Share

Chapter 2 : Mencari Istri

"Tidak perlu drama. Katakan apa maumu? Berapa yang harus kubayar?" tanya David.

"Tidak mudah, tapi tidak sulit." Thomas bergumam panjang. "Menikahlah lagi dan berikan aku pewaris."

"APA?!" David membentak dengan keras. Tangannya langsung mengepal menggeram penuh dendam pada ayahnya.

Thomas mengangkat kedua bahunya acuh. "Terserah. Itu bukan syarat dariku, tetapi syarat dari pewaris terdahulu. Perusahaan ini hanya akan jatuh ke tangan pewaris sah dari pernikahan yang sah, dengan syarat ia mampu memberikan perusahaan ini pewaris selanjutnya," terang Thomas.

"KAU—" David mendengus dan mulai hilang kesabaran.

"Aku tidak memaksa, David. Jika kau benar-benar menginginkan perusahaan ini, maka pergi dan temui aku kembali bersama calon istrimu. Jika tidak ... untuk menghancurkan perusahaan ini jauh lebih mudah, Nak. Siapapun bisa melakukannya." Thomas mengulas senyum manis yang berisi ejekan pada putranya.

"Aku tidak akan pernah menikah lagi. Cintaku, istriku hanya ada satu dan selamanya hanya ada satu, yaitu Anna Jesse Ryder. Hanya dia seorang—"

"Apa kau masih tetap memperistri abu gosong?" potong Thomas dengan kasar.

"THOMAS! JAGA BICARAMU, TUA BANGKA!" David berteriak dan langsung menarik kerah baju ayahnya sendiri. "Jika kau berani menghina Anna-ku sekali lagi, maka akan kubunuh para perlacurmu dan anak harammu itu, kau mengerti?" David memperingati dengan matanya yang terbuka lebar.

"Kau kira, mereka berarti untukku?" Thomas menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak. Aku membiarkan mereka tinggal bersamaku, bahkan memberikan bagian perusahaan untuk mereka kelola, itu bukan tanda aku mereka bernilai sesuatu di mataku. Hanya saja, aku suka punya banyak boneka." Thomas terkekeh mengerikan.

"Jika mereka mati, aku akan mencari pelacur baru dengan lebih banyak, menghamili mereka, dan memberikan mereka bagian dalam perusahaanku. Wanita adalah hal yang paling mudah untuk kutaklukkan, David." Satu senyum mengerikan terulas di wajah Thomas. Dengan satu tangan, lelaki tua itu berhasil melepaskan cengkeraman tangan David.

"Yang tidak kau ketahui adalah ... kau lebih berarti dari mereka, bahkan lebih berarti dari cintamu untuk wanita yang telah terbakar di kecelakaan 6 bulan yang lalu." Thomas melanjutkan.

"Aku tidak akan menikah," putus David akhirnya.

"Tidak apa-apa. Tidak perlu terburu-buru, David. Kau punya banyak waktu. Aku masih sedikit sibuk memilih pelacur baru." Thomas tertawa.

David berdecih memutar balik kursi rodanya untuk keluar dari ruang kerja ayahnya. "Kau salah, Thomas. Kita tidak mirip sama sekali. Kau adalah pecundang penjilat selangkangan wanita, tetapi aku hanya akan mencintai Anna sampai akhir," ujar David hang menjadi kata penutup bagi pertemuan mereka yang terbilang cukup panas.

***

"AAARRRRGGGGHHHH!"

'Prang!!

"Garrick! Hentikan!" tegas Miranda pada putranya yang tengah menghancurkan barang-barang di kamarnya sendiri dengan gila.

Garrick sang putra sematawayangnya itu enggan mendengarkan dan terus berusaha menghancurkan barang-barang pribadinya.

"AAARRRRGGGGHHHH!" jerit lelaki berusia 26 tahun itu.

"GARRICK, BERHENTI DAN DENGARKAN MOMMY!" tegas Miranda menarik putranya. Ia membelai putranya dengan lembut. "Dengarkan Mommy, Mommy akan mengurus segalanya, oke? Kau mengerti? Kau fokus saja untuk meningkatkan rasa bangga dan kepercayaan Daddy dengan kerja keras. Kau mengerti?"

"Lepaskan aku!" sentak Garrick yang menepis tangan wanita yang melahirkannya ke dunia ini. "Kenapa aku harus mendengarkanmu? Semua ini juga karena dirimu, Mom! Kenapa kau tidak bisa menikah dengan Daddy, dan justru bertahan menjadi gundiknya, dan kekayaan palsu ini, hah?!"

"GARRICK!" Miranda mengangkat tangannya bersiap untuk menampar putranya, jika saja suara asing masuk dan menghentikan dirinya.

"Wah, rupanya sedang ada pertengkaran hebat disini, ya?" ujar Camilla yang menimbrung tanpa izin perbincangan anak dan ibu itu. Camilla adalah kekasih tidak sah kedua dari Thomas—yang David sering menyebutnya sebagai pelacur ayahnya.

Miranda menggeram tak senang menatap musuh bebuyutannya itu. "Kau—beraninya masuk dan ikut campur dalam—"

'HAP!

Camilla berhasil menangkap tangan Miranda yang bersiap ingin menamparnya. "Tidak ada gunanya kau menamparku, Miranda. Yang kita butuhkan saat ini bukanlah pertikaian antar sesama. Posisi kita sama-sama tengah terancam karena kemunculan David yang tiba-tiba meminta haknya sebagai pewaris sah keluarga ini.

"Dibanding kita sibuk sendiri, lebih baik kita gabungkan kekuatan kita untuk menggagalkan David mendapatkan seluruh harta Thomas. Bagaimana? Kita bisa meminta bantuan pada Zeo." Camilla menatap serius dengan senyum liciknya.

Miranda langsung menampilkan senyum iblisnya. "Untuk kali pertamanya, aku setuju denganmu. Mari, kita hancurkan David dengan menggabungkan kecerdasan dan kelebihan kita masing-masing," ujar Miranda sembari mengulurkan tangannya.

"Setuju." Camilla membalas uluran tangan pesaingnya itu.

***

"Tuan, aku memiliki saran beberapa wanita yang bisa menjadi istrimu." Roland berkata sembari menyerahkan data lengkap wanita yang telah ia cari yang sedikit mendekati dengan rupa istri pertama David, Anna.

"Berapa kali aku harus mengatakan, aku tidak ingin dan tidak akan pernah menikah lagi! Istriku hanya Anna, dan tidak ada yang bisa menggantikan dia di dalam hati dan hidupku, kau mengerti?!" tegas David yang membanting berkas pemberian Roland.

"Maafkan aku, Tuan. Boleh aku memberikan sedikit nasihat tidak berarti, sebagai orang yang paling lama mengenalmu. Izinkan aku memberikan nasihat sebagai temanmu, David." Roland berkata dengan tatapan mata serius dan penuh kepedulian.

David menghela napas beratnya dengan penuh kekesalan. Dengan satu decakan, ia akhirnya memberikan Roland—seseorang yang lebih dari sekretaris pribadinya—untuk memberikan nasihat. "Katakan!"

"Tuan, aku mengerti kau begitu sangat kehilangan istrimu, Nyonya Anna. Tetapi, kumohon mengertilah posisinya saat ini. Kau bukan sedang mencari istri untuk menjadi pasangan hidupmu, kau hanya mencari istri untuk memenuhi syarat kau mewarisi perusahaan ayahmu.

"Kau memerlukannya untuk membuat pelaku yang telah membunuh Nyonya Anna, calon anakmu, dan melumpuhkanmu; tertangkap dan bisa kau habisi. Kita memerlukan perusahaan ayahmu untuk membuat pelaku itu semakin dekat pada kita, Tuan." Roland menjelaskan.

Ia melihat David terdiam dalam pikiran yang panjang, seakan memberikannya kesempatan untuk bicara lebih banyak lagi. "Menikahlah lagi untuk membalaskan kematian Nyonya Anna dan calon anakmu, bukan untuk menggantikannya di hidupmu, apalagi di hatimu, Tuan." Roland menutup kata-katanya dengan satu pernyataan yang menohok hati David begitu dalam.

David hanya meliriknya tanpa berucap sepatah katapun. Matanya memerah seperti menahan tangis, tetapi wajah murkanya masih tampak jelas.

"Tolong, pikirkan kembali. Aku permisi." Roland mengundurkan diri.

"Tunggu!" David berkata setelah cukup lama terdiam. Menahan kepergian Roland yang baru sampai menyentuh gagang pintu kamar David.

"Ya, Tuan?" Roland mengangguk patuh.

"Kau benar. Pilihkan satu wanita terbaik menurutmu, dan pertemukan denganku malam ini," ujar David dengan kalimat perintah yang sedikit lembut.

Roland tersenyum senang. "Baik, Tuan." Setelah menyahut David, barulah Roland pergi meninggalkan lelaki itu sendirian di dalam kamar.

Usai kepergian Roland, David langsung mendorong dirinya menuju abu sang istri yang masih utuh dalam abu yang cantik. "Anna...," lirih David yang akhirnya berani melepaskan tangis tertahannya sejak tadi. Memikirkan soal pernikahan kedua, membuat David merasa mengkhianati dan menyakiti Anna, meskipun wanita itu tekan tiada.

"Maaf. Maafkan aku. Tolong, ampuni aku. Jangan marah padaku, Sayang. Aku bingung harus apa. Percayalah padaku, aku melakukan ini semua untukmu, untuk anak kita yang tidak bersalah, tetapi dibunuh tanpa belas kasih." David mulai kembali untuk mengobrol dengan abu istrinya dan fotonya yang terpampang rapih.

"Dengar, Anna. Kau adalah cintaku. Kau adalah hidupku. Kau wanitaku, dan pemilik seluruh hatiku. Tidak akan ada satupun wanita yang bisa menggantikanmu, Sayang. Aku akan tetap mencintaimu sepenuhnya, seutuhnya. Tetapi—

"Izinkan aku membagi statusmu sebagai istriku kepada wanita lain untuk membalaskan kesakitanmu dan anak kita, pada kecelakaan hari itu." David menggeram dengan kepala tangan kuat.

"Aku tidak mengkhianatimu dan tidak akan pernah mengkhianatimu, Sayang. Kau selamanya dan satu-satunya yang aku cintai. Kau tahu itu, kan?" David mulai menangis dan meraih gucci yang berisi tulang belulang Anna yang telah menjadi abu, kemudian memeluknya erat.

"Aku mencintaimu...," lirih David.

***

"Dia adalah Adaline. Ia kehilangan ayahnya sejak berumur 8 tahun. Sejak kecil, sudah terbiasa hidup mandiri. Pekerjaannya saat ini adalah pelayan di sebuah restoran Jepang. Dia perlu bekerja untuk menghidupi ibunya yang berpenyakit jantung, dan membiayai sekolah adiknya yang memiliki kebutuhan khusus.

"Alasannya menerima tawaran ini karena tentu saja, ibunya sudah hampir sekarat oleh penyakitnya. Ia membutuhkan uang secepatnya, setidaknya untuk keselamatan ibunya." Roland menjelaskan dari apa yang ia baca melalui tabletnya. Segala informasi mengenai Adaline tertera lengkap disana.

"Kau yakin dia aman?" tanya David yang menatap wanita berambut pendek dari kejauhan. Tampak gadis itu berpaling kesana kesini mencari seseorang yang telah ia tunggu.

"Yakin. Tidak ada jejak kriminal, dan jejak mafia di namanya. Dia hanya pernah memiliki satu mantan kekasih yang pernah ia kencani saat—"

"Aku tidak peduli," sela David yang langsung melajukan kursi rodanya menuju meja Adaline saat ini. Meninggalkan Roland yang diam mengikuti bosnya dari belakang.

Gadis berkulit cokelat itu tampak tersentak saat melihat seorang pria yang duduk di kursi roda menghampirinya. Tentu saja itu David. Wajahnya tampak mengerikan, tetapi ketampanan itu lebih mendominasi wajahnya.

"Adaline?" tanya David.

"Ya? Apa kau—" Gadis itu bangkit dengan wajah bingungnya.

"Ya. Dialah orangnya." Kini, Roland yang memotong. "Adaline, silakan duduk kembali dan santai saja. Bersikaplah seperti biasanya. Jangan pernah mendekati Tuan David, apalagi menyentuhnya tanpa izin. Kau mengerti?" Roland mengulang peraturan yang telah ia bacakan satu jam yang lalu sebelum kencan makan malam ini.

"Ah, iya. Baik. Aku masih mengingatnya. Terima kasih." Adaline menunduk kecil mengucapkan terima kasih pada Roland.

Roland tersenyum ramah dan mendekati David dengan sebuah pertanyaan. "Apa ada lagi yang kau butuhkan, Tuan?"

"Tinggalkan kami berdua." David mengangkat satu tangannya yang langsung diangguki Roland yang dilanjutkan dengan kepergian lelaki itu.

Kini, tinggallah David dan Adaline yang duduk saling berhadapan. Tidak, tepatnya David yang menatapnya dengan tajam dan intens. Membuat Adaline terintimidasi dan merasa tak nyaman.

"Makanlah," seru David mempersilakan.

Adaline hanya mengangguk dan mulai mengambil sendoknya, serta mencoba makan dengan anggun. Begitu juga dengan David yang mulai memotong steak dengan pisaunya.

"Apa ekspektasimu menikah denganku?" tanya David di tengah suapan pertama Adaline.

Gadis itu memberi jeda untuk makanannya turun. "Tentu saja membangun keluarga kecil kita. Aku tahu, ini tidak akan mudah, karena kita tidak saling mengenal. Akan tetapi, kita bisa saling berusaha. Maksudku, kita akan menjadi suami istri, bagaimana mungkin kita tidak akan menjalin kerja sama?" sahut Adaline tanpa rasa panik sedikitpun.

David mengangguk paham dan mulai menyuap makanannya setelah pertanyaan keduanya. "Bagaimana jika nanti kita tidak akan pernah bekerja—kau kenapa?" tanya David dengan alis berkerut panik.

Adaline menggeleng dan menggaruk kulitnya. Tidak hanya wajah, tetapi juga tangan, leher, kaki, hingga tubuhnya. "Tidak tahu. Akkhh! Kenapa sangat gatal dan perih?" keluh gadis itu masih terus menggaruk dan mulai gusar dj tempat duduknya.

"Jangan-jangan—" David tersentak dan langsung meraih piring Adaline di depannya. Aroma khas obat-obatan tercium samar. Ia juga langsung beralih pada piring yang juga memiliki aroma yang sama. Untungnya, ia belum mencicipi sedikitpun makanannya. "ROLAND!" pekik David.

Roland yang mendengar panggilan itu, langsung tergopoh dan berlari menuju David, tuannya. "Ya, Tuan. Ada ap—astaga!" Roland membulat melihat Adaline yang menggila.

"Aaakkkhhhh! Ada apa denganku?! Tolong! Ini gatal sekali. Akkkhhhh!" jerit Adaline dengan tangisnya.

Melihat itu, Roland langsung memanggil anak buahnya yang lain untuk segera membawa Adaline ke rumah sakit.

David mengulurkan piring makanannya dan berkata. "Ada seseorang yang berusaha meracuni—"

'DOORRR!

"TANGKAP PENYUSUP ITU!" pekik anak buah David dari arah dapur restoran.

"BRENGSEK!" maki David. "Bawa penyusup itu hidup-hidup, aku akan membunuhnya sendiri!" David mengepalkan jari jemarinya.

****

~Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status