Share

BAB 04

"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?"

"Em, apa nyonya tak nyaman?"

"Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus."

"Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan.

"Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan."

"Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya."

Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu.

Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu

kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun.

Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untuk pergi ke ruang makan yang letaknya ada di gedung utama.

Menggunakan dress motif bunga, Dinda terlihat begitu manis meski hanya berlapiskan riasan sederhana. Inner beauty yang ia pancarkan menunjukkan aura cerah ketika ia tersenyum.

Wussshh!

Sepertinya malam itu cuaca sedikit berangin. Angin yang terasa begitu dingin karena letak kediaman yang tak berada di perkotaan.

Untunglah Tiur membalut tubuh Dinda dengan mantel yang tak begitu tebal, sehingga sedikit membantu Dinda agar tak terlalu terkena angin malam yang dingin itu.

Deg!

Bersamaan dengan langkahnya memasuki gedung utama, debaran jantungnya terasa lebih cepat terasa. Ada perasaan cemas, takut dan rendah diri pada diri gadis itu.

Apalagi ketika sorot mata ketiga wanita yang telah lebih dahulu sampai begitu membuat nyalinya menciut.

Tatapan yang begitu aneh!

"Lain kali datanglah lebih cepat. Kau lambat lima belas menit di banding kami."

Dinda hanya bisa tersenyum kecut ketika Jika menegurnya.

"Cepat kau duduklah di samping Anita." titah Jia, sembari menunjuk kursi kosong di samping wanita bernama Anita.

"Baik, Kak."

Dengan setengah hati akhirnya Dinda menjadi gadis yang begitu penurut kali ini. Begitu parung menuruti arahan dari istri tertua suaminya. Hah apa?

Berbeda dengan Jia dan Nadia yang sangat sinis padanya, Anita terlihat lebih bersahabat dengan Dinda.

Wanita itu bahkan tak sungkan tersenyum dan menyapa saat Dinda telah menduduki bangku kosong di sebelahnya.

"Kita duduk berdasarkan status. Istri pertama dan kedua duduk di samping Tuan Evan. Sementara istri ketiga dan keempat tinggal mengikuti saja." ucap Jia dengan terkesan angkuh.

Lagi-lagi Dinda hanya bisa mengangguk saja, mencoba untuk meluaskan rasa sabarnya ketika wanita itu seperti tengah menunjukkan posisinya yang lebih unggul di banding dirinya.

"Apa pelayanmu tak melayani mu dengan baik? Kau terlihat pucat."

"Ah tidak kak. Dinda yang meminta semua ini. Jujur Dinda tak terbiasa dengan wajah penuh riasan."

"Kalau begitu, sepertinya kau tak terlalu suka menarik perhatian ya? tanya Anita dengan nada berbisik.

"Mana pantas Dinda seperti itu. Hehe."

"Lalu apa kau tak ingin mendapatkan kasih sayang Tuan Evan? Lihatlah, kami bahkan sampai berlama-lama memilih pakaian yang akan kamu kenakan. Merias diri semenarik mungkin untuk mendapatkan perhatian Tuan. Tapi kau?" sela Nadia dengan sinis.

"Baguslah jika kau memang sadar kualifikasi mu seperti apa. Setidaknya aku hanya akan bersaing dengan dua orang saja." Jia menyela dengan angkuh.

klotak!

Klotak!

Klotak!

Percakapan mereka terhenti, saat seseorang yang tak asing akhirnya datang. Ketika wanita-wanita di sana bergegas berdiri untuk menyambut kedatangan suami mereka.

Suara derap langkah alas sepatu yang beradu dengan permukaan lantai yang mengkilat itu, dari sana Dinda bisa melihat pantulan seorang pria gagah dan tampan.

Membuat Dinda tertegun karena sosok itu sama sekali tak sama dengan deskripsi Vena kemarin.

Dimana pria jelek dengan perut buncit itu? Mengapa yang muncul justru sosok pria yang memiliki pesona memabukkan.

"Selamat malam Tuan." sapa ketiga Istri yang lain ketika menyambut Tuan Evan datang.

Sementara Dinda hanya bisa menunduk saat

Tuan Evan melirik ke arahnya ketika Dinda tak memberikan sambutan seperti istri-istrinya yang lain.

"Duduklah." titah Tuan Evan dengan tegas.

Seketika semuanya duduk dengan patuh, menunggu dengan tenang ketika pelayan mulai menghidangkan makan malam untuk mereka.

Canggung! Itu adalah hal yang Dinda rasakan saat itu. Ketika Dinda memilih untuk diam dan tak banyak melakukan apapun.

Gadis itu terlalu takut jika gerak-geriknya menjadi pusat perhatian.

Untung saja Tuan Evan sepertinya memberi pengecualian untuk kesalahan yang Dinda lakukan kali ini.

Suasana santap malam berlangsung singkat dan sepi. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring saja. Tak ada pembicaraan apapun, nampaknya acara makan bersama memang biasa berlangsung seperti itu selama ini.

Tuan Evan bergegas pergi ketika selesai dengan piringnya, meninggalkan para istri tanpa pamit dan berlalu begitu saja.

Sampai semua istri akhirnya juga menyudahi makan malam mereka, lalu memilih kembali ke paviliun mereka masing-masing. Tak terkecuali dengan Dinda.

.....

Langit malam itu terlihat cerah dengan bulan dan bintang yang indah.

Berbeda dengan daerah perkotaan yang jarang bisa menikmati indahnya langit malam, di kediaman itu Dinda bisa berlama-lama mengagumi keindahannya.

Bahkan belum satu hari penuh Dinda ada di kediaman itu, namun rasanya gadis itu sudah sangat bosan dan ingin pergi meninggalkan kediaman. Di tambah perlakuan para istri Tuan Evan yang sudah membuatnya berkali-kali harus menahan amarahnya.

"Sebaiknya nyonya lekaslah masuk dan tidur. hari sudah larut malam nyonya."

Dinda sedikit terkejut, ketika tiba-tiba saja Tiur sudah berdiri di dekatnya.

"Kebetulan kau datang. Kemarilah, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu."

Menuruti perintah, dengan patuh Tiur perlahan mendekat.

"Tiur, apakah ini malam pertamaku?" tanya Dinda dengan nada berbisik.

"Benar nyonya. Malam ini adalah malam pertama nyonya berada di kediaman ini."

"Ah, bukan itu maksudku. Kau tahu aku jadi pengantin hari ini kan? Maksudku, apa Tuan Evan akan datang ke kamarku? Kau mengerti kan?"

"Tuan tak akan datang kemari, saya bisa pastikan hal itu nyonya."

"Kau yakin? Dari mana kau tahu?"

"Tuan Evan jarang berkunjung ke tempat istri-istrinya nyonya. Bahkan tak pernah."

"Hah? Hahaha ternyata aku mengkhawatirkan hal yang tak perlu ya? Konyol."

Tiur hanya bisa diam mendengar gelak tawa Dinda. Mencoba untuk terbiasa dengan nyonya mudanya yang punya banyak ekspresi itu.

Dinda menarik Tiur dan memaksanya untuk duduk bersamanya.

"Kalau begitu, ayo minum teh bersamaku."

Dinda menuangkan teh untuk Tiur tanpa ragu, lalu memberikan cangkir berisi teh itu pada Tiur dengan sedikit memaksa.

"Cepat minumlah. Anggap sebagai tanda perkenalan denganku."

"Ini terlalu lancang nyonya. Sebagai pelayan bahkan saya tak pantas duduk di kursi."

"Lupakan semua aturan mu itu Tiur. Kau bisa sedikit bebas ketika bersamaku."

"Tapi nyonya..."

"Sekarang katakan padaku, kenapa kau terjebak disini? Apa orang tuamu menjadikanmu jaminan atas hutang mereka juga?" Dinda membuka percakapan lagi.

Tiur nampak terkejut dengan pertanyaan yang Dinda ajukan "Nyonya, itu..."

"Apakah tebakanku benar? Jadi kita sama-sama punya nasib yang malang ya?"

"Itu tak benar nyonya. Tiur hanya dari keluarga miskin yang datang untuk mendapatkan perkejaan. Siapa yang mengira dengan bekerja di kediaman ini bisa membantu meninggikan derajat orang tua di desa. Tiur datang dengan sukarela sendiri ke kediaman ini."

"Maaf nyonya. Hari benar-benar sudah larut malam. Cuaca sedang dingin di luar. Mohon nyonya cepat masuk kedalam."

Melihat Tiur bangkit dari kursinya, tentu membuat Dinda sedikit merasa kesal.

"Habiskan dulu teh mu Tiur. Aku memberimu dengan tulus."

Tiur membungkuk untuk memohon ampun, sepertinya pelayan itu masih berpegang teguh pada aturannya sendiri sekarang.

"Maaf Nyonya, saya harus undur diri sekarang. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Nyonya harus segera beristirahat didalam."

"Tapi aku belum mengantuk Tiur! Hei, kenapa kau pergi!" seru Dinda ketika pelayan itu benar-benar pergi dari hadapannya.

.......

Semburat matahari telah tampak di ufuk timur, ketika tirai jendela perlahan di buka dan menerangi seluruh ruangan.

"Engh...."

Membuat Dinda yang baru tertidur menjelang pagi akhirnya terusik pada segala aktivitas pelayan-pelayannya.

"Argh! Aku masih mengantuk, tutup kembali tirai itu cepat!"

"Nyonya sudah harus bangun untuk mulai beraktivitas. Jika sampai Nyonya Jia tahu anda bermalas-malasan mungkin beliau akan menghukum anda."

"Hentikan ocehan mu itu Tiur! Kepalaku rasanya ingin meledak mendengar segala aturan kediaman ini! Argh!"

Nampaknya baik Tiur maupun pelayan Dinda yang lain harus mulai terbiasa dengan sikap seenaknya nyonya muda mereka itu. Meluaskan hati mereka agar senantiasa bisa bersabar dengan segala tindak-tanduk Dinda yang tak suka di kekang.

"Nyonya tolong cepat bangun. Anda harus mandi sekarang."

Bukannya bangkit dan bergegas untuk mandi, Dinda justru menarik kembali selimutnya dan menutup dapat kedua matanya.

Sehingga membuat Tiur dan pelayannya yang Iain terpaksa menarik paksa Dinda agar turun dari kasurnya.

"Argh! Apa-apaan ini, lepaskan!"

Byuuurrrr.....

"Argh! Dingin sekali." Dinda memekik ketika tubuhnya telah terendam air mandi yang pelayannya siapkan.

Dinginnya air kediaman itu benar-benar sampai menembus tulangnya.

"Nyonya harus terbiasa dengan air kediaman yang dingin ini mulai sekarang."

Dinda mendelik, menatap Tiur dengan tajam "Tapi kemarin kau memberiku air hangat." protes Dinda kemudian.

Tiur tak bergeming, berusaha mengabaikan Dinda dengan fokus membantu nyonya nya itu untuk menggosok badannya.

Dinda menatap tak habis pikir, kenapa aturan

kediaman itu semua sangat menjengkelkan baginya? Sampai membuat Dinda tak yakin akan bisa selamanya untuk tetap tinggal.

.....

Setelah mandi dan berganti pakaian, demi menghangatkan tubuhnya kembali, Dinda memutuskan untuk berolahraga dengan berlari-lari kecil. Mencoba mendapatkan kasar oksigen yang lebih baik untuk paru-parunya dan juga meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.

Rambut panjang terikat, kaos dan celana legging membuat aura muda Dinda begitu kuat. Inner beauty yang terpancar membuat siapapun pasti menyukai Dinda dalam sekali menatapnya saja.

"Hei, Dinda!" sapa Anita ketika melihat Dinda melewati area paviliun nya.

"Hai Kakak."

Dinda menghampiri Anita yang saat itu tengah asyik menyirami tanaman.

"Wah, Kakak cantik sekali pagi ini. Mau kemana nih?"

"Kau ini bisa aja deh. Aku juga cantik kok. Tubuhmu ternyata bagus. Pasti karena rajin olahraga deh."

"Makasih, kak. Hehe jadi malu deh."

"Mau mampir untuk minum teh?" Anita menawarkan.

"Hm, boleh."

Dengan senang hati Dinda menyetujui tawaran Anita. Kapan lagi ia bisa memiliki teman bicara di kediaman itu selain Tiur bukan?

"Tehnya silahkan.”

"Makasih, kak."

Menyicip teh buatan Anita, ruat wajah Dinda seketika berubah girang.

"Enak sekali suasana paviliun cemara milik kakak ini. Bersama teh yang nikmat ini, hm sempurna sekali hidup kakak."

"Terimakasih atas pujiannya Dinda. Agar tak bosan, kita semua memang harus punya kesibukan masing-masing. Apa kau ada rencana setelah ini?"

Dinda menggeleng "Dinda tak punya keahlian apapun selain tidur kak. Hehe. Sepertinya Dinda harus belajar banyak dari Kak Anita, agar paviliun kenanga milikku tak gersang."

"Boleh sayang, dengan senang hati kakak akan mengajarimu yang kakak bisa nanti."

Dinda dan Anita bersama-sama menikmati secangkir teh itu. Bertukar pengalaman hidup masing-masing dan bercengkerama menghilangkan penat.

Setidaknya untuk sekarang ini, di kediaman itu masih ada yang mau berbagi kehidupan dengannya. Tak melulu bersama pelayannya saja.

......

Setelah puas berlama-lama di paviliun Anita, akhirnya Dinda memutuskan kembali ke paviliunnya sendiri. Sengaja berjalan memutar melewati halaman belakang kediaman untuk melihat-lihat sekitar.

"Tiur lihat! Itu mangga?"

Tiur mendongak, ke arah yang Dinda tunjuk.

"Nyonya menginginkan salah satu dari mereka?"

"Apa boleh?" tanya Dinda dengan antusias.

"Tentu saja. Nyonya bebas menikmati semua fasilitas di kediaman ini, termasuk... Ah nyonya! Tunggu!"

Tiur panik, ketika melihat Dinda berlarian menuju ke pohon yang sejatinya cukup tinggi itu.

"Nyonya tunggu.." nafas Tiur sampai terengah-engah mengejar Dinda.

"Lihat." mata Dinda begitu berbinar, ketika melihat mangga segar yang bergelantungan bebas di atas sana.

"Saya akan mencari orang untuk memetik mangga itu untuk anda. Nyonya mohon menunggu dengan tenang."

Tiur bergegas berlari untuk meminta bantuan. Meninggalkan Dinda dengan air liur yang hampir menetes memandangi buah favoritnya di dahan.

"Ah kelamaan."

Dasar Dinda yang nakal dan keras kepala. Tak ada sejarahnya Dinda akan bersabar menunggu.

Sekarang bahkan dia sudah bertengger duduk di atas dahan. Dia dengan mudah memanjat seperti lutung yang kelaparan. Memetik lalu menjatuhkan beberapa mangga untuk ia nikmati nanti.

"Sedang apa kau?"

"Tentu saja memetik mangga, kau pikir aku sedang menenteng buku dan sedang membaca?" Dinda menjawab tanpa menoleh siapa yang bertanya.

"Apa perlu aku carikan tangga? Aku rasa kakimu terlalu pendek untuk melompat turun."

"Tak perlu, pergi sana ambilkan aku wadah. Nanti aku akan membagi mu beberapa."

"Hemm aku tak perlu mangga-mangga itu. Kau telan saja sendiri."

"Benarkah..." pupil mata Dinda seketika membesar saat menoleh ke bawah. Sangat terkejut saat melihat Tuan Evan lah yang ternyata secara tadi berdiri di bawah sana.

"Tuan.." lirih Dinda, takut.

"Cepat turun, sebelum aku menebang pohon ini ketika kau ada di atas."

"Ha? B-baik."

Kakinya gemetar, ketika ia tahu bahwa suaminya sendiri yang berada di bawah sana menegurnya. Tuan Evan yang begitu misterius itu bahkan sekarang sedang mengancamnya dari bawah sana. Sehingga Dinda ketika turun tak berani untuk menghadap kebawah. Nyalinya tiba-tiba menghilang saat itu juga.

Seeettt!

Sial! Pijakan nya terlepas karena kehilangan fokus. Membuat Dinda yang panik seketika terjun bebas dari ketinggian.

"Aaaaaaaa...." membuat Dinda menjerit histeris karena panik.

Bugh!

Dinda merasa banyak sekali burung-burung berterbangan di atas kepalanya. Tubuhnya serasa remuk ketika menghantam tanah.

Namun, aneh!

"Kenapa tanahnya empuk?" gumam Dinda secara tak sadar.

"Apa berada di atas tubuhku benar-benar membuatmu nyaman, bocah?"

Dinda terkesiap, menarik diri dengan begitu panik ketika ternyata ia jatuh tepat menimpa Tuan Evan.

Sungguh memalukan!

"Maaf, Tuan."

Tuan Evan bangkit, lalu membersihkan pakaiannya dari tanah-tanah yang menempel.

Menatap Dinda dengan nyalang lalu menghadiahi jentikan jari di keningnya.

ctak!

"Aw!" Dinda memekik.

"Ini terakhir kali aku melihat tingkah konyol mu ini bocah! Jangan membuat keributan di kediaman ku yang tenang ini. Jika tidak..."

Dinda mendongak, menatap pria setinggi hampir 190 cm itu dengan susah payah. Dengan tinggi tak lebih dari 157cm, Dinda seperti kurcaci di hadapan Tuan Evan yang perkasa.

"Jika tidak apa?"

"Aku akan mematahkan kakimu itu!"

Deg! Dinda sampai terpaku mendengar ancaman sekejam itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status