CRAAANG! PYARRRR!
Bunyi kaca pecah saat Ardhan dengan penuh kemarahan melempar seorang pengawal hingga mengenai meja kaca. Satu pengawal menarik pelatuk pistol namun Ardhan dengan gesit menghindar hingga tembakan itu mengenai tempat lainnya. Ardhan dengan sigap menodong Reynal dengan pistolnya.
“Katakan dimana pria keparat itu?!” teriak Ardhan pada Reynal.
“Moli… Jack…” Reynal yang merasa terancam mencoba memanggil beberapa keamanannya. Namun mereka sudah ditangani anak buah Pram.
“Untuk urusan istriku, aku bisa saja membunuh orang! Jadi jangan bermain-main denganku!” Ardhan tidak bercanda. Sebagai seorang suami tentu tidak akan membiarkan ada pria lain yang melarikan istrinya. Apalagi dia sedang hamil. Harga dirinya sungguh dipertaruhkan.
“Tidak, kau tidak bisa melakukan hal ini di negara hukum!” Reynal sebenarnya takut dengan todongan pis
“Devan, kau menyakitiku!” ujar Alea meringis merasakan tulang jemarinya hampir patah karena genggaman Devano.“Aku hanya ingin menghilang dari orang-orang yangg memuakan. Kalau kau ingin membantuku, Pergilah bersamaku. Kita pergi ke suatu tempat di mana tidak ada yang menggenali kita. Lalu kita bisa memulai hidup baru, sebagi orang baru, dengan kehidupan baru. Kau, aku, dan anak di perutmu ini!” tukas Devano mengguncang tangan Alea.Alea menggeleng dan dengan tegas tidak bisa menerima keinginan Devano. Dia memiliki keluarga yang menyayanginya. Suami yang juga mencintainya walau keributan selalu hadir dalam rumah tangganya. Devano tidak bisa memaksanya mengikuti keinginanya. Bukankah Alea sudah bilang bahwa dia tidak mencintainya?“Itu tidak mungkin, Dev! Aku punya suami.” Alea masih mengingatkan Devan.Devan melepaskan genggaman tangannya dan terlihat sangat marah. Lagi-lagi Alea terus mengingatkannya tentang suaminya itu. Devan sangat tidak menyukai Ardhan. Ditendangnya meja di depa
Alea tidak punya kata bahkan sekedar bertanya apakah yang diucapkan Devano itu benar adanya? Tinggal di panti asuhan dan diadopsi? Sungguh kehidupan sahabatnya ini benar-benar selalu membuat terkejut. “Usiaku baru 7 tahun saat mamaku meninggal. Sedangkan Papa pergi setahun kemudian karena menjadi korban salah bacok oleh oknum preman jalanan. Aku melihat sendiri Papaku meregang nyawa di jalanan tanpa ada orang yang berani keluar!” Devan mengusap airmatanya masih mengingat dinginnya udara malam waktu itu yang menusuk kulitnya, semetara tidak ada orang yang mendengar raungannya di samping tubuh sang Papa yang terkapar bersimbah darah. “Oh!” Alea yang berhati lembut itu tentu merasa begitu tersayat mendengar cerita Devano kecil yang mengalami nasib yang sangat buruk. Sekecil itu Devan sudah melihat kejadian yang mengerikan, sungguh nalurinya pasti terluka dan trauma sangat dalam. Air mata Alea sudah berhambur membasahi pipinya mendengar cerita Devano. “Polisi kemudian menyerahkanku ke
“Alea, menyingkir dari pintu. Biar aku dobrak pintunya!” Pram berteriak dari luar agar Alea mengindahkan ucapannya. Alea bergegas menjauh agar Pram bisa membuka pintu itu.BRAKKK!Ketika pintu terdobrak, Alea bergegas keluar dan melihat Devano bersimbuh darah tergeletak tidak bergerak di lantai. Dia berlari memeriksa Devano dan mengguncang-guncang bahunya.“Dev! Kau tidak apa-apa?” Alea menangis. Sahabatnya yang malang itu terkapar tidak berdaya.“Paman menembaknya?” tanya Alea pada Pram yang berdiri keheranan itu. Dia heran bagaimana Alea sangat peduli pada pria yang sudah menculiknya itu.“Dia hanya pingsan!”Suara yang sangat dikenalnya itu terdengar di balik punggungnya. Alea seketika menoleh dan mendapati Ardhan terduduk di sana memegangi bagian tubuhnya yang penuh darah.“Oh, Kak Ardhan!” Alea baru terperanjat dan menjadi canggung karena sudah dengan tidak sengaja lebih mencemaskan Devano dari suaminya. Alea tidak berpikir Ardhan ikut turun menyelamatkannya. Dia juga tidak mel
Nadhim meminta Alea beristirahat saja. Sepertinya dia terlihat sedikit pucat. Bisa jadi karena semalam yang kurang tidur. Alea menurut saja sebab matanya juga terasa berat. Tidur sejenak mungkin bisa menghilangkan kantuknya juga lelah fisik dan batinnya. Bisa tidur beberapa saat, matanya kembali terbuka. Dia duduk dan merasa tidak tenang. Akhirnya diambilnya ponsel dan menghubungi suaminya itu. Separah apa dia, kenapa menghubunginya saja tidak bisa? Jangan-jangan pria itu perhitungan karena kemarin Alea terlihat begitu mencemaskan Devano. Andai pria itu tahu apa yang dirasakan Devano saat kecil dulu, apa dia masih tega memukulinya? Pram melihat Ardhan memeriksa ponselnya lalu terdengar ada panggilan masuk. Anehnya pria itu justru tidak mengangkatnya. Lebih heran lagi saat melihat Ardhan menyodorkan ponsel itu padanya. “Apa?” Pram tidak paham apa maksudnya. “Angkat saja, bilang aku sedang istirahat!” tukas Ardhan. Pram melihat layar ponsel Ardhan dan melirik Ardhan dengan menyipit
Wanita itu tampak sedih menatap putra bungsunya yang babak belur itu. Berita tentangnya yang melarikan istri orang sungguh membuatnya terpukul. Segera dia mengambil penerbangan cepat untuk sampai di tanah air dan mendapati sang putra tampak kacau.“Devan masih saja merasa bahwa kita bukan keluarganya, Ma! Itu semua karena Papa yang selalu membedakan kami. Seharusnya Mama bisa memberitahu Papa agar bisa menerima kehadiran Devano sebagai putranya,” tukas Reynal yang sejak semalam langsung datang ke rumah sakit begitu orang Ardhan memberitahunya.Reynal ingat ketika dia berusia 12 tahun dan selalu merasa kesepian sementara orang tuanya sibuk bekerja, dia pernah tidak sengaja melihat anak laki-laki yang membersihkan halaman panti. Saat itu mobilnya mogok di depan panti. Reynal sekedar berteduh menunggu supirnya mengganti ban.Anak laki-laki itu menatapnya lekat, dan Reynal memanggilnya. Memberikannya makanan dari bekal sekolah dan melihatnya makan dengan lahap. Reynal bertanya, “Apa kau t
“Aku menyesal, Pa. Aku akan bersedia menerima semua konsekuensi dan hukuman atas apa yang sudah aku kerjakan. Untuk sesaat kemarin aku benar-benar frustasi dan tak tahu harus bagaimana,” ucap Devano menyesali perbuatannya.“Kau masih muda, sangat muda. Hal itu wajar terjadi pada pemuda sepertimu yang sedang patah hati. Papa saja dulu hampir bunuh diri karena ditolak seorang wanita.” Rudi melirik sang istri yang kemudian memukul lengannya. Devano ingin sekali menangis, menangis bahagia karena ada Kakak tercinta yang selalu mendukungnya, Mama yang sudah memberinya kasih sayang, juga sang Papa yang kini mulai terlihat perhatian. Dia tidak ingin apapun lagi selain keutuhan keluarganya.“Hamid Muradz adalah kawan lamaku, mereka tidak akan keberatan jika kita menyelesaikan hal ini secara kekeluargaan. Aku dengar, Reynal juga sudah berbincang dengan Ardhan mengenai kalian,” ujar Rudi membantu mencarikan solusi. Dia tidak mungkin membiarkan pria yang sudah menyandang nama belakangnya itu m
Ketika sarapan Hera menyinggung tentang acara tujuh bulanan. Kehamilan Alea sudah masuk tujuh bulan dan umumnya ada acara yang biasa dirayakan sebagai rasa syukur serta doa agar sang bayi bisa lahir ke dunia dengan baik dan selamat tanpa kurang suatu apapun. Namun Hamid sepertinya keberatan.“Saat kita mau umroh, syukurannya juga sudah mendoakan si bayi, begitu umroh di sana kita memang bernazar untuk si bayi, kan? Untuk apa lagi pakai acara tujuh bulanan toh setiap hari kita berdoa untuk calon cucu kita!”Hera melirik sang suami sebal dan berkata, “Itu kan acara untuk mendoakan cucu kita, Pa. Lihat tuh artis-artis adain acara tujuh bulanan besar-besaran kayak resepsi nikahan.”“Biarin itu artis memang butuh acara untuk konten, lagian mama tahu enggak kalau tujuh bulanan itu tradisi orang jawa. Mama kan bukan orang jawa!” Hamid mengingatkan.“Ini bukan masalah kita berasal darimana, Pa. Tapi ini bentuk rasa syukur
Ardhan ada sedikit urusan dan mengatakan akan pergi ke rumah yang ada di Jakarta Utara. Tapi Alea tidak mau ditinggalkan. Dia ingin ikut kemanapun suaminya pergi.“Mama sudah bilang kau harus di rumah sampai kelahiranmu.” Ardhan memberikan pengertian.“Ya udah, kalau begitu Kakak juga di rumah saja!”Alea takut, saat mereka terpisah selalu ada hal buruk yang terjadi. Dia tidak suka berpisah dengan suaminya itu.“Hanya sebentar, Sayang! Perutmu sudah besar, nanti malah repot lho!” Ardhan kembali mengingatkan.Hal itu justru membuat Alea merasa suaminya itu meledeknya. “Kakak malu ya kalau jalan sama perempuan yang hamil dan gendut sepertiku? Kakak takut aku merepotkan Kakak?”“Eh, bukan…” Ardhan langsung mencoba mengoreksi.“Bilang saja begitu kan?”“Enggak, Sayang! Mana mungkin sih aku malu jalan sama istriku sendiri?”“Oh...
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b