"AAAARRRGGHHH! LEPAS!" jerit Alexa yang terus memberontak sekuatnya saat dua lelaki besar menarik tubuhnya keluar dari rumah pelacuran James, menuju sebuah mobil mewah. "Lepaskan aku! Kau tidak bisa membeliku. Aku tidak dijual! LEPAAASSS!" Alexa menangis dalam jeritannya. Sia-sia saja dirinya memberontak dengan gila, sebab tenaganya tak cukup membuatnya lepas, tetapi justru semakin terikat.
"Tuan, apa kau yakin dengan pilihanmu? Dia--maksudku Alexa adalah bukun wanita seperti kebanyakan pada umumnya. Coba kau lihat dia, Tuan. Dia adalah pelacurku yang paling tidak menguntungkan sebab wajah jelek, dekil sekali, tidak cantik, apalagi seksi. Dia selalu membuat masalah di tempatku ini. Tapi, kau justru memilihnya. Aku takut, dia akan membuat masalah dan--" "Aku tidak buuh penilaianmu," sentak David. James langsung menunduk seketika dengan mulut terkunci rapat tanpa lem. "Datanglah ke pernikahanku nanti, kau akan lihat bahwa penilaianmu adalah sampah." David menutup pertemuan keduanya dengan satu kalimat menohok untuk James. Lelaki yang bergerak dengan kursi rodanya itu pergi meninggalkan James yang hanya terdiam di tempat. "AAAARRRRGGHHH! LEPASSS! Aku tidak mau pergi!" Alexa terus menjerit dan berusaha menyingkirkan dua pria besar yang mengapitnya. Sekali lagi, semua itu sia-sia. Dua pria yang mengapitnya itu bagaikan batu keras yang tak bisa disingkirkan. "Kenapa kalian membawaku? Apa salahku? Aku sudah menjadi manusia paling tidak berguna, lalu kenapa kau membeliku? Kau ingin menjadikanku apa, hah?" Alexa menangis frustrasi. Dengan ekor sudut matanya, David melirik spion atas pada gadis yang baru saja ia beli dari bandar pelacur. Ia pun juga tidak tahu mengapa ia memilih Alexa, hanya saja ... perasaannya mengatakan bahwa Alexa tidak seperti wanita lain yang pasti akan sangat bahagia menikah dengannya. Aneh, memang. Tetapi, itulah yang David inginkan. "TURUNKAN AKU!" pekik Alexa. CIIITTTTT! "TURUNKAN AKU SEKARANG! HENTIKAN MOBILNYA!" lanjut gadis itu yang tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan mencekik supir yang duduk disebelah David. "HEI! APA YANG KAU LAKUKAN?!" bentak David yang langsung menarik tangan Alexa untuk menjauh dari supirnya. Mobil terhenti seketika dan hampir menabrak pembatas jalan. Syukurlah, dengan keahlian supir, mereka masih dapat benapas dengan baik. "LEPASKAN AKU! AKU INGIN TURUN! APA KAU GILA MEMBELIKU DARI TEMPAT PELACURAN?!" Alexa berteriak menatap David. "Apa kau menyebut dirimu waras dengan mencoba membunuh kami semua, hah?" balas David. Alexa bungkam dengan bibirnya yang bergetar. "Jika kau berniat untuk mati, matilah sendiri. Aku akan dengan senang hati membantu." David membulatkan matanya menyalang iblis pada Alexa yang tiba-tiba saja dibekap menggunakan sapu tangan yang telah diberikan obat dan membuatnya pingsan tanpa perlawanan. *** Alexa meringis perih pada kepalanya yang pusing. Rasa kantuk masih terasa begitu kuat, tetapi ia memaksa untuk bangun dari tidurnya. Ia terperanjat sepersekian detik saat melihat ruangan kamar mewah tempat dirinya terbaring saat ini. Kamar yang bahkan lebih mewah daripada kamar pelacur terbaik milik James. "Ada apa ini? Apa yang telah terjadi?" gumamnya dalam hati. Ia melirik kanan dan kiri yang kosong tanpa seorangpun. Alexa terdiam sejenak, hingga tubuhnya tiba-tiba dialiri perasaan takut saat mengingat ada seorang pria gila entah siapa yang datang ke rumah pelacuran James dan membelinya dengan haraga yang cukup mahal. Kemudian, ia dibawa pergi dan terjadi insiden yang hampir membunuhnya, pun akibat ulahnya sendiri. Setelah itu, ia tak ingat apapun kecuali rasa kantuk dan dunianya menggelap. Ia turun dari ranjang perlahan dan mencoba membuka pintu kamar itu. Alisnya hampir bertaut keheranan saat menyadari bahwa mereka tak mengunci pintu kamar Alexa. Dilongokkan sedikit kepalanya keluar kamar untuk memeriksa sekitar. Sepi dan kosong. Alexa tak menyia-nyiakan lampu hijau ini dan langsung bergerak, berniat untuk kabur. Ia keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan perlahan dan penuh waspada. Ia berhasil melewai ruang makan, dan masih begitu waspada melintasi ruang tamu. Dan sedikit lagi, ia akan sampai pada pintu utama yang menjulang tinggi penuh kemewahan. "Orang gila mana yang menjadikan pintu utama sebagai jalan untuk melarikan diri?" ujar seseorang yang membuat Alexa terperanjat. Gadis itu meoleh pada asal suara dan tampak seorang pria lumpuh dengan matanya yang begitu tajam. "K--kau?!" Alexa tergugup. "Bahkan orang gila saja tidak sebodoh dirimu." David tersenyum miring. "Kecuali kau punya kemampuan untuk mengahdapi mereka." David kemudian menekan satu tombol di kursi rodanya yang membuat pintu dibelakang Alexa terbuka lebar dan nampak para penjaga tinggi, besar, berseragam hitam tengah berjaga tanpa lengah. Jumlahnya sangat banyak, bisa mencapai 100 orang. Tapi Alexa tak yakin itu, karena yang terlihat adalah bagian depan saja, belum sisi yang lainnya. Alexa ternganga. Apa lelaki yang membelinya adalah seorang pejabat tinggi atau orang penting dalam keberlangsungan negara ini? Kenapa rumahnya dijaga dengan begitu ketat? Alexa menggeleng mempertanyakan semua hal itu. Tetapi, ia tak menemukan apapun sebagai jawabannya. "Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa salahku sesungguhnya padamu? Kita tidak saling mengenal dan aku tidak punya apapun yang bisa kuberikan padamu? Kau mau apa, hah?!" Alexa menangis dan berlutut di depan David. "Kumohon lepaskan aku. Aku tidak bisa melakukan apapun yang kau mau." David berdecih najis melihat Alexa yang menangis. Ia benci wanita menangis. Karena baginya itu sangat berisik dan membuat kepalanya ingin pecah. Satu-satunya wanita sempurna bagi David adalah Anna. Dia pemberani, dan juga tidak cengeng. "Yang aku mau darimu adalah diam dan turuti segala perkataanku. Mengerti?" David memperingati dengan penuh ketegasan. "Apa yang harus kumengerti, hah? Kau membeliku dan membawaku pergi ke rumahmu tanpa izin dariku. Apa menindas wanita lemah adalah kemenangan bagimu? Apa begitu menyenangkan untukmu, hm?" Alexa menantang. "Aku tidak perlu izin darimu, atau dari siapapun. Aku telah membelimu, maka kau adalah milikku, dan harus mendengarkan semua perintahku," balas David yang mencengkeram rahang Alexa kuat. "Dan jika kau berani melawan, aku akan membawamu pada penyiksaan luar biasa hingga kau lebih baik memilih mati." David kian mengeratkan genggamannya. "Sa—kit. Le—pas!" Alexa merintih. "Maka, jadilah gadis yang baik. Mengerti?" David menghempaskan rahang Alexa dan pergi setelah penjaga datang dan mencoba membawa Alexa menuju kamarnya kembali. "TIDAK! LEPASKAN AKU!" Alexa menjerit serta memberontak dengan gila. Segila apapun, itu tak akan berpengaruh untuk membuatnya bisa lepas dari cengkeraman penjaga yang tenaganya berpuluh kali lipat darinya. *** "Roland, siapkan keberangkatanku menuju rumah Thomas sekarang." David memerintah sesaat setelah Roland memasuki kamarnya. Lelaki itu tertegun sejenak mendengar perintah David yang tengah bersiap di depan cermin bersama 3 orang pelayan. Namun, ia hanya mengangguk mengerti. "Baik, Tuan," sahut David patuh. "Tuan, aku telah mengatur jadwal kencanmu dengan wanita yang akan menjadi calon istrimu nanti mal—" "Batalkan!" potong David tegas. "Aku sudah menemukan calonku sendiri. Aku membelinya kemarin malam." David merapikan sedikit pakaiannya dan mengangkat tangannya mengusir para pelayan keluar dari kamarnya. "Membe—li?" Roland menurunkan nada suaranya. Terdengar mengerikan. Tapi, memang itu yang David lakukan. "Pergi dan periksa apakah dia sudah bersiap atau belum? Aku akan melaporkannya pada Thomas." David berkata santai dengan mendorong kursi rodanya keluar dari kamar, diikuti Roland setelah lelaki itu mengangguk patuh. Roland segera menuju ke kamar Alexa. Bahkan dari kejauhan, ia telah mendengar suara keributan dan kehebohan yang membuat telinganya sakit. Ia berkerut dan mempercepat langkahnya menuju kebisingan itu. "Ada apa ini—? Astaga!" pekik Roland melihat isi kamar yang begitu berantakan. Beberapa perabotan kamar sudah berhamburan hingga berkeping. Dan disana, terlihat keempat pelayan tengah mencoba menangkap gadis asing yang terus berlari menghindari mereka, seperti anak kecil yang tengah bermain Tom & Jerry. "Aku tidak mau! Berhenti memaksaku! Kau tidak bisa memaksaku!" ujar Alexa yang tengah mengangkat guci seharga milyaran untuk ia banting sebagai bentuk penjagaan diri. "Nona, kau harus bersiap. Tuan menyuruhmu untuk bersiap. Mari, kami bantu." Salah satu pelayan berusaha membujuk, tetapi Alexa tetap menolak. Hal itu membuat Roland kesal. Ia menggeram dan mendekati gadis asing itu dengan kewibawaannya, hingga membuat suasana hening seketika dengan seluruh mata pandang tertuju padanya. "Nona, tolong bersiaplah. Tuan David telah menunggumu di meja makannya." Roland berujar menahan amarahnya. "Kalau tidak, kau akan membuatnya marah, Nona." "Biar saja! Aku tidak peduli. Bahkan, kau suruh saja tuanmu itu untuk—" "APA YANG TERJADI DISINI?!" geram seseorang dengan suara tegas menggelegar. Takdir berpihak pada Alexa dengan menghadirkan David yang benar-benar murka terhadapnya. Alexa membulat. Melihat David, entah kenapa nyalinya tiba-tiba saja menciut. Si pemilik rumah besar tempat Alexa dikurung itu, melangkah masuk dengan tatapan murka melihat salah satu kamar di rumahnya dirusak tanpa ampun oleh Alexa. "Sepertinya, kebaikanku telah kau sepelekan." David mengeluarkan nada iblisnya, membuat Alexa terdiam dan seketika mundur perlahan karena ketakutannya. "Maka, terimalah yang seharusnya kau terima," ujar David yang langsung menarik tangan Alexa san menamparnya. SRETTT! PLAK! "Akkhh!" keluh gadis itu yang merasakan perihnya tamparan David sekaligus perihnya pecahan guci yang ia remukkan sendiri. "Ssshhh!" Gadis itu mendesis perih, lantaran tangannya yang berdarah. Tak menunggu Alexa menikmati sakitnya, David seketika langsung menyeret rambut gadis itu keluar dari kamar. Alexa panik dan berteriak seketika. "AAAARRRGGGHHH! TOLONG! SAKIT! LEPAS!" jeritnya yang hanya jadi bahan tontonan oleh Roland dan para pelayan. Alexa diseret menuju ruang bawah tanah yang gelap, dingin, dan bau khas darah. Gadis itu masih menjerit, hingga membuat suaranya menggema di setiap lorong bawah tanah. Tapi, tetap saja tidak ada yang bisa serta mampu menyelamatkannya. "Tolong... Ampun... Ini sakit sekali." Alexa merintih memohon. David diam tak menghiraukan gadis itu. Hingga Alexa tiba dalam sebuah ruangan yang temaram. Alexa dihempaskan cukup kuat hingga wajahnya menubruk lantai. "Akkhh, ssshhh!" keluh Alexa dengan tangisnya. Alexa mencoba mengangkat kepala dan melirik sekitarnya yang masih terdapat bekas aliran darah dengan segala aromanya. Alexa tidak bodoh, tempat jnj pasti baru saja menjadi ladang penyiksaan bagi seseorang. "Hah?!" Alexa membekap mulutnya dan mencari David. Disana, dengan wajah murkanya, David mendekati Alexa bersama pecut yang baru saja ia ambil dari tempat persenjataannya. Sambil memainkan pecutnya hingga menimbulkan suara, David berkata. "Ini akan jadi hukuman untukmu yang menganggap remeh peringatanku." PLAK! "Aaaarrrgghhh!" Alexa menjerit menangis merasakan gesekan pecut mengenai pakaiannya yang langsung robek. "SAAKITTT!" PLAK! "AAAARRRGGHHH!" jerit Alexa hingga membuat kerongkongannya sakit. Tetapi, itu tak sebanding dengan rasa sakit pecut yang menggores kulitnya. Kesakitan Alexa direspon senyum kepuasan di wajah David. PLAK! "Ampun! Ampun! Maafkan aku! Aku tidak akan melawan lagi. Ampuni aku, aku mohon. Ini sakit sekali." Alexa berlutut menyentuh kaki David dengan tangisnya. Ia sudah tidak sanggup merasakan tubuhnya yang perih akibat penyiksaan ini. David yang baru saja bersiap melayangkan pecutnya kembali, langsung melemparnya ke sembarang arah. Kalau ia tidak ingat, ia masih membutuhkan Alexa, ia pasti akan membunuh gadis itu sekarang juga. Sayangnya, ia perlu mendapatkan perusahaan ayahnya terlebih dahulu. David mengulas senyum miring dan menghempaskan kepala Alexa mundur. Lelaki itu lantas pergi tanpa sepatah katapun dan membiarkan para penjaga masuk dan membawa Alexa pergi kembali untuk diobati dan dipersiapkan. *** Alexa tercekat melihat rumah besar yang tak kalah besar dari rumah David. Ia mendorong perlahan kursi roda David memasuki rumah itu. Para penjaga dan pelayan yang melihat mereka, langsung menunduk memberi penghormatan. Alexa cukup gugup dan tersenyum tipis membalas anggukan mereka. Berbeda dengan David yang memang sudah terbiasa mendapat sanjungan seperti itu. "Dimana Thomas?" tanya David pada para penjaga. "Tuan Thomas saat ini sedang melaksanakan makan bersama, Tuan." Salah satu penjaga menyahut. Ia menunjuk arah kemana Alexa harus membawanya. Sebenarnya, David tak membutuhkan Alexa untuk mendorong kursi rodanya, sebab tentu saja kursi rodanya lebih canggih dari tenaga lemahnya Alexa. Tetapi, Roland menyarankan untuk keduanya terlihat sedikit seperti pasangan. "Da—vid?" gumam Gerrick yang tercengang melihat David yang datang tanpa rasa bersalah. Ia kira ayahnya akan bertindak untuk membunuh atau setidaknya memenjarakan David, tetapi rasanya itu seperti mustahil. Mendengar Gerrick, seluruh mata langsung tertuju pada jalan utama menuju meja makan. Disana, David datang bersama seorang wanita. Lelaki itu datang dengan nyali yang memuncak seakan lupa apa yang telah lelaki itu lakukan pada saudara tirinya. "Berani kau datang dengan wajah sombongmu itu, setelah apa yang kau lakukan pada adik-adikmu, David!" Thomas berkata disertai dengan tatapan murka darinya dan para ibu tiri David. David tersenyum miring. "Aku anak tunggal." "Kau tahu, apa yang kau lakukan pada adikmu itu, tidak bisa—" David melemparkan sesuatu ke atas meja makan. "Aku tidak punya waktu banyak. Aku hanya mau menyampaikan itu." Thomas berkerut. Ia mengambil sesuatu di atas meja makan. Sebuah undangan pernikahan yang tertulis nama David dan seorang wanita bernama Alexa. "Ka—kau akan menikah?!" se tak Thomas dengan wajah harunya. "Hmm," sahut David malas. "Aku akan menikah dengannya." David meriah telapak tangan mungil Alexa. "Aku kesini bukan untuk meminta restumu, apalagi membicarakan mengenai perbuatanku yang—" "Astaga David, kenapa kau tidak bilang, bahwa kau membawa calon menantuku?" Thomas berkata dengan ramahnya dan mendorong dirinya menuju Alexa. "Daddy! Bagaimana denganku dan Sofia? David telah—" Gerrick tercekat mendengar ketegasan Thomas selanjutnya. "Gerrick, dimana sopan santun pada calon kakak iparmu, hah?" sentak Thomas yang langsung beralih manis pada Alexa. "Siapa namamu, Nak?" tanya Thomas yang mempersilakan Alexa untuk bergabung di meja makan. "A—Alexa." Alexa menyahut dengan rasa takut dan pandangan menunduk. "Tidak apa-apa. Kita sarapan bersama dulu, ya..." Thomas mengajak dengan ramah. "Tapi—" Alexa menatap David takut. "Kami kesini bukan untuk sara—" "Diamlah! Aku tidak mengajakmu. Aku mengajak menantuku," sela Thomas. "Makanlah, Nak. Tidak apa-apa." Thomas kembali mempersilakan. Merasa tidak enak, akhirnya Alexa mengangguk setuju san mulai mengambil alat makannya dengan perasaan takut akibat tatapan mata David yang begitu tajam. *** "Jadi, namamu Alexa?" tanya Camilla dengan tatapan tak senang. "I—iya—" Alexa mengangguk takut. "Bagaimana kau dan David bisa bertemu dan saling jatuh cinta, hmm?" Kini, Miranda yang bertanya setelah menyeruput teh hangatnya. Alexa terdiam. Ia teringat pada peringatan yang dikatakan Roland padanya, bahwa dia tidak boleh banyak bicara dengan anggota keluarga David tentang apapun. "Kau ketakutan. Apa David menyiksamu? Memaksamu, atau—" Camilla menggantung ucapannya dengan senyum miring. Ia melirik Miranda dan saling berbagi anggukan kepala. Alexa terdiam dengan pandangan menunduk meremas dressnya. Ia ketakutan dan berharap David yang sedang melakukan pembicaraan pribadi dengan ayahnya, segera kembali. Alexa takut melakukan kesalahan. "Sebagai calon menantu di keluarga ini, aku mau memberitahumu dan memperkenalkanmu banyak hal. Mari, ikuti aku." Miranda berkata dan bangkit dengan diikuti Camilla. "Kenapa diam? Ayo!" sentak Camilla yang geram melihat Alexa tak bergeming sama sekali. "Maaf, aku tidak bisa. David menyuruhku menunggu disini." Alexa menyahut tanpa berani menatap. "Kau kira kami ini siapa, hah? Kami ini adalah calon mertuamu. Kau berani melawan kami, hah?!" Miranda murka dan langsung menarik lengan Alexa untuk pergi mengikutinya. "Tidak, tolong lepas!" jerit Alexa yang berusaha memberontak. **** Bersambung..."Aku sudah melakukan apa yang kau mau. Kini, saatnya kau berikan apa yang aku mau." David menatap ayahnya dengan serius. Thomas terkekeh masam, memandang remeh putranya. "Kau kira aku bodoh, David? Aku tahu bahwa wanita itu telah kau bayar untuk menjadi istrimu. Kalian bahkan tidak saling mengenal, kan?" "Akkkkhhh! FUCK!" maki David menggebrak meja kerja ayahnya. "Tenanglah... Itu bukan urusanku. Satu-satunya urusanku adalah ... jika kau memang benar menginginkan perusahaan ini, maka menikahlah dan pastikan kau memberikanku keturunan untuk melanjutkan perusahaan ini kedepannya. Aku tidak ingin perusahaan ini hancur atau jatuh ke tangan selain darah dagingku." Thomas menyesap minumannya dengan tenang, menatap David yang masih memandangnya begitu sengit. "Kau akan menyesal telah mempersulit hidupku, Tua Bangka!" maki David lagi yang kemudian meninggalkan ruang kerja ayahnya. Ia mendorong kursi rodanya menuju tempat ia meminta Alexa menunggu. Sayangnya, tempat itu telah kosong t
"Aku tetap membutuhkan waktu untuk berpikir, Roland." Alexa mendorong pelan dada Roland hingga menjauhinya. Roland memutar bola matanya malas. "Setidaknya, bacalah dahulu perjanjiannya. Ada sedikit keuntungan yang bisa kau dapatkan." "Hanya sedikit." Alexa bergumam pelan sembari membawa dokumen itu lebih dekat padanya. Baru saja membaca beberapa detik, Alexa langsung mendengus kembali. Isinya sungguh tidak masuk akal, seperti tidak masuk akalnya mereka menyuruh Alexa menjadi istri David. PERJANJIAN PERNIKAHAN ALEXA DAN DAVID 1. Alexa dilarang meminta cerai pada David. Seluruh keputusan perpisahan ada di tangan David. Hanya David yang boleh menceraikan Alexa. 2. Alexa tidak boleh keluar atau pergi tanpa izin atau pengawalan David. 3. Alexa dilarang berhubungan dengan lelaki manapun. 4. Alexa wajib meninggalkan seluruh teman, saudara, ataupun keluarganya. 5. Alexa dilarang mengikutcampuri urusan David. 6. Alexa dilarang melanggar ucapan David. 7. Alexa dilarang
"Oke. 500 juta dolar untuk Tuan—" "1 milyar dolar," teriak seseorang dari kegelapan. Semua tersentak. Mereka tidak mengira ada seseorang yang rela mengorbankan 1 milyar dolarnya untuk acara pelelangan ini. Miranda dan Camilla sama-sama menyipitkan matanya menatap kegelapan arah suara itu berasal. Alexa yang penuh ketakutan benar-benar hanya pasrah saja. Baru kali ini, ia menyesali perbuatannya yang kabur dari David. Nyatanya, Roland benar. Tak ada yang bisa kabur dari David. Dan kini, ia benar-benar sudah lemah. "1 milyar dolar untuk calon istriku." Senyum iblis David tampak keluar dari kegelapan. Membuat keadaan yang semula penuh kehebohan, berubah menjadi keheningan dalam sekejap. "Da—vid?" gumam Zeo. "Apa kabar tikus-tikus pengkhianatku?" sapa David dengan senyum remehnya. Detik berikutnya, langsung terdengar suara tembakan secara membabi buta ke segala arah. Kericuhan langsung terjadi dengan teriakan memenuhi tiap ruangan temaram ini. Semua berusaha berhamburan keluar
"Permisi, Tuan." Roland manyapa. "Keluar! Jika kau ingin mengabarkan mengenai kegilaan gadis itu, aku sedang tidak mau dengar. Habisi saja dia," sahut David dan terus memunggungi Roland. Matanya enggan terlepas dari wajah cantik istrinya yang abadi dalam sebuah foto besar yang terkukung dalam bingkai emas asli dan permata sebagai hiasan pada tiap sudutnya. "Tidak, Tuan. Justru, aku ingin memberitahu bahwa Nona Alexa telah menandatangani surat perjanjian itu dan bersedia menikah denganmu," jelas Roland. David berpaling dengan ekor matanya. "Laksanakan pernikahan lusa." "Baik, Tuan." Roland mengangguk patuh dan bersiap meninggalkan ruangan pribadi David. "Roland." David memanggil saat lelaki paling mengenalnya itu menarik pintu. "Jangan lupa untuk memberitahu segala peraturan di rumah ini padanya." "Dimengerti, Tuan." Roland pamit undur diri. Sepeninggal Roland, David memandang sayu foto Anna yang tampak tersenyum manis itu. "Maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu." Setetes a
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
"Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Camilla menatap suaminya yang langsung mengalihkan pandangannya dari laptop di ruang kerjanya. "Aku harap, ini bukan soal pembagian harta warisan." Thomas menyahut dengan helaan napas. Miranda melirik Camilla untuk membiarkannya mengambil alih. "Bukan soal itu. Tetapi soal kepastian hubungan di antara kau dan kami." "Ada apa lagi? Kalian ingin membeli apa lagi, hm?" sahut Thomas dengan santainya. "Kami menuntut pernikahan. Kau harus menikahi kami, Thomas. Kami tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai pelacurmu." Camilla menegaskan. "Cih! Mengaku juga kalian sebagai pelacur." Bukan Thomas yang menyahut, kini seseorang yang tak pernah diundang dalam pembicaraan ini menimbrung begitu saja. Dialah David yang tiba-tiba hadir dengan wajah mengejek lelaki itu. "Kau! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan kami! Kau sungguh tidak memiliki sopan satu!" Miranda mencela dengan geram. David tertawa mengejek. "Lalu? Apa yang ingin kau lakukan pad
Alexa berlarian dengan terburu menuju kamar suaminya. Melupakan segala perasaan sakit yang di dapat beberapa menit yang lalu dari suaminya sendiri. Dengan intonasi cepat, Alexa mengetuk pintu kamar suaminya. Pintu itu terbuka dengan sendirinya dan menampilkan David yang tengah disibukkan dengan laptop dan beberapa dokumen di atas kasurnya. "Ada apa lagi?" Wajah datar itu menyapa istrinya dengan malas. Namun, sayang sekali Alexa tak menanggapi itu. Ia masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "David, tolong kunci pintunya." Wajah Alexa tampak panik. David berdecih. "Apa sekarang kau akan memulai aksimu sebagai pelacur? Menunjukkan dirimu yang asli? KELUAR! Aku tidak tertarik." David kembali menatap pekerjaannya. "Tidak. Ini tentang Roland. Tolong, aku mohon..." Alexa menyahut dengan frustrasi. Dengan menghela napas, David menuruti kata istri yang tak dianggapnya itu dengan sekali menekan tombol untuk
"Bagaimana mungkin mesin pengendali itu menyala?" gumam David dalam hatinya. Meskipun hanya terdengar di dalam hatinya, raut wajah David benar-benar tak mampu menyembunyikan kebingungannya. Roland melihat itu dengan jelas. David menatap kakinya dengan alis yang hampir menyatu. Menandakan lelaki itu tengah berpikir cukup keras. "Tuan, apa yang tengah anda pikirkan? Apa ada masalah?" "Hmm?" David tersentak dan menoleh ke depan pada tempat Roland mengemudi saat ini. "Tidak ada. Hanya tengah memikirkan bagaimana aku bisa menghancurkan bajingan tua itu," dustanya. Roland tersenyum dan memberikan sedikit nasehat. Benar. Hanya Roland satu-satunya orang bisa memberikan nasehat, saran, atau hal-hal lainnya dengan David selain Anna. "Tolong beristirahat dengan baik, Tuan. Kau terlihat sangat lelah." Roland mengangguk hormat setelah ia berhasil mengantar David ke dalam kamarnya. Tanpa menunggu sahutan, Roland segera beranjak pergi. Tidak, ia tidak pergi ke kamarnya, melainkan menuju kamar o
"Roland, antar aku ke markas." David berkata. Roland yang tengah mengobrol hal penting langsung menoleh pada ke belakang dan mendapati David melangkah menuju arahnya. "Markas, Tuan?" Roland mengulang. David mengangguk tak terbantahkan. "Sekarang." "Ada apa, Tuan? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Roland mendekati tuannya setelah menyuruh penjaga untuk menyiapkan mobil keberangkatan mereka. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Karena Bajingan itu keras kepala pada peraturan buatannya sendiri, biar kugunakan caraku," jelas David. "Maksudmu, Tuan Thomas, ayahmu, Tuan?" tanya Roland dengan hati-hati. David memalingkan wajahnya tanpa sahutan. Setiap kali teringat bahwa Thomas adalah ayahnya, David merasa malu. Baginya, adalah hal penuh kesialan menjadi putra seorang Tho
"Kalau aku menjadi dia, apa kau akan memandangku?" Alexa menantang tanpa peduli air matanya lagi. "Kau bukan Anna. Selamanya tidak akan pernah menjadi Anna. Karena yang aku inginkan hanyalah Anna-ku yang sesungguhnya.." David mebileh pada foto besar di sebelah ranjangnya. "Bukan orang lain yang menjadi dia," lanjutnya dengan nada merendah. Meski begitu, Alexa tetap mendengarnya cukup jelas. "Apa kau akan tetap mencintainya, meskipun dia mengkhianatimu?" sentak Alexa. "Apa maksudmu, hah?!" David menggeram dan seketika merubah mimik wajahnya menjadi murka. "Kuperingatkan padamu, Alexa. Tidak ada siapapun yang diizinkan menghina Anna. Kau mengerti?" David menatap iblis. Alexa terkekeh. "Dunia ini terlalu penuh humor sebab diisi oleh orang-orang yang buta akan cinta. Aku, kau, dan Anna, yang bahkan aku juga tidak mengenalnya. Lagipula—" "Tuan—?" Seseorang datang yang tidak lain adalah Roland. "Ah, maaf mengganggu kalian. Aku akan—" "Tidak, Roland. Aku sudah selesai." Tanpa me
"Cari tahu lebih mendetail mengenai siapa saja yang menyokong para pelacur itu dan—" David tercekat melihat seorang gadis yang berjalan di tengah malam dengan tatapan kosong entah dari mana dan ingin menuju kemana. "Sedang apa dia?" tanya David pada Roland. Roland segera mengalihkan pandangannya pada apa yang dilihat David. Benar, disana Alexa berjalan dengan tertatih bersama dengan matanya yang kosong. "Apa mungkin dia berniat kabur lagi?" "Dia tidak akan bisa kabur dengan tatapan bodoh itu." David menyahut. Keduanya saling terdiam saat dua binar mereka bertemu. Ini kali pertamanya, ada hal yang membuat David menatap Alexa dengan berbeda. Mata itu. Mata yang menyimpan banyak pertanyaan dan hal-hal yang sepertinya tak mampu disampaikan. Oh, apa David menyakitinya begitu keras tadi pagi, hingga membuat Alexa berubah seperti ini? Alexa membeku sejenak di tempatnya berdiri saat melewati David. Bibir itu bungkam, tetapi tatapan berteriak cukup ker
"Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Camilla menatap suaminya yang langsung mengalihkan pandangannya dari laptop di ruang kerjanya. "Aku harap, ini bukan soal pembagian harta warisan." Thomas menyahut dengan helaan napas. Miranda melirik Camilla untuk membiarkannya mengambil alih. "Bukan soal itu. Tetapi soal kepastian hubungan di antara kau dan kami." "Ada apa lagi? Kalian ingin membeli apa lagi, hm?" sahut Thomas dengan santainya. "Kami menuntut pernikahan. Kau harus menikahi kami, Thomas. Kami tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai pelacurmu." Camilla menegaskan. "Cih! Mengaku juga kalian sebagai pelacur." Bukan Thomas yang menyahut, kini seseorang yang tak pernah diundang dalam pembicaraan ini menimbrung begitu saja. Dialah David yang tiba-tiba hadir dengan wajah mengejek lelaki itu. "Kau! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan kami! Kau sungguh tidak memiliki sopan satu!" Miranda mencela dengan geram. David tertawa mengejek. "Lalu? Apa yang ingin kau lakukan pad
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala