Share

BAB 05

Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan.

Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati.

"Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti.

***

"Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."

Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya.

"Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?"

"Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri."

"Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran.

"Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaan, lebih baik buatkan aku minuman. Aku haus."

"Nyonya..."

"Ah sudahlah. Lebih baik kau pergi saja. Aku lelah, ingin tidur siang."

"Tapi ini bahkan masih terlalu awal untuk tidur siang, nyonya."

Dinda akhirnya menyingkap selimut tebalnya, gadis itu benar-benar di buat jengkel oleh sikap pelayannya yang suka mengatur itu.

"Bisa tidak kau jangan cerewet! Telingaku panas terus mendengar ocehanmu itu. Baru dua hari Tiur. Tapi kau... Ah sudahlah."

"Nyonya memerlukan sesuatu?"

Dinda menarik nafasnya panjang, mencoba untuk menenangkan hatinya yang sejatinya tengah carut marut di dalam sana. Tadi Tuan Evan, sekarang Tiur. Benar-benar menjengkelkan!

"Kemari dan duduk di dekatku." titah Dinda pada Tiur.

Pelayan itu dengan patuh mendekat ke arahnya. Dan dengan cepat Dinda menarik tangan Tiur hingga ia terjerembab di atas pangkuannya.

"Jika kau ingin jadi pelayan yang baik, dengarkan aku bicara sekarang. Berhenti memanggilku nyonya. Apalah itu nyonya nyonya. Risih sekali rasanya telingaku. Namaku Dinda bukan nyonya."

"Tapi nyonya? Saya.."

"Astaga, apa kau tak lulus sekolah Tiur? Sehingga tak paham dengan bahasa yang aku ucapkan tadi? Please. Jika memang kau takut akan di hukum oleh Kak Jia, cukup ketika kita berdua kau tak memanggilku nyonya. Aku Dinda Tiur, DINDA!"

Dinda sampai memejamkan matanya demi mengatur nada bicaranya pada Tiur. Pertama kali berkerjasama, tentu Dinda tak ingin sedikitpun menyinggung perasaan pelayan itu ketika bekerja untuk melayaninya.

"Ya, tolonglah aku ini Tiur. Atau..."

"Atau apa, nyonya?"

"Atau aku akan meminta Kak Jia menarik mu kembali. Aku bisa mencari pelayan lain yang bisa sedikit mentoleransi permintaanku jika kau mau."

Dug! Tak di sangka-sangka, Tiur dengan cepat berlutut di hadapan Dinda. Membuat Dinda dalam hati tertawa karena pada akhirnya tahu kelemahan pelayannya itu.

"Ampun nyonya. Tolong jangan kembalikan aku ke tempat Nyonya Jia."

"Jadi mau takut? Lalu apa susahnya menuruti permintaan sederhanaku tadi? Ha?"

"Kalau begitu Tiur akan patuh pada perintah nyo..."

"Huh! Kau masih ingin memanggilku nyonya?"

"Maksud saya, Dinda..."

"Ulangi!"

"Baiklah Dinda, saya..."

"Hadeh! Tak pantas di dengar rasanya." keluh Dinda dengan menggaruk telinganya.

"Baiklah Dinda, aku akan menuruti perintah mu mulai sekarang." seru Tiur dengan lantang.

Prok! Prok! Prok!

Dinda sampai bertepuk tangan mengapresiasi keberanian Tiur kali ini.

"Nah gitu kan enak di dengar. Lagi pula aku tak tertarik menjadi nyonya di sini seperti

mereka bertiga. Aku ini gadis yang suka kebebasan. Ha ha ha!"

"Tapi..."

"Sssttt, lebih baik kau ceritakan saja padaku. Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari tempat ini?" bisik Dinda.

"Sudah pernah aku beritahu bukan, tak akan ada yang bisa keluar dari sini kecuali jika kita mati."

"Ah benar. Aku tiba-tiba lupa jika kau pernah menceritakan hal itu. Tapi apa benar tak ada yang pernah keluar dari sini?"

"Sebenarnya jika nyonya eh maksudku dirimu keluar bersama tuan tentu itu tak kan terjadi apa-apa?"

"Sama Tuan Evan itu?"

"Benar. Seingat ku dulu Nyonya Jia pernah keluar dari sini ketika tuan mengajaknya pergi ke sebuah acara. Tapi itu sudah berlangsung sangat lama sekali."

"Sekarang beri tahu aku? Sudah berapa lama Tuan Evan dan Kak Jia menikah?"

"Sekitar delapan tahunan sih setahuku."

Dinda tersenyum puas, saat Tiur lambat laun mulai bersikap santai padanya. Tak melulu bersikap formal seperti sebelum ini.

"Bagus! Aku suka Tiur yang begini adanya. Anggap aku sebagai temanmu, ya?" Dinda menepuk pundak Tiur kemudian beranjak pergi.

"Mau kemana?" tanya Tiur.

"Jalan-jalan."

Dinda melenggang tanpa merasa berdosa, pergi meninggalkan Tiur dengan bersenandung kecil keluar dari paviliunnya itu. Padahal tadinya Dinda bersikeras ingin bersembunyi dan pura-pura ingin tidur siang.

"Tunggu, kau tak bisa pergi sendirian, setidaknya kau harus membawa salah satu pelayan bersamamu."

"Kau bersamaku sekarang kan?"

"Ah, baiklah."

Dinda dan Tiur berjalan berdampingan setelahnya. Mengelilingi area tempat tinggal yang lebih tepat dikatakan seperti penjara itu.

****

Grep!

Dinda menarik lengan Tiur ketika tak sengaja melihat sesuatu yang mengejutkan di dekat paviliun yang seharusnya milik Tuan Evan.

Tertegun saat melihat Jia menangis keluar dari paviliun itu.

"Kenapa dia? Apa Tuan Evan menyakitinya?"

Sekarang mereka berdua tengah bersembunyi mengamati keadaan dari balik pohon besar.

"Ssssttt... Jangan sampai Nyonya Jia melihat kita. Kita bisa di hukum atas tuduhan memata-matai."

Dinda menatap Tiur, seolah tak percaya jika semua hal yang bisa di lakukan dapat menimbulkan suatu hukuman.

"Kenapa harus di hukum? Aku hanya penasaran. Mengapa dia menangis sesenggukan ketika keluar dari sana."

"Mungkin karena Tuan Evan menolaknya lagi." jawab Tiur dengan ragu.

"Apa pria tua itu memang suka menyakiti? Tidak! Maksudku apakah tuanmu itu normal Tiur?"

"Maksudmu?"

"Kau lihat saja Kak Jia, dia wanita yang sangat cantik dan begitu dewasa. Apakah normal seorang suami bahkan tak ingin berdekatan dengan istri secantik itu? Jangan-jangan dia tak normal."

"Hush! Ngawur kamu. Tuan Evan memang terkesan dingin pada semua istrinya. Beliau sepertinya punya alasan mengapa sampai tak pernah memanggil salah satu istrinya ke kamar pribadinya untuk sekedar menemani tidur. Nyonya Jia selalu berusaha menarik perhatian

tuan untuk mendapatkan kasih sayangnya. Namun seperti yang kau lihat, semua itu sia-sia."

"Apa selama ini pria itu tak pernah menyentuh seorang wanita? Tak ada yang berada dekat dengannya?"

"Gosip yang beredar memang seperti itu, entah mengapa aku juga tak tahu pastinya. Tapi dari gelagat para istri, sepertinya tuan memiliki seorang wanita di hatinya."

"Pria itu lebih tepat di sebut Beruang kutub! Dingin sekali. Jika memang tak berniat menikah, untuk apa sampai punya empat istri. Ceraikan saja semua termasuk aku! Huh!" gerutu Dinda, kesal.

"Jangan bicara sembarangan seperti itu. Atau akan ada yang mendengar mu."

"Baiklah, baik. Ayo kita pergi." ajak Dinda dengan menarik Tiur pergi dari tempat itu.

****

"Argh!"

Prak! Prak! Prak!

Semua alat riasan di atas meja rias jatuh dan pecah berserakan karena amarah Jia. Sepertinya wanita itu benar-benar di buat marah atas sikap Tuan Evan yang semena-mena padanya.

"Mengapa! Mengapa kau tak pernah mau melihatku Evan! Aku ini istrimu bukannya boneka mu. Aku istrimu yang juga butuh perhatianmu! Kau kira aku menyukai semua ini hah! Untuk apa aku bergelimangan harta di sini jika kasih sayangmu tak bisa aku dapatkan. Kenapa!"

Jia menjerit, kemudian menangis meratapi nasibnya yang menyedihkan.

Wanita itu merasa hanya di nikahi demi sebuah status saja.

Jangankan berada di dekatnya, selain wajah dan telapak tangannya, bahkan Jia belum pernah melihat bagian tubuh Tuan Evan yang lain.

****

Hari berlalu begitu cepat hari ini, ketika Dinda terbangun di tengah malam karena hasrat alaminya.

"Duh pengin pipis."

Dengan malas ia beranjak dari hangatnya kasur dan selimut tebalnya. Berjalan dengan mata sedikit terpejam, mau tak mau ia harus menggerakkan kakinya pergi ke kamar mandi untuk menuntaskan apa yang perlu ia keluarkan.

"Ah, leganya..."

Sembari menguap, Dinda bermaksud ingin membenarkan posisi tirai jendelanya yang sedikit terbuka.

"Eh, apa itu?"

Tiba-tiba matanya menangkap sebuah pemandangan yang cukup membuatnya penasaran.

"Kenapa di sana lampunya masih menyala? Bukankah itu adalah perpustakaan? Siapa orang iseng yang berada di sana sampai tengah malam begini? Apa matanya tak perih karena membaca?"

Dinda duduk di tepian ranjang, berusaha untuk mengabaikan apa yang baru saja ia lihat.

"Ngomong-ngomong apa kabar mangga yang

aku petik tadi pagi ya? Aku bahkan belum sempat mencicipinya karena panik."

Karena tergoda dengan bayangan mangga-mangga ranum itu, diam-diam Dinda keluar dari paviliunnya menuju ke tempat pohon mangga itu berada.

Namun saat ia sampai...

"Bedebah! Dia benar-benar orang gila!"

Dinda begitu terkejut saat ternyata pohon itu telah tak berada di tempatnya. Tuan Evan sepertinya memerintahkan orang untuk menebang pohon itu.

"Dia memang pantas hidup di Kutub Utara jadi beruang kutub! Sialan!"

Mata Dinda berhenti pada cahaya lampu dari tempat yang sempat ia lihat dari balik jendela kamarnya.

Sebuah perpustakaan yang masih harus melayani seseorang ketika hari sudah beranjak larut malam.

Karena penasaran, Dinda sampai harus berjalan mengendap-endap ketika berjalan kearah perpustakaan itu.

Ia begitu penasaran tentang siapa gerangan yang masih terjaga hingga larut malam di dalamnya.

Memutar kenop pintu dengan hati-hati, Dinda tampak mengamati keadaan sebelum akhirnya ia masuk.

"Eh„ tak ada siapapun disini. Kenapa lampunya di biarkan menyala?"

Karena tak menjumpai siapapun di sana, Dinda memutuskan tinggal sebentar untuk melihat-lihat.

Sampai ketika kedua matanya menangkap sebuah momen menggelikan di dalam sana.

"Widih... Buku apa ini?"

Dinda menyambar lalu membawanya ke dekat sumber cahaya.

Terkekeh ketika sadar jika itu adalah majalah untuk pria dewasa.

"Siapa pria mesum yang membacanya? Ha ha ha. Tanggung amat bang. Dinda punya loh link pemersatu bangsa. Bisalah kita nonton bareng nanti. Ha ha ha."

Dinda nampaknya larut pada isi majalah dewasa itu. Tergelak saat melihat gambar-gambar wanita seksi di sana. Di rasa ia seperti menyaksikan tubuhnya sendiri ketika itu.

Brak!

Dinda menoleh saat terdengar suara benda terbentur. Begitu terkejut karena khawatir ada hantu yang mengawasinya.

"Hantu?" Bulu kuduk Dinda seketika merinding di buatnya. Membuat jiwa penakutnya perlahan beringsut mudur ke salah satu sudut ruangan.

"Halo, siapa itu? Kau hantu atau bukan ya? Jika memang kau hantu, tolong maafkan aku karena mengganggumu. Aku hanya numpang berteduh saja."

Dinda benar-benar ketakutan, suara benda yang di garuk-garuk begitu membuat nyalinya menciut.

"Apa kau menikmati juga gambar-gambar itu?"

Dinda tersentak, ketika dari kegelapan muncul seseorang tinggi besar yang memaksa Dinda memejamkan mata.

"Kenapa? Takut? Bukankah kau ingin menunjukkan link pemersatu bangsa padaku karena melihat majalah dewasa itu?"

Suara yang tak asing!

Jreng!

Ketika Dinda memutuskan untuk membuka matanya, tiba-tiba saja sosok Tuan Evan yang berdiri tepat di hadapannya.

Bahkan kini wajahnya dan Tuan Evan begitu dekat karena pria itu yang menunduk ketika Dinda memejamkan mata.

Deg!

Tuan Evan sampai terpaku saat melihat

wajah Dinda. Ketika Netra mereka bertemu di titik yang sama untuk pertama kalinya.

Dan bisa di katakan, ini adalah pertama kalinya Tuan Evan punya jarak sedekat itu dengan seorang lawan jenis setelah sekian lama.

Deg! Deg! Deg!

Suara debaran jantung yang begitu cepat Dinda dengar. Apa itu debaran jantung milik Tuan Evan?

"Tuan, sedang apa di tempat seperti ini?" Dinda memberanikan diri untuk bertanya.

"Harusnya aku yang bertanya padamu seperti itu. Kenapa tengah malam seorang gadis sepertimu berkeliaran? Ha?"

"A-apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status