"Ibu juga sebenarnya belum tahu dengan pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi pada Feli," lirih Elena sambil mengalihkan pandangannya dari Nathen, menatap sedih pada sosok Feli yang terbaring.
Elena berdiri di samping tubuh Nathen, kemudian membuang napas kasar. "Tapi jika kau ingin tahu, siapa yang telah menyebabkan Feli menangis sampai lelah kemudian tertidur dalam pelukan Ibu, maka jawabannya adalah ayahnya sendiri."Permukaan kening Nathen sontak mengernyit, membersamai matanya yang memicing, menatap Elena, nanar.Pribadi tampan itu lantas mengalihkan pandangan, ikut memokuskan tatapan matanya ke arah Feli. "Yang sudah menampar sampai bibirnya berdarah juga, orang yang sama?" tanyanya, dingin.Kepala Elena mengangguk tidak berdaya. Mendengkus, ia menundukan pandangan sekilas sambil mengulum bibir bawahnya yang tampak gemetaran. "Hemmm. Masih orang yang sama."Tanpa Nathen sendiri sadari, kedua telapak tangannya mengepal dengan begitMerayap mendekat, Nathen kemudian merengkuh tubuh gemetar Feli ke dalam pelukan. Tak lupa ia kecupi puncak kepala wanita kesayangannya itu. "Maafkan aku, Feli."Kepala Feli menggeleng pelan. Cepat ia balas memeluk Nathen dan membenamkan wajahnya di permukaan dada bidang sang suami yang terbalut kemeja putih polos itu. "Ini bukan salah Paman. Paman jangan meminta maaf."Menenggerkan dagu di puncak kepala Feli, tetapi memastikan dirinya sama sekali tidak memberi penekanan berarti di sana – apa lagi memberi efek menyakiti, Nathen memejam. "Jika aku tidak mengusirmu, mungkin aku bisa menahanmu untuk tidak pergi ke manapun. Dan sekarang, kita mungkin masih berada di ruang kerjaku. Aku tidak masalah, membiarkanmu menggangguku di sana. Seandainya aku bisa memutar kembali waktu."Sesak sekali dada Nathen rasanya. Ia sungguh menyesal, karena sempat mengusir Feli, saat istri cantiknya itu datang ke kantornya siang tadi dan mengantarkan makanan untuk makan siangnya.
Tamparan yang berlabuh di pipi Dean itu sungguh tak gagal sampai juga pada relung Dean yang terasa begitu sakit, apalagi mana kala memory di kepalanya seketika memutarkan sebuah kilas balik.Kilas balik terkait apa yang terjadi belum lama ini, yakni saat dirinya juga melakukan hal yang sama terhadap Felicia.Dean seperti dipaksa untuk terus menerus mengingat kejadian tersebut, meski tanda dirinya sendiri ingini, guna memantik api rasa bersalah dan penyesalannya agar tetap menyala, bahkan berkobar.Pun di saat yang sama, pertengkaran demi pertengkaran yang pernah terjadi antara dirinya dan Zea, juga ikut muncul dalam ingatan Dean, berputar layaknya sebuah video dengan resolusi tinggi, memberi gambaran-gambaran kelewat jelas, seakan semua momen itu diulang kembali tepat di depan matanya.Setiap intonasi suara yang meninggi, menguarkan jerit juga erangan penuh geram dan marah, setiap kali ia bicara pada Zea ketika diri sedang dikuasai emosi, berdengung dan menggema dalam rungu Dean.Tamp
Suara desisan pelan menguar dari mulut Feli, manakala lukanya tengah diobati oleh Nathen. Padahal, suaminya itu sudah memastikan, jika setiap gerik yang dilakukan adalah selembut dan sepenuh kehati-hatian mungkin."Paman sakit!" Feli mengerang kesal sambil menahan tangan Nathen yang terlurur di dekat wajahnya. Manik mata yang terbingkai dalam pelupuk yang sembab dan bengkak itu mendelik, menatap Nathen, dongkol. "Pelan-pelan sedikit," rengeknya."Aku sudah melakukannya dengan sepelan mungkin," ujar Nathen seraya menatap Feli, khawatir.Wajah tampannya ikut mengernyit, manakala ia melihat Feli meringis, sebab menahan sakit."Tapi masih sakit," rengek Feli lagi sembari melepaskan tangan Nathen dari genggaman."Lebih enak ketika kita sedang berciuman kan, daripada terluka seperti ini?"Feli mengernyitkan kening, sampai membuat kedua alisnya yang bersebrangan, hampir jadi saling bertautan. Matanya memicing, menatap Nathen, geli. "Paman kenapa tiba-tiba berkata seperti itu sih?"Pelupuk mat
Lagi, Feli memberi respon yang sama sekali tidak Nathen prediski sebelumnya dan berhasil membuat ia cukup terkejut, juga keheranan dalam satu waktu, untuk yang kesekian kalinya hari ini."Jadi mulai sekarang, kau akan memperbolehkanku untuk menciumu?" tanya Nathen, ingin memastikan, jika ia sama sekali tidak salah mengartikan, maksud dari perkataan yang sang istri paparkan.Sejauh dari yang Nathen tahu, selama ia menjalani biduk rumah tangganya dengan Feli, istri cantiknya itu tidak – atau lebih tepatnya belum terlalu menyukai, jika mereka terlalu sering melakukan kontak fisik, sampai menjurus pada sebuah keintiman."Hemmm." Kepala Feli mengangguk pelan. "Tentu saja."Ada sensasi hangat juga menggelitik yang menelulup ke dalam relung Nathen dalam satu waktu. Sensasi hangat yang timbul dari rasa terlalu senang, sedang sensasi menggelitik itu hadir juga tanpa diundang, mewakili rasa belum sepenuhnya percaya, terhadap apa yang sang istri paparkan.Terkikik pelan, Nathen lantas membuang n
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi padamu, Sayang?" Zea bertanya sembari perlahan melepaskan pelukan, lantas menilik tubuh Feli dari ujung kepala hingga ujung kaki.Hati Zea berdesir sakit, terutama ketika dirinya hanya memokuskan pandangan pada wajah Feli. Mengulurkan tangan, ia mengusap penuh kelembutan wajah cantik yang kembali basah milik putrinya itu."Ibu baru saja pergi menemui ayahmu, tapi dia tidak mau memberi penjelasan apapun pada Ibu. Setelah sempat berbincang sebentar, lalu Ibu bergegas untuk pergi kemari."Tepatnya Zea pergi meninggalkan Dean di kantornya selepas ia mendengar sang suami, akhirnya memberi sebuah persetujuan, untuk melepaskan dirinya.Sempat menunggu, barang kali Dean mau memberitahunya, tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga suaminya itu tega melayangkan tamparan pada Feli, tetapi hasilnya nihil. Sampai detik terakhir pertemuan yang terjadi antara Zea dan Dean, hanya kebungkaman yang diberikan Dean, terkait tanya yang dilayangkan Zea dengan pe
Napas Nathen berembus dengan satu kali hentakan kasar melalui celah antara bingkai birainya yang berjarak, begitu pribadi tampan itu mendudukan diri di salah satu sofa tunggal yang tertata dalam ruang kerja milik Elena.Sang empu yang kala itu tengah duduk termenung sampai sedikit terkesiap, baru menyadari hadirnya Nathen di sana.Atensi Elena berhasil terkait oleh Nathen, hingga wanita baya itu menoleh, menatap sang cucu menantu, nanar.Permukaan kening Elena mengernyit. "Kenapa kau kemari? Bukannya menemani Feli?"Nathen balas menatap Elena. Mendengkus, pribadi tampan itu memijat pelan pelipisnya sambil memejam, sebentar. "Feli memintaku pergi.""Feli sudah bangun? Lalu memintamu pergi? Kenapa?" Elena membangkitkan diri dari kursi kebesarannya, lalu berjalan menghampiri Nathen tanpa memutuskan kontak mata antara mereka, barang sedetikpun.Rasa penasaran juga heran menelusup ke dalam relung Elena dalam satu waktu, terpantik oleh hadirnya Nathen di ruangannya dengan wajah yang merengu
Suara deheman pelan mengudara, menjadi suara yang berhasil memecah keheningan yang menyelimuti kebersamaan Bastian dan Anna.Bastian yang sedang mengemudi, menoleh ke arah Anna, menatapnya sesaat sambil tersenyum setelah ia mendengar deheman yang berasal dari istrinya tersebut mengecai ke dalam rungu. "Kau baik-baik saja?"Anna yang duduk di kabin penumpang sampng kemudi dengan pandangan yang semula mengarah lurus ke depan, menoleh ke arah Bastian. Kepalanya mengangguk. "Hemmm. Aku baik-baik saja."Mendengar sang istri menguarkan tawa kikuk setelah berucap, Bastian terkikik gemas lantas diam-diam mengulurkan satu tangan, agar bisa menengkup telapak tangan Anna yang istrinya biarkan terkulai di pangkuan. "Kau tidak terlihat terlalu baik, menurutku."Anna menghela napas panjang sambil menundukan pandangan dan mengembuskannya secara pelan. Pelupuk mata berbulu lentik wanita itu memejam beberapa detik. "Jujur saja, aku gugup."Bastian mengernyitkan kening, sampai hampir membuat kedua alis
"Sejak kapan Feli dan paman Nathen sudah di sini, Nek?" Bastian bertanya sembari menatap Elena penuh terka.Kini, pribadi tampan itu sudah berada di kediaman Elena, tepatnya dari lima menit yang lalu ia dan sang istri tiba di sana.Duduk berdampingan dengan Anna di salah satu sofa panjang yang tertata di ruang tamu dan bersebrangan dengan Elena yang duduk di sofa tunggal – hanya terhalang meja kopi berukuran sedang."Belum lama." Elena tersenyum hambar sembari menatap Anna dan Bastian secara bergantian. "Kalian sudah berbaikan?" tanyanya, sengaja ingin mengalihkan topik pembicaraan.Anna dan Bastian saling bertukar pandang dan melempar senyum senang pada satu sama lain, sebelum kemudian serempak mengangguk dan memokuskan atensi yang dimiliki, kembali ke arah Elena."Iya. Kami sudah berbaikan, Nek." Anna yang memaparkan.Ikut tersenyum senang, Elena mengangguk. "Baguslah, jika kalian sudah berbaikan. Nenek ikut senang."Tentu Elena mengetahui sempat adanya pertengkaran yang terjadi ant