"Ssshh.."
Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya. Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi. "Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal. "Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu.." "Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya. "Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan. Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya. "Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku? Memangnya kenapa kalau Dinda tak menikah dengan pria tua itu?" "Kau lupa tamparan bunda kemarin? Setidaknya kau tak boleh tak sesopan itu dalam menyebut orang lain. Dia punya nama bukan?" "Mana mungkin bisa lupa." lirih Dinda sembari meraba pipinya. Mengingat kembali rasa panas dan perih yang bercampur menjadi satu. "Tapi kenapa bun?" tanya Dinda dengan tatapan mengiba. Bu Nana yang melihat raut wajah memelas putrinya tentu sebenarnya tak sampai hati. Jika harus memberikan masa muda putrinya untuk pria yang notebene lebih tua 13 tahun. Pria yang bahkan Bu Nana dan Pak Dimas tak tahu menahu paras dan wataknya seperti apa. Bagaimana kehidupannya, bahkan tentang latar belakang keluarga pria yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarga itu. Karena selama ini dalam menjalankan bisnisnya, Pak Dimas hanya bertemu dengan perantara orang dekat Revandra Bagaskara itu. Lalu tentang rumor-rumor yang melekat pada orang itu, juga membuat Bu Nana tak sepenuhnya rela. jika putri yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang akan menikah dengan pria yang terkesan menutup diri sepertinya. "Sayang dengarkan bunda. Kalau kau tak mau menikah dengannya, maka ayahmu harus rela di jebloskan ke penjara. Utang piutang yang sangat banyak itu, mana mungkin ayahmu bisa melunasinya dalam waktu yang relatif cepat nak." Dinda menatap wajah Ibunya dalam-dalam. Jelas di sana terlukis ekspresi khawatir yang begitu mendalam. Dan entah mengapa ia juga berpikir jika Ibunya itu khawatir akan kehidupan keluarganya jikalau sampai Pak Dimas meringkuk di balik jeruji besi. Berbeda dengan Dita yang sebentar lagi akan memiliki keluarganya sendiri. "Kalau memang begitu adanya, mungkin Dinda akan memikirkan lagi tentang pernikahan itu bun." Satu kalimat yang terucap dari mulut Dinda nyatanya bak seperti angin segar menyejuk hati. Bahkan saking terharunya, Bu Nana sampai memeluk putrinya itu erat-erat. Lalu berterimakasih karena sudah bersedia untuk bersikap dewasa dalam menghadapi masalah. ...... KEESOKAN HARINYA... Kisah berlanjut ketika Dinda di bawa kedua orang tuanya ke perusahaan milik Revandra Bagaskara. Dinda yang belum pernah berkunjung ke tempat seperti itu sampai di buat takjub. Memasuki sebuah ruangan khusus, seseorang yang katanya adalah asisten pribadi Revandra Bagaskara datang dengan sebuahdokumen penting di tangannya. "Silahkan Pak Dimas tanda tangan bersama dengan istri." Dengan senang hati Ayah dan Ibu Dinda menorehkan tanda tangan yang di arahkan orang itu. Sementara Dinda hanya bisa membantu menyaksikan yang baginya lebih mirip sebuah hal semacam transaksi jual beli terhadap dirinya itu. "Hutang kalian akan di anggap lunas saat Dinda sah menjadi istri tuan kami. Dan pada hari itu juga kalian harus menyerahkan sepenuhnya putri anda pada beliau, kalian tidak berhak Iagi untuk ikut campur dalam kehidupannya kelak." Ingin menangis memang, tapi Dinda tak bisa berbuat apapun. Meski sebenarnya ia ingin pergi jauh, namun Dinda adalah anak berbakti yang begitu menyayangi keluarganya. Anggap saja Dinda sekarang sedang melakukan baktinya untuk yang terakhir kali sebagai seorang anak. "Dan untuk acara pernikahannya akan kami beri tahukan secepatnya." Setelah mengucapkan kalimat pamungkas itu, asisten Revandra Bagaskara itu lalu pergi, pamit undur diri untuk melanjutkan kesibukannya yang lain. ..... Dengan langkah gontai, Dinda perlahan berjalan ke kasurnya. Membanting tubuhnya ke atas kasur empuk yang selama ini menemani tidurnya. "Entah kesalahan apa yang aku buat di masa lalu sehingga karmanya sebesar ini. Apa Dinda ini kuat ya Tuhan. " keluh Dinda dengan perasaan menyesakkan. Tok.. Tok.. Tok... Sebuh ketukan kecil berhasil membuyarkan lamunan Dinda. Gegas mengusap perlahan bekas air mata agar tak ketahuan oleh siapapun. "Pintunya nggak di kunci." Ternyata kakak sulungnya yaitu Dita yang datang. Dengan sebuah tentengan besar di tangannya, Dita masuk dan meghampiri Adiknya dengan maksud untuk sedikit menghibur dan menyemangatinya. "Nih baju buat lo." "Oh, Makasih ya Kak." Dita duduk di sisi Dinda berbaring. Lalu menarik Dinda ke pelukannya. "Maafin kakak ya?" Dinda terkejut, ketika sadar jika Dita menangis sembari memeluknya. "Kenapa akak minta maaf?" "Seharusnya kakak yang di posisi itu, tapi.. " Dita seolah tak sanggup Iagi untuk melanjutkan perkataannya. Dadanya teramat sesak jika harus memikirkan nasib adiknya itu kelak. "Tak apa kak. Asal Kak Dita dan Dio aman, Dinda akan baik-baik saja. " ucap Dinda sembari menepuk lembut punggung kakaknya. "Huwaaa. .. " Dita menangis sesenggukan. Dia merasa telah gagal untuk melindungi adiknya sendiri. Sebagai kakak tertua harusnya ia yang berada di garda terdepan, namun nyalinya begitu kecil karena keegoisannya sendiri. Nasi punsudah menjadi bubur, hari pernikahan adiknya mungkin sudah di tentukan, dan dia tak bisa melakukan apapun Iagi sekarang. ..... "Kopimu sayang." Bu Nana menyuguhkan kopi buatannya untuk Pak Dimas yang baru saja pulang dari kantor. Puluhan tahun bersama, pelayanan Bu Nana sama sekali tak pernah berubah sedikitpun. "Sayang, duduklah. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Bu Nana sempat tertegun untuk beberapa saat. Ekspresi wajah Pak Dimas benar-benar membuat jantungnya seolah berhenti berdetak saat ini. "Ada apa sayang?" tanya Bu Nana dengan raut wajah cemas. Pak Dimas terlihat menghela nafas panjang, sebelum pada akhirnya menatap istrinya itu untuk memulai pembahasan penting. "Dinda akan menikah besok." Deg! Bu Nana tertegun, otaknya serasa butuh waktu lama untuk mencerna perkataan suaminya barusan. Benar-benar mengejutkan! "A-apa?" "Aku tahu ini terlalu mengagetkan. Tapi besok Dinda harus benar-benar menikah." Bu Nana menyambar ponselnya "Kalau begitu aku akan memberi tahu keluarga sekarang." "Tidak! Jangan lakukan itu." Bu Nana lagi-lagi hanya bisa tertegun, menatap Pak Dimas dalam-dalam. "Mengapa?" "Kita tak perlu melakukan apapun, semuanya sudah di urus oleh mereka. Kita hanya perlu membawa Dinda saja ke tempat yang mereka aturkan." "T-tapi bukannya ini terlalu kejam?" "Kita tak bisa melakukan apapun selain menurutinya saja sayang. Bahkan hanya Dita dan Dio juga tak di perkanankan datang. Hanya Dinda saja yang mereka inginkan." Braakk!! "Ini terlalu gila!" Bu Nana yang tak bisa lagi menahan amarahnya, hanya bisa melampiaskannya pada meja di hadapan mereka. "Kenapa kita jahat sekali pada Dinda. Setidaknya di hari spesialnya, putri kita berhak merasa istimewa. Di temani seluruh keluarga dalam mengiringinya menuju masa depan." "Tenangkan dirimu sayang. Ini sudah menjadi keputusan mereka." Pak Dimas juga sebenarnya merasa bersalah atas semua yang menimpa putrinya. Jika saja ia tak kalap mata dan terbujuk buaian seseorang yang berniat buruk itu, mungkin saja kehidupan Dinda masih tenang-tenang saja hingga detik ini. Tak bisa di pungkiri memang, Pak Dimas bisa saja di sebut sebagai dalang atas penderitaan Dinda saat ini. Di usianya sekarang, putrinya itu harus rela melepas masa lajangnya. Bahkan untuk seorang pria yang telah memiliki istri. ..... Pagi-pagi buta, Dinda sudah dibangunkan oleh Bu Nana. Hari Ini adalah hari pernikahannya, dan Dinda sudah tahu tentang itu. Tak banyak komentar dari mulutnya, Dinda seolah sudah pasrah menyerahkan jalan kehidupannya pada mereka. Toh memang sudah seusai kesepakatan, dan Dinda tak bisa berbuat apapun selain menjadi boneka yang di atur oleh mereka. Meski sebenarnya ingin memberontak dan berteriak histeris, mengingat nasib keluarganya semuanya Dinda urungkan. Karena masa depannya tak ada yang tahu, baik buruknya tergantung Dinda yang menjalankan semuanya kelak. Dengan mengendarai mobil mewah yang telah di persiapkan, Dinda dan kedua orang tuanya berhenti di sebuah hotel mewah tempat yang mereka beri tahu. Khawatir memang, namun semua ini adalah bagian masa depan yang harus Dinda jalani. Saat ia telah memutuskan, ketika Dinda melangkah maju maka tidak tersedia lagi jalan untuknya mundur. Dan dalam sekejap mata, Dinda sudah di sulap menjadi pengantin yang sangat cantik. Berbalut kebaya putih sederhana namun indah, Dinda terlihat begitu manglingi sebagai seorang mempelai pengantin. Bahkan membuat Pak Dimas dan Bu Nana sampai menitikkan air mata haru. Ketika melihat putrinya yang begitu cantik dan terlihat begitu dewasa dengan penampilan yang begitu anggun dan mempesona. Senyum yang di paksakan dan langkah yang terseok, Dinda sebenarnya begitu enggan untuk duduk di kursi pelaminan itu. Sebuah kursi yang telihat seperti pada umumnya namun mampu mengubah segala hidupnya. Meremas ujung kebaya nya dengan erat, dia begitu gugup bahkan untuk menghela nafas dengan tenang. Sudah tak ada pilihan kedua untuknya saat ini. Mau tak mau semuanya harus ia jalani meski dengan setengah kesadarannya. Terlihat Pak penghulu dan kedua saksi sudah datang dan duduk dengan tenang. Membuat Dinda semakin gugup, hingga keringat dingin membasahi keningnya. Tubuhnya menjadi lemas seoalah tak punya energi lagi. Bisa duduk tegap saja sudah paling untung karena tak sampai membuat Dinda pingsan. Sampai.... Klotak! Klotak! Klotak! Seorang pria berjas putih datang. Dengan di iringi asisten pribadi dan beberapa bodyguard nya yang terkesan seram. Dengan langkah tegap berjalan ke pelaminan menuju ke altar pengantin dimana Dinda bersama keluarganya menunggu. Namun ada satu hal yang menarik perhatian. Mengapa pria itu memakai topeng? Sehingga menutupi kedua mata dan hidungnya. Apa yang ia coba sembunyikan? Apakah wajahnya terlalu berharga untuk di lihat? Sehingga tak ada satupun orang yang bisa dengan jelas mengenalinya. Deg! Kedua netra mereka bertemu. Bola mata abu-abu itu benar-benar misterius bagi Dinda. Orang yang akan menjadi suaminya itu sama sekali tak tersenyum padanya. Hanya duduk dan meminta untuk segera memulai acara pernikahannya. "SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA ADINDA MAHARANI BINTI DIMAS RAHARJA DENGAN MAS KAWIN LOGAM MULIA SEBERAT 500 GRAM DAN UANG TUNAI 300 JUTA RUPIAH Dl BAYAR TUNAI." Dengan lantang pria itu akhirnya mengemban tugas baru di pundaknya. Dengan satu tarikan nafas saja dia sudah berhasil memperistri Dinda dalam sekejap mata. "Bagaimana saksi?" tanya Pak Penghulu. "SAH.." "SAH!" Bu Nana tak bisa membendung air matanya lagi. Sesuai perjanjian, mulai saat ini Dinda sudah bukan lagi menjadi tanggung jawabnya lagi sebagai orangtua. Baru selesai menangkupkan tangan seusai berdoa, bahkan belum sempat Dinda sungkem pada orang tuanya, pria yang notabene seharusnya adalah Revandra Bagaskara dan sudah menjadi suaminya malah berdiri hingga membuat Dinda kebingungan. "Ini waktu terakhirmu untuk mengucapkan salam perpisahan pada orang tuamu. Dan perlu di ingat jika aku tak suka menunggu terlalu lama." Glek! Dinda sampai kesulitan menelan saliva nya sendiri, ketika suara bariton itu menegurnya. Revandra Bagakara seolah memberi kode pada asistennya untuk mengawasi Dinda. Dia langsung pergi tanpa menyapa Pak Dimas maupun Bu Nana. Bu Nana menghampiri Dinda dan memeluknya dengan erat. Mencoba membuat kenangan terakhir sebelum mereka tak lagi melihat putrinya itu. "Maafkan kami sayang, kami orang tua terbodoh di dunia ini." Bu Nana meraung, dadanya terasa sangat sesak saat membayangkan putrinya yang harus hidup dengan pria tak berperasaan itu. Sementara Pak Dimas, beliau sampai tak bisa berkata apapun Iagi, lidahnya tetiba menjadi kelu. Merasa sangat menyesal dengan apa-apa saja yang menimpa Dinda. "Sudahlah bunda, Dinda tak apa. Mungkin memang sudah nasib Dinda begini adanya. Kalian harus tetap hidup bahagia dengan atau tanpa Dinda ya. Dinda sangat mencintai kalian. Ucapkan salam pada Kak Dita dan Dio ya bun. Dinda belum sempat berpamitan pada mereka tadi. Bunda dan Ayah jangan sedih, anggap ini sebagai bakti Dinda yang terakhir pada kalian. Entah kapan Dinda bisa bertemu kalian lagi. Tapi semoga Tuhan segera mempertemukan kita lagi ya? Dinda pamit ya? Ayah harus jaga Bunda, Kak Dita dan Dio." Dinda memeluk erat Bu Nana, kemudian Pak Dimas secara bergantian. Sebenarnya ia enggan untuk melepaskan dan ingin berlama-lama. Namun tiba-tiba saja salah seorang asisten Revandra Bagaskara datang dan menarik Dinda untuk pergi. "Jaga diri kalian baik-baik. Dinda sayang kalian." Teriakan dan tangisan Dinda yang begitu menggema membuat Bu Nana tak kuasa untuk menahan air matanya. Beliau bersimpuh karena lemas. Menangisi kepergian Dinda yang akhirnya dibawa pergi oleh suaminya. "Dinda, maafkan bunda sayang." "Hiks.."Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?""Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri.""Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaa
"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?""Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri.""Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaa
"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
"Ssshh.." Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya.Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi."Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal."Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu..""Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya."Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan.Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya."Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku?