"Huh!"
Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi beruang kutub itu. Kenapa aku yang jadi pelampiasan kemarahannya? Huh!" gerutu Dinda, kesal. "Tiur.. Di mana kamu." serunya kemudian. Tak perlu menunggu waktu lama, dalam sekejap Tiur sudah berdiri di hadapannya. "Ada apa Nyonya?" "Jangan memancing emosi, Tiur." "Iya, iya ada apa Dinda?" "Aku lapar." "Mau makan apa?" "Em, bagaimana dengan semangkuk mie pedas." "Tidak! Yang benar saja. Nanti perutmu sakit bagaimana?" "Cepatlah, aku ingin mengembalikan mood ku yang buruk." "Tapi, para Nyonya disini tak boleh memakan makanan instan. Kau tahu, tak ada satupun mie instan di dapur." Dinda menghela nafas panjang sembari menatap Tiur. Bibirnya terlihat mengerucut karena sangat kesal. Mood nya tambah buruk karena keinginannya hampir tak terpenuhi. Ya hampir... Dinda beranjak dari tempat tidurnya, bersimpuh lalu memasukkan salah satu lengannya ke kolong tempat tidurnya. "Hahaha untungnya aku sudah punya persiapan." Tiur sampai terbelalak saat sebungkus mie instan Dinda angkat tinggi-tinggi. Kemudian menggelengkan kepalanya karena tak menyangka dengan inisiatif gadis itu untuk bisa bertahan hidup. "Cepat bawakan aku sesuatu untuk membuatnya. Penanak nasi atau kompor listrik misalnya. Kau mau tidak, aku masih punya banyak di sana." titah Dinda dengan mata berbinar cerah. "Dinda.." Tiur terlihat menggelengkan kepalanya. Baginya menentang aturan adalah kejahatan besar. "Sebenarnya kau ini pelayanku atau Kak Jia ha? Apa kau benar-benar ingin ku tendang ke tempatnya?" Lagi-lagi ancaman semacam itu yang keluar dari mulut Dinda. Membuat Tiur tak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya. Memanglah Tiur paling takut jika ia harus bekerja untuk melayani Nyonya pertama kediaman itu. Mau tidak mau akhirnya ia terpaksa menuruti permintaan Dinda. *** Sluuuurrrppp... Sluuuurrrpppp.... Terlihat Dinda begitu menikmati mie kuah pedas miliknya itu, dengan berbekal teko listrik, ia bisa menikmati dengan bebas makanan rasa surga miliknya itu. Sayangnya, Tiur bersikeras menolak kebaikan Dinda. Sehingga akhirnya ia hanya bisa menikmatinya sendiri. "Ah ini enak sekali. Bahkan jika aku harus mati hari ini pun aku rela." "Jangan ngawur begitu deh." "Kau tak tahu saja sih. Kak Jia ingin sekali membunuhku tadi" "Apa kau membuat kesalahan?" tanya Tiur, cemas. "Mana ada, ini semua gara-gara Ibu mertua. Dia terlalu menaruh perhatian padaku. Ya kau tahu lah kelanjutannya." "Ya tapi nggak harus mati juga, Dinda. Kalau kau jadi istri kesayangan Tuan, mana mungkin Nyonya Jia bisa menyakitimu." "Kesayangan beruang kutub itu? Hahaha, aku tak mau bernasib sama seperti pinguin-pinguin itu, yang membuatnya kenyang lalu lupa dan mencari pinguin lain." Tiur tak mengerti dengan arti peribahasa yang baru saja Dinda katakan, sehingga hanya bisa mengangguk tanpa arti. "Dinda, boleh aku bertanya?" Dinda hanya mengangguk sembari terus menikmati mie di tangannya itu. "Apa kau pernah memiliki kekasih sebelum menikah dengan Tuan Evan?" Dinda spontan menghentikan aktivitasnya, menatap Tiur dengan tatapan ragu. "Kebetulan aku belum sempat. Tapi bukan berarti aku buta akan percintaan." "Benarkah?" "Tentu saja. Memangnya ada apa kau menanyakan hal itu?" "Tidak, aku hanya berpikir jika Tuan Evan sepertinya memang menyukaimu." "Atas dasar apa kau berbicara seperti itu?" "Memang tak berdasar, tapi lihat saja. Bahkan Nyonya besar juga menyukaimu. Aku sangat senang, Nyonya ku mendapat perhatian lebih. Hehehe." "Memangnya apa keuntungan yang kau dapatkan jika aku menjadi istri kesayangan Tuan Evan?" "Gengsi dong. Aku bisa membalas sikap Ira yang suka menghinaku." "Ira? Siapa dia?" "Dia adalah pelayan pribadi Nyonya Jia." "Oh, apa dia selalu menindas mu?" Tiur mengangguk "Mentang-mentang dia pelayan Nyonya pertama di kediaman ini, dia jadi suka bersikap seenaknya. Pada pelayan kecil sepertiku, dia suka menindas kami." "Ternyata kehidupan kalian juga seperti itu?" Dinda tak menampik, jika kehidupan para istri disini juga rumit. Mereka berlomba-lomba mendapatkan perhatian dari Tuan Evan yang bagi Dinda sangat menyebalkan itu. Sayangnya, sikap Tuan Evan itu sendiri membuat mereka semua kewalahan dan hampir frustrasi. ***** Tak terasa hari sudah berlalu begitu cepat. Langit cerah berganti menjadi gelap tanpa cahaya. Angin pun bertiup cukup kencang malam ini, sampai membuat tirai jendela kamar Dinda beterbangan membubung tinggi karena tiupan yang cukup kencang itu. Bahkan sampai membuat Dinda terbangun. Saat jendela kamarnya berderit karena tak tertutup dengan rapat. "Baru jam dua pagi." gumam Dinda ketika melihat waktu di jam dinding yang tergantung. Dinda beranjak dari tempat tidurnya menuju ke arah jendelanya. Berniat untuk menutupnya dengan benar. Melihat ke luar jendela, suasana gelap dan sunyi kediaman itu benar-benar sampai membuat Dinda merinding. "Dingin sekali." Angin malam yang berhembus begitu membuat Dinda kedinginan. Dengan gaun malam yang tipis itu, tak ada kehangatan sedikitpun ketika beranjak dari selimut tebalnya. "Eh, apa itu?" Dinda terkejut, saat melihat seseorang melewati pelataran paviliunnya. Tampak seorang pria yang tak jelas wajahnya berjalan dengan tergesa-gesa. "Siapa malam-malam begini berkeliaran? Apa di kediaman ini juga ada maling?" Rasanya tak mungkin jika ada maling di tempat dengan penjagaan seketat ini. Tapi nyatanya, dengan mata telanjangnya, Dinda bisa melihat seseorang berkeliaran di kegelapan dengan sangat jelas. Pria yang sangat asing bagi Dinda. Dari perawakannya dia belum pernah melihat pria itu di sekitar paviliunnya atau di kediaman itu. Tentu ia tak terlalu memusingkan hal itu, Dinda memilih untuk kembali ke kasurnya karena bukan ranahnya memusingkan diri. ****** Semburat matahari telah menampakkan sinarnya di ufuk timur. Ketika kegelapan malam telah berakhir dan hari telah berganti menjadi siang. Saat ini, Nyonya ke empat kediaman Bagaskara tengah santai menikmati seduhan teh yang di buat Ibu mertuanya itu bersama para istri yang lain. Ia tak peduli, tak seperti para istri lain yang terlihat sibuk mencari topik pembicaraan dengan Nyonya Risma. Jia juga tampak sedang beramah tamah dengan nya. Nampaknya, ia ingin terlihat menonjol. Sehingga dirinya akan mendapatkan perhatian lebih dari Nyonya Risma. Sedang Tuan Evan kali ini tak bisa bergabung bersama dengan mereka. Dia bersama dengan ajudannya pergi pagi-pagi sekali karena sibuk bekerja. "Dari ramalan cuaca, sebaiknya kau bersiap Dinda. Hujan di sertai angin kencang mungkin akan terjadi malam ini." ucap Anita pada Dinda. "Iya Kak," Dinda tertegun, ketika tak sengaja melihat suatu hal yang menarik perhatian. "Kak lehermu kenapa?" Dinda menyentuh sebuah tanda merah di sana. Membuat Anita cepat-cepat menepis tangan Dinda sebelum perhatian yang lain bermuara padanya. "Di gigit serangga. Apa ketara sekali?" "Di kamar Kakak ada semut merah juga? Di kamarku juga ada. Nanti aku akan mengirim Tiur membawakan serbuk pengusir semut ke tempat Kakak." "Makasih ya Dinda." Entah mengapa, Anita yang biasanya bersikap tenang dan santai kali ini dia justru terlihat sangat gugup. "Sakit ya Kak?" tanya Dinda. "Sedikit, sudah jangan perhatikan ini. Lebih baik perhatian kita tertuju pada Nyonya besar." "Ummm...." ***** Benar saja tentang apa yang di katakan Anita. Malam ini langit menunjukan kebesarannya, awan hitam tebal tampak menghalangi bintang-bintang menunjukan sinarnya. Dinda menatap dari balik jendela kamarnya. Kilat dan suara petir yang saling beradu di angkasa.. "Hujan kah malam ini?" gumam Dinda, cemas. Sialnya, para pelayan Dinda sudah kembali ke kamar mereka. Meninggalkannya yang masih terjaga karena rasa cemasnya. Dinda tak mau mengganggu istirahat mereka untuk menemaninya malam ini. Selain hari telah larut, mereka juga manusia yang juga butuh istirahat sepertinya. Jujur, Dinda sebenarnya sangat takut akan petir dan hujan. Dia mempunyai phobia terhadap hujan. Dulu ketika di rumah, jika hujan turun pasti Dinda akan meringkuk di sebelah Bu Nana ataupun Dita, Kakak perempuannya. Namun sekarang, dia bahkan sendirian kali ini. Hujan mengingatkan akan peristiwa yang menimpa Kakeknya. Dimana Dinda melihat dengan mata kepalanya sendiri, Kakek kesayangannya itu mati di sambar petir saat hujan. Dan sejak saat itu Dinda jadi punya rasa takut berlebih dengan hujan. Jederr! Hujan telah mengguyur. Bahkan suara petir terus menggelora memekakkan telinganya. Dinda gegas menyalakan lampu dan berlari ke dalam selimutnya. Menutupi kedua telinganya agar tak mendengar bunyi hujan yang jatuh di atap paviliunnya. Sungguh sial memang, saat sedang takut-takutnya justru lampu kamarnya tiba-tiba padam. "Mati lampu? Argh beruang kutub itu apa lupa membayar tagihan listrik? Bagaimana bisa kediaman semewah ini mati lampu." Meraba-raba seluruh ruangannya. Dinda berusaha mencari sesuatu yang bisa membantunya melihat dengan jelas. Senter ataupun lilin. "Apa tak ada senter atau lilin di paviliun ini?" Karena takut dan tak kunjung menemukan sesuatu, Dinda akhirnya terpaksa membuka pintu paviliunnya demi mendapat cahaya dari luar. Jedderr!! Lagi-lagi suara petir menggelegar sesaat setelah Dinda membuka pintu. Membuatnya beringsut mundur karena terkejut dan ketakutan. Dinda duduk di sudut ruangan, dengan kilat cahaya petir yang membuatnya semakin ketakutan. Memeluk lututnya dengan terus menatap ke sekeliling ruangan itu. Keringat dingin telah membasahi tubuhnya. Badannya gemetar hebat. Bayang-bayang tragedi yang menimpa Kakeknya tiba-tiba saja terlintas di kepalanya. Hal itu seketika membuat kepala Dinda terasa pening, sehingga keseimbangan tubuhnya perlahan hilang ketika ingin beranjak kembali ke tempat tidurnya. Grep! Untunglah sebelum Dinda terjatuh ke lantai Tuan Evan berhasil menangkap tubuhnya. Tuan Evan? Kalian tak salah mengira. Entah dari mana, tiba-tiba pria itu sudah berada di depan mata Dinda. Merengkuh tubuhnya, lalu menggendongnya kembali ke tempat tidur. Tak lupa, Tuan Evan menyalakan sebuah lilin di atas wadah kecil agar lelehannya tak berantakan ke sembarang tempat. Dari remang-remang cahaya lilin itulah, dia bisa melihat dengan jelas wajah Dinda yang tengah di landa rasa ketakutan. Tuan Evan menghampiri Dinda dan berbaring di sampingnya. Kali ini, tak ada penolakan dari gadis itu. Justru kali ini, Dinda terlihat memeluk erat tubuh Tuan Evan. Benar-benar Dinda yang punya pribadi berbeda seperti sebelumnya. Cengkraman yang begitu kuat dari Dinda membuat Tuan Evan sedikit tertegun. "Jangan takut, aku ada disini." Tuan Evan membelai rambut kepala Dinda dengan lembut. Berusaha menaruh perhatian agar gadis itu tak merasa takut lagi. "Jangan pergi. Aku mohon." lirih Dinda, dengan mendekap Tuan Evan. "Apa sekarang aku boleh tinggal?" Dinda hanya mengangguk. Lalu, menyembunyikan wajahnya di dada suaminya itu. "Aku akan menemanimu, tidurlah." Dinda menatap Tuan Evan dengan tatapan mata yang sayu. Terlihat jelas bagaimana ketakutannya Dinda saat ini. Dan hal itu sedikit membuat Tuan Evan khawatir. Cup! Kecupan mesra mendarat di kening Dinda. Aneh! Bahkan kali ini Dinda tak keberatan dengan apa yang Tuan Evan lakukan padanya. Tuan Evan menatap mata Dinda lekat, lalu berinisiatif mengecup bibir gadis itu untuk melihat respon yang akan ia dapatkan kali ini. Cup! Itu terasa lembab dan basah. Dinda termenung di sela-sela kecupan mesra yang Tuan Evan berikan. Apa yang di katakan nya tempo hari itu benar? Jika Tuan Evan menyukainya sedari ia bayi? Atau ada hal lain yang ia sembunyikan darinya selama ini? Tuan Evan balik mendekap erat Dinda di pelukannya. Perlahan Dinda menemukan kenyamanan di sana. Sampai tak terasa kedua matanya mulai menutup sempurna. Alam mimpi telah menyambut Dinda sekarang. Tertidur dengan rasa nyaman yang belum pernah ia dapatkan dari seorang pria selain Ayahnya. Sampai pada akhirnya mereka berdua tidur dalam keadaan saling berpelukan malam itu. Di saksikan oleh hujan dan kilatan cahaya alam yang memberikan kenangan manis."Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Apa ayah sudah tak waras hendak menjual putrinya sendiri?" teriak Dinda dengan penuh amarah. Hatinya begitu sakit, saat mendengar keputusan ayahnya untuk menyerahkan Dinda pada seorang pria untuk dinikahi. Dinda merasa ia masih terlalu muda untuk membina bidak rumah tangga. Selain karena usianya yang masih sangat muda, juga sosok pria yang akan menikahinya sama sekali Dinda tak kenal. "Maafkan ayah nak, ayah terlanjur menjadikanmu sebagai jaminan atas semua hutang-hutang ayah. Dan kau tau sendiri jika perusahaan ayah sudah hampir bangkrut sekarang. Jadi mau tak mau kau harus menikah dengannya. " ucap Pak Dimas dengan suara bergetar. "Tapi yah, ayah tau sendiri kalau Dinda masih muda. Masih banyak hal yang belum Dinda lakukan di dunia ini. Dan sekarang ayah memintaku untuk menikah?" "Dinda sayang, tolonglah ayahmu ini nak. Tak ada yang salah kau menikah dengannya. Dia mapan dan sudah berpengalaman. Sudah tentu dia sanggup memberimu segalanya. " Bu Nana yang sedari tadi
"Ssshh.." Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya.Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi."Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal."Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu..""Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya."Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan.Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya."Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku?
Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?""Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri.""Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaa
"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?""Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri.""Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaa
"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
"Ssshh.." Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya.Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi."Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal."Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu..""Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya."Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan.Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya."Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku?