Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar
jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya. Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan segera sampai Nyonya, mohon Nyonya bersiap-siap." ucap salah seorang asisten Revandra Bagaskara yang berhasil memecah lamunan Dinda. "Oh.." Dinda ingin menjawab dengan kata lebih sebenarnya. Entah karena takut atau sebagainya, hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Dinda seketika tersadar saat laju mobil perlahan lambat. Ketika memasuki kawasan sepi penduduk membuatnya sedikit tertegun. Itu adalah kawasan yang lebih mirip seperti perkebunan atau semacamnya daripada sebuah komplek mewah pebisnis kaya seperti dalam ingatannya. Dan saat mobil memasuki sebuah gerbang tinggi menjulang, Dinda sedikit bergidik ngeri. "Ada rumah mewah di tengah-tengah tempat terpencil seperti ini? Apa ini rumah atau istana setan sebenarnya?” monolog Dinda dalam hatinya. Dinda memperhatikan dengan seksama, jarak dari gerbang utama ke bangunan utama cukup jauh jika di tempuh dengan berjalan kaki. Sekarang Dinda benar-benar mengakui jika rumor Revandra Bagaskara yang misterius nyata adanya. Pertama ketika pria itu datang dengan topeng, apakah itu karena wajahnya begitu jelek? Lalu kedua ketika fakta kediaman mewahnya berada di tempat yang tak pernah ia duga, apakah ini berhubungan dengan spiritual orang-orang kaya yang rumornya banyak yang melakukan pesugihan? "Silakan Nyonya.” seorang pengawal membukakan pintu mobil untuk Dinda. Membuat Dinda sedikit tertegun karena merasa ragu untuk melangkah keluar dari mobil itu. Dengan keberanian yang tersisa, akhirnya Dinda melangkahkan kakinya memasuki kediaman besar itu. Di sambut oleh para pelayan yang telah berbaris rapi untuk menyambut kedatangannya. Canggung memang, namun Dinda berusaha untuk bersikap setenang mungkin menghadapi mereka semua. Dari tatapan-tatapan yang seolah tengah menghakiminya saat itu. Sampai ketika mata Dinda terfokus pada tiga wanita yang menunggunya di ujung barisan. Dalam benaknya, Dinda tentu sudah tahu siapa para wanita itu. Dari cara berdiri, menatapnya lalu cara mereka menjabarkan identitasnya dengan cara berpenampilan, Dinda yakin jika itu adalah para istri Revandra Bagaskara. Dan satu lagi fakta yang benar adanya. Pria itu sudah beristri tiga. Sedang dirinya, adalah istri keempat Revandra Bagaskara itu sendiri. Dinda sedikit membungkuk memberi hormat, sehingga wajah ketiga wanita itu terlihat jelas tak begitu menyukai keberadaannya. "Jadi kau Dinda?" tanya salah seorang dari mereka. "Benar." jawab Dinda singkat. Ia begitu tak percaya diri sekarang. Jika di perhatikan dengan seksama nampak jelas kakinya yang gemetar. Wanita itu memberi kode pada seseorang, sehingga salah seorang pelayan maju. "Selamat datang Nyonya. Saya adalah asisten pribadi anda mulai sekarang. Ijinkan saya mengenalkan mereka untuk anda." ucap pelayan itu dengan sopan. Membuat Dinda hanya bisa mengangguk tanda mempersilahkan. "Nyonya, mereka adalah para istri Tuan Evan seperti anda. Nyonya Jia, Nyonya Anita dan Nyonya Nadia. Nyonya Jia adalah istri pertama Tuan Evan sekaligus penanggungjawab rumah tangga. Segala kebutuhan para penghuni kediaman ini akan menjadi tanggung beliau. Para istri Tuan Evan juga akan tinggal terpisah di Paviliun mereka masing-masing. Termasuk untuk Nyonya Dinda yang akan menempati paviliun kenanga. Sekiranya hanya sampai disini penjelasan singkat dari saya Nyonya. Jika ada hal yang ingin Nyonya ketahui jangan sungkan untuk menanyakannya pada saya." Setelah menjelaskan padanya, pelayan itu langsung undur diri dan bergegas berdiri di belakang Dinda. Membuat Dinda sedikit tertegun karena belum terbiasa. "Mereka yang menyambut mu sekarang adalah para pelayan yang akan melayani mu mulai sekarang. Taati peraturan maka kau akan tetap hidup." Jia memberi tahu Dinda dengan lantang. Lalu segera pergi dengan diikuti kedua istri yang lain. "Huh!" Menghela nafas nafas lega yang panjang saat mereka bertiga akhirnya pergi, terlihat Dinda sampai meregangkan pergelangan kakinya yang kaku diam-diam. "Nyonya, apakah Nyonya akan langsung menuju ke Paviliun? Atau ingin melihat-lihat suasana kediaman?" tanya pelayan pribadi Dinda yang tadi memperkenalkan diri. "Langsung saja ke paviliun, aku sangat lelah setelah menempuh perjalanan jauh." Tentu saja lelah, hampir dua jam Dinda di perjalanan dengan kebaya dan riasan pengantin yang menyusahkan pergerakannya. Dan dengan di pandu pelayan-pelayan itu, Dinda akhirnya melangkahkan kaki lebih jauh mengikuti mereka menuju tempat tinggalnya yang baru. Terpantau, paviliun tempat Dinda tinggal terletak cukup jauh dengan bangunan utama tempat pertama ia singgah. Tak melulu sedih, baginya itu merupakan sebuah keberuntungan. Sebab, ia tak perlu sering-sering bertatap muka dengan para wanita berwajah sinis tadi. BruukKK.. Dinda membanting tubuhnya, merebahkannya di atas ranjang besar yang sekarang menjadi tempat tidurnya. Mengamati dengan kagum interior kelas atas yang tersaji di sekelilingnya. "Wah pria tua itu memang benar-benar kaya, lihat saja ornamen-ornamen penghias ruangan di sini. Mahal." gumam Dinda dengan mata berbinar cerah. Sekarang ia seperti tengah melihat deretan uang di sekeliling tempat ia berada. Belum puas Dinda mengamati pemandangan menakjubkan itu, pelayan pribadi yang di tunjuk untuknya kembali datang. "Nyonya air hangatnya sudah siap. Silakan anda mandi sebelum airnya dingin." "Namaku Dinda, bukan Nyonya." ucap Dinda dengan begitu ketus. "Baik, tapi anda sekarang adalah Nyonya di kediaman ini. Anda adalah istri sah Tuan Evan. Dan sudah semestinya saya memanggil anda Nyonya." "Terserah kau saja, aku sudah lelah dan tak ingin berdebat. Pergilah, aku ingin memejamkan mataku sebentar." "Nyonya harus membersihkan tubuh terlebih dahulu agar lebih segar." "Ck, rewel sekali!" Seperti tak punya pilihan lain, akhirnya Dinda menuruti perkataan pelayan itu dengan segera menuju ke kamar mandi yang di tunjukan pelayan itu padanya. "Kenapa kau ikut masuk?" Dinda di buat terkejut ketika terus saja di ikuti, bahkan sampai masuk kedalam kamar mandinya. "Tentu saja saya akan membantu Nyonya mandi." "Hei! Apa yang hendak kau lakukan!" Dinda hampir berteriak histeris ketika tangan pelayan itu mencoba untuk melepaskan pakaiannya. "Membantu Nyonya melepaskan pakaian?" "Apa! Aku bukan anak tiga tahun! Jadi aku bisa melepaskannya sendiri. Tolong kau keluar saja. Aku akan mandi sendiri dengan cepat!" "Tidak bisa Nyonya, ini sudah menjadi kewajiban saya sebagai pelayan pribadi anda.” ”Cukup! Kali ini aku tak akan membiarkanmu melihat tubuhku.” seru Dinda sembari menyilang kan kedua tangannya di dada. "Apa saya harus memanggil pelayan-pelayan yang lain juga Nyonya? Sepertinya saya cukup kewalahan di sini." "E-eh tidak!. Kau saja sudah cukup membuat kepalaku hampir meledak.” Dinda menahan pelayan itu agar tak memanggil bala bantuan. "Aku akan melepas pakaianku sendiri, kau berbalik lah." "Tapi Nyonya.” "Berbalik saja cepat! Setelah ini terserah kau ingin melakukan apa padaku.” Dinda memaksa dengan memutar tubuh pelayan itu. Menanggalkan semua pakaian yang melekat pada tubuhnya, lalu masuk ke dalam bathub. Kemudian dengan sengaja menumpahkan sabun cair agar busanya semakin banyak dan melimpah demi bisa menutupi bagian sensitifnya dari pelayan keras kepala itu. Pelayan itu segera berbalik dan menghampiri saat ia sadar nyonya barunya itu sudah berendam di dalam air yang penuh dengan busa. Dengan cekatan pelayan itu membantu Dinda menggosok tubuhnya. Memijit kepalanya saat memberikan shampoo dan tak lupa memberikan pelayan terbaik lainnya. Sampai perlahan tapi pasti Dinda pun mulai menikmati layanan terbaik yang pelayan itu berikan padanya. "Siapa namamu?" Dinda akhirnya bersuara dengan bertanya untuk memecah keheningan ditengah gemericik air mandinya. "Tiur Nyonya." "Berapa usiamu tahun ini?" "23 tahun Nyonya." "Benarkah? Kalau begitu kita seumuran. Hanya kau lebih tua setahun dariku. Jadi, alangkah lebih baik kau tak perlu memanggilku nyonya. Oke?" "Tidak bisa, ini sudah peraturan saya nyonya. Akan ada hukuman berat bagi setiap pelayan yang lancang." "Kau ini." Dinda cukup kesal mendengar penolakan dari mulut pelayan bernama Tiur itu. "Baiklah terarah kau saja. Namun jawab pertanyaan ku sekarang." "Silakan, nyonya ingin bertanya tentang apa?" "Pak Revandra itu orang seperti apa?" "Sebaiknya anda menyebut beliau dengan sebutan Tuan Evan. Para Nyonya di kediaman ini menyebut tuan seperti itu." "Ah begitu? Baiklah." "Tuan Evan orang yang tegas nyonya. Jadi saya harap nyonya tak akan menyinggungnya. Jika tidak nyonya akan di hukum berat." "Di hukum? Apakah termasuk di ceraikan?" "Hush! Nyonya jangan bicara seperti itu. Tuan tidak akan pernah menceraikan istrinya." "Kenapa begitu?" "Karena setiap yang datang kesini, jika ingin keluar dan bebas. Paling benar dia harus dalam keadaan tidak bernyawa." "Benarkah apa yang kau katakan itu Tiur?" "Ya Tuhan, mulut ini lancang sekali." Tiur menampar mulutnya sendiri. "Kau ini? Apa yang kau lakukan hah!" Dinda mencegah Tiur untuk menampar mulutnya sendiri. "Seharusnya saya tak berkata hal buruk pada nyonya. Silahkan nyonya menghukum pelayan yang bodoh ini." ucap Tiur dengan berlutut pada Dinda. "Lupakan saja. Aku tak sejahat itu orangnya." "Mohon nyonya untuk tidak memasukan dalam hati tentang perkataan saya baru saja nyonya." "Kau tenang saja. Santai saja jika bersamaku." Dinda menepuk pundak Tiur. ..... Selesai mandi, Dinda harus pasrah untuk kesekian kalinya. Ketika mereka memperlakukannya layaknya sebuah boneka hidup. Dinda dengan pasrah membiarkan saat Tiur dan para pelayan yang Iain mendandaninya. Mulai dari mengenakan pakaian, riasan wajah, aksesoris dan semua hal yang tubuhnya perlukan. Sehingga membuat Dinda tak perlu mengeluarkan tenaga sedikitpun karena serba di layani. "Sebentar lagi makan malam sudah siap. Nyonya akan bergabung dengan tuan dan para nyonya yang Iain di meja makan." Mata Dinda seketika terbelalak. la tak bisa membayangkan akan duduk di meja yang sama dengan pria itu, juga dengan para wanita-wanita yang sepertinya melihat Dinda sebagai ancaman baru di kediaman itu. "Matilah aku...""Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?""Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri.""Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaa
"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Apa ayah sudah tak waras hendak menjual putrinya sendiri?" teriak Dinda dengan penuh amarah. Hatinya begitu sakit, saat mendengar keputusan ayahnya untuk menyerahkan Dinda pada seorang pria untuk dinikahi. Dinda merasa ia masih terlalu muda untuk membina bidak rumah tangga. Selain karena usianya yang masih sangat muda, juga sosok pria yang akan menikahinya sama sekali Dinda tak kenal. "Maafkan ayah nak, ayah terlanjur menjadikanmu sebagai jaminan atas semua hutang-hutang ayah. Dan kau tau sendiri jika perusahaan ayah sudah hampir bangkrut sekarang. Jadi mau tak mau kau harus menikah dengannya. " ucap Pak Dimas dengan suara bergetar. "Tapi yah, ayah tau sendiri kalau Dinda masih muda. Masih banyak hal yang belum Dinda lakukan di dunia ini. Dan sekarang ayah memintaku untuk menikah?" "Dinda sayang, tolonglah ayahmu ini nak. Tak ada yang salah kau menikah dengannya. Dia mapan dan sudah berpengalaman. Sudah tentu dia sanggup memberimu segalanya. " Bu Nana yang sedari tadi
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?""Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri.""Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaa
"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
"Ssshh.." Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya.Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi."Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal."Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu..""Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya."Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan.Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya."Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku?