Share

Istri Kecil Kesayangan CEO Tampan
Istri Kecil Kesayangan CEO Tampan
Penulis: Pelipena

BAB 01

"Apa ayah sudah tak waras hendak menjual putrinya sendiri?" teriak Dinda dengan penuh amarah.

Hatinya begitu sakit, saat mendengar keputusan ayahnya untuk menyerahkan Dinda pada seorang pria untuk dinikahi.

Dinda merasa ia masih terlalu muda untuk membina bidak rumah tangga. Selain karena usianya yang masih sangat muda, juga sosok pria yang akan menikahinya sama sekali Dinda tak kenal.

"Maafkan ayah nak, ayah terlanjur menjadikanmu sebagai jaminan atas semua hutang-hutang ayah. Dan kau tau sendiri jika perusahaan ayah sudah hampir bangkrut sekarang. Jadi mau tak mau kau harus menikah dengannya. " ucap Pak Dimas dengan suara bergetar.

"Tapi yah, ayah tau sendiri kalau Dinda masih muda. Masih banyak hal yang belum Dinda lakukan di dunia ini. Dan sekarang ayah memintaku untuk menikah?"

"Dinda sayang, tolonglah ayahmu ini nak.

Tak ada yang salah kau menikah dengannya. Dia mapan dan sudah berpengalaman. Sudah tentu dia sanggup memberimu segalanya. " Bu Nana yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. Mencoba memberi pengertian pada putrinya itu.

Dinda geram, suaranya sama sekali tak mereka indahkan. Membuat wajahnya memerah karena amarah yang sudah hampir meledak.

"Kalian memang tak sayang padaku. Yang di otak kalian hanya ada Kak Dita semata. Bahkan sekarang aku sendiri tak yakin, apa aku ini putri kandung kalian atau bukan!"

"Kenapa kau bicara seperti itu sayang?" Bu Nana merasa sedih atas pemikiran Dinda.

"Kenapa Bunda bilang? Itu kenyataannya bun. Dia putri tertua, lalu mengapa tidak Kak Dita saja yang kalian jadikan jaminan bukannya diriku? Jika di bandingkan dengan Dinda, Kak Dita lebih segala-galanya.

Apa karena itu alasan mengapa kalian hanya mencintai kakak saja? Kak Dita terlalu berharga di banding Dinda?"

"Dinda.. " Pak Dimas ingin menyela.

"Aku benci kalian! Kalian pilih kasih! Kalian memang tak pernah menyayangiku!" Dinda berteriak begitu histeris.

"Dinda dengar ayah!" Pak Dimas mencoba menenangkan putrinya.

"Kami tak bermaksud pilih kasih. Jadi singkirkan pikiran buruk mu itu nak.

Kau tahu sendiri kan kalau kakakmu Dita akan segera menikah? Apa jadinya jika dia yang menjadi jaminan? Bagaimana perasaan calon suami dan mertuanya?"

Tentu Pak Dimas ingin agar Dinda bersikap dewasa atas keputusannya, namun sepertinya gadis itu sama sekali tak ingin tahu tentang masalah keluarga mereka.

"Persetan dengan perasaannya. Apa Ayah mengira aku orang yang tak punya perasaan hah!"

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Dinda. Bu Nana yang sedari awal begitu sabar nyatanya sampai kelepasan karena pemberontakan yang putri keduanya itu lakukan.

"Bunda menamparku?"

Dinda meringis, meraba ketika merasakan panas di pipi kanannya.

"Jaga ucapan mu itu Dinda! Apa begini caranya kami mendidik mu selama ini? Bunda tak pernah mengajarkan bagaimana caranya berbicara lancang seperti itu pada orang tua bukan!"

Dinda menatap Bu Nana tak percaya, ibu yang selama ini bak ibu peri baik hati ternyata tega memberinya sebuah tanda merah di pipi.

"Kalian memang tak mencintaiku kan? Aku benci kalian!"

Dinda berlari keluar rumah untuk menghindari kemelut yang terjadi. Gadis itu sudah begitu buntu saat ini. Otaknya tak bisa berpikir dengan jernih. Dan yang ada di pikirannya hanya bagaimana caranya untuk menghindari pernikahan yang terkesan memaksanya itu.

Merogoh ponsel di saku celananya, gadis itu lalum men-dial sebuah nomor, sehingga ternampak nama terang Vena di layar beberapa saat kemudian.

"Halo Ve, dimana lo?"

"Oh aku nyusul ya?"

"Ya udah ya, bye!"

Setelah mematikan telepon, Dinda segera pergi ke tempat yang di beri tahu Vena melalui sambungan telepon barusan dengan menggunakan taksi. Dari pada harus makan hati di rumah itu, lebih baik menenangkan diri bertemu dengan teman-temannya.

.....

"Lo kenapa lagi?" tanya Vena sembari memberikan air kemasan untuk Dinda yang barusaja sampai.

"Minum dulu deh biar otak lo dingin."

Dinda mengangguk, lalu tanpa ragu membuka dan meminum beberapa tegukan air mineral itu.

"Ve aku mau nanya, tapi kamu jangan bicara keras-keras ya?"

"Apa sih? Kepo deh gue."

Dinda meminta Vena mendekat, lalu dengan ragu membisikkan sesuatu di telinganya.

"Lo tau orang yang bernama Revandra Bagaskara nggak?" bisik Dinda.

"Tau lah! Hello... Siapa yang nggak kenal coba"

"Sssstt... Sudah ku bilang jangan bicara keras-keras. Tapi lo yakin?"

"Lo masih ngeraguin predikat Vena si ratu gosip? Lagian siapa sih yang nggak tahu? Bahkan gue yakin di tongkrongan ini juga pada tau tentang orang itu."

"Oh ya? Lalu apa yang lo tau darinya?" tanya Dinda begitu antusias.

"Emangnya kenapa sih? Jangan bilang kalau lo punya masalah sama itu orang!"

"Dih, ya nggak lah. Kemarin bokap bincang-bincang sama Paman, terus nama dia sebut. Ekspresi mereka juga sangat aneh." Dinda mencoba mengelak. Agar sahabatnya itu tak curiga. Gawat kalau sampai Vena dan teman-temannya yang lain sampai tahu rencana gila sang ayah itu terhadapnya.

"Emangnya dia siapa sih?" tanya Dinda sekali lagi.

"Konglomerat misterius." jawab vena singkat.

"Lah, kenapa ada embel-embel misterius gitu?"

"Soalnya nggak ada banyak berita tentangnya. Berita yang beredar juga nggak jelas dari mana datangnya."

"Hm, cukup misterius." Dinda mengangguk setuju.

"Di tambah, rumor yang beredar katanya dia sudah punya istri tiga Din."

Byuuurrrr... Dinda yang tengah meneguk air sampai menyemburkan air dalam mulutnya karena terkejut.

"Dih, jijik deh" Vena mengeluh karena menjadi basah.

"Sorry, lagian berita lo itu amazing banget tahu." puji Dinda sembari bertepuk tangan.

"Bravo Vena... Bravo!"

"Vena gitu loh." Vena membanggakan dirinya sendiri dengan cara mengibaskan rambutnya.

"Terus apa lagi yang lo tau. '

"Oh oh oh, gue ingat. Lo tau Siti teman satu sekolah kita dulu kan?"

"Hm, Siti yang mana ya?"

"Ituloh Siti cengceremen."

"Oh yang suka ingusan itu?"

"Nah betul. Katanya si Siti Pak Revandra itu orangnya jelek, kumisan, perutnya buncit di tambah pendek pula. Pokoknya jelek deh."

"Hah! Serius?" Dinda nampak tak percaya dengan kalimat yang baru ia dengar. Akan sangat keterlaluan jika memang itu adalah fakta. Apa kata dunia jika Dinda yang merasa cantik punya suami buruk rupa seperti itu?

"Kalau itu si gue nggak tau ya, kan kata si Siti."

"Ah benar juga sih.."

"Udah ah ngapain sih kita jadi bahas orang itu. Yuk kita nyanyi, senang-senang kita nyampai pagi. " Vena menarik tangan Dinda untuk bergabung dengan teman-teman yang lain.

.....

Dinda baru kembali menjelang pagi. Ia sampai terlupa akan waktu karena rasa gelisah yang menggelayuti hatinya.

Dan saat ia kembali, ternyata semua pintu dan jendela sudah terkunci rapat. Sehingga Dinda kesulitan untuk masuk kedalam rumah.

Menghubungi kedua orangtuanya pun terasa begitu sulit, sebab akan terjadi malapetaka besar jika mereka tahu Dinda belum kembali sampai menjelang pagi.

"Ah sial, mereka pasti sengaja melakukan ini." gerutu Dinda, kesal.

Namun bukan Dinda namanya jika ia tak memiliki banyak akal. Mendongakkan kepalanya ke atas, Dinda mengulas senyum menyeringai sembari menatap ke arah balkon kamarnya.

"Untungnya gue nggak pernah mengunci pintu balkon kamar. Hahaha."

Dengan memanjat pohon, Dinda yang memang sudah terbiasa melakukan hal itu tentu tak merasa kesulitan.

Dengan salah satu cabangnya yang tumbuh menempel dengan balkon kamarnya, dalam sekali tarikan nafas saja Dinda sudah berhasil berpindag tempat. Melompat dari dahan pohon ke balkon kamarnya, perhitungan gadis itu benar-benar tak pernah meleset meski tak banyak cahaya yang menerangi.

"Jangan panggil gue Dinda kalau nggak bisa ngelakuin hal seperti ini. Cih, SEPELE."

Dengan bersenandung kecil, Dinda memasuki kamarnya dengan santai. Bak tak terjadi apapun, sampai....

Deg!

Dinda mendelik, ketika ia berhasil menyalakan lampu kamarnya dan ada seseorang yang tengah duduk menatapnya sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.

"A-ayah ngapain di kamar Dinda?"

Tubuhnya tiba-tiba bergetar, meski suka membangkang, jujur Dinda paling takut dengan tatapan dingin Ayahnya yang seolah menghakiminya yang bersalah.

"Berandal! Kemari kau!" titah Pak Dimas dengan tatapan nyalang.

"Nggak!" Dinda berusaha menghindar, terutama dari sapu lidi yang tengah Ayahnya pamerkan padanya.

Glek.. Sampai-sampai Dinda kesulitan bahkan untuk menelan salivanya sendiri karena gugup.

"Kemari! Atau.."

"Atau apa? Ayah mau mukul Dinda? Ayo pukul saja aku sampai mati! Sepertinya itu lebih baik dari pada Dinda harus menikah dengan tua bangka itu."

"Siapa yang kau sebut tua bangka itu hah?" Pak Dimas seolah tak percaya dengan apa yang baru beliau dengar dari mulut putrinya.

"Tentu saja Pak Revandra! Tuan besar ayah itu!"

"Dinda jangan kurang ajar kamu!" seru Pak Dimas sengan menenteng sapu lidinya. Bersiap untuk mendaratkannya pada tubuh gadis itu.

"Ayo pukul saja aku yah. Jika nantu aku mati, jangan lupa berbahagia untuk kematian ku. Pukulah! Pukul aku cepat!"

Dinda melangkah mendekati Pak Dimas. Seolah tengah menantang jika ia memang tak takut untuk mati. Karena dari lubuk hati yang paling dalam, entah mengapa Dinda yakin jika apa yang Pak Dimas lakukan itu hanya gertakan semata.

CtaasSs!! Satu sabetan sapu lidi mendarat di bokong Dinda.

"Argh!" Dinda memekik sembari mengusap bokongnya yang terasa perih. Ternyata Ayahnya itu benar-benar tak segan kali ini.

"Kemari kau! Kenapa mundur? Katanya mau di pukul sampai mati!"

Sial! Ternyata siasat Dinda kali ini gagal. Ayahnya sama sekali tak ada niatan melepaskannya dari pernikahan itu.

Dan Dinda, akhirnya hanya bisa pasrah dengan kemarahan Pak Dimas karena perangainya yang buruk.

Dug! Dinda berlutut di hadapan ayahnya. Meskipun ia terkesan suka membantah, namun sejatinya Dinda adalah gadis ayah yang penurut. Ia sama sekali tak ingin membuat beliau sedih apalagi marah.

Apa yang ia lakukan hari ini tak lebih karena Dinda merasa jika kehidupannya akan terlihat suram di masa depan. Dengan menikah dengan pria tua jelek itu, Dinda benar-benar tak bisa menahannya untuk tak menjadi gadis pembangkang.

"Ampun yah, ampuni Dinda. Jangan marah lagi. Dinda tak bermaksud nakal. Hiks."

Dinda mulai menangis, membuat Pak Dimas seketika terpaku atas apa yang terjadi pada putrinya itu.

Pak Dimas sebenarnya tak tega, namun tentu sebagai orang tua, beliau harus tegas dalam mendidik putrinya itu.

Dinda yang cantik namun pembangkang dan keras kepala. Putrinya itu memang harus secepatnya belajar tata krama dan mendewasakan dirinya sendiri.

Dia bukan anak kecil lagi sekarang, bahkan sebentar lagi Dinda akan berganti status menjadi seorang istri dari pria pilihannya.

Beliau begitu yakin akan keputusannya terhadap Dinda. Karena sebagai orang tua, baik Pak Dimas maupun Bu Nana tentu akan memilihkan laki-laki yang baik untuk menjadi pengganti mereka dalam membimbing dan melindungi Dinda. Putri yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status