Tidak dalam satu waktu, tentu Feli menyuarakan aduan terkait kehidupan rumah tangga Zea yang berantakan begitu saja pada Elena.
Karena awalnya ... mendadak Feli datang ke kediaman Elena, saat sudah cukup larut, lalu merengek ...,"Nenek, pokoknya setelah Kak Bastian menikah, aku juga harus menikah secepatnya!"Saat itu, kebetulan Nathen juga sedang di rumah. Karena akhir pekan dan libur bekerja, Nathen memang selalu menyempatkan diri, untuk paling tidak dalam sebulan, ada dua sampai tiga malam, ia menginap di kediaman Elena.Feli yang kaget karena baru menyadari adanya Nathen yang duduk berdampingan dengan sang nenek di salah satu sofa panjang yang tertata di ruang keluarga, menghentikan ayunan tungkai di ambang pintu sambil menyeka kasar wajah menggunakan punggung tangan secara berulang, menyingkirkan jejak air mata yang tertinggal di sana."Ada Paman juga ternyata," ujar Feli dengan suaranya yang parau dan sedikit gemetar.Kehe"Ibu?!"Elena berdesis kesal sembari memejam dan memijat pelan pangkal hidungnya, setelah mendengar suara Nathen berteriak, menyerukan namanya."Ibu?!"Elena yang kala itu berada di ruang keluarga dari kediamannya, duduk dengan kepala dan pandangannya yang tertunduk.Mendengar Nathen terus menyeru dengan intonasi suara yang meninggi, mengiringi derap langkah cepatnya yang semakin mendekat, Elena memilih bungkam, tidak memiliki keinginan untuk menimpali putra yang merangkap menjadi cucu menantunya itu."Ibu?!""Astaga. Apa harus dia terus berteriak? Seperti anak kecil saja," kerutuk Elena sembari membuka mata dan menoleh, ke arah di mana seruan-seruan lantang Nathen tadi mengudara."Ibu?!"Semakin meninggi saja intonasi suara yang digunakan cucu menantunya itu saat menyeru – agaknya mencari-cari keberadaannya.Berdesis jengkel, Elena mengepalkan kedua telapak tangan. "Ibu di sini!" ujarnya dengan suara t
Hati Zea mencelos, membersamai seluruh persendian di sekujur tubuhnya yang seakan melemas. Tenaga dalam dirinya terkuras habis secara mendadak, hingga menyebabkan tubuhnya kala itu terhuyung, hampir saja jatuh jika ia tidak secara refleks bersandar di dinding terdekat.Kabar yang Elena sampaikan, bukan hanya mengecai dan berdengung dalam rungu Zea, tetapi memberi efek bentakan pada jantungnya yang seketika mengalami percepatan debar.Pelupuk mata berbulu lentik yang di dalamnya sudah digenangi air bening bersuhu agak hangat itu mengerjap dengan tempo agak cepat, sampai airnya meniti.Pandangan Zea yang memburam mengedar dengan sembarang. Satu telapak tangan yang tidak sedang menahan ponsel itu spontan bertengger di area dada, meremat kuat kain dari pakaian yang sedang dikenakan, sebab merasa sesak luar biasa."Berani-beraninya dia menampar putriku!" erang Zea geram dengan suaranya yang lolos dalam keadaan gemetar dan tertahan.Rematan tan
"Ibu juga sebenarnya belum tahu dengan pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi pada Feli," lirih Elena sambil mengalihkan pandangannya dari Nathen, menatap sedih pada sosok Feli yang terbaring.Elena berdiri di samping tubuh Nathen, kemudian membuang napas kasar. "Tapi jika kau ingin tahu, siapa yang telah menyebabkan Feli menangis sampai lelah kemudian tertidur dalam pelukan Ibu, maka jawabannya adalah ayahnya sendiri."Permukaan kening Nathen sontak mengernyit, membersamai matanya yang memicing, menatap Elena, nanar.Pribadi tampan itu lantas mengalihkan pandangan, ikut memokuskan tatapan matanya ke arah Feli. "Yang sudah menampar sampai bibirnya berdarah juga, orang yang sama?" tanyanya, dingin.Kepala Elena mengangguk tidak berdaya. Mendengkus, ia menundukan pandangan sekilas sambil mengulum bibir bawahnya yang tampak gemetaran. "Hemmm. Masih orang yang sama."Tanpa Nathen sendiri sadari, kedua telapak tangannya mengepal dengan begit
Merayap mendekat, Nathen kemudian merengkuh tubuh gemetar Feli ke dalam pelukan. Tak lupa ia kecupi puncak kepala wanita kesayangannya itu. "Maafkan aku, Feli."Kepala Feli menggeleng pelan. Cepat ia balas memeluk Nathen dan membenamkan wajahnya di permukaan dada bidang sang suami yang terbalut kemeja putih polos itu. "Ini bukan salah Paman. Paman jangan meminta maaf."Menenggerkan dagu di puncak kepala Feli, tetapi memastikan dirinya sama sekali tidak memberi penekanan berarti di sana – apa lagi memberi efek menyakiti, Nathen memejam. "Jika aku tidak mengusirmu, mungkin aku bisa menahanmu untuk tidak pergi ke manapun. Dan sekarang, kita mungkin masih berada di ruang kerjaku. Aku tidak masalah, membiarkanmu menggangguku di sana. Seandainya aku bisa memutar kembali waktu."Sesak sekali dada Nathen rasanya. Ia sungguh menyesal, karena sempat mengusir Feli, saat istri cantiknya itu datang ke kantornya siang tadi dan mengantarkan makanan untuk makan siangnya.
Tamparan yang berlabuh di pipi Dean itu sungguh tak gagal sampai juga pada relung Dean yang terasa begitu sakit, apalagi mana kala memory di kepalanya seketika memutarkan sebuah kilas balik.Kilas balik terkait apa yang terjadi belum lama ini, yakni saat dirinya juga melakukan hal yang sama terhadap Felicia.Dean seperti dipaksa untuk terus menerus mengingat kejadian tersebut, meski tanda dirinya sendiri ingini, guna memantik api rasa bersalah dan penyesalannya agar tetap menyala, bahkan berkobar.Pun di saat yang sama, pertengkaran demi pertengkaran yang pernah terjadi antara dirinya dan Zea, juga ikut muncul dalam ingatan Dean, berputar layaknya sebuah video dengan resolusi tinggi, memberi gambaran-gambaran kelewat jelas, seakan semua momen itu diulang kembali tepat di depan matanya.Setiap intonasi suara yang meninggi, menguarkan jerit juga erangan penuh geram dan marah, setiap kali ia bicara pada Zea ketika diri sedang dikuasai emosi, berdengung dan menggema dalam rungu Dean.Tamp
Suara desisan pelan menguar dari mulut Feli, manakala lukanya tengah diobati oleh Nathen. Padahal, suaminya itu sudah memastikan, jika setiap gerik yang dilakukan adalah selembut dan sepenuh kehati-hatian mungkin."Paman sakit!" Feli mengerang kesal sambil menahan tangan Nathen yang terlurur di dekat wajahnya. Manik mata yang terbingkai dalam pelupuk yang sembab dan bengkak itu mendelik, menatap Nathen, dongkol. "Pelan-pelan sedikit," rengeknya."Aku sudah melakukannya dengan sepelan mungkin," ujar Nathen seraya menatap Feli, khawatir.Wajah tampannya ikut mengernyit, manakala ia melihat Feli meringis, sebab menahan sakit."Tapi masih sakit," rengek Feli lagi sembari melepaskan tangan Nathen dari genggaman."Lebih enak ketika kita sedang berciuman kan, daripada terluka seperti ini?"Feli mengernyitkan kening, sampai membuat kedua alisnya yang bersebrangan, hampir jadi saling bertautan. Matanya memicing, menatap Nathen, geli. "Paman kenapa tiba-tiba berkata seperti itu sih?"Pelupuk mat
Lagi, Feli memberi respon yang sama sekali tidak Nathen prediski sebelumnya dan berhasil membuat ia cukup terkejut, juga keheranan dalam satu waktu, untuk yang kesekian kalinya hari ini."Jadi mulai sekarang, kau akan memperbolehkanku untuk menciumu?" tanya Nathen, ingin memastikan, jika ia sama sekali tidak salah mengartikan, maksud dari perkataan yang sang istri paparkan.Sejauh dari yang Nathen tahu, selama ia menjalani biduk rumah tangganya dengan Feli, istri cantiknya itu tidak – atau lebih tepatnya belum terlalu menyukai, jika mereka terlalu sering melakukan kontak fisik, sampai menjurus pada sebuah keintiman."Hemmm." Kepala Feli mengangguk pelan. "Tentu saja."Ada sensasi hangat juga menggelitik yang menelulup ke dalam relung Nathen dalam satu waktu. Sensasi hangat yang timbul dari rasa terlalu senang, sedang sensasi menggelitik itu hadir juga tanpa diundang, mewakili rasa belum sepenuhnya percaya, terhadap apa yang sang istri paparkan.Terkikik pelan, Nathen lantas membuang n
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi padamu, Sayang?" Zea bertanya sembari perlahan melepaskan pelukan, lantas menilik tubuh Feli dari ujung kepala hingga ujung kaki.Hati Zea berdesir sakit, terutama ketika dirinya hanya memokuskan pandangan pada wajah Feli. Mengulurkan tangan, ia mengusap penuh kelembutan wajah cantik yang kembali basah milik putrinya itu."Ibu baru saja pergi menemui ayahmu, tapi dia tidak mau memberi penjelasan apapun pada Ibu. Setelah sempat berbincang sebentar, lalu Ibu bergegas untuk pergi kemari."Tepatnya Zea pergi meninggalkan Dean di kantornya selepas ia mendengar sang suami, akhirnya memberi sebuah persetujuan, untuk melepaskan dirinya.Sempat menunggu, barang kali Dean mau memberitahunya, tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga suaminya itu tega melayangkan tamparan pada Feli, tetapi hasilnya nihil. Sampai detik terakhir pertemuan yang terjadi antara Zea dan Dean, hanya kebungkaman yang diberikan Dean, terkait tanya yang dilayangkan Zea dengan pe