Ketika sarapan Hera menyinggung tentang acara tujuh bulanan. Kehamilan Alea sudah masuk tujuh bulan dan umumnya ada acara yang biasa dirayakan sebagai rasa syukur serta doa agar sang bayi bisa lahir ke dunia dengan baik dan selamat tanpa kurang suatu apapun. Namun Hamid sepertinya keberatan.
“Saat kita mau umroh, syukurannya juga sudah mendoakan si bayi, begitu umroh di sana kita memang bernazar untuk si bayi, kan? Untuk apa lagi pakai acara tujuh bulanan toh setiap hari kita berdoa untuk calon cucu kita!”
Hera melirik sang suami sebal dan berkata, “Itu kan acara untuk mendoakan cucu kita, Pa. Lihat tuh artis-artis adain acara tujuh bulanan besar-besaran kayak resepsi nikahan.”
“Biarin itu artis memang butuh acara untuk konten, lagian mama tahu enggak kalau tujuh bulanan itu tradisi orang jawa. Mama kan bukan orang jawa!” Hamid mengingatkan.
“Ini bukan masalah kita berasal darimana, Pa. Tapi ini bentuk rasa syukur
Ardhan ada sedikit urusan dan mengatakan akan pergi ke rumah yang ada di Jakarta Utara. Tapi Alea tidak mau ditinggalkan. Dia ingin ikut kemanapun suaminya pergi.“Mama sudah bilang kau harus di rumah sampai kelahiranmu.” Ardhan memberikan pengertian.“Ya udah, kalau begitu Kakak juga di rumah saja!”Alea takut, saat mereka terpisah selalu ada hal buruk yang terjadi. Dia tidak suka berpisah dengan suaminya itu.“Hanya sebentar, Sayang! Perutmu sudah besar, nanti malah repot lho!” Ardhan kembali mengingatkan.Hal itu justru membuat Alea merasa suaminya itu meledeknya. “Kakak malu ya kalau jalan sama perempuan yang hamil dan gendut sepertiku? Kakak takut aku merepotkan Kakak?”“Eh, bukan…” Ardhan langsung mencoba mengoreksi.“Bilang saja begitu kan?”“Enggak, Sayang! Mana mungkin sih aku malu jalan sama istriku sendiri?”“Oh...
“Biar kamu tidak capek, malam ini kita nginap di rumah kita saja, ya?” Ardhan menyarankan. Lagi pula ini sudah malam, Alea butuh istirahat.“Uhm, boleh!” Alea melirik Ardhan sambil berpikir kalau mereka tidur di rumah mereka sendiri artinya Alea masih bisa mampir dulu ke suatu tempat. “Kak, kita mampir ke toko Valen ya?”“Udah malam,Sayang! Tadi kamu sudah mampir kemana-mana.” Ardhan mengingatkan Alea.Sebenarnya urusan Ardhan hanya sebentar. Tapi karena Alea ikut jadinya dia harus menuruti istrinya itu kemana dia ingin datangi. “Baru jam 9 malam, kok! Toko Valen belum tutup.”“Besok saja, kamu lelah. Kasihan baby-nya minta istirahat!”“Enggak apa, Kak. Ini tadi baby-nya bilang, its oke Mama aku juga pengen ke toko tante Valen...” Alea mengelus perutnya menyampaikan seolah sang anaklah yang mengatakan hal itu.Ardhan hanya menggelengkan kepalanya. Saat hamil Alea selalu menjadikan sang anak sebagai senjata kalau ingin sesuatu. Ingat ketika Alea ingin cilok bandung, dia juga bilan
Ardhan sudah berdiri di samping mobil dan bersiap hendak masuk ke dalam saja untuk menyeret tangan Alea agar pulang. Bilangnya hanya sebentar, ini sudah hampir dua jam tapi tidak juga kunjung keluar. Apa begitu lamanya hanya untuk membeli kuaci?Aaaah! Kenapa masih percaya dengan alasan kuaci itu? Lain kali dia harus berpiikir lebih cerdas agar sang istri tidak selalu mendapatkan alasan untuk bisa bermain-main terus.Sudah terkonsep di otaknya untuk memperingatkan Alea agar tidak lupa waktu. Apalagi dia sedang hamil dan tidak boleh teralu capek. Kalau perlu dia ingin mencubit pipinya itu dengan gemas. Namun melihat wanita itu melambai sambil tersenyum keluar dari toko Valen, entah kemana pikiran yang sudah terkonsep itu menguap?“Kakak menunggu lama, ya?” ucap Alea yang berjalan mendekat.“Enggak, ayo buruan masuk!” ujar Ardhan membukakan pintu mobil dan bergegas berjalan ke pintu kemudi. Mana berani dia bilang kelamaan. “Maaf ya, Kak! Tadi keasyikan ngobrol dengan Valen,” ucap
Vivian menemani sang putra untuk menjalani konseling dengan psikiater di rumah sakit. Sepanjang konseling tangan Devano selalu menggenggam tangan Vivian. Suatu ketika dia mengingat hari yang menyedihkan itu, genggaman Devano mengerat. Vivian pun mencoba bereaksi dengan mengelus punggung tangan Devano lembut.Sudah beberapa kali Devano mendapatkan terapi yang dilakuan di rumah sendiri. Tapi kali ini Vivian menyarankan untuk pergi ke rumah sakit seperti orang pada umumnya sembari melihat hiruk pikuk aktivitas manusia sekitar. Berharap bisa membuka pikiran Devano agar tidak terus mengukungnya di rumah sepanjang waktu. Bukankah itu justru membuat kondisi mentalnya lebih buruk?“Jangan takut, Mama ada di sini Sayang!” peluk Vivian untuk menenangkan Devano.Vivian wanita yang keibuan. Sikapnya begitu penyayang pada Devano yang sudah sejak kecil dirawatnya. Saat anak-anak masih kecil, Vivian lebih banyak tinggal di rumah untuk merawat mereka sendiri m
Cecil ingat, Pamannya yang jahat itu sudah pernah mendatangi rumah pria ini dan meminta pertanggungjawaban. Tapi petugas keamanan rumah di sana melempar sang paman ke jalanan dan mengancamnya. Saat pulang, sang Paman malah marah-marah tidak jelas padanya dan mengusir Cecil.Bagaimana jika dia mengatakan bahwa ini adalah anaknya? Apa dia akan membunuhnya?Oh, tidak! Dia hanya ingin hidup tenang dengan sang buah hati meski tanpa pengakuan dari ayah biologisnya.“Aku... aku harus periksa!”Cecil nampak gugup dan hendak berlalu pergi namun Devano meraih tangannya.“Katakan saja, apa itu anakku?” Devano mendesak.Cecil jadi lebih takut dan Devano menyadari hal itu.“Jangan takut! Aku hanya ingin memastikan, kalau memang itu anakku aku akan bertanggung jawab. Kalau tidak aku juga tidak akan menganggumu.”Cecil melihat Devano tidak seperti orang yang ingin mengancamnya ataupun mencelakai
Kok sepi? Kemana dia? Apa sebegitunya menerima tepon dari wanita itu sampai harus mencari tempat yang tidak ada gangguan? Alea jadi tergelitik untuk sebal kembali. Dia jadi tidak mengerti kenapa begitu sulit untuk sekedar merelakan sang suami menerima telpon dari mantan kekasihnya itu. Meski diantara mereka sudah sepakat untuk saling percaya, masih juga rasa curiga dan cemburu itu ada. “Ngintip apa sih?” Suara itu terdengar dekat di telinganya. Alea begitu terkejut karena orang yang tadinya ingin diintip malah sudah berdiri di belakangnya. Mengukung tubuhnya diantara tembok dan tubuh tinggi menjulang sang suami. “Kak Ardhan!” tukas Alea dengan wajah kemerahan karena ketahuan sedang mengintipnya. “Uhm... aku memeriksa tirainya ini lho, kemarin kayaknya ada yang kotor!” Alea sampai harus berbohong karena gengsi dikata kepo dengan urusan suaminya. Ardhan menatapnya sambil tersenyum. Membuat Alea merasa jengkel sekali. “Aku sudah riject kok panggilannya, takut istriku marah meskip
Leon mendatangi rumah Ardhan membahas tentang permintaan Naysila yang disampaikan Delon semalam. Leon juga sudah menghubungi Naysila sendiri dan mendengar keluhannya.“Apa kau benar sudah memastikan bahwa alasannya seperti itu?” Ardhan sudah tidak bisa percaya dengan Naysila karena sudah sering memanipulasinya sebelum ini.“Entahlah, aku hanya memikirkan keberlanjutan kontrak kerja perusahaan. Jangan hanya karena ulah Naysila yang tidak menjalankan kewajibannya, Mr. Danil akan memutus kontrak. Konsekuensinya kau tahu sendiri kan?” Ardhan tentu tahu konsekuensi dari hal itu. Disamping kepercayaan publik yang pastinya akan menurun, perusahaan akan kena denda yang jumlahnya yang tidak kecil.“Sayang sekali, wanita yang bertalenta seperti Naysila ternyata memiliki sikap yang tidak baik dalam dunia kerja.” Leon melirik Ardhan dan merasa bahwa sikap Naysila yang seperti itu bisa jadi karena pria di depannya itu.
Ardhan bukan tanpa alasan mengatakan pada Alea bahwa dia masih ada urusan yang harus diselesaikan dengan Naysila. Dan urusa itu tidak main-main. Pram mengatakan bahwa dia sudah mengendus ada rencana busuk Naysila yang sudah menyewa beberapa penjahat bayaran untuk menyakiti Alea. Hal ini terbongkar ketika tanpa segaja Pram mendapat notif dari nomor Mario yang sudah disadapnya tentang niat wanita itu.Ada beberapa alasan Naysila ingin melakukannya, pertama dia masih sakit hati dengan sikap Ardhan atas pernikahannya dengan Alea yang dianggapnya sebagai suatu penghianatan karena dilakukan saat mereka masih bersama. Terlepas kemudian dia-lah yang berkhianat dengan skadalnya di Amerika.Kedua, mereka mengendus Mario sepertinya berkhianat karena terlihat lebih condong pada Ardhan. Lalu berpikir ada kemungkinan pria itu mengatakan bahwa mereka terlibat sindikat besar pengedar narkoba. Sebagai antisipasi mereka tertangkap, maka cara yang bisa ditempuh adalah mengancam Ardhan menggunakan Alea