Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan.
Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana." Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?" "Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri." "Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaan, lebih baik buatkan aku minuman. Aku haus." "Nyonya..." "Ah sudahlah. Lebih baik kau pergi saja. Aku lelah, ingin tidur siang." "Tapi ini bahkan masih terlalu awal untuk tidur siang, nyonya." Dinda akhirnya menyingkap selimut tebalnya, gadis itu benar-benar di buat jengkel oleh sikap pelayannya yang suka mengatur itu. "Bisa tidak kau jangan cerewet! Telingaku panas terus mendengar ocehanmu itu. Baru dua hari Tiur. Tapi kau... Ah sudahlah." "Nyonya memerlukan sesuatu?" Dinda menarik nafasnya panjang, mencoba untuk menenangkan hatinya yang sejatinya tengah carut marut di dalam sana. Tadi Tuan Evan, sekarang Tiur. Benar-benar menjengkelkan! "Kemari dan duduk di dekatku." titah Dinda pada Tiur. Pelayan itu dengan patuh mendekat ke arahnya. Dan dengan cepat Dinda menarik tangan Tiur hingga ia terjerembab di atas pangkuannya. "Jika kau ingin jadi pelayan yang baik, dengarkan aku bicara sekarang. Berhenti memanggilku nyonya. Apalah itu nyonya nyonya. Risih sekali rasanya telingaku. Namaku Dinda bukan nyonya." "Tapi nyonya? Saya.." "Astaga, apa kau tak lulus sekolah Tiur? Sehingga tak paham dengan bahasa yang aku ucapkan tadi? Please. Jika memang kau takut akan di hukum oleh Kak Jia, cukup ketika kita berdua kau tak memanggilku nyonya. Aku Dinda Tiur, DINDA!" Dinda sampai memejamkan matanya demi mengatur nada bicaranya pada Tiur. Pertama kali berkerjasama, tentu Dinda tak ingin sedikitpun menyinggung perasaan pelayan itu ketika bekerja untuk melayaninya. "Ya, tolonglah aku ini Tiur. Atau..." "Atau apa, nyonya?" "Atau aku akan meminta Kak Jia menarik mu kembali. Aku bisa mencari pelayan lain yang bisa sedikit mentoleransi permintaanku jika kau mau." Dug! Tak di sangka-sangka, Tiur dengan cepat berlutut di hadapan Dinda. Membuat Dinda dalam hati tertawa karena pada akhirnya tahu kelemahan pelayannya itu. "Ampun nyonya. Tolong jangan kembalikan aku ke tempat Nyonya Jia." "Jadi mau takut? Lalu apa susahnya menuruti permintaan sederhanaku tadi? Ha?" "Kalau begitu Tiur akan patuh pada perintah nyo..." "Huh! Kau masih ingin memanggilku nyonya?" "Maksud saya, Dinda..." "Ulangi!" "Baiklah Dinda, saya..." "Hadeh! Tak pantas di dengar rasanya." keluh Dinda dengan menggaruk telinganya. "Baiklah Dinda, aku akan menuruti perintah mu mulai sekarang." seru Tiur dengan lantang. Prok! Prok! Prok! Dinda sampai bertepuk tangan mengapresiasi keberanian Tiur kali ini. "Nah gitu kan enak di dengar. Lagi pula aku tak tertarik menjadi nyonya di sini seperti mereka bertiga. Aku ini gadis yang suka kebebasan. Ha ha ha!" "Tapi..." "Sssttt, lebih baik kau ceritakan saja padaku. Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari tempat ini?" bisik Dinda. "Sudah pernah aku beritahu bukan, tak akan ada yang bisa keluar dari sini kecuali jika kita mati." "Ah benar. Aku tiba-tiba lupa jika kau pernah menceritakan hal itu. Tapi apa benar tak ada yang pernah keluar dari sini?" "Sebenarnya jika nyonya eh maksudku dirimu keluar bersama tuan tentu itu tak kan terjadi apa-apa?" "Sama Tuan Evan itu?" "Benar. Seingat ku dulu Nyonya Jia pernah keluar dari sini ketika tuan mengajaknya pergi ke sebuah acara. Tapi itu sudah berlangsung sangat lama sekali." "Sekarang beri tahu aku? Sudah berapa lama Tuan Evan dan Kak Jia menikah?" "Sekitar delapan tahunan sih setahuku." Dinda tersenyum puas, saat Tiur lambat laun mulai bersikap santai padanya. Tak melulu bersikap formal seperti sebelum ini. "Bagus! Aku suka Tiur yang begini adanya. Anggap aku sebagai temanmu, ya?" Dinda menepuk pundak Tiur kemudian beranjak pergi. "Mau kemana?" tanya Tiur. "Jalan-jalan." Dinda melenggang tanpa merasa berdosa, pergi meninggalkan Tiur dengan bersenandung kecil keluar dari paviliunnya itu. Padahal tadinya Dinda bersikeras ingin bersembunyi dan pura-pura ingin tidur siang. "Tunggu, kau tak bisa pergi sendirian, setidaknya kau harus membawa salah satu pelayan bersamamu." "Kau bersamaku sekarang kan?" "Ah, baiklah." Dinda dan Tiur berjalan berdampingan setelahnya. Mengelilingi area tempat tinggal yang lebih tepat dikatakan seperti penjara itu. **** Grep! Dinda menarik lengan Tiur ketika tak sengaja melihat sesuatu yang mengejutkan di dekat paviliun yang seharusnya milik Tuan Evan. Tertegun saat melihat Jia menangis keluar dari paviliun itu. "Kenapa dia? Apa Tuan Evan menyakitinya?" Sekarang mereka berdua tengah bersembunyi mengamati keadaan dari balik pohon besar. "Ssssttt... Jangan sampai Nyonya Jia melihat kita. Kita bisa di hukum atas tuduhan memata-matai." Dinda menatap Tiur, seolah tak percaya jika semua hal yang bisa di lakukan dapat menimbulkan suatu hukuman. "Kenapa harus di hukum? Aku hanya penasaran. Mengapa dia menangis sesenggukan ketika keluar dari sana." "Mungkin karena Tuan Evan menolaknya lagi." jawab Tiur dengan ragu. "Apa pria tua itu memang suka menyakiti? Tidak! Maksudku apakah tuanmu itu normal Tiur?" "Maksudmu?" "Kau lihat saja Kak Jia, dia wanita yang sangat cantik dan begitu dewasa. Apakah normal seorang suami bahkan tak ingin berdekatan dengan istri secantik itu? Jangan-jangan dia tak normal." "Hush! Ngawur kamu. Tuan Evan memang terkesan dingin pada semua istrinya. Beliau sepertinya punya alasan mengapa sampai tak pernah memanggil salah satu istrinya ke kamar pribadinya untuk sekedar menemani tidur. Nyonya Jia selalu berusaha menarik perhatian tuan untuk mendapatkan kasih sayangnya. Namun seperti yang kau lihat, semua itu sia-sia." "Apa selama ini pria itu tak pernah menyentuh seorang wanita? Tak ada yang berada dekat dengannya?" "Gosip yang beredar memang seperti itu, entah mengapa aku juga tak tahu pastinya. Tapi dari gelagat para istri, sepertinya tuan memiliki seorang wanita di hatinya." "Pria itu lebih tepat di sebut Beruang kutub! Dingin sekali. Jika memang tak berniat menikah, untuk apa sampai punya empat istri. Ceraikan saja semua termasuk aku! Huh!" gerutu Dinda, kesal. "Jangan bicara sembarangan seperti itu. Atau akan ada yang mendengar mu." "Baiklah, baik. Ayo kita pergi." ajak Dinda dengan menarik Tiur pergi dari tempat itu. **** "Argh!" Prak! Prak! Prak! Semua alat riasan di atas meja rias jatuh dan pecah berserakan karena amarah Jia. Sepertinya wanita itu benar-benar di buat marah atas sikap Tuan Evan yang semena-mena padanya. "Mengapa! Mengapa kau tak pernah mau melihatku Evan! Aku ini istrimu bukannya boneka mu. Aku istrimu yang juga butuh perhatianmu! Kau kira aku menyukai semua ini hah! Untuk apa aku bergelimangan harta di sini jika kasih sayangmu tak bisa aku dapatkan. Kenapa!" Jia menjerit, kemudian menangis meratapi nasibnya yang menyedihkan. Wanita itu merasa hanya di nikahi demi sebuah status saja. Jangankan berada di dekatnya, selain wajah dan telapak tangannya, bahkan Jia belum pernah melihat bagian tubuh Tuan Evan yang lain. **** Hari berlalu begitu cepat hari ini, ketika Dinda terbangun di tengah malam karena hasrat alaminya. "Duh pengin pipis." Dengan malas ia beranjak dari hangatnya kasur dan selimut tebalnya. Berjalan dengan mata sedikit terpejam, mau tak mau ia harus menggerakkan kakinya pergi ke kamar mandi untuk menuntaskan apa yang perlu ia keluarkan. "Ah, leganya..." Sembari menguap, Dinda bermaksud ingin membenarkan posisi tirai jendelanya yang sedikit terbuka. "Eh, apa itu?" Tiba-tiba matanya menangkap sebuah pemandangan yang cukup membuatnya penasaran. "Kenapa di sana lampunya masih menyala? Bukankah itu adalah perpustakaan? Siapa orang iseng yang berada di sana sampai tengah malam begini? Apa matanya tak perih karena membaca?" Dinda duduk di tepian ranjang, berusaha untuk mengabaikan apa yang baru saja ia lihat. "Ngomong-ngomong apa kabar mangga yang aku petik tadi pagi ya? Aku bahkan belum sempat mencicipinya karena panik." Karena tergoda dengan bayangan mangga-mangga ranum itu, diam-diam Dinda keluar dari paviliunnya menuju ke tempat pohon mangga itu berada. Namun saat ia sampai... "Bedebah! Dia benar-benar orang gila!" Dinda begitu terkejut saat ternyata pohon itu telah tak berada di tempatnya. Tuan Evan sepertinya memerintahkan orang untuk menebang pohon itu. "Dia memang pantas hidup di Kutub Utara jadi beruang kutub! Sialan!" Mata Dinda berhenti pada cahaya lampu dari tempat yang sempat ia lihat dari balik jendela kamarnya. Sebuah perpustakaan yang masih harus melayani seseorang ketika hari sudah beranjak larut malam. Karena penasaran, Dinda sampai harus berjalan mengendap-endap ketika berjalan kearah perpustakaan itu. Ia begitu penasaran tentang siapa gerangan yang masih terjaga hingga larut malam di dalamnya. Memutar kenop pintu dengan hati-hati, Dinda tampak mengamati keadaan sebelum akhirnya ia masuk. "Eh„ tak ada siapapun disini. Kenapa lampunya di biarkan menyala?" Karena tak menjumpai siapapun di sana, Dinda memutuskan tinggal sebentar untuk melihat-lihat. Sampai ketika kedua matanya menangkap sebuah momen menggelikan di dalam sana. "Widih... Buku apa ini?" Dinda menyambar lalu membawanya ke dekat sumber cahaya. Terkekeh ketika sadar jika itu adalah majalah untuk pria dewasa. "Siapa pria mesum yang membacanya? Ha ha ha. Tanggung amat bang. Dinda punya loh link pemersatu bangsa. Bisalah kita nonton bareng nanti. Ha ha ha." Dinda nampaknya larut pada isi majalah dewasa itu. Tergelak saat melihat gambar-gambar wanita seksi di sana. Di rasa ia seperti menyaksikan tubuhnya sendiri ketika itu. Brak! Dinda menoleh saat terdengar suara benda terbentur. Begitu terkejut karena khawatir ada hantu yang mengawasinya. "Hantu?" Bulu kuduk Dinda seketika merinding di buatnya. Membuat jiwa penakutnya perlahan beringsut mudur ke salah satu sudut ruangan. "Halo, siapa itu? Kau hantu atau bukan ya? Jika memang kau hantu, tolong maafkan aku karena mengganggumu. Aku hanya numpang berteduh saja." Dinda benar-benar ketakutan, suara benda yang di garuk-garuk begitu membuat nyalinya menciut. "Apa kau menikmati juga gambar-gambar itu?" Dinda tersentak, ketika dari kegelapan muncul seseorang tinggi besar yang memaksa Dinda memejamkan mata. "Kenapa? Takut? Bukankah kau ingin menunjukkan link pemersatu bangsa padaku karena melihat majalah dewasa itu?" Suara yang tak asing! Jreng! Ketika Dinda memutuskan untuk membuka matanya, tiba-tiba saja sosok Tuan Evan yang berdiri tepat di hadapannya. Bahkan kini wajahnya dan Tuan Evan begitu dekat karena pria itu yang menunduk ketika Dinda memejamkan mata. Deg! Tuan Evan sampai terpaku saat melihat wajah Dinda. Ketika Netra mereka bertemu di titik yang sama untuk pertama kalinya. Dan bisa di katakan, ini adalah pertama kalinya Tuan Evan punya jarak sedekat itu dengan seorang lawan jenis setelah sekian lama. Deg! Deg! Deg! Suara debaran jantung yang begitu cepat Dinda dengar. Apa itu debaran jantung milik Tuan Evan? "Tuan, sedang apa di tempat seperti ini?" Dinda memberanikan diri untuk bertanya. "Harusnya aku yang bertanya padamu seperti itu. Kenapa tengah malam seorang gadis sepertimu berkeliaran? Ha?" "A-apa?""Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Apa ayah sudah tak waras hendak menjual putrinya sendiri?" teriak Dinda dengan penuh amarah. Hatinya begitu sakit, saat mendengar keputusan ayahnya untuk menyerahkan Dinda pada seorang pria untuk dinikahi. Dinda merasa ia masih terlalu muda untuk membina bidak rumah tangga. Selain karena usianya yang masih sangat muda, juga sosok pria yang akan menikahinya sama sekali Dinda tak kenal. "Maafkan ayah nak, ayah terlanjur menjadikanmu sebagai jaminan atas semua hutang-hutang ayah. Dan kau tau sendiri jika perusahaan ayah sudah hampir bangkrut sekarang. Jadi mau tak mau kau harus menikah dengannya. " ucap Pak Dimas dengan suara bergetar. "Tapi yah, ayah tau sendiri kalau Dinda masih muda. Masih banyak hal yang belum Dinda lakukan di dunia ini. Dan sekarang ayah memintaku untuk menikah?" "Dinda sayang, tolonglah ayahmu ini nak. Tak ada yang salah kau menikah dengannya. Dia mapan dan sudah berpengalaman. Sudah tentu dia sanggup memberimu segalanya. " Bu Nana yang sedari tadi
"Ssshh.." Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya.Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi."Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal."Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu..""Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya."Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan.Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya."Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku?
Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?""Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri.""Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaa
"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
"Ssshh.." Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya.Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi."Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal."Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu..""Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya."Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan.Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya."Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku?