Dean terlihat duduk termenung di salah satu sofa tunggal yang tertata di hadapan meja kerja dalam ruangannya.
Selepas kepergian Feli, Dean belum melakukan terlalu banyak pergerakan, hanya terduduk selagi membiarkan manik mata hitamnya menyalang, menatap tajam ke arah titik di mana Feli sempat berdiri, tepatnya saat ia melabuhkan tamparan kelewat keras di wajah cantik sang putri.Apa yang sudah terjadi, seakan terus terulang lagi dan lagi dalam penglihatan Dean, maupun dalam ingatannya.Mengerang geram, pria paruh baya itu menjambak marah surainya dengan kedua telapak tangan dengan sekuat-kuatnya sambil menundukan kepala dan pandangan, mencoba melampiaskan frutrasi yang dirasa.Deru napas Dean memburu, terengah dan terdengar cukup menyesakan. Saat pelupuk dari mata lelah itu memejam, bayangan di mana Feli menatap kecewa dan sedih ke arahnya, muncul bak sebuah rekaman video yang memiliki resolusi tinggi.Permukaan bibir Dean mulai gemetaranSudah bukan lagi menjadi rahasia bagi Elena, jika biduk rumah tangga Zea – sang putri, memang sudah tidak berjalan baik-baik saja, sedari lama.Masih terbayang kelewat jelas dalam ingatan, saat sekitar lima tahun silam, untuk kali pertama ia melihat Zea mangis sampai tersedu di hadapannya.Kala itu, kebetulan Elena melakukan kunjungan mendadak ke kediaman sang putri, untuk hanya sekadar mampir dan bercengkrama, karena terhitung sudah cukup lama, mereka tidak menghabiskan waktu bersama.Akan tetapi, Elena malah dikagetkan dengan kemunculan Zea yang menyambutnya di pintu utama, dengan wajah pucat, mata sembab, bahkan pelupuknya masih basah, oleh air mata.Tentu tanpa membuang waktu, Elena mengajak Zea untuk bebincang bersama, dengan tujuan untuk mencari tahu, apa gerangan hal yang telah membuat putri semata wayangnya itu menangis.Pun karena Zeana tidak memiliki tempat lain untuk mengadu – mengutarakan segala keluh, selain pada sang ibu, ia
Tidak dalam satu waktu, tentu Feli menyuarakan aduan terkait kehidupan rumah tangga Zea yang berantakan begitu saja pada Elena.Karena awalnya ... mendadak Feli datang ke kediaman Elena, saat sudah cukup larut, lalu merengek ...,"Nenek, pokoknya setelah Kak Bastian menikah, aku juga harus menikah secepatnya!"Saat itu, kebetulan Nathen juga sedang di rumah. Karena akhir pekan dan libur bekerja, Nathen memang selalu menyempatkan diri, untuk paling tidak dalam sebulan, ada dua sampai tiga malam, ia menginap di kediaman Elena.Feli yang kaget karena baru menyadari adanya Nathen yang duduk berdampingan dengan sang nenek di salah satu sofa panjang yang tertata di ruang keluarga, menghentikan ayunan tungkai di ambang pintu sambil menyeka kasar wajah menggunakan punggung tangan secara berulang, menyingkirkan jejak air mata yang tertinggal di sana."Ada Paman juga ternyata," ujar Feli dengan suaranya yang parau dan sedikit gemetar.Kehe
"Ibu?!"Elena berdesis kesal sembari memejam dan memijat pelan pangkal hidungnya, setelah mendengar suara Nathen berteriak, menyerukan namanya."Ibu?!"Elena yang kala itu berada di ruang keluarga dari kediamannya, duduk dengan kepala dan pandangannya yang tertunduk.Mendengar Nathen terus menyeru dengan intonasi suara yang meninggi, mengiringi derap langkah cepatnya yang semakin mendekat, Elena memilih bungkam, tidak memiliki keinginan untuk menimpali putra yang merangkap menjadi cucu menantunya itu."Ibu?!""Astaga. Apa harus dia terus berteriak? Seperti anak kecil saja," kerutuk Elena sembari membuka mata dan menoleh, ke arah di mana seruan-seruan lantang Nathen tadi mengudara."Ibu?!"Semakin meninggi saja intonasi suara yang digunakan cucu menantunya itu saat menyeru – agaknya mencari-cari keberadaannya.Berdesis jengkel, Elena mengepalkan kedua telapak tangan. "Ibu di sini!" ujarnya dengan suara t
Hati Zea mencelos, membersamai seluruh persendian di sekujur tubuhnya yang seakan melemas. Tenaga dalam dirinya terkuras habis secara mendadak, hingga menyebabkan tubuhnya kala itu terhuyung, hampir saja jatuh jika ia tidak secara refleks bersandar di dinding terdekat.Kabar yang Elena sampaikan, bukan hanya mengecai dan berdengung dalam rungu Zea, tetapi memberi efek bentakan pada jantungnya yang seketika mengalami percepatan debar.Pelupuk mata berbulu lentik yang di dalamnya sudah digenangi air bening bersuhu agak hangat itu mengerjap dengan tempo agak cepat, sampai airnya meniti.Pandangan Zea yang memburam mengedar dengan sembarang. Satu telapak tangan yang tidak sedang menahan ponsel itu spontan bertengger di area dada, meremat kuat kain dari pakaian yang sedang dikenakan, sebab merasa sesak luar biasa."Berani-beraninya dia menampar putriku!" erang Zea geram dengan suaranya yang lolos dalam keadaan gemetar dan tertahan.Rematan tan
"Ibu juga sebenarnya belum tahu dengan pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi pada Feli," lirih Elena sambil mengalihkan pandangannya dari Nathen, menatap sedih pada sosok Feli yang terbaring.Elena berdiri di samping tubuh Nathen, kemudian membuang napas kasar. "Tapi jika kau ingin tahu, siapa yang telah menyebabkan Feli menangis sampai lelah kemudian tertidur dalam pelukan Ibu, maka jawabannya adalah ayahnya sendiri."Permukaan kening Nathen sontak mengernyit, membersamai matanya yang memicing, menatap Elena, nanar.Pribadi tampan itu lantas mengalihkan pandangan, ikut memokuskan tatapan matanya ke arah Feli. "Yang sudah menampar sampai bibirnya berdarah juga, orang yang sama?" tanyanya, dingin.Kepala Elena mengangguk tidak berdaya. Mendengkus, ia menundukan pandangan sekilas sambil mengulum bibir bawahnya yang tampak gemetaran. "Hemmm. Masih orang yang sama."Tanpa Nathen sendiri sadari, kedua telapak tangannya mengepal dengan begit
Merayap mendekat, Nathen kemudian merengkuh tubuh gemetar Feli ke dalam pelukan. Tak lupa ia kecupi puncak kepala wanita kesayangannya itu. "Maafkan aku, Feli."Kepala Feli menggeleng pelan. Cepat ia balas memeluk Nathen dan membenamkan wajahnya di permukaan dada bidang sang suami yang terbalut kemeja putih polos itu. "Ini bukan salah Paman. Paman jangan meminta maaf."Menenggerkan dagu di puncak kepala Feli, tetapi memastikan dirinya sama sekali tidak memberi penekanan berarti di sana – apa lagi memberi efek menyakiti, Nathen memejam. "Jika aku tidak mengusirmu, mungkin aku bisa menahanmu untuk tidak pergi ke manapun. Dan sekarang, kita mungkin masih berada di ruang kerjaku. Aku tidak masalah, membiarkanmu menggangguku di sana. Seandainya aku bisa memutar kembali waktu."Sesak sekali dada Nathen rasanya. Ia sungguh menyesal, karena sempat mengusir Feli, saat istri cantiknya itu datang ke kantornya siang tadi dan mengantarkan makanan untuk makan siangnya.
Tamparan yang berlabuh di pipi Dean itu sungguh tak gagal sampai juga pada relung Dean yang terasa begitu sakit, apalagi mana kala memory di kepalanya seketika memutarkan sebuah kilas balik.Kilas balik terkait apa yang terjadi belum lama ini, yakni saat dirinya juga melakukan hal yang sama terhadap Felicia.Dean seperti dipaksa untuk terus menerus mengingat kejadian tersebut, meski tanda dirinya sendiri ingini, guna memantik api rasa bersalah dan penyesalannya agar tetap menyala, bahkan berkobar.Pun di saat yang sama, pertengkaran demi pertengkaran yang pernah terjadi antara dirinya dan Zea, juga ikut muncul dalam ingatan Dean, berputar layaknya sebuah video dengan resolusi tinggi, memberi gambaran-gambaran kelewat jelas, seakan semua momen itu diulang kembali tepat di depan matanya.Setiap intonasi suara yang meninggi, menguarkan jerit juga erangan penuh geram dan marah, setiap kali ia bicara pada Zea ketika diri sedang dikuasai emosi, berdengung dan menggema dalam rungu Dean.Tamp
Suara desisan pelan menguar dari mulut Feli, manakala lukanya tengah diobati oleh Nathen. Padahal, suaminya itu sudah memastikan, jika setiap gerik yang dilakukan adalah selembut dan sepenuh kehati-hatian mungkin."Paman sakit!" Feli mengerang kesal sambil menahan tangan Nathen yang terlurur di dekat wajahnya. Manik mata yang terbingkai dalam pelupuk yang sembab dan bengkak itu mendelik, menatap Nathen, dongkol. "Pelan-pelan sedikit," rengeknya."Aku sudah melakukannya dengan sepelan mungkin," ujar Nathen seraya menatap Feli, khawatir.Wajah tampannya ikut mengernyit, manakala ia melihat Feli meringis, sebab menahan sakit."Tapi masih sakit," rengek Feli lagi sembari melepaskan tangan Nathen dari genggaman."Lebih enak ketika kita sedang berciuman kan, daripada terluka seperti ini?"Feli mengernyitkan kening, sampai membuat kedua alisnya yang bersebrangan, hampir jadi saling bertautan. Matanya memicing, menatap Nathen, geli. "Paman kenapa tiba-tiba berkata seperti itu sih?"Pelupuk mat
"Feli?" Nathen menyeru seraya melangkah, mendekati Feli yang masih duduk, menikmati film yang diputar pada layar kaca di hadapannya."Siapa yang datang, Paman?" Feli menengadah, menatap nanar sosok sang suami yang berdiri tepat di samping sofa yang ia duduki.Nathen tersenyum. "Ikut denganku. Ada yang ingin bertemu denganmu. Mereka sudah menunggu di ruang tamu."Pribadi tampan itu mengulurkan tangan ke arah Feli, membuat Feli menunduk, menatap tangan sang suami, bingung."Siapa?" tanyanya Feli, sembari menengadah, mempertemukan lagi pandangannya dengan Nathen.Nathen mendesis pelan, membungkukan tubuh, mencondongkannya ke arah Feli, sebab istri cantiknya itu tak kunjung menerima uluran tangannya. Ia menepikan remot kontrol yang kala itu berada dalam genggaman Feli, meraih telapak tangan istri cantiknya, membuatnya membangkitkan diri."Lihat saja sendiri," tukas Nathen sambil tersenyum hangat, menuntun Feli menuju ruang tamu.Dengan rasa penasaran pun bingung yang mulai mendera relung,
Akhir pekan lain ... satu minggu setelah akhirnya Feli dan Nathen saling mengakui perasaan yang telah bersemayam dalam hati mereka, yakni mencintai satu sama lain.Seperti akhir pekan sebelumnya ... hari ini, Feli dan Nathen kembali memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Tidak pergi ke mana-mana, hanya diam di rumah, menonton rendetan film yang sudah Feli list menjadi jadwal kegiatan wajib, ketika memiliki cukup banyak waktu luang.Sepasang suami istri yang tengah hangat-hangatnya menikmati kehidpan berumah tangga itu, kini saling duduk berdampingan. Lebih tepatnya, Feli berada dalam dekapan hangat tubuh gagah Nathen di bawah naungan selimut yang sama. Semenjak malam setelah perayaan hari ulang tahun Feli, Nathen memang jadi semakin lebih sering menunjukan sikap manjanya yang suka sekali menempel pada sang istri. Suka sekali berdekatan dengan Feli, seperti sering tiba-tiba memeluk, tak jarang membuat Feli terkejut. Meski dari sebelumnya ia memang sudah begitu, tapi kini frekuen
"Paman?" Feli menyeru pelan setelah dirinya yang saat ini tengah duduk di salah satu kursi yang tertata mengitari meja makan, sedikit memutar tubuh, begitu mendengar suara derap langkah dan manik matanya berhasil menangkap sosok Nathen, si pelaku."Hemmm?" Nathen menyahut sambil tersenyum sumbringah, berjalan menghampiri sang istri dan menatapnya dengan tatapah penuh cinta."Paman habis melakukan apa dulu? Kenapa lama sekali turunnya?"Nathen menghentikan langkah, tepat di samping kursi yang Feli duduki. Mengusap kelewat lembut punggung bagian atas Feli lantas membungkukan tubuh, untuk melabuhi puncak kepala sang istri kecupan sayang. Melempar senyum manis, pribadi tampan berusia sepertiga abad itu tidak langsung memberi jawaban pada Feli, meski sempat membiarkan manik mata mereka saling bersitatap, sebelum kemudian menoleh.Nathen menilik area dapur, mendapati di sana hanya ada Aira ‐ salah satu asisten rumah tangga yang ia perkajaan, sedang sibuk sendiri, membersihkan meja pantry.
Dada Nathen ikut sesak rasanya selepas mendengar perkataan Feli, seakan ada kepalan tangan besar seseorang yang seketika mendaratkan bogeman mentah di sana.Mendapati Feli seketika menundukan pandangan, sengaja sekali memutuskan kontak mata dengan dirinya, buru-buru Nathen merubah posisi berbaring jadi memiring, menghadap ke arah Feli secara utuh, sebelum kemudian mempererat rengkuhan pada tubuh istri kecilnya itu.Tak lupa, Nathen juga melabuhkan kecupan sayang di puncak kepala Feli, pun memberi punggung istri kecilnya itu usapan lembut penuh makna secara berkala.Sementara Feli ... wanita cantik itu berusaha meredam mati-matian rasa sesaknya, tetapi berakhir dengan menghadirkan air mata yang menggenang, memenuhi pelupuknya.Membenamkan wajah di permukaan dada bidang Nathen sembari balas memeluk suami tampannya itu, ia memejam, membuat air matanya seketika tumpah ruah di sana.Tangis sedih Feli pecah dalam keheningan, mengakibatkan tubuhnya gemetaran dalam pelukan sang suami."Apa pu
Manik mata hitam Liam tampak gemetar, menilik sosok gadis cantik yang sedang berjalan menujunya yang saat ini tengah duduk di salah satu sofa panjang yang tertata di ruang utama dari unit apartemennya.Gadis cantik itu bernama Kesha. Ia merupakan sahabat masa kecil Liam yang dalam beberapa waktu terakhir ini sudah resmi menjadi kekasih dari teman satu universitas Feli itu.Kesha melempar senyum manis, manakala pandangannya bersitatap dengan Liam. "Ada apa?" tanyanya seraya ikut mendudukan diri, tepat di samping sang kekasih, "kenapa menatapku seperti itu?"Liam berdesis pelan sembari memiringkan kepalanya, sekilas. "Kau mengenal Felicia?"Permukaan kening Kesha mengernyit, hingga nyaris membuat kedua alisnya yang bersebrangan, jadi saling bertautan. Matanya memicing, menatap Liam, nanar.Tawa kecil menguar dari mulut gadis cantik berusia dua puluh dua tahun itu. "Maksudmu, Felicia yang tadi kita hadiri acara pesta ulang tahunnya?"Kepala Liam mengangguk. "Hemmm. Felicia yang itu. Tadi
"Paman benar-banar mau mengerjaiku, ya?" celoteh Feli, bertanya dengan nada setengah merengek, ketika ia harus berjalan dengan perasaan takut juga was-was, sebab matanya ditutup menggunakan kain veil oleh Nathen.Sudah dari semenjak separuh perjalanan sebenarnya Feli terus merengek, menanyakan hal yang sama pada Nathen, ke mana suaminya itu akan membawanya, apakah sedang merencanakan sesuatu untuk mengerjainya.Pertanyaan yang sama terus saja menguar dari mulut Feli, apa lagi setelah tiba-tiba Nathen sempat menghentikan laju mobil, hanya untuk sekadar menutupi matanya, tadi.Meski setengah ogah-ogahan, juga harus sedikit kesusahan Nathen membujuk Feli agar mau matanya ditutup, pada akhirnya ... istri kecilnya itu manut saja, dengan konsekuensi, kerewelannya berlipat ganda.Mulut Feli jadi benar-benar semakin tidak mau diam, setelah matanya ditutup. Bukan hanya sekadar melontarkan kalimat-kalimat tanya bernada rengekan, wanita cantik itu juga bahkan tak segan, melontarkan segala pradu
"Paman ini mau membawaku ke mana, sih?" tanya Feli dengan nada setengah merengek, selagi dirinya berjalan dengan agak sedikit ogah-ogahan, ketika Nathen menuntunnya berjalan, ke luar dari sebuah salon mewah, menuju mobilnya.Tidak terasa, nyaris dua minggu sudah berlalu dari malam di mana akhirnya Feli mengetahui fakta jika ternyata Vivian memiliki hubungan gelap dengan Davian, bahkan mereka berencana melakukan sebuah pernikahan.Dua minggu berjalan, sungguh Nathen sama sekali tidak mengira, jika alih-alih marah atau merasa kecewa pada dirinya, Feli malah menunjukan, jika istri cantiknya itu merasa cukup tersentuh atas apa yang telah dilakukannya.Hubungan pernikahan mereka bahkan bisa dikatakan berjalan sangat baik-baik saja, terutama setelah akhirnya mereka sepakat untuk menempati rumah baru mereka.Hampir seharian ini, Feli dibuat sibuk juga kebingungan dalam satu waktu, ditemani oleh Helen yang mendadak mengajaknya berbelanja baju baru, hingga mempercantik diri di salon.Feli sung
Masih terbayang kelewat jelas dalam ingatan Nathen, ayalnya rekaman video yang diputar di depan pelupuk mata dengan resolusi tinggi, bagaimana tiga minggu sebelum pernikahannya dan Feli dilangsungkan, ia bertemu lebih dulu dengan Vivian.Pertemuan pertama selepas nyaris satu bulan Nathen sama sekali tidak mendapat kabar dari calon istrinya itu, karena seakan menghilang tanpa jejak, ayalnya ditelan bumi.Itu pun terjadi secara mendadak sekali, di kediaman Hayden, ketika sahabat dari Nathen itu tiba-tiba meminta Nathen datang, katanya ada hal darurat yang musti dibahas.Begitu tiba dikediaman Hayden, Nathen malah dikagetkan dengan keberadaan Davian dan Vivian di sana, duduk saling berdampingan di ruang tamu.Nathen yang kala itu berjalan sambil dirangkul oleh Hayden, gegas menghentikan langkah, mencoba menelaah, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Keterkejutan yang dirasakannya, mungkin nyaris sama, seperti bagaimana terkejutnya Feli melihat Davian membawa serta Vivian di pertemuan mere
Keheningan canggung itu tak terelakan, terjadi begitu saja, menyelimuti kebersamaan antara Nathen dan Feli, begitu keduanya memasuki mobil.Acara makan malam – lebih ke pertemuan yang Nathen adakan secara khusus dengan Davian, telah berakhir.Kini, Feli yang sudah mengetahui segala kebenarannya, sedari tadi telah sukses dibuat tidak bisa berkata-kata.Selepas Davian memberi penjelasan pada dirinya, dari mulai alasan sebenarnya mengapa Vivian memilih urung untuk menikah dengan Nathen, sampai Nathen yang rupanya telah membayar Jane untuk menutupi fakta bahwa Davian dan Vivian bersama – untuk sementara darinya, membuat Feli jadi lebih banyak diam.Tidak banyak kata yang terlontar dari mulut wanita cantik itu. Bukan karena tidak ada kalimat yang ingin ia utarakan, hanya saja ... Feli lebih ke merasa bingung, harus memulainya dari yang mana terlebih dahulu.Terlalu banyak kalimat berbentuk tanya yang saat ini tengah berkecamuk dengan begitu hebatnya dalam benak Feli, membuat perasaannya ja