cukup! Kita tak punya waktu untuk pertengkaran ini." Camilla langsung melerai. Miranda tak menyahut dan meraih dengan kasar spuit dari tangan madunya itu. "Ada kata terakhir? Mungkin, aku tidak keberatan menyampaikannya pada calon suami yang kau cintai itu." Tawa Miranda terdengar memantul hingga ke tiap-tiap ruangan. "Untuk apa repot-repot? Aku bisa mendengarnya dari sini." Miranda dan Camilla langsung menoleh pada asal suara asing di belakang mereka. Mereka tersentak lantaran disana sudah ada David dengan pecut di tangannya yang ia temukan di bilik senjata pribadi ayahnya. "Aku sungguh terkesan pada dua jalang tua bangka itu dalam mendidik calon istriku. Terima kasih banyak. Kalian melatihnya untuk lebih berani." David tersenyum miring dan mendekati ketiga wanita itu dengan langkah lembut. "Sayangnya, aku tak punya waktu banyak untuk membiarkan kalian mendidik calon istriku. Aku harus segera pulang, dan biar kuberitahu apa itu kejam." Dengan satu gerakan cepat, David menggerakkan pecutnya dengan begitu ahli ke arah dua ibu tirinya itu. "AAAARRRGGHHH!" jerit Miranda dan Camilla bersamaan. "Hentikan! Atau kami akan laporkan kau pada ayahmu yang membuat namamu dihapuskan dalam daftar pewaris." Camilla mengancam. "Tolong jangan lupa untuk membujuk si tua bangka kesayangan kalian itu untuk menjadikan anak haramnya sebagai pewaris untuk menggantikanku. Sejujurnya, aku ragu untuk itu." David tertawa keras dibarengi dengan pecut yang kembali terayun untuk kedua kalinya. "Akhh! HENTIKAN DAVID!" jerit Miranda yang kakinya merasakan perih yang cukup mendalam dari tali pecut yang David ayunkan. "KAU?! KALI INI AKU AKAN—" "Akan apa?" potong David dari ucapan Camilla. "Kau mau mencoba membunuh setiap calon istriku lagi, hah? Aku curiga, mungkinkah kematian Anna dan kelumpuhanku ada kaitannya dengan keluarga murahan ini?" David tersenyum miring menatap ekspresi panik dari dua ibu tirinya. "Apapun itu, akan kupastikan dia akan mati dari tanganku sendiri!" David mengepalkan tangannya yang lain dengan penuh emosi. *** Alexa terdiam menatap cermin di dalam salah satu kamar orang yang katanya telah membeli dirinya untuk dijadikan istri. Jujur saja, Alexa masih menolak itu. Tapi, bukan itu yang mengganggu pikirannya saat ini. Melainkan soal kejadian penyiksaan oleh dua ibu tiri David. Jujur saja, Alexa juga terkejut bahwa bukan hanya David yang gila, keluarganya pun juga. Hari ini, dia hampir mati karena racun aneh yang mereka paksa untuk Alexa meminumnya. Karena penolakan, Alexa selamat dalam beberapa detik. Karena ternyata, salah satu dari mereka mengganti cara pemberian obat yaitu dengan melalui suntikan. Untungnya, David segera tiba dan membuatnya berhasil selamat. Masih teringat jelas bagaimana David mengayunkan pecut itu kepada dua ibu tirinya, kemudian membuat mereka lari terbirit dan membawa Alexa pergi dari sana. "Apa aku harus berterima kasih padanya?" gumam Alexa memegangi pipinya yang memerah. Tamparan itu begitu keras sampai membuat kulitnya yang ia buat kecokelatan menampilkan kemerahan. Entah bagaimana penampakan bekas tamparan itu pada kulit aslinya. Alexa juga tak tahu. Tok! Tok! Tok! Alexa terkesiap menoleh pada pintu. Tak lama kemudian, dua pelayan masuk tanpa menunggu ia memberikan izin. Mereka menunduk hormat sejenak dan mengatakan. "Nona, anda diminta untuk menemui Tuan Roland sekarang." "Ro—land?" gumam Alexa rendah. Ia bangkit dan menurut dan tuntun keluar dari kamar. Ia dibawa pada satu ruang kerja dengan nuansa elegan mewah. Disana, tampak pria tengah membolak-balikkan kertas yang menjadi pekerjaannya. "Tuan, Nona Alexa telah hadir." Para pelayan menyapa dan membuat pria bernama Roland itu menoleh. Satu senyum terulas sebelum akhirnya meminta para pelayan itu pergi dan menyuruh Alexa mengambil duduk di depan meja kerjanya. "Bagaimana kabarmu?" tanya Roland dengan sedikit gugup. "Hmm," gumam Alexa yang bingung harus mengatakan apa. Dia baik, tetapi juga terbelenggu. Begitulah sekiranya yang ia rasakan. "Baiklah, ada hal-hal penting yang harus kau ketahui mengenai peranmu ke depannya sebagai seorang istri dari Tuan David." "APA?!" sentak Alexa. "Aku benar-benar akan menjadi istri lelaki tidak jelas itu?" Alexa menatap Roland serius. Roland mengangguk tanpa ragu. "Takdirmu hanyalah menjadi istri Tuan David, Nona." Alexa menggeleng cepat. "Aku menolak keras." "Kenapa?" tanya Roland. Alexa berubah terkejut. Apakah ia harus memberikan alasan yang mana semua orang juga bisa melihatnya betapa posisi Alexa sungguh tidak mengenakkan di posisinya. "Kenapa? Tentu saja karena aku tidak mengenal David, aku tidak tahu siapa dia, seluk beluk kehidupannya, bahkan namanya saja baru aku ketahui. Selanjutnya, dia juga tidak mengenal aku dengan baik. Dalam pernikahan, saling mengenal dan mengerti satu sama lain itu—" "Tidak penting sama sekali." Roland memutus perkataan Alexa. Alexa bersiap membalas dengan serentetan kalimat penolakan sebelum akhirnya Roland mengatakan hal yang sangat menusuk hatinya. "Tidak penting karena kau hanyalah seorang pelacur yang dibeli oleh Tuan David untuk dijadikan istri. Pengenalan tidak penting, jika yang membelimu tidak menginginkannya. Ada alasan lain?" sambung Roland dengan santainya. Bahkan dibalik wajah setenang itu, perkataan Roland bisa sungguh sangat menusuk jiwa Alexa dan menyadarkannya pada kenyataan, bahwa dia hanyalah seorang pelacur. Tidak, dia pelacur istimewa. Tidak ada satupun pria yang pernah menyentuhnya. Tidak ada, karena dirinya derajatnya hanyalah pelacur rendahan. "Karena kau hanya diam, kuanggap tidak ada. Jadi, silakan kau tanda tangani surat perjanjian ini. Kau boleh membacanya dan bertanya hal yang tidak kau mengerti. Ingat, bertanya! Bukan mengajukan keringanan. Seluruh isi perjanjian ini tidak dapat diubah, kecuali oleh Tuan David sendiri," jelas Roland. "Tapi, aku tetap menolak menjadi istri David. Bagaimana?" Alexa menurunkan nadanya menjadi frustrasi, berharap Roland menaruh belas kasihan padanya. "Baiklah. Akan coba kubicarakan dengan Tuan David tentang penolakan kerasmu, sekaligus mengajukan pemusnahan terhadap dirimu tanpa rasa sakit yang berkepanjangan." Roland meraih kembali dokumen di depan Alexa. "Apa maksudmu? Pemusnahan terhadapku?" Alexa membulat. "Hmm." Roland mengangguk pasti. "Jika kau menolak, maka sudah dipastikan kau pasti mati di rumah ini. Satu peraturan yang tidak kau ketahui adalah ... siapapun manusia asing yang masuk ke rumah ini, harus melewati kematian untuk dapat keluar dari kawasan rumah ini dengan tenang." "Peraturan gila macam apa itu? Bagaimana bisa kalian menganggap nyawa seseorang begitu murah? Siapa kalian sebenarnya? Aku tidak mengerti dengan tujuan hidup kalian, dan kenapa—" Alexa tercekat saat tangan besar Roland menarik dagunya untuk mendekat wajah lelaki itu yang seketika berubah mengerikan. "Dengar Alexa. Semakin banyak yang kau tahu, semakin sakit kematianmu, mengerti?" Roland tersenyum miring tepat di depan wajah ketakutan Alexa saat ini. "Tuhan, tolong aku!" jerit Alexa dalam hatinya. **** Bersambung...."Aku tetap membutuhkan waktu untuk berpikir, Roland." Alexa mendorong pelan dada Roland hingga menjauhinya. Roland memutar bola matanya malas. "Setidaknya, bacalah dahulu perjanjiannya. Ada sedikit keuntungan yang bisa kau dapatkan." "Hanya sedikit." Alexa bergumam pelan sembari membawa dokumen itu lebih dekat padanya. Baru saja membaca beberapa detik, Alexa langsung mendengus kembali. Isinya sungguh tidak masuk akal, seperti tidak masuk akalnya mereka menyuruh Alexa menjadi istri David. PERJANJIAN PERNIKAHAN ALEXA DAN DAVID 1. Alexa dilarang meminta cerai pada David. Seluruh keputusan perpisahan ada di tangan David. Hanya David yang boleh menceraikan Alexa. 2. Alexa tidak boleh keluar atau pergi tanpa izin atau pengawalan David. 3. Alexa dilarang berhubungan dengan lelaki manapun. 4. Alexa wajib meninggalkan seluruh teman, saudara, ataupun keluarganya. 5. Alexa dilarang mengikutcampuri urusan David. 6. Alexa dilarang melanggar ucapan David. 7. Alexa dilarang
"Oke. 500 juta dolar untuk Tuan—" "1 milyar dolar," teriak seseorang dari kegelapan. Semua tersentak. Mereka tidak mengira ada seseorang yang rela mengorbankan 1 milyar dolarnya untuk acara pelelangan ini. Miranda dan Camilla sama-sama menyipitkan matanya menatap kegelapan arah suara itu berasal. Alexa yang penuh ketakutan benar-benar hanya pasrah saja. Baru kali ini, ia menyesali perbuatannya yang kabur dari David. Nyatanya, Roland benar. Tak ada yang bisa kabur dari David. Dan kini, ia benar-benar sudah lemah. "1 milyar dolar untuk calon istriku." Senyum iblis David tampak keluar dari kegelapan. Membuat keadaan yang semula penuh kehebohan, berubah menjadi keheningan dalam sekejap. "Da—vid?" gumam Zeo. "Apa kabar tikus-tikus pengkhianatku?" sapa David dengan senyum remehnya. Detik berikutnya, langsung terdengar suara tembakan secara membabi buta ke segala arah. Kericuhan langsung terjadi dengan teriakan memenuhi tiap ruangan temaram ini. Semua berusaha berhamburan keluar
"Permisi, Tuan." Roland manyapa. "Keluar! Jika kau ingin mengabarkan mengenai kegilaan gadis itu, aku sedang tidak mau dengar. Habisi saja dia," sahut David dan terus memunggungi Roland. Matanya enggan terlepas dari wajah cantik istrinya yang abadi dalam sebuah foto besar yang terkukung dalam bingkai emas asli dan permata sebagai hiasan pada tiap sudutnya. "Tidak, Tuan. Justru, aku ingin memberitahu bahwa Nona Alexa telah menandatangani surat perjanjian itu dan bersedia menikah denganmu," jelas Roland. David berpaling dengan ekor matanya. "Laksanakan pernikahan lusa." "Baik, Tuan." Roland mengangguk patuh dan bersiap meninggalkan ruangan pribadi David. "Roland." David memanggil saat lelaki paling mengenalnya itu menarik pintu. "Jangan lupa untuk memberitahu segala peraturan di rumah ini padanya." "Dimengerti, Tuan." Roland pamit undur diri. Sepeninggal Roland, David memandang sayu foto Anna yang tampak tersenyum manis itu. "Maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu." Setetes a
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
"Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Camilla menatap suaminya yang langsung mengalihkan pandangannya dari laptop di ruang kerjanya. "Aku harap, ini bukan soal pembagian harta warisan." Thomas menyahut dengan helaan napas. Miranda melirik Camilla untuk membiarkannya mengambil alih. "Bukan soal itu. Tetapi soal kepastian hubungan di antara kau dan kami." "Ada apa lagi? Kalian ingin membeli apa lagi, hm?" sahut Thomas dengan santainya. "Kami menuntut pernikahan. Kau harus menikahi kami, Thomas. Kami tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai pelacurmu." Camilla menegaskan. "Cih! Mengaku juga kalian sebagai pelacur." Bukan Thomas yang menyahut, kini seseorang yang tak pernah diundang dalam pembicaraan ini menimbrung begitu saja. Dialah David yang tiba-tiba hadir dengan wajah mengejek lelaki itu. "Kau! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan kami! Kau sungguh tidak memiliki sopan satu!" Miranda mencela dengan geram. David tertawa mengejek. "Lalu? Apa yang ingin kau lakukan pad
"Cari tahu lebih mendetail mengenai siapa saja yang menyokong para pelacur itu dan—" David tercekat melihat seorang gadis yang berjalan di tengah malam dengan tatapan kosong entah dari mana dan ingin menuju kemana. "Sedang apa dia?" tanya David pada Roland. Roland segera mengalihkan pandangannya pada apa yang dilihat David. Benar, disana Alexa berjalan dengan tertatih bersama dengan matanya yang kosong. "Apa mungkin dia berniat kabur lagi?" "Dia tidak akan bisa kabur dengan tatapan bodoh itu." David menyahut. Keduanya saling terdiam saat dua binar mereka bertemu. Ini kali pertamanya, ada hal yang membuat David menatap Alexa dengan berbeda. Mata itu. Mata yang menyimpan banyak pertanyaan dan hal-hal yang sepertinya tak mampu disampaikan. Oh, apa David menyakitinya begitu keras tadi pagi, hingga membuat Alexa berubah seperti ini? Alexa membeku sejenak di tempatnya berdiri saat melewati David. Bibir itu bungkam, tetapi tatapan berteriak cukup ker
Alexa berlarian dengan terburu menuju kamar suaminya. Melupakan segala perasaan sakit yang di dapat beberapa menit yang lalu dari suaminya sendiri. Dengan intonasi cepat, Alexa mengetuk pintu kamar suaminya. Pintu itu terbuka dengan sendirinya dan menampilkan David yang tengah disibukkan dengan laptop dan beberapa dokumen di atas kasurnya. "Ada apa lagi?" Wajah datar itu menyapa istrinya dengan malas. Namun, sayang sekali Alexa tak menanggapi itu. Ia masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "David, tolong kunci pintunya." Wajah Alexa tampak panik. David berdecih. "Apa sekarang kau akan memulai aksimu sebagai pelacur? Menunjukkan dirimu yang asli? KELUAR! Aku tidak tertarik." David kembali menatap pekerjaannya. "Tidak. Ini tentang Roland. Tolong, aku mohon..." Alexa menyahut dengan frustrasi. Dengan menghela napas, David menuruti kata istri yang tak dianggapnya itu dengan sekali menekan tombol untuk
"Bagaimana mungkin mesin pengendali itu menyala?" gumam David dalam hatinya. Meskipun hanya terdengar di dalam hatinya, raut wajah David benar-benar tak mampu menyembunyikan kebingungannya. Roland melihat itu dengan jelas. David menatap kakinya dengan alis yang hampir menyatu. Menandakan lelaki itu tengah berpikir cukup keras. "Tuan, apa yang tengah anda pikirkan? Apa ada masalah?" "Hmm?" David tersentak dan menoleh ke depan pada tempat Roland mengemudi saat ini. "Tidak ada. Hanya tengah memikirkan bagaimana aku bisa menghancurkan bajingan tua itu," dustanya. Roland tersenyum dan memberikan sedikit nasehat. Benar. Hanya Roland satu-satunya orang bisa memberikan nasehat, saran, atau hal-hal lainnya dengan David selain Anna. "Tolong beristirahat dengan baik, Tuan. Kau terlihat sangat lelah." Roland mengangguk hormat setelah ia berhasil mengantar David ke dalam kamarnya. Tanpa menunggu sahutan, Roland segera beranjak pergi. Tidak, ia tidak pergi ke kamarnya, melainkan menuju kamar o
"Roland, antar aku ke markas." David berkata. Roland yang tengah mengobrol hal penting langsung menoleh pada ke belakang dan mendapati David melangkah menuju arahnya. "Markas, Tuan?" Roland mengulang. David mengangguk tak terbantahkan. "Sekarang." "Ada apa, Tuan? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Roland mendekati tuannya setelah menyuruh penjaga untuk menyiapkan mobil keberangkatan mereka. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Karena Bajingan itu keras kepala pada peraturan buatannya sendiri, biar kugunakan caraku," jelas David. "Maksudmu, Tuan Thomas, ayahmu, Tuan?" tanya Roland dengan hati-hati. David memalingkan wajahnya tanpa sahutan. Setiap kali teringat bahwa Thomas adalah ayahnya, David merasa malu. Baginya, adalah hal penuh kesialan menjadi putra seorang Tho
"Kalau aku menjadi dia, apa kau akan memandangku?" Alexa menantang tanpa peduli air matanya lagi. "Kau bukan Anna. Selamanya tidak akan pernah menjadi Anna. Karena yang aku inginkan hanyalah Anna-ku yang sesungguhnya.." David mebileh pada foto besar di sebelah ranjangnya. "Bukan orang lain yang menjadi dia," lanjutnya dengan nada merendah. Meski begitu, Alexa tetap mendengarnya cukup jelas. "Apa kau akan tetap mencintainya, meskipun dia mengkhianatimu?" sentak Alexa. "Apa maksudmu, hah?!" David menggeram dan seketika merubah mimik wajahnya menjadi murka. "Kuperingatkan padamu, Alexa. Tidak ada siapapun yang diizinkan menghina Anna. Kau mengerti?" David menatap iblis. Alexa terkekeh. "Dunia ini terlalu penuh humor sebab diisi oleh orang-orang yang buta akan cinta. Aku, kau, dan Anna, yang bahkan aku juga tidak mengenalnya. Lagipula—" "Tuan—?" Seseorang datang yang tidak lain adalah Roland. "Ah, maaf mengganggu kalian. Aku akan—" "Tidak, Roland. Aku sudah selesai." Tanpa me
"Cari tahu lebih mendetail mengenai siapa saja yang menyokong para pelacur itu dan—" David tercekat melihat seorang gadis yang berjalan di tengah malam dengan tatapan kosong entah dari mana dan ingin menuju kemana. "Sedang apa dia?" tanya David pada Roland. Roland segera mengalihkan pandangannya pada apa yang dilihat David. Benar, disana Alexa berjalan dengan tertatih bersama dengan matanya yang kosong. "Apa mungkin dia berniat kabur lagi?" "Dia tidak akan bisa kabur dengan tatapan bodoh itu." David menyahut. Keduanya saling terdiam saat dua binar mereka bertemu. Ini kali pertamanya, ada hal yang membuat David menatap Alexa dengan berbeda. Mata itu. Mata yang menyimpan banyak pertanyaan dan hal-hal yang sepertinya tak mampu disampaikan. Oh, apa David menyakitinya begitu keras tadi pagi, hingga membuat Alexa berubah seperti ini? Alexa membeku sejenak di tempatnya berdiri saat melewati David. Bibir itu bungkam, tetapi tatapan berteriak cukup ker
"Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Camilla menatap suaminya yang langsung mengalihkan pandangannya dari laptop di ruang kerjanya. "Aku harap, ini bukan soal pembagian harta warisan." Thomas menyahut dengan helaan napas. Miranda melirik Camilla untuk membiarkannya mengambil alih. "Bukan soal itu. Tetapi soal kepastian hubungan di antara kau dan kami." "Ada apa lagi? Kalian ingin membeli apa lagi, hm?" sahut Thomas dengan santainya. "Kami menuntut pernikahan. Kau harus menikahi kami, Thomas. Kami tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai pelacurmu." Camilla menegaskan. "Cih! Mengaku juga kalian sebagai pelacur." Bukan Thomas yang menyahut, kini seseorang yang tak pernah diundang dalam pembicaraan ini menimbrung begitu saja. Dialah David yang tiba-tiba hadir dengan wajah mengejek lelaki itu. "Kau! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan kami! Kau sungguh tidak memiliki sopan satu!" Miranda mencela dengan geram. David tertawa mengejek. "Lalu? Apa yang ingin kau lakukan pad
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala