Share

BAB 07

Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu.

Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu.

"Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil.

Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya.

"Ada apa Kak?" tanya Dinda.

"Mau minum teh di tempatku?"

"Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini."

"Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em."

"Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!"

Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas.

"Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak minta pelayan mengantarkannya satu padamu. Itu akan membantu tidurmu menjadi nyenyak."

"Terimakasih Kak."

Dinda terlihat meregangkan ototnya di hadapan Anita. Mencoba menemukan sisa-sisa kebugaran tubuhnya untuk bercakap-cakap dengan Anita sebelum pergi.

"Ya sudah, sebaiknya kau lekas kembali dan tidurlah sebentar. Kebetulan Nyonya besar nanti siang akan datang kemari."

"Nyonya besar?" Dinda bingung sampai menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Iya, Ibu mertua kita."

"Hah, benarkah? Ku kita Pak tua itu sudah jadi yatim piatu."

"Kau ini ya? Ya sudah sana cepat pergi. Jangan sampai beliau melihatmu dalam kondisi seperti ini. Kita harus mempersiapkan diri dengan baik nanti jika beliau datang."

Anita menepuk pelan kedua pipi Dinda, sebelum ia beranjak meninggalkan Dinda yang masih terpaku di tempatnya.

Dinda menoleh menatap Tiur, gegas menarik tangannya dan membawa Tiur kembali ke paviliunnya.

"Seperti apa Ibu mertuaku itu? Kau bahkan belum pernah menyinggung tentangnya." tanya Dinda dengan antusias pada Tiur.

"Apa kau tak tahu sedikitpun tentang beliau? Sebenarnya kau ini niat nggak sih menikah dengan Tuan Evan."

"Kau pikir aku menikah dengan beruang kutub itu suka rela seperti yang lain? Tidak! Aku terpaksa!" gerutu Dinda, kesal.

"Jadi kau terpaksa menikah?"

"Dipaksa lebih tepatnya."

"Jadi apakah itu artinya Tuan Evan yang bersikeras menikahi mu?"

"Kenapa kau tercengang begitu? Apa jangan-jangan ketiga istrinya yang lain rela menawarkan diri mereka? Menikahinya dengan suka cita?"

"Sebentar biar aku ingat-ingat. Jika Nyonya Jia menikah dengan Tuan Evan karena perjodohan. Maka Nyonya Anita menikah karena kecelakaan. Lalu Nyonya Nadia menikah, karena dia yang memaksa. Lalu kau? Nampaknya kali ini aku pantas bersorak sorai untukmu. Hebat sekali jika memang begitu."

"Kak Anita menikah karena kecelakaan? Apa maksudnya itu?"

"Ya itu karena Tuan Evan menikahi Nyonya Anita karena kasihan lebih tepatnya. Dia di lecehkan oleh Paman Tuan Evan. Bukannya tanggung jawab, dia malah bunuh diri. Jadi Tuan Evan terpaksa menikahi Nyonya Anita."

"Hah! Yang benar kau!"

"Benar lah, kau bisa menanyakannya pada semua orang disini kalau mau."

"Tak ku sangka, di dunia ini ada seseorang yang bernasib lebih malang dari pada diriku. Ah tetap saja kasus ku ini semua gara-gara Dimas."

"Dimas? Siapa dia? Kekasihmu?"

Dinda menatap Tiur tajam, "Dia Ayahku."

"Astaga, berdosanya dirimu itu Dinda. Dia Ayahmu bukan?"

"Dia Ayahku, tapi malah menjual ku pada pak tua itu. Di paksa menikahinya sebagai jaminan atas semua hutangnya. Ah! Aku ingin sekali keluar dari sini dan sekali saja menghajarnya. Hiks!"

"Nasibmu tak melulu buruk disini Dinda. Kau jadi Nyonya bukannya pelayan disini. Apa yang perlu kau sesali?"

"Sudah lupakan. Sekarang ceritakan tentang Ibu mertuaku itu saja. Semuanya sedang bersiap kata Kak Anita tadi."

"Ah baiklah, dengarkan aku baik-baik. Beliau bernama Nyonya Risma. Ibu kandung Tuan Evan. Suaminya sudah meninggal sejak Tuan masih kecil. Mempunyai dua orang putra. Tuan Evan dan Tuan Daniel. Dan Tuan Daniel ini sepertinya seumuran dengan kita. Karena Kakak beradik itu terpaut usia sekitar 9 tahun."

"Lalu sekarang dimana Daniel itu?"

"Yang ku dengar dia memimpin di salah satu perusahaan cabang Tuan Evan."

"Oh, apa dia juga tampan?"

"Tentu saja, dia juga masih bujangan."

"Wah, harusnya aku menikah dengannya saja. Hahaha."

"Dia bujangan karena tak ingin menikah. Tak tahu saja kau berapa banyak wanita simpanannya itu."

"Lah, ternyata sama saja kakak beradik itu."

"Sebaiknya kalau ingin tidur, lekas lah tidur. Ketika Nyonya besar datang, kau tak ada kesempatan untuk tidur siang nantinya. Jadwal kegiatan yang padat sudah menunggumu."

"Baiklah, tolong tutup tirai nya."

Tiur dengan patuh menuruti permintaan Dinda. Menutup tirai jendela agar ruangan itu menjadi gelap dan nyaman untuk Dinda tidur.

*****

"Dinda bangunlah... Sudah waktunya bangun."

Dinda tetap tak bergeming saat Tiur mencoba membangunkannya. Dirinya belum puas menikmati tidurnya itu. Di rasa baru sebentar ia tidur, namun sudah di kejutkan.

Tiur berusaha menggoyangkan tubuh Nyonya nya itu, namun tetap saja sulit untuk membuat Dinda beranjak dari kenyamanan tidurnya.

"Dinda, ayolah bangun cepat. Nyonya besar sudah hampir tiba."

Dinda mengintip dengan sebelah matanya, "Ya sudah biarkan saja. Aku loh harus ngapain."

"Dinda... Bahkan ketiga Nyonya yang lain sudah bersiap-siap. Tapi kau? Ah, ayo bangun!"

"Pergilah, aku tak ingin di ganggu. Biarkan aku tidur sebentar lagi."

Tiur menggelengkan kepalanya, mencoba untuk tetap tenang dan bersabar ketika menghadapi Dinda yang keras kepala dan semaunya sendiri itu.

Brak!

Tiur sampai terkejut, ketika pintu ruangan itu di buka dengan paksa.

Bahkan, sampai kedua matanya terbelalak saat melihat Tuan Evan datang bersama ajudannya.

Dan meski suara gaduh terjadi dengan cukup keras, tetap saja Dinda sama sekali tak terpengaruh dengan hal itu. Tidurnya masih saja nyenyak tanpa kendala.

"Apa dia tak ingin beranjak dari tempat tidur nya?" tanya Tuan Evan pada Tiur yang telah berlutut di hadapannya.

"Maaf, Tuan."

Tiur gemetar, terlihat sekali pelayan itu takut jika Tuannya itu sampai marah padanya karena tak bisa menangani hal kecil seperti membangunkan Dinda.

Tuan Evan mengibaskan tangannya, memberi kode supaya Tiur menyingkir. Kemudian mendekati ranjang dimana Dinda masih berbaring memejamkan matanya.

Duduk di tepian ranjang, dengan lembut dia mencoba membangunkan Dinda. Menepuk pipinya dengan pelan.

"Enggh..."

Tuan Evan kembali menepuk pipinya, tapi kali ini lebih keras.

"Awas!" Dinda menepis tangan Tuan Evan.

Kali ini Tuan Evan bukan lagi menepuk, dia mencubit pipi Dinda dengan keras.

"Aw!" Dinda terpaksa membuka kedua matanya dengan segera. Gangguan semacam itu. benar-benar membuatnya jengkel.

"Sakit anj...."

Belum sempat Dinda melanjutkan umpatannya, dengan cepat Tuan Evan mendaratkan telunjuknya di mulut Dinda.

Dinda tersadar sepenuhnya dan begitu terkejut ketika mendapati Tuan Evan yang ada di hadapannya bukannya Tiur.

Cepat-cepat ia menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya, karena saat tidur Dinda hanya memakai pakaian dalam saja.

Dinda meneliti ke seluruh ruangannya, ternyata Tiur sudah di bawa Rendra untuk keluar. Dan di sana kini anya ada Tuan Evan dan Dinda berdua saja.

"Masih tak mau bangun?"

Dinda menatap tajam pria di hadapannya, karena jujur ia paling benci jika di ganggu ketika tidur.

"Singkirkan telunjuk mu ini."

Dengan cepat Tuan Evan menarik telunjuknya dari mulut Dinda, "Cepat bangun, atau kau akan mendapat hukuman jika terlambat menemui Ibu."

"Aku tak ingin pergi."

"Tak ingin? Tapi kau harus pergi."

Dinda menghela nafasnya "Memangnya kenapa jika aku tak ingin pergi? Keluar sana!"

"Siapa kau berani memerintah ku. Aku Tuannya di sini?"

"Oke, kalau begitu aku saja yang keluar. Kalau perlu aku bahkan akan keluar dari kediamanmu ini."

"Tundukan wajahmu itu iblis kecil."

Bukannya menundukkan pandangannya, Dinda justru semakin mendongakkan wajahnya. Membuat mereka saling bertatapan dengan kedua netra mereka saling mengintimidasi. Baik Dinda maupun Tuan Evan sama sekali tak ada yang mau mengalah kali ini.

"Baiklah, ku akui kau memang sangat berani."

"Cih, pria mesum sepertimu. Tentu saja aku berani."

"Kau bilang apa?"

"Pria MESUM.." Dinda menekankan ejaannya.

Tuan Evan tampak sekali kesal. Lalu melingkarkan tangannya dan mendorong Dinda melalui tengkuknya.

Cup!

Dinda mendelik, ketika merasakan sensasi aneh saat bibirnya bertemu dengan bibir Tuan Evan.

Begitu tak percaya jika pria itu sampai nekat melakukan hal semacam itu padanya.

"Kali ini kau boleh menyebutku pria mesum." bisik Tuan Evan ketika melepaskan bibirnya.

Itu adalah ciuman pertama Dinda, dan orang yang menciumnya adalah Tuan Evan?

Deg! Deg! Deg!

Bahkan mereka bisa mendengar debaran jantung mereka masing-masing saking gugupnya. Tuan Evan sedikit menyesal sepertinya, telah melakukan sesuatu yang lancang meski Dinda adalah istrinya sendiri.

"Ah... Kau!" Dinda mendorong tubuh Tuan Evan dengan kesal.

Mencoba mengusap bekas ciuman bibir pria itu dengan kasar di bibirnya.

"Ini ciuman pertamaku. Beraninya kau!" Dinda berteriak sambil menunjuk-nunjuk dada Tuan Evan.

"Apa salahnya? Aku suamimu bukan?"

"Haaarrghh..."

Gadis itu benar-benar marah, dirasa ciuman pertamanya terlalu berharga lepas dengan cara yang tak terduga seperti itu.

Namun naas, justru selimut yang membelit tubuhnya malah melorot. Sehingga menampakkan sesuatu yang lebih tak terduga lagi.

Mata Tuan Evan menangkap momen itu dengan tersenyum kecil. Tampak jelas tubuh Dinda yang terpampang hanya menggunakan bra dan celana dalam saja. Satu setelan berwarna merah muda itu sangat pas di padu padan kan dengan kulit putih Dinda yang menawan.

"Aaaaaaaa!"

Dinda berteriak begini histeris dan Tuan Evan hanya bisa tertawa saat melihat tingkah konyol istrinya yang panik itu.

Dinda menarik selimutnya kembali, lalu berlari dari hadapan Tuan Evan dan masuk kedalam kamar mandi.

"Tiur cepat kemari, bantu aku mandi!" teriak Dinda dari dalam kamar mandinya.

Tiur gegas berlari menyusul Dinda ke dalam kamar mandi, meninggalkan Tuan Evan yang masih terus saja tersenyum membayangkan hal yang telah terjadi padanya itu.

*****

Dengan menggunakan dress sederhana namun elegan Dinda beranjak untuk bergabung dengan Tuan Evan dan ketiga istrinya demi menyambut kedatangan Nyonya besar yang katanya hampir tiba itu.

Sengaja berdiri di belakang, Dinda sepertinya terlalu malas untuk beramah tamah dengan Ibu mertuanya itu. Moodnya sedang buruk gara-gara Tuan Evan.

Sampai akhirnya, terlihat sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu gedung utama.

Dan saat seorang ajudan membukakan pintu mobil itu, terlihat Nyonya besar keluar dengan begitu elegan.

Meski sudah tak muda lagi, Nyonya Risma masih terlihat bugar dan cantik di usianya yang hampir 60 tahun itu.

"Selamat siang Nyonya." Jia menyambut dengan ramah.

"Jia, kau tambah cantik saja sekarang." puji Nyonya Risma pada Jia.

"Bu.." sapa Tuan Evan.

"Ah ini anak. Apa-apaan kau ini! bisa-bisanya membiarkan Ibumu yang sudah tua ini yang mengunjungi mu."

"Sebenarnya Evan sudah berniat untuk mengunjungi Ibu lusa hari."

"Itu terlalu lama. Ibu sudah sangat merindukanmu."

Nyonya besar nampak mendekati para istri yang lain. Memperhatikan mereka satu persatu dengan kaca matanya.

"Anita.. Kau sepertinya tak memperhatikan wajahmu. Lihat tanda penuaan sudah muncul di sini." ucap Nyonya Risma dengan menunjuk salah satu bagian kulit wajah Anita.

"Haa Nadia.. Kau masih sama saja seperti terkahir kali aku melihatmu."

Nyonya besar kemudian berlalu dan berhenti di depan Dinda. Menyelidik dengan seksama karena baru pertama melihat gadis itu.

Dan Dinda, hanya bisa tersenyum dan mencoba untuk tetap tenang.

"Siapa namamu, Nak?"

"Dinda, Nyonya."

Nyonya besar menatap Tuan Evan "Kau menikah lagi? Dia sepertinya masih terlalu kecil untuk menjadi istrimu."

Dinda merasa menang saat Ibu mertuanya terdengar menyalahkan Tuan Evan.

"Tapi tak apa, justru daun muda seperti ini bisa dengan cepat memberiku cucu yang gemuk."

Baru saja di buat melayang, kali ini Dinda merasa di jatuhkan dari tempat yang sangat tinggi.

Cucu? Ah harusnya Nyonya Risma itu jangan terlalu berharap. Apalagi jika itu adalah Dinda.

"Nyonya, mari Jia seduhkan teh hangat." Jia menuntun Nyonya besar dengan hati-hati.

"Eekheeemmmm..." Anita berdehem tepat di samping Dinda.

"Kenapa Kak? Tenggorokan Kakak gatal?" tanya Dinda.

"Iya nih gatal." ucap Anita seraya tersenyum dan menepuk pundak Dinda.

*****

Dinda duduk di samping Anita, mereka semua kini berkumpul di meja makan. Termasuk Nyonya Risma di sana.

Dinda duduk di paling ujung. Setidaknya di sana Dinda lebih merasa nyaman ketimbang dekat dengan Tuan Evan yang menyebalkan menurutnya. Ciuman yang lepas itu belum membuat Dinda rela sepenuhnya sepertinya.

Memilih hanya menjadi pendengar atas semua keluh kesah yang sedang Nyonya Risma utarakan pada Tuan Evan.

"Ibu sudah tua Evan, kapan kau memberi Ibu cucu? Dan Jia, kau istri pertama putraku. Kenapa kau tak kunjung mengandung? Bukankah kau sudah berjanji pada Ibu."

"Bu, sudahkah jangan bahas itu lagi." Tuan Evan mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Jangan bahas lagi? Kau kira berapa umurmu sekarang Evan? Sebentar lagi kau bahkan sudah memasuki usia kepala empat. Ibu tak mau tahu, tahun depan Ibu harus sudah menggendong cucu. Kau punya banyak istri di sini, lalu untuk apa fungsi mereka jika memberi keturunan saja tak bisa."

Nyonya Risma lalu menatap Dinda yang terlihat tengah melamun.

"Kau gadis kecil, kemarilah."

Dengan ragu Dinda beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Ibu mertuanya itu.

Lalu berdiri tepat di sampingnya, tak di sangka-sangka jika Ibu mertuanya itu sampai mengusap lembut perutnya yang rata.

"Semoga cepat ada janin yang berkembang disini."

Semua orang terkejut, kenapa harus di perut Dinda?

Dinda hanya bisa tersenyum kecut, apalagi saat mendapati Jia yang dengan sinis menatapnya.

Ia lemas, ketika harus memikirkan apa yang akan Jia perbuat padanya setelah ini.

"Nggak Ibu, nggak anak. Kenapa mereka semua suka membuat hariku menjadi berat." batin Dinda, kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status