"Tidak perlu drama. Katakan apa maumu? Berapa yang harus kubayar?" tanya David.
"Tidak mudah, tapi tidak sulit." Thomas bergumam panjang. "Menikahlah lagi dan berikan aku pewaris." "APA?!" David membentak dengan keras. Tangannya langsung mengepal menggeram penuh dendam pada ayahnya. Thomas mengangkat kedua bahunya acuh. "Terserah. Itu bukan syarat dariku, tetapi syarat dari pewaris terdahulu. Perusahaan ini hanya akan jatuh ke tangan pewaris sah dari pernikahan yang sah, dengan syarat ia mampu memberikan perusahaan ini pewaris selanjutnya," terang Thomas. "KAU—" David mendengus dan mulai hilang kesabaran. "Aku tidak memaksa, David. Jika kau benar-benar menginginkan perusahaan ini, maka pergi dan temui aku kembali bersama calon istrimu. Jika tidak ... untuk menghancurkan perusahaan ini jauh lebih mudah, Nak. Siapapun bisa melakukannya." Thomas mengulas senyum manis yang berisi ejekan pada putranya. "Aku tidak akan pernah menikah lagi. Cintaku, istriku hanya ada satu dan selamanya hanya ada satu, yaitu Anna Jesse Ryder. Hanya dia seorang—" "Apa kau masih tetap memperistri abu gosong?" potong Thomas dengan kasar. "THOMAS! JAGA BICARAMU, TUA BANGKA!" David berteriak dan langsung menarik kerah baju ayahnya sendiri. "Jika kau berani menghina Anna-ku sekali lagi, maka akan kubunuh para perlacurmu dan anak harammu itu, kau mengerti?" David memperingati dengan matanya yang terbuka lebar. "Kau kira, mereka berarti untukku?" Thomas menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak. Aku membiarkan mereka tinggal bersamaku, bahkan memberikan bagian perusahaan untuk mereka kelola, itu bukan tanda aku mereka bernilai sesuatu di mataku. Hanya saja, aku suka punya banyak boneka." Thomas terkekeh mengerikan. "Jika mereka mati, aku akan mencari pelacur baru dengan lebih banyak, menghamili mereka, dan memberikan mereka bagian dalam perusahaanku. Wanita adalah hal yang paling mudah untuk kutaklukkan, David." Satu senyum mengerikan terulas di wajah Thomas. Dengan satu tangan, lelaki tua itu berhasil melepaskan cengkeraman tangan David. "Yang tidak kau ketahui adalah ... kau lebih berarti dari mereka, bahkan lebih berarti dari cintamu untuk wanita yang telah terbakar di kecelakaan 6 bulan yang lalu." Thomas melanjutkan. "Aku tidak akan menikah," putus David akhirnya. "Tidak apa-apa. Tidak perlu terburu-buru, David. Kau punya banyak waktu. Aku masih sedikit sibuk memilih pelacur baru." Thomas tertawa. David berdecih memutar balik kursi rodanya untuk keluar dari ruang kerja ayahnya. "Kau salah, Thomas. Kita tidak mirip sama sekali. Kau adalah pecundang penjilat selangkangan wanita, tetapi aku hanya akan mencintai Anna sampai akhir," ujar David hang menjadi kata penutup bagi pertemuan mereka yang terbilang cukup panas. *** "AAARRRRGGGGHHHH!" 'Prang!! "Garrick! Hentikan!" tegas Miranda pada putranya yang tengah menghancurkan barang-barang di kamarnya sendiri dengan gila. Garrick sang putra sematawayangnya itu enggan mendengarkan dan terus berusaha menghancurkan barang-barang pribadinya. "AAARRRRGGGGHHHH!" jerit lelaki berusia 26 tahun itu. "GARRICK, BERHENTI DAN DENGARKAN MOMMY!" tegas Miranda menarik putranya. Ia membelai putranya dengan lembut. "Dengarkan Mommy, Mommy akan mengurus segalanya, oke? Kau mengerti? Kau fokus saja untuk meningkatkan rasa bangga dan kepercayaan Daddy dengan kerja keras. Kau mengerti?" "Lepaskan aku!" sentak Garrick yang menepis tangan wanita yang melahirkannya ke dunia ini. "Kenapa aku harus mendengarkanmu? Semua ini juga karena dirimu, Mom! Kenapa kau tidak bisa menikah dengan Daddy, dan justru bertahan menjadi gundiknya, dan kekayaan palsu ini, hah?!" "GARRICK!" Miranda mengangkat tangannya bersiap untuk menampar putranya, jika saja suara asing masuk dan menghentikan dirinya. "Wah, rupanya sedang ada pertengkaran hebat disini, ya?" ujar Camilla yang menimbrung tanpa izin perbincangan anak dan ibu itu. Camilla adalah kekasih tidak sah kedua dari Thomas—yang David sering menyebutnya sebagai pelacur ayahnya. Miranda menggeram tak senang menatap musuh bebuyutannya itu. "Kau—beraninya masuk dan ikut campur dalam—" 'HAP! Camilla berhasil menangkap tangan Miranda yang bersiap ingin menamparnya. "Tidak ada gunanya kau menamparku, Miranda. Yang kita butuhkan saat ini bukanlah pertikaian antar sesama. Posisi kita sama-sama tengah terancam karena kemunculan David yang tiba-tiba meminta haknya sebagai pewaris sah keluarga ini. "Dibanding kita sibuk sendiri, lebih baik kita gabungkan kekuatan kita untuk menggagalkan David mendapatkan seluruh harta Thomas. Bagaimana? Kita bisa meminta bantuan pada Zeo." Camilla menatap serius dengan senyum liciknya. Miranda langsung menampilkan senyum iblisnya. "Untuk kali pertamanya, aku setuju denganmu. Mari, kita hancurkan David dengan menggabungkan kecerdasan dan kelebihan kita masing-masing," ujar Miranda sembari mengulurkan tangannya. "Setuju." Camilla membalas uluran tangan pesaingnya itu. *** "Tuan, aku memiliki saran beberapa wanita yang bisa menjadi istrimu." Roland berkata sembari menyerahkan data lengkap wanita yang telah ia cari yang sedikit mendekati dengan rupa istri pertama David, Anna. "Berapa kali aku harus mengatakan, aku tidak ingin dan tidak akan pernah menikah lagi! Istriku hanya Anna, dan tidak ada yang bisa menggantikan dia di dalam hati dan hidupku, kau mengerti?!" tegas David yang membanting berkas pemberian Roland. "Maafkan aku, Tuan. Boleh aku memberikan sedikit nasihat tidak berarti, sebagai orang yang paling lama mengenalmu. Izinkan aku memberikan nasihat sebagai temanmu, David." Roland berkata dengan tatapan mata serius dan penuh kepedulian. David menghela napas beratnya dengan penuh kekesalan. Dengan satu decakan, ia akhirnya memberikan Roland—seseorang yang lebih dari sekretaris pribadinya—untuk memberikan nasihat. "Katakan!" "Tuan, aku mengerti kau begitu sangat kehilangan istrimu, Nyonya Anna. Tetapi, kumohon mengertilah posisinya saat ini. Kau bukan sedang mencari istri untuk menjadi pasangan hidupmu, kau hanya mencari istri untuk memenuhi syarat kau mewarisi perusahaan ayahmu. "Kau memerlukannya untuk membuat pelaku yang telah membunuh Nyonya Anna, calon anakmu, dan melumpuhkanmu; tertangkap dan bisa kau habisi. Kita memerlukan perusahaan ayahmu untuk membuat pelaku itu semakin dekat pada kita, Tuan." Roland menjelaskan. Ia melihat David terdiam dalam pikiran yang panjang, seakan memberikannya kesempatan untuk bicara lebih banyak lagi. "Menikahlah lagi untuk membalaskan kematian Nyonya Anna dan calon anakmu, bukan untuk menggantikannya di hidupmu, apalagi di hatimu, Tuan." Roland menutup kata-katanya dengan satu pernyataan yang menohok hati David begitu dalam. David hanya meliriknya tanpa berucap sepatah katapun. Matanya memerah seperti menahan tangis, tetapi wajah murkanya masih tampak jelas. "Tolong, pikirkan kembali. Aku permisi." Roland mengundurkan diri. "Tunggu!" David berkata setelah cukup lama terdiam. Menahan kepergian Roland yang baru sampai menyentuh gagang pintu kamar David. "Ya, Tuan?" Roland mengangguk patuh. "Kau benar. Pilihkan satu wanita terbaik menurutmu, dan pertemukan denganku malam ini," ujar David dengan kalimat perintah yang sedikit lembut. Roland tersenyum senang. "Baik, Tuan." Setelah menyahut David, barulah Roland pergi meninggalkan lelaki itu sendirian di dalam kamar. Usai kepergian Roland, David langsung mendorong dirinya menuju abu sang istri yang masih utuh dalam abu yang cantik. "Anna...," lirih David yang akhirnya berani melepaskan tangis tertahannya sejak tadi. Memikirkan soal pernikahan kedua, membuat David merasa mengkhianati dan menyakiti Anna, meskipun wanita itu tekan tiada. "Maaf. Maafkan aku. Tolong, ampuni aku. Jangan marah padaku, Sayang. Aku bingung harus apa. Percayalah padaku, aku melakukan ini semua untukmu, untuk anak kita yang tidak bersalah, tetapi dibunuh tanpa belas kasih." David mulai kembali untuk mengobrol dengan abu istrinya dan fotonya yang terpampang rapih. "Dengar, Anna. Kau adalah cintaku. Kau adalah hidupku. Kau wanitaku, dan pemilik seluruh hatiku. Tidak akan ada satupun wanita yang bisa menggantikanmu, Sayang. Aku akan tetap mencintaimu sepenuhnya, seutuhnya. Tetapi— "Izinkan aku membagi statusmu sebagai istriku kepada wanita lain untuk membalaskan kesakitanmu dan anak kita, pada kecelakaan hari itu." David menggeram dengan kepala tangan kuat. "Aku tidak mengkhianatimu dan tidak akan pernah mengkhianatimu, Sayang. Kau selamanya dan satu-satunya yang aku cintai. Kau tahu itu, kan?" David mulai menangis dan meraih gucci yang berisi tulang belulang Anna yang telah menjadi abu, kemudian memeluknya erat. "Aku mencintaimu...," lirih David. *** "Dia adalah Adaline. Ia kehilangan ayahnya sejak berumur 8 tahun. Sejak kecil, sudah terbiasa hidup mandiri. Pekerjaannya saat ini adalah pelayan di sebuah restoran Jepang. Dia perlu bekerja untuk menghidupi ibunya yang berpenyakit jantung, dan membiayai sekolah adiknya yang memiliki kebutuhan khusus. "Alasannya menerima tawaran ini karena tentu saja, ibunya sudah hampir sekarat oleh penyakitnya. Ia membutuhkan uang secepatnya, setidaknya untuk keselamatan ibunya." Roland menjelaskan dari apa yang ia baca melalui tabletnya. Segala informasi mengenai Adaline tertera lengkap disana. "Kau yakin dia aman?" tanya David yang menatap wanita berambut pendek dari kejauhan. Tampak gadis itu berpaling kesana kesini mencari seseorang yang telah ia tunggu. "Yakin. Tidak ada jejak kriminal, dan jejak mafia di namanya. Dia hanya pernah memiliki satu mantan kekasih yang pernah ia kencani saat—" "Aku tidak peduli," sela David yang langsung melajukan kursi rodanya menuju meja Adaline saat ini. Meninggalkan Roland yang diam mengikuti bosnya dari belakang. Gadis berkulit cokelat itu tampak tersentak saat melihat seorang pria yang duduk di kursi roda menghampirinya. Tentu saja itu David. Wajahnya tampak mengerikan, tetapi ketampanan itu lebih mendominasi wajahnya. "Adaline?" tanya David. "Ya? Apa kau—" Gadis itu bangkit dengan wajah bingungnya. "Ya. Dialah orangnya." Kini, Roland yang memotong. "Adaline, silakan duduk kembali dan santai saja. Bersikaplah seperti biasanya. Jangan pernah mendekati Tuan David, apalagi menyentuhnya tanpa izin. Kau mengerti?" Roland mengulang peraturan yang telah ia bacakan satu jam yang lalu sebelum kencan makan malam ini. "Ah, iya. Baik. Aku masih mengingatnya. Terima kasih." Adaline menunduk kecil mengucapkan terima kasih pada Roland. Roland tersenyum ramah dan mendekati David dengan sebuah pertanyaan. "Apa ada lagi yang kau butuhkan, Tuan?" "Tinggalkan kami berdua." David mengangkat satu tangannya yang langsung diangguki Roland yang dilanjutkan dengan kepergian lelaki itu. Kini, tinggallah David dan Adaline yang duduk saling berhadapan. Tidak, tepatnya David yang menatapnya dengan tajam dan intens. Membuat Adaline terintimidasi dan merasa tak nyaman. "Makanlah," seru David mempersilakan. Adaline hanya mengangguk dan mulai mengambil sendoknya, serta mencoba makan dengan anggun. Begitu juga dengan David yang mulai memotong steak dengan pisaunya. "Apa ekspektasimu menikah denganku?" tanya David di tengah suapan pertama Adaline. Gadis itu memberi jeda untuk makanannya turun. "Tentu saja membangun keluarga kecil kita. Aku tahu, ini tidak akan mudah, karena kita tidak saling mengenal. Akan tetapi, kita bisa saling berusaha. Maksudku, kita akan menjadi suami istri, bagaimana mungkin kita tidak akan menjalin kerja sama?" sahut Adaline tanpa rasa panik sedikitpun. David mengangguk paham dan mulai menyuap makanannya setelah pertanyaan keduanya. "Bagaimana jika nanti kita tidak akan pernah bekerja—kau kenapa?" tanya David dengan alis berkerut panik. Adaline menggeleng dan menggaruk kulitnya. Tidak hanya wajah, tetapi juga tangan, leher, kaki, hingga tubuhnya. "Tidak tahu. Akkhh! Kenapa sangat gatal dan perih?" keluh gadis itu masih terus menggaruk dan mulai gusar dj tempat duduknya. "Jangan-jangan—" David tersentak dan langsung meraih piring Adaline di depannya. Aroma khas obat-obatan tercium samar. Ia juga langsung beralih pada piring yang juga memiliki aroma yang sama. Untungnya, ia belum mencicipi sedikitpun makanannya. "ROLAND!" pekik David. Roland yang mendengar panggilan itu, langsung tergopoh dan berlari menuju David, tuannya. "Ya, Tuan. Ada ap—astaga!" Roland membulat melihat Adaline yang menggila. "Aaakkkhhhh! Ada apa denganku?! Tolong! Ini gatal sekali. Akkkhhhh!" jerit Adaline dengan tangisnya. Melihat itu, Roland langsung memanggil anak buahnya yang lain untuk segera membawa Adaline ke rumah sakit. David mengulurkan piring makanannya dan berkata. "Ada seseorang yang berusaha meracuni—" 'DOORRR! "TANGKAP PENYUSUP ITU!" pekik anak buah David dari arah dapur restoran. "BRENGSEK!" maki David. "Bawa penyusup itu hidup-hidup, aku akan membunuhnya sendiri!" David mengepalkan jari jemarinya. **** ~Bersambung..."Apa yang sudah kau temukan, Roland?" tanya David yang langsung menginterupsi asisten pribadinya, bahkan saat Roland belum sempat menyapa. Roland tersentak. Ia merapikan sedikit jasnya dan melangkah mendekati David. "Maaf, Tuan. Penyusup itu berhasil kabur. Ada seseorang yang berusaha menyelamatkannya. Jika kau tetap menginginkan—" "Tidak perlu dikejar. Biarkan dia kembali pada tuannya. Informasi apa yang berhasil kau dapatkan?" David bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop. "Pelaku yang sudah berusaha menggagalkan rencanamu mencari calon istri adalah kedua ibu turumu sendiri, Tuan. Mereka bersekongkol untuk membuat setiap kandidat trauma. Entah dengan meracuninya, bahkan menculiknya. Sudah kutemukan beberapa kandidat yang hilang begitu saja tanpa kabar." Roland menjelaskan. David mengangguk paham. "Kalau begitu, kau tunggu apa lagi? Culik anak-anak mereka, dan lakukan yang sama persis dengan yang ibu mereka lakukan." David memerintah tegas. "Maksudmu ... kau ingi
"AAAARRRGGHHH! LEPAS!" jerit Alexa yang terus memberontak sekuatnya saat dua lelaki besar menarik tubuhnya keluar dari rumah pelacuran James, menuju sebuah mobil mewah. "Lepaskan aku! Kau tidak bisa membeliku. Aku tidak dijual! LEPAAASSS!" Alexa menangis dalam jeritannya. Sia-sia saja dirinya memberontak dengan gila, sebab tenaganya tak cukup membuatnya lepas, tetapi justru semakin terikat. "Tuan, apa kau yakin dengan pilihanmu? Dia--maksudku Alexa adalah bukun wanita seperti kebanyakan pada umumnya. Coba kau lihat dia, Tuan. Dia adalah pelacurku yang paling tidak menguntungkan sebab wajah jelek, dekil sekali, tidak cantik, apalagi seksi. Dia selalu membuat masalah di tempatku ini. Tapi, kau justru memilihnya. Aku takut, dia akan membuat masalah dan--" "Aku tidak buuh penilaianmu," sentak David. James langsung menunduk seketika dengan mulut terkunci rapat tanpa lem. "Datanglah ke pernikahanku nanti, kau akan lihat bahwa penilaianmu adalah sampah." David menutup pertemuan kedua
"Aku sudah melakukan apa yang kau mau. Kini, saatnya kau berikan apa yang aku mau." David menatap ayahnya dengan serius. Thomas terkekeh masam, memandang remeh putranya. "Kau kira aku bodoh, David? Aku tahu bahwa wanita itu telah kau bayar untuk menjadi istrimu. Kalian bahkan tidak saling mengenal, kan?" "Akkkkhhh! FUCK!" maki David menggebrak meja kerja ayahnya. "Tenanglah... Itu bukan urusanku. Satu-satunya urusanku adalah ... jika kau memang benar menginginkan perusahaan ini, maka menikahlah dan pastikan kau memberikanku keturunan untuk melanjutkan perusahaan ini kedepannya. Aku tidak ingin perusahaan ini hancur atau jatuh ke tangan selain darah dagingku." Thomas menyesap minumannya dengan tenang, menatap David yang masih memandangnya begitu sengit. "Kau akan menyesal telah mempersulit hidupku, Tua Bangka!" maki David lagi yang kemudian meninggalkan ruang kerja ayahnya. Ia mendorong kursi rodanya menuju tempat ia meminta Alexa menunggu. Sayangnya, tempat itu telah kosong t
"Aku tetap membutuhkan waktu untuk berpikir, Roland." Alexa mendorong pelan dada Roland hingga menjauhinya. Roland memutar bola matanya malas. "Setidaknya, bacalah dahulu perjanjiannya. Ada sedikit keuntungan yang bisa kau dapatkan." "Hanya sedikit." Alexa bergumam pelan sembari membawa dokumen itu lebih dekat padanya. Baru saja membaca beberapa detik, Alexa langsung mendengus kembali. Isinya sungguh tidak masuk akal, seperti tidak masuk akalnya mereka menyuruh Alexa menjadi istri David. PERJANJIAN PERNIKAHAN ALEXA DAN DAVID 1. Alexa dilarang meminta cerai pada David. Seluruh keputusan perpisahan ada di tangan David. Hanya David yang boleh menceraikan Alexa. 2. Alexa tidak boleh keluar atau pergi tanpa izin atau pengawalan David. 3. Alexa dilarang berhubungan dengan lelaki manapun. 4. Alexa wajib meninggalkan seluruh teman, saudara, ataupun keluarganya. 5. Alexa dilarang mengikutcampuri urusan David. 6. Alexa dilarang melanggar ucapan David. 7. Alexa dilarang
"Oke. 500 juta dolar untuk Tuan—" "1 milyar dolar," teriak seseorang dari kegelapan. Semua tersentak. Mereka tidak mengira ada seseorang yang rela mengorbankan 1 milyar dolarnya untuk acara pelelangan ini. Miranda dan Camilla sama-sama menyipitkan matanya menatap kegelapan arah suara itu berasal. Alexa yang penuh ketakutan benar-benar hanya pasrah saja. Baru kali ini, ia menyesali perbuatannya yang kabur dari David. Nyatanya, Roland benar. Tak ada yang bisa kabur dari David. Dan kini, ia benar-benar sudah lemah. "1 milyar dolar untuk calon istriku." Senyum iblis David tampak keluar dari kegelapan. Membuat keadaan yang semula penuh kehebohan, berubah menjadi keheningan dalam sekejap. "Da—vid?" gumam Zeo. "Apa kabar tikus-tikus pengkhianatku?" sapa David dengan senyum remehnya. Detik berikutnya, langsung terdengar suara tembakan secara membabi buta ke segala arah. Kericuhan langsung terjadi dengan teriakan memenuhi tiap ruangan temaram ini. Semua berusaha berhamburan keluar
"Permisi, Tuan." Roland manyapa. "Keluar! Jika kau ingin mengabarkan mengenai kegilaan gadis itu, aku sedang tidak mau dengar. Habisi saja dia," sahut David dan terus memunggungi Roland. Matanya enggan terlepas dari wajah cantik istrinya yang abadi dalam sebuah foto besar yang terkukung dalam bingkai emas asli dan permata sebagai hiasan pada tiap sudutnya. "Tidak, Tuan. Justru, aku ingin memberitahu bahwa Nona Alexa telah menandatangani surat perjanjian itu dan bersedia menikah denganmu," jelas Roland. David berpaling dengan ekor matanya. "Laksanakan pernikahan lusa." "Baik, Tuan." Roland mengangguk patuh dan bersiap meninggalkan ruangan pribadi David. "Roland." David memanggil saat lelaki paling mengenalnya itu menarik pintu. "Jangan lupa untuk memberitahu segala peraturan di rumah ini padanya." "Dimengerti, Tuan." Roland pamit undur diri. Sepeninggal Roland, David memandang sayu foto Anna yang tampak tersenyum manis itu. "Maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu." Setetes a
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
Alexa berlarian dengan terburu menuju kamar suaminya. Melupakan segala perasaan sakit yang di dapat beberapa menit yang lalu dari suaminya sendiri. Dengan intonasi cepat, Alexa mengetuk pintu kamar suaminya. Pintu itu terbuka dengan sendirinya dan menampilkan David yang tengah disibukkan dengan laptop dan beberapa dokumen di atas kasurnya. "Ada apa lagi?" Wajah datar itu menyapa istrinya dengan malas. Namun, sayang sekali Alexa tak menanggapi itu. Ia masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "David, tolong kunci pintunya." Wajah Alexa tampak panik. David berdecih. "Apa sekarang kau akan memulai aksimu sebagai pelacur? Menunjukkan dirimu yang asli? KELUAR! Aku tidak tertarik." David kembali menatap pekerjaannya. "Tidak. Ini tentang Roland. Tolong, aku mohon..." Alexa menyahut dengan frustrasi. Dengan menghela napas, David menuruti kata istri yang tak dianggapnya itu dengan sekali menekan tombol untuk
"Bagaimana mungkin mesin pengendali itu menyala?" gumam David dalam hatinya. Meskipun hanya terdengar di dalam hatinya, raut wajah David benar-benar tak mampu menyembunyikan kebingungannya. Roland melihat itu dengan jelas. David menatap kakinya dengan alis yang hampir menyatu. Menandakan lelaki itu tengah berpikir cukup keras. "Tuan, apa yang tengah anda pikirkan? Apa ada masalah?" "Hmm?" David tersentak dan menoleh ke depan pada tempat Roland mengemudi saat ini. "Tidak ada. Hanya tengah memikirkan bagaimana aku bisa menghancurkan bajingan tua itu," dustanya. Roland tersenyum dan memberikan sedikit nasehat. Benar. Hanya Roland satu-satunya orang bisa memberikan nasehat, saran, atau hal-hal lainnya dengan David selain Anna. "Tolong beristirahat dengan baik, Tuan. Kau terlihat sangat lelah." Roland mengangguk hormat setelah ia berhasil mengantar David ke dalam kamarnya. Tanpa menunggu sahutan, Roland segera beranjak pergi. Tidak, ia tidak pergi ke kamarnya, melainkan menuju kamar o
"Roland, antar aku ke markas." David berkata. Roland yang tengah mengobrol hal penting langsung menoleh pada ke belakang dan mendapati David melangkah menuju arahnya. "Markas, Tuan?" Roland mengulang. David mengangguk tak terbantahkan. "Sekarang." "Ada apa, Tuan? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Roland mendekati tuannya setelah menyuruh penjaga untuk menyiapkan mobil keberangkatan mereka. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Karena Bajingan itu keras kepala pada peraturan buatannya sendiri, biar kugunakan caraku," jelas David. "Maksudmu, Tuan Thomas, ayahmu, Tuan?" tanya Roland dengan hati-hati. David memalingkan wajahnya tanpa sahutan. Setiap kali teringat bahwa Thomas adalah ayahnya, David merasa malu. Baginya, adalah hal penuh kesialan menjadi putra seorang Tho
"Kalau aku menjadi dia, apa kau akan memandangku?" Alexa menantang tanpa peduli air matanya lagi. "Kau bukan Anna. Selamanya tidak akan pernah menjadi Anna. Karena yang aku inginkan hanyalah Anna-ku yang sesungguhnya.." David mebileh pada foto besar di sebelah ranjangnya. "Bukan orang lain yang menjadi dia," lanjutnya dengan nada merendah. Meski begitu, Alexa tetap mendengarnya cukup jelas. "Apa kau akan tetap mencintainya, meskipun dia mengkhianatimu?" sentak Alexa. "Apa maksudmu, hah?!" David menggeram dan seketika merubah mimik wajahnya menjadi murka. "Kuperingatkan padamu, Alexa. Tidak ada siapapun yang diizinkan menghina Anna. Kau mengerti?" David menatap iblis. Alexa terkekeh. "Dunia ini terlalu penuh humor sebab diisi oleh orang-orang yang buta akan cinta. Aku, kau, dan Anna, yang bahkan aku juga tidak mengenalnya. Lagipula—" "Tuan—?" Seseorang datang yang tidak lain adalah Roland. "Ah, maaf mengganggu kalian. Aku akan—" "Tidak, Roland. Aku sudah selesai." Tanpa me
"Cari tahu lebih mendetail mengenai siapa saja yang menyokong para pelacur itu dan—" David tercekat melihat seorang gadis yang berjalan di tengah malam dengan tatapan kosong entah dari mana dan ingin menuju kemana. "Sedang apa dia?" tanya David pada Roland. Roland segera mengalihkan pandangannya pada apa yang dilihat David. Benar, disana Alexa berjalan dengan tertatih bersama dengan matanya yang kosong. "Apa mungkin dia berniat kabur lagi?" "Dia tidak akan bisa kabur dengan tatapan bodoh itu." David menyahut. Keduanya saling terdiam saat dua binar mereka bertemu. Ini kali pertamanya, ada hal yang membuat David menatap Alexa dengan berbeda. Mata itu. Mata yang menyimpan banyak pertanyaan dan hal-hal yang sepertinya tak mampu disampaikan. Oh, apa David menyakitinya begitu keras tadi pagi, hingga membuat Alexa berubah seperti ini? Alexa membeku sejenak di tempatnya berdiri saat melewati David. Bibir itu bungkam, tetapi tatapan berteriak cukup ker
"Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Camilla menatap suaminya yang langsung mengalihkan pandangannya dari laptop di ruang kerjanya. "Aku harap, ini bukan soal pembagian harta warisan." Thomas menyahut dengan helaan napas. Miranda melirik Camilla untuk membiarkannya mengambil alih. "Bukan soal itu. Tetapi soal kepastian hubungan di antara kau dan kami." "Ada apa lagi? Kalian ingin membeli apa lagi, hm?" sahut Thomas dengan santainya. "Kami menuntut pernikahan. Kau harus menikahi kami, Thomas. Kami tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai pelacurmu." Camilla menegaskan. "Cih! Mengaku juga kalian sebagai pelacur." Bukan Thomas yang menyahut, kini seseorang yang tak pernah diundang dalam pembicaraan ini menimbrung begitu saja. Dialah David yang tiba-tiba hadir dengan wajah mengejek lelaki itu. "Kau! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan kami! Kau sungguh tidak memiliki sopan satu!" Miranda mencela dengan geram. David tertawa mengejek. "Lalu? Apa yang ingin kau lakukan pad
"Da ... vid?" gumam Alexa dalam tidurnya. "Nyonya Alexa, kau mendengarku?" "Da ... vid...," racau gadis itu lagi. "Nyonya!" sentak seorang pelayan yang bertugas menjaga Alexa. Mendengar sentakan itu, Alexa terpaksa membuka matanya dalam keterkejutan. Ia melihat sekitar dan menangkap kamar kemewahan yang membuat Alexa bernapas dan menduga bahwa ia telah kembali ke rumahnya. "David? Bagaimana keadaannya?" tanya gadis itu pada pelayan. "Tuan baik-baik saja, Nyonya." Dengan penuh kelembutan pelayan itu menyahut. Ia tersenyum ramah. "Namaku Arabella. Kau bisa memanggilku Bella, Nyonya. Aku diperintahkan Tuan David untuk menjadi pelayan pribadimu." "David yang menyuruhmu?" tanya Alexa terkejut. Bella mengangguk. "Benar, melalui Tuan Roland, Tuan David menyuruh memilih pelayan yang usianya tidak terlalu berbeda jauh denganmu untuk menjadi pelayan pribadi." "Ah, begitu..." Alexa mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau bisa memanggilku Alexa. Tidak perlu menggunakan Nyonya."
Alexa menarik napasnya berulang kali. Tiba-tiba saja muncul banyak keraguan. Tapi ia sadar, sudah tak ada lagi jalan pembatalan ditengah dirinya yang sudah rapih dengan gaun pernikahan dan riasan yang berhasil menyulapnya bak ratu di sebuah kerajaan. Alexa sungguh sangat takut dengan jalan hidupnya di masa depan. Benarkah ia hanya akan seperti ini selamanya? Menyandang gelar istri tak dianggap David, atau suatu saat David akan membuangnya, atau ... mungkinkah suatu saat David akan jatuh cinta lagi? Bagus jika itu dengannya, tapi jika dengan wanita lain bagaimana? Apakah dia akan diduakan? Bahkan diduakan oleh istri David yang telah tiada saja rasanya sudah memberatkan, apalagi dengan manusia secara nyata yang lebih cantik darinya, bukan pelacur, dan sesuai dengan apa yang David inginkan. Atau, yang lebih parah lagi— "Nona, sudah saatnya anda mengucapkan janji suci." Seorang pelayan masuk dan membantu Alexa merapikan gaunnya sebelum melangkah keluar ruangan menemui pendeta juga Davi
"Bagaimana, Nona? Kau menyukainya?" tanya Emma sembari merapikan gaun putih hasil buatannya sebagai desainer yang cukup tersohor di kota ini. Alexa terdiam cukup lama. Melihat kedatangan Emma ke rumah ini untuk membatu pembuatan gaun pengantin saja sudah membuat gadis itu terkejut. Apalagi saat mencoba gaun putih yang penuh dengan kilauan kemewahannya, membuat Alexa tak pernah percaya bahwa ia akan mencoba gaun seindah dan semahal ini. Bahkan, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memakai pakaian baru. Ini sungguh membuatnya terharu. "Nona?" Emma memanggil sekali lagi. "Hmm?" Alexa terusik dan mulai mengusap air matanya. "Ini sangat indah dan luar biasa, Emma. Aku menyukainya." Emma tersenyum. "Ah, senang sekali aku mendengar itu. Aku merasa terhormat Tuan David menunjukku sebagai desainer untuk pakaian pengantin kalian. Aku sangat yakin betul, Tuan David akan semakin jatuh cinta padamu." Emma tersenyum lebar sambil terus berceloteh mengenai perjuangan dalam membuat gaun ini dala