"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?"
Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus." Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu kuduk Dinda berdiri tegak karena takut. "Sebaiknya kau kembali sekarang, sebelum hal yang tak pernah terlintas di kepalamu itu menimpamu." bisik pria itu sembari melirik belahan pakaiannya. Membuat Dinda dengan cepat menyilangkan kedua tangannya di dada. "Jangan menatapku seperti itu, Tuan." lirih Dinda, cemas. Sampai ketika kedua netra mereka bertemu di titik yang sama. Membuat Dinda begitu tak percaya jika pria di hadapannya itu ternyata bisa berpikiran kotor seperti itu padanya. Padahal jelas-jelas tadi siang Dinda mendapati Tuan Evan menolak Jia yang notabene lebih seksi dan menggoda dari pada dirinya. Benar-benar aneh! Dinda bangkit dari tempat duduknya sebelum waktu membuat mereka lupa diri. Tatapan tajam gadis itu benar-benar seperti belati tajam yang siap menghunus Tuan Evan kapan saja ia mau. Dan Tuan Evan, ia hanya bisa tersenyum masam melihat tingkah istri termudanya itu. Tanpa Dinda sadari jika pemandangan lain justru terpampang lebih jelas di hadapannya sekarang. Ketika pakaian tidur Dinda yang begitu pendek itu tersingkap dan malah menampakan sedikit banyak pahanya yang mulus. Deg! Dinda terpaksa mengikuti arah mata Tuan Evan, dan saat ia lagi-lagi tersadar, gadis itu hanya bisa menahan malu karenanya. Terlihat sangat bodoh! Menurutnya. Tuan Evan memalingkan pandangannya, berusaha keras agar tak terjatuh pada perangkap nakal istri keempatnya itu. "Nampaknya kau sama sekali tak berbeda dengan ketiga istriku ya? Lihatlah kau yang mencoba merayuku." "Stop! Jangan mendekat!" Dinda berteriak, ketika melihat Tuan Evan yang semakin mendekatinya. "Kau berani menghentikan ku? Bukankah kau sengaja melakukan semuanya demi perhatian ku?" "A-aku... Aku harus kembali ke tempatku. Maaf karena sudah mengganggu waktumu. Permisi" Dinda benar-benar telah habis akalnya. Sehingga menurutnya hal paling tepat adalah pergi dari tempat itu sekarang juga. Grep! Namun sepertinya itu hanya angan-angan Dinda saja, ketika ia berpikir jika langkahnya untuk pergi bisa berjalan lancar. Sekarang Tuan Evan justru menghentikan langkahnya dengan mencengkram lengannya. "Apa yang.... Ah!" Dinda begitu terkejut, ketika tiba-tiba Tuan Evan justru menariknya hingga ia jatuh ke pelukannya. Mendaratkan wajahnya tepat di dada Tuan Evan yang bidang itu. Sampai tak sengaja kedua matanya bisa melihat rambut halus yang tumbuh dari balik kancing piyama yang pria itu kenakan. Dinda bingung, ketika Tuan Evan memeluknya erat hingga ia kesulitan untuk menghirup oksigen. Sampai ia terpaksa mengangkat tangan kanannya, dan.... Pluk! Menempelkan telapak tangannya tepat di wajah Tuan Evan dan mendorong kepalanya dengan berani. Sepertinya Dinda memilih bersikap kurang ajar pada orang yang terlebih dahulu bersikap kurang ajar padanya itu. Membuat Tuan Evan hanya terdiam dengan apa yang ia harus terima. Dengan tatapan sinis Dinda mencoba membuat Tuan Evan tak berani macam-macam padanya. Mendorong tubuh Tuan Evan, lalu mengepalkan kedua tangannya dan memasang kuda-kuda. "Aku atlet karate." seru Dinda dengan lantang. Untunglah Tuan Evan tak terbawa emosi dengan tindakan kurang ajarnya itu. "Singkirkan tanganmu itu. Meski kau atlet tinju sekalipun, itu tak akan membantu." Dinda kesal, terpaksa bersikap biasa ketika kena tegur. "Kau iblis kecil! Sepertinya kau ini tak takut jika nanti aku menghukum mu ya?" Dinda tersenyum, menatap Tuan Evan tanpa segan kali ini. "Hukum? Ayo hukum aku. Istrimu ini sudah kelewat batas bukan? Bagaimana kalau Tuan ceraikan saja aku." "Cerai?" "Ya, aku bukan istri yang baik untukmu. Aku kurang ajar, tak beretika dan susah di atur. Alangkah lebih baik jika Tuan menceraikan, dan tendang aku keluar dari kediaman mu ini." Kini giliran Tuan Evan yang tersenyum, senyum smirk untuk mengimbangi Dinda. "Kalau begitu mati saja." "Mati?" "Ya dengan begitu aku akan mengirim mu keluar dari kediaman ini." "Hah? Lalu untuk apa kau mengoleksi istri banyak-banyak disini? Jika kau saja tak mencintai mereka." "Aku memang tak mencintai ketiga istriku itu." "Empat. Ingat? Kau punya empat istri sekarang." Dinda menunjukan jarinya yang membentuk bilangan empat. "Oh, apa kau mau di sebut sebagai istri Tuan Evan juga?" "Ah lupakan saja. Intinya kau mau menceraikan ku tidak?" "Aku ini suamimu bukannya temanmu. Panggil aku dengan sopan. Panggil Tuan!" "Aku ini istrimu bukannya pembantu mu. Mengapa aku harus memanggil Tuan pada suamiku?" Dinda tak menampakan raut wajah takut sama sekali. Sedangkan Tuan Evan hanya bisa mengerutkan dahinya. Dia sama sekali tak menyangka jika istri yang baru ia nikahi itu sangat berbeda dengan ketiga istrinya yang lain. "Pergilah kau, sebelum ku panggang kau hidup-hidup." "Cih, suami macam apa kau ini. Melihat majalah dewasa tapi tak mau menggauli Kak Jia yang terus menggodamu itu. Ibarat beruang kutub yang menolak memangsa ikan." "Apa beruang kutub hanya memangsa ikan? Dia bisa saja sudah kenyang memangsa pinguin." "Hah atau jangan-jangan kau termasuk pria yang belok?" Dinda menutup mulutnya dengan tangannya setelah mengutarakan isi pikirannya. "Sepertinya kau sangat tertarik dengan kehidupan seksual ku ya, istriku. Apa sekarang kau mengajukan pembuktian?" "Lihat, bahkan kau terangsang pada anak sekecil ku?" "Hahaha, aku sudah terangsang padamu sejak kau bayi, Dinda." Dinda termenung mencerna perkataan Tuan Evan yang baru saja di ucapkan. Butuh beberapa menit bagi otaknya yang kecil itu untuk menerjemahkan artian kata-kata yang keluar dari mulut pria dewasa di hadapannya itu. "Bayi? Hahaha... Apa kau melihat bahkan saat aku bayi?" Dinda seolah tak percaya dengan ucapan Tuan Evan yang terkesan mengada-ada. Mendengar cemoohan Dinda, tampak Tuan Evan membuka laci meja bacanya. Mengeluarkan selembar potret hitam putih lalu menunjukkannya pada Dinda. "Lihat, bukankah ini kau waktu bayi?" Gegas Dinda merebut foto lama itu dari tangan Tuan Evan dan menyelidikinya benar-benar. Dan benar membuat terkejut saat Dinda melihat foto lama itu. Tampak jelas tergambar di sana seorang pria tanggung tengah menggendong bayi kecil yang tak asing. "Ah ini Kakekku?" Dinda menunjuk seorang pria tua yang juga ada di dalam foto itu. "Apa sekarang kau percaya jika aku menyukaimu bahkan sejak kau bayi." "Ini sama sekali tak lucu! Apa kau punya hasrat pada seorang bayi waktu itu. Hahaha kau seorang pedofil jika begitu." Dinda tertawa terbahak-bahak karenanya, sehingga kelepasan dengan memukul-mukul dada Tuan Evan ketika tertawa. Tuan Evan yang kesabarannya hampir habis lalu menangkap tangan Dinda dan menggenggam erat tangannya "Kau bahkan cantik sedari bayi, Dinda." Deg! Deg! Deg! Kali ini mereka terdiam, terpaku menatap satu sama lain di kesunyian malam. Kedua mata Dinda mendelik lebar. Kali ini dia bahkan sampai bergidik ngeri. Ketika melihat ekspresi Tuan Evan yang tampak tak merasa berdosa sedikitpun. "Kau pedofil?" tanya Dinda. Bukannya marah, Tuan Evan justru tersenyum. "Bagaimana itu di sebut pedofil? Aku menikahi mu di saat usiamu sudah legal untuk di nikahi." Dinda melepaskan genggaman tangan Tuan Evan dengan paksa, kemudian berlari meninggalkannya sendiri. Kabur dari obrolan gila mereka di tengah malam. Sedang Tuan Evan hanya menggelengkan kepalanya saat melihat kepergian Dinda. Lalu kembali tersenyum sinis karena tak habis pikir dengan kelakuan istri kecilnya itu. "Bukankah dia sudah melewati batas Tuan?" Seseorang muncul dari balik kegelapan. Karena ternyata di tempat itu tak hanya ada mereka berdua sejak tadi. Dia adalah Rendra, orang kepercayaan Tuan Evan yang selama ini melayaninya. "Kau awasi terus gadis itu. Jangan sampai dia terluka sedikitpun." "Baik Tuan." ****** "Hah hah hah.. Gila! Benar-benar gila! Ternyata dia orang yang begitu menjijikan." Dinda mengusap peluhnya saat sampai di depan pintu kamarnya. Dia telah menjadi sangat berkeringat karena dengan sekuat tenaga berlari pergi agar terlepas dari Tuan Evan. "Dinda, kau dari mana saja? Aku mencari mu kemana-mana." Tiur muncul dari dalam kamarnya. "Haus, ambilkan aku air." Melihat Dinda yang begitu kepayahan, gegas Tiur menuangkan air ke dalam gelas lalu memberikannya pada Dinda. Dan dalam beberapa tegukan saja ia sudah menghabiskan air minumnya itu. "Apa kau sudah olahraga malam?" tanya Tiur, khawatir. Dinda menatap Tiur lekat-lekat "Ini semua salahmu." "Salahku?" Tiur tak mengerti. "Kenapa kau memakaikan ku pakaian setipis ini? Lihat! Ini sangat menerawang. Bahkan bra ku saja terlihat dengan jelas." gerutu Dinda kesal. Tiur tersenyum saat mendengar keluh kesah Dinda "Semua baju malammu disini memang seperti ini semua. Apa kau baru sadar?" "Kenapa aku harus memakai pakaian seperti ini?" "Tentu saja agar Tuan Evan melihatmu dan kau mendapatkan kasih sayangnya." jawab Tiur tanpa ragu. Glek! Dinda sampai kesulitan bahkan untuk menelan salivanya. ketika kembali teringat bagaimana kejadian yang sudah ia lewati bersama Tuan Evan baru saja. "Ngawur kamu. Kak Jia saja tak di lirik. Apa lagi badan triplek kaya aku ini." Tiur menggeleng, "Bahkan menurutku dari semua istrinya, kau ini yang paling cantik." "Hahahaha, jujur belum pernah ada yang bilang aku cantik selama ini." "Itu karena mereka tak memperhatikanmu. Kau cantik dengan caramu sendiri. Percayalah." Dinda hanya bisa tersenyum saat mendengar Tiur yang selalu memujinya itu. Sampai hari itu berakhir begitu saja. Dinda yang sudah sangat lelah memutuskan untuk beristirahat setelahnya. ***** Hari berlalu begitu cepat berganti, membuat Dinda yang harus bangun ketika baru beberapa jam tertidur sampai kehilangan selera makannya. Terpantau Dinda hanya menatap piring sarapannya pagi ini. Rasa lelahnya lebih melelahkan ketimbang rasa lapar yang melanda nya. Tanpa pemberitahuan, tiba-tiba saja Tuan Evan sudah duduk bergabung dengan ke empat istrinya di meja makan. Jia yang terkejut buru-buru memanggil pelayan untuk melayani suami mereka itu dengan baik. "Sangat jarang sekali Tuan sarapan dengan kami." ucap Jia dengan begitu girang. "Apa tak boleh aku semeja dengan istriku." ujar Tuan Evan sembari melirik Dinda yang tampak sesekali memejamkan kedua matanya itu. Gadis itu benar-benar mengantuk! "Bukan begitu, saya jadi tak bisa melayani Tuan dengan benar." lirih Jia terdengar begitu menyesal. "Sudahlah, habiskan saja sarapan mu itu. Abaikan saja aku." Tuan Evan meraih sendoknya, lalu sesekali kembali melirik Dinda yang kini tengah menatapnya. Sepertinya Dinda sama sekali tak peduli akan kehadirannya. Dia terlihat lebih merindukan kasur dan selimutnya sehingga tak terlalu memperhatikan Tuan Evan yang terus mencuri pandang padanya. Anita yang duduk di sebelah Dinda sepertinya menyadari gelagat Tuan Evan yang sebenarnya pada Dinda. Membuatnya tersenyum kecil saat Tuan Evan menangkap tatapan Anita yang kini menaruh curiga padanya. Bahkan seorang Tuan Evan bisa salah tingkah saat Anita memergokinya. Pria yang biasanya bersikap acuh dan tak peduli pada apapun, kini terlihat begitu terikat pada sosok istri baru yang terlihat tak begitu mengharapkannya. Benar-benar lucu!Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Apa ayah sudah tak waras hendak menjual putrinya sendiri?" teriak Dinda dengan penuh amarah. Hatinya begitu sakit, saat mendengar keputusan ayahnya untuk menyerahkan Dinda pada seorang pria untuk dinikahi. Dinda merasa ia masih terlalu muda untuk membina bidak rumah tangga. Selain karena usianya yang masih sangat muda, juga sosok pria yang akan menikahinya sama sekali Dinda tak kenal. "Maafkan ayah nak, ayah terlanjur menjadikanmu sebagai jaminan atas semua hutang-hutang ayah. Dan kau tau sendiri jika perusahaan ayah sudah hampir bangkrut sekarang. Jadi mau tak mau kau harus menikah dengannya. " ucap Pak Dimas dengan suara bergetar. "Tapi yah, ayah tau sendiri kalau Dinda masih muda. Masih banyak hal yang belum Dinda lakukan di dunia ini. Dan sekarang ayah memintaku untuk menikah?" "Dinda sayang, tolonglah ayahmu ini nak. Tak ada yang salah kau menikah dengannya. Dia mapan dan sudah berpengalaman. Sudah tentu dia sanggup memberimu segalanya. " Bu Nana yang sedari tadi
"Ssshh.." Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya.Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi."Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal."Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu..""Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya."Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan.Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya."Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku?
Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda begitu terkejut ketika telinganya harus mendengarkan hal yang tak sepatutnya ia dengar. Saat dia harus mendengar suara aneh dari dalam paviliun Anita. Desahan yang begitu ketara terdengar, membuatnya begitu bergidik ngeri. Meringsek mundur ke area tanaman rambat, Dinda tiba-tiba merasa lututnya terasa sangat lemas seperti tak bertulang. Bersembunyi di sana sementara ia menguatkan tulang kakinya kembali. "Apa benar yang di katakan Kak Nadia itu. Jika Kak Anita bukanlah wanita baik-baik?" Memijit keningnya yang nyeri, Dinda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Anita yang diam-diam bermain gila di siang bolong. "Jelas-jelas beruang itu pergi bukan? Lalu dengan siapa Kak Anita di dalam?" "Tapi bisa jadi bukan, dia tengah melakukannya dengan beruang kutub itu? Dia tak benar pergi tapi sedang berada di dalam kamar Kak Anita? Ah tidak, kepolosan ku ternodai gara-gara Kak Anita. Mengapa dia mendesah dengan begitu keras di siang bolong begini?" Dinda berdiri sete
"Hoah!"Menguap sembari menggeliat merenggangkan otot-ototnya, perlahan namun pasti kesadaran Dinda pagi ini mulai pulih setelah tidur nyenyak. "Ah! Astaga!"Dinda terkejut, ketika mendapati hal yang masih asing untuknya. ketika mendapati sosok pria tengah tertidur lelap di sisinya. "Kenapa dia masih ada disini?" gumam Dinda sembari menatap siluet wajah Tuan Evan dari samping. Mencoba mengingat kembali runtutan waktu kebelakang, Dinda hanya bisa tersipu malu ketika terbayang kejadian semalam. "Argh, apa aku terlihat sangat pengecut tadi malam?" lirih Dinda dengan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Bukannya menjauh pergi, Dinda justru memiringkan tubuhnya. Memandang sekali lagi pemandangan menyegarkan yang tak setiap pagi ia dapatkan. Wajah rupawan Tuan Evan benar-benar telah menjadi candu untuk Dinda. Sehingga ia tak ingin mubazir waktu sebelum pria itu terbangun. "Dia lebih enak di pandang begini ternyata."Tak terasa, Dinda menatap wajah Tuan Evan cukup lama. Hingga tan
"Huh!" Membanting tubuhnya ke atas kasur, Dinda sudah terlalu lelah mengikuti aktivitas Ibu mertuanya itu. Bagai itik yang mengikuti induk bebek, Dinda bersama ketiga istri Tuan Evan yang lain terus mengekor kemanapun Nyonya Risma melangkah pergi. Punya waktu istirahat sedikit, akhirnya Dinda manfaatkan untuk meluruskan tulang punggungnya. "Hiks, kakiku mati rasa." Aktivitasnya seharian ini terpantau memasak, membaca, bersantai, bermain catur, menyulam bahkan berkebun. Membuat Dinda begitu lelah dengan energi yang terkuras habis. Di tambah, tatapan Jia begitu sinis padanya. Membuat Dinda tak nyaman, apalagi saat perhatian Ibu mertuanya itu tertuju padanya. Jia seperti takut, jika Dinda berhasil menuruti harapan Nyonya Risma. Memberikan keturunan untuk keluarga Bagaskara "Apa yang dia pikirkan sebenarnya hah! Apa dia mengira aku mau? Begini-begini aku juga pilih-pilih kali. Dasar Jia itu yang terlalu berpikir pendek. Ya kalau pengin punya anak ya udah sih sana rayu lagi berua
Rasa kantuk yang besar membuat Dinda berjalan dengan langkah gontai. Membuat Tiur yang berjalan mengikuti Dinda sampai takut jikalau Nyonya nya itu sampai terjatuh. Entah hukuman seperti apa yang akan ia dapatkan karena tak becus melayani Nyonya nya itu. Terlihat kedua mata Dinda bahkan begitu malas untuk membuka. Di hari yang masih begitu pagi, namun energi gadis itu sudah hampir habis. Lemah, letih, lesu dan lunglai bersatu padu menjadi satu. "Dinda.." dari arah berlawanan Anita memanggil. Dinda melambaikan tangannya dengan malas menyambut sapaannya, terlihat Anita yang berjalan cukup cepat menghampirinya. "Ada apa Kak?" tanya Dinda. "Mau minum teh di tempatku?" "Hoam! Dinda ngantuk Kak. Niatnya mau tidur lagi setelah ini." "Apa kau begadang semalam? kantung matamu itu.. Em." "Bukan begadang, Dinda nggak bisa tidur. Hoam!" Melihat Dinda yang terus menerus menguap tentu saja membuat Anita cemas. "Kebetulan Kakak punya aroma terapi di paviliun. Nanti Kakak min
"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?" Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu. "Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata. Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya. "Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik. Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan. Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu
Dinda berlarian menuju paviliunnya dengan nafas terengah-engah. Seperti sedang di kejar-kejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Apa yang terjadi padanya dan melibatkan Tuan Evan tentu membuatnya terkejut. Apalagi ketika ekspresi menyeramkan pria itu begitu membuat Dinda ketakutan setengah mati. "Matilah! Please jangan sampai Kak Jia tahu tentang kejadian tadi. Bisa mati berdiri aku di hukumnya." gumam Dinda dengan rasa takut yang menyelimuti. *** "Ternyata nyonya sudah kembali? Saya mencari-cari nyonya di sana."Tiur sampai mengernyitkan keningnya, ketika mendapati Dinda tengah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal di atas kasurnya. "Nyonya, ada apa? Mengapa di cuaca se terik ini anda berada di bawah selimut? Apa nyonya tak enak badan? Mau Tiur panggilkan dokter untuk memeriksa anda?""Tiur diam! Kau tak melihat jika aku sedang menenangkan diri.""Apa terjadi sesuatu ketika saya tak berada di dekat anda tadi, nyonya?" tanya Tiur, penasaran. "Sssttt... Jika kau tak punya pekerjaa
"Apa ini tak terlalu berlebihan? Mengapa aku lebih mirip sinden dari pada seorang nyonya, Tiur? Aku tak akan pergi ke atas panggung kan?" "Em, apa nyonya tak nyaman?" "Menurutmu? Aku bahkan terlihat sepuluh tahun lebih tua jika berdandan seperti ini. Tolong hapus." "Nyonya suka dandanan seperti apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tiur dengan segan. "Natural mungkin. Kulit wajahku tak biasa tampil dengan riasan." "Baik Nyonya. Saya akan memperbaikinya." Sebagai orang baru, Dinda berusaha ingin tampil sesederhana mungkin. Jujur, dirinya sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menarik perhatian siapapun di kediaman itu. Termasuk pria yang bisa di katakan adalah suaminya itu. Ah, memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Dinda merinding. Dinda lebih ingin tak terlihat keberadaannya oleh siapapun, sehingga ia bisa lebih leluasa, hidup dengan tenang dan bebas tanpa ada gangguan dari siapapun. Setelah selesai bersiap, dengan di pandu Tiur akhirnya Dinda beranjak untu
Dinda hanya duduk termenung menatap ke luar jendela mobil mewah yang tengah berjalan itu. Sepertinya ia sudah berada di dalam mobil itu kurang lebih satu jam lamanya.Namun sampai kakinya tak terasa karena tak bergerak, sepertinya belum ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti. Bahkan ketika Dinda amati, itu sudah sangat jauh dari kota tempat ia dulunya tinggal. Entah mau di bawa kemana Dinda kali ini, ia hanya bisa pasrah karena merasa hidupnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. ketika sekarang ada embel-embel Nyonya Bagaskara yang ia sandang. Semuanya terasa begitu mengerikan jika Dinda tak sengaja bayangkan. Dinda memilih tak banyak berkomentar, bahkan hanya sekedar meminta minum saja ia tak berani. Tatapan mengintimidasi kaki tangan pria bernama Revandra Bagaskara itu begitu mengerikan baginya yang masih terlalu muda di dunia persilatan. Dua orang yang duduk di kursi depan pun hanya diam dengan sesekali mengawasinya dari kaca spion mobil mewah itu. "Sebentar lagi kita akan seg
"Ssshh.." Dinda sampai mendesis ketika rasa perih terasa begitu menyakitkannya. Ketika Bu Nana tengah mengoleskan salep pada luka di bokongnya.Dengan satu sabetan saja, Pak Dimas berhasil menorehkan luka meski sebenarnya tak berharap hal itu terjadi."Salahkan dirimu yang punya kepala batu ini! Kalian yang punya karakter sama. Batu bertemu batu tentu akan memercikkan api. Sedang kau Dinda, kau hanya batu kerikil tak tahu diri yang bermimpi ingin memecahkan batu kali? Tak bisa di bayangkan di terima akal memang." gerutu Bu Nana, kesal."Pelan-pelan bun, bagaimanapun itu aset Dinda yang berharga. Huhu..""Sudah untung bunda bantu oleskan obat." ucap Bu Nana seraya menekan jarinya di luka putrinya."Aw! Sakit bunda!" Dinda memekik kesakitan.Reflek gadis itu langsung berdiri, menyudahi perhatian dari Bu Nana yang makin lama justru membuatnya semakin merasa sakit. Bukan hanya pada lukanya, kini rasa sakit itu juga sampai menyerang mentalnya."Kenapa sih kalian ingin sekali membuang ku?