"Nenek ...!" Seruan yang diiringi isak tangis dari Feli itu mengudara, begitu sang pemilik suara berjalan memasuki kediaman Elena, diekori oleh seorang asisten rumah tangga yang bekerja di sana – yang beberapa saat lalu, membukakan pintu untuk Feli.Leya – asisten rumah tangga Elena, dikagatekan oleh kemunculan Feli di depan pintu tadi, sambil menangis terisak.Darah yang mengering di sudut bibir Feli, tak gagal tertangkap oleh pandangan Leya, hingga tak dapat dipungkiri, sukses memantik rasa penasaran yang menelusup ke dalam relung, bersamaan rasa khawatir."Nyonya ada di ruang kerjanya, Nona." Leya memberi tahu Feli, saat melihat wanita muda itu menghentikan langkah dan celingukan, agaknya sedang mencoba menerka arah yang musti ditujunya, agar bisa secepatnya bertemu dengan Elena.Mengendus udara dengan serakah, memastikan cairan di hidung tak ke luar dan meleleh, Feli menyempatkan diri memberi Leya lirikan. "Terima kasih, Bi."Wanita c
Dean terlihat duduk termenung di salah satu sofa tunggal yang tertata di hadapan meja kerja dalam ruangannya.Selepas kepergian Feli, Dean belum melakukan terlalu banyak pergerakan, hanya terduduk selagi membiarkan manik mata hitamnya menyalang, menatap tajam ke arah titik di mana Feli sempat berdiri, tepatnya saat ia melabuhkan tamparan kelewat keras di wajah cantik sang putri.Apa yang sudah terjadi, seakan terus terulang lagi dan lagi dalam penglihatan Dean, maupun dalam ingatannya.Mengerang geram, pria paruh baya itu menjambak marah surainya dengan kedua telapak tangan dengan sekuat-kuatnya sambil menundukan kepala dan pandangan, mencoba melampiaskan frutrasi yang dirasa.Deru napas Dean memburu, terengah dan terdengar cukup menyesakan. Saat pelupuk dari mata lelah itu memejam, bayangan di mana Feli menatap kecewa dan sedih ke arahnya, muncul bak sebuah rekaman video yang memiliki resolusi tinggi.Permukaan bibir Dean mulai gemetaran
Sudah bukan lagi menjadi rahasia bagi Elena, jika biduk rumah tangga Zea – sang putri, memang sudah tidak berjalan baik-baik saja, sedari lama.Masih terbayang kelewat jelas dalam ingatan, saat sekitar lima tahun silam, untuk kali pertama ia melihat Zea mangis sampai tersedu di hadapannya.Kala itu, kebetulan Elena melakukan kunjungan mendadak ke kediaman sang putri, untuk hanya sekadar mampir dan bercengkrama, karena terhitung sudah cukup lama, mereka tidak menghabiskan waktu bersama.Akan tetapi, Elena malah dikagetkan dengan kemunculan Zea yang menyambutnya di pintu utama, dengan wajah pucat, mata sembab, bahkan pelupuknya masih basah, oleh air mata.Tentu tanpa membuang waktu, Elena mengajak Zea untuk bebincang bersama, dengan tujuan untuk mencari tahu, apa gerangan hal yang telah membuat putri semata wayangnya itu menangis.Pun karena Zeana tidak memiliki tempat lain untuk mengadu – mengutarakan segala keluh, selain pada sang ibu, ia
Tidak dalam satu waktu, tentu Feli menyuarakan aduan terkait kehidupan rumah tangga Zea yang berantakan begitu saja pada Elena.Karena awalnya ... mendadak Feli datang ke kediaman Elena, saat sudah cukup larut, lalu merengek ...,"Nenek, pokoknya setelah Kak Bastian menikah, aku juga harus menikah secepatnya!"Saat itu, kebetulan Nathen juga sedang di rumah. Karena akhir pekan dan libur bekerja, Nathen memang selalu menyempatkan diri, untuk paling tidak dalam sebulan, ada dua sampai tiga malam, ia menginap di kediaman Elena.Feli yang kaget karena baru menyadari adanya Nathen yang duduk berdampingan dengan sang nenek di salah satu sofa panjang yang tertata di ruang keluarga, menghentikan ayunan tungkai di ambang pintu sambil menyeka kasar wajah menggunakan punggung tangan secara berulang, menyingkirkan jejak air mata yang tertinggal di sana."Ada Paman juga ternyata," ujar Feli dengan suaranya yang parau dan sedikit gemetar.Kehe
"Ibu?!"Elena berdesis kesal sembari memejam dan memijat pelan pangkal hidungnya, setelah mendengar suara Nathen berteriak, menyerukan namanya."Ibu?!"Elena yang kala itu berada di ruang keluarga dari kediamannya, duduk dengan kepala dan pandangannya yang tertunduk.Mendengar Nathen terus menyeru dengan intonasi suara yang meninggi, mengiringi derap langkah cepatnya yang semakin mendekat, Elena memilih bungkam, tidak memiliki keinginan untuk menimpali putra yang merangkap menjadi cucu menantunya itu."Ibu?!""Astaga. Apa harus dia terus berteriak? Seperti anak kecil saja," kerutuk Elena sembari membuka mata dan menoleh, ke arah di mana seruan-seruan lantang Nathen tadi mengudara."Ibu?!"Semakin meninggi saja intonasi suara yang digunakan cucu menantunya itu saat menyeru – agaknya mencari-cari keberadaannya.Berdesis jengkel, Elena mengepalkan kedua telapak tangan. "Ibu di sini!" ujarnya dengan suara t
Hati Zea mencelos, membersamai seluruh persendian di sekujur tubuhnya yang seakan melemas. Tenaga dalam dirinya terkuras habis secara mendadak, hingga menyebabkan tubuhnya kala itu terhuyung, hampir saja jatuh jika ia tidak secara refleks bersandar di dinding terdekat.Kabar yang Elena sampaikan, bukan hanya mengecai dan berdengung dalam rungu Zea, tetapi memberi efek bentakan pada jantungnya yang seketika mengalami percepatan debar.Pelupuk mata berbulu lentik yang di dalamnya sudah digenangi air bening bersuhu agak hangat itu mengerjap dengan tempo agak cepat, sampai airnya meniti.Pandangan Zea yang memburam mengedar dengan sembarang. Satu telapak tangan yang tidak sedang menahan ponsel itu spontan bertengger di area dada, meremat kuat kain dari pakaian yang sedang dikenakan, sebab merasa sesak luar biasa."Berani-beraninya dia menampar putriku!" erang Zea geram dengan suaranya yang lolos dalam keadaan gemetar dan tertahan.Rematan tan
"Ibu juga sebenarnya belum tahu dengan pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi pada Feli," lirih Elena sambil mengalihkan pandangannya dari Nathen, menatap sedih pada sosok Feli yang terbaring.Elena berdiri di samping tubuh Nathen, kemudian membuang napas kasar. "Tapi jika kau ingin tahu, siapa yang telah menyebabkan Feli menangis sampai lelah kemudian tertidur dalam pelukan Ibu, maka jawabannya adalah ayahnya sendiri."Permukaan kening Nathen sontak mengernyit, membersamai matanya yang memicing, menatap Elena, nanar.Pribadi tampan itu lantas mengalihkan pandangan, ikut memokuskan tatapan matanya ke arah Feli. "Yang sudah menampar sampai bibirnya berdarah juga, orang yang sama?" tanyanya, dingin.Kepala Elena mengangguk tidak berdaya. Mendengkus, ia menundukan pandangan sekilas sambil mengulum bibir bawahnya yang tampak gemetaran. "Hemmm. Masih orang yang sama."Tanpa Nathen sendiri sadari, kedua telapak tangannya mengepal dengan begit
Merayap mendekat, Nathen kemudian merengkuh tubuh gemetar Feli ke dalam pelukan. Tak lupa ia kecupi puncak kepala wanita kesayangannya itu. "Maafkan aku, Feli."Kepala Feli menggeleng pelan. Cepat ia balas memeluk Nathen dan membenamkan wajahnya di permukaan dada bidang sang suami yang terbalut kemeja putih polos itu. "Ini bukan salah Paman. Paman jangan meminta maaf."Menenggerkan dagu di puncak kepala Feli, tetapi memastikan dirinya sama sekali tidak memberi penekanan berarti di sana – apa lagi memberi efek menyakiti, Nathen memejam. "Jika aku tidak mengusirmu, mungkin aku bisa menahanmu untuk tidak pergi ke manapun. Dan sekarang, kita mungkin masih berada di ruang kerjaku. Aku tidak masalah, membiarkanmu menggangguku di sana. Seandainya aku bisa memutar kembali waktu."Sesak sekali dada Nathen rasanya. Ia sungguh menyesal, karena sempat mengusir Feli, saat istri cantiknya itu datang ke kantornya siang tadi dan mengantarkan makanan untuk makan siangnya.