Vivian menemani sang putra untuk menjalani konseling dengan psikiater di rumah sakit. Sepanjang konseling tangan Devano selalu menggenggam tangan Vivian. Suatu ketika dia mengingat hari yang menyedihkan itu, genggaman Devano mengerat. Vivian pun mencoba bereaksi dengan mengelus punggung tangan Devano lembut.Sudah beberapa kali Devano mendapatkan terapi yang dilakuan di rumah sendiri. Tapi kali ini Vivian menyarankan untuk pergi ke rumah sakit seperti orang pada umumnya sembari melihat hiruk pikuk aktivitas manusia sekitar. Berharap bisa membuka pikiran Devano agar tidak terus mengukungnya di rumah sepanjang waktu. Bukankah itu justru membuat kondisi mentalnya lebih buruk?“Jangan takut, Mama ada di sini Sayang!” peluk Vivian untuk menenangkan Devano.Vivian wanita yang keibuan. Sikapnya begitu penyayang pada Devano yang sudah sejak kecil dirawatnya. Saat anak-anak masih kecil, Vivian lebih banyak tinggal di rumah untuk merawat mereka sendiri m
Cecil ingat, Pamannya yang jahat itu sudah pernah mendatangi rumah pria ini dan meminta pertanggungjawaban. Tapi petugas keamanan rumah di sana melempar sang paman ke jalanan dan mengancamnya. Saat pulang, sang Paman malah marah-marah tidak jelas padanya dan mengusir Cecil.Bagaimana jika dia mengatakan bahwa ini adalah anaknya? Apa dia akan membunuhnya?Oh, tidak! Dia hanya ingin hidup tenang dengan sang buah hati meski tanpa pengakuan dari ayah biologisnya.“Aku... aku harus periksa!”Cecil nampak gugup dan hendak berlalu pergi namun Devano meraih tangannya.“Katakan saja, apa itu anakku?” Devano mendesak.Cecil jadi lebih takut dan Devano menyadari hal itu.“Jangan takut! Aku hanya ingin memastikan, kalau memang itu anakku aku akan bertanggung jawab. Kalau tidak aku juga tidak akan menganggumu.”Cecil melihat Devano tidak seperti orang yang ingin mengancamnya ataupun mencelakai
Kok sepi? Kemana dia? Apa sebegitunya menerima tepon dari wanita itu sampai harus mencari tempat yang tidak ada gangguan? Alea jadi tergelitik untuk sebal kembali. Dia jadi tidak mengerti kenapa begitu sulit untuk sekedar merelakan sang suami menerima telpon dari mantan kekasihnya itu. Meski diantara mereka sudah sepakat untuk saling percaya, masih juga rasa curiga dan cemburu itu ada. “Ngintip apa sih?” Suara itu terdengar dekat di telinganya. Alea begitu terkejut karena orang yang tadinya ingin diintip malah sudah berdiri di belakangnya. Mengukung tubuhnya diantara tembok dan tubuh tinggi menjulang sang suami. “Kak Ardhan!” tukas Alea dengan wajah kemerahan karena ketahuan sedang mengintipnya. “Uhm... aku memeriksa tirainya ini lho, kemarin kayaknya ada yang kotor!” Alea sampai harus berbohong karena gengsi dikata kepo dengan urusan suaminya. Ardhan menatapnya sambil tersenyum. Membuat Alea merasa jengkel sekali. “Aku sudah riject kok panggilannya, takut istriku marah meskip
Leon mendatangi rumah Ardhan membahas tentang permintaan Naysila yang disampaikan Delon semalam. Leon juga sudah menghubungi Naysila sendiri dan mendengar keluhannya.“Apa kau benar sudah memastikan bahwa alasannya seperti itu?” Ardhan sudah tidak bisa percaya dengan Naysila karena sudah sering memanipulasinya sebelum ini.“Entahlah, aku hanya memikirkan keberlanjutan kontrak kerja perusahaan. Jangan hanya karena ulah Naysila yang tidak menjalankan kewajibannya, Mr. Danil akan memutus kontrak. Konsekuensinya kau tahu sendiri kan?” Ardhan tentu tahu konsekuensi dari hal itu. Disamping kepercayaan publik yang pastinya akan menurun, perusahaan akan kena denda yang jumlahnya yang tidak kecil.“Sayang sekali, wanita yang bertalenta seperti Naysila ternyata memiliki sikap yang tidak baik dalam dunia kerja.” Leon melirik Ardhan dan merasa bahwa sikap Naysila yang seperti itu bisa jadi karena pria di depannya itu.
Ardhan bukan tanpa alasan mengatakan pada Alea bahwa dia masih ada urusan yang harus diselesaikan dengan Naysila. Dan urusa itu tidak main-main. Pram mengatakan bahwa dia sudah mengendus ada rencana busuk Naysila yang sudah menyewa beberapa penjahat bayaran untuk menyakiti Alea. Hal ini terbongkar ketika tanpa segaja Pram mendapat notif dari nomor Mario yang sudah disadapnya tentang niat wanita itu.Ada beberapa alasan Naysila ingin melakukannya, pertama dia masih sakit hati dengan sikap Ardhan atas pernikahannya dengan Alea yang dianggapnya sebagai suatu penghianatan karena dilakukan saat mereka masih bersama. Terlepas kemudian dia-lah yang berkhianat dengan skadalnya di Amerika.Kedua, mereka mengendus Mario sepertinya berkhianat karena terlihat lebih condong pada Ardhan. Lalu berpikir ada kemungkinan pria itu mengatakan bahwa mereka terlibat sindikat besar pengedar narkoba. Sebagai antisipasi mereka tertangkap, maka cara yang bisa ditempuh adalah mengancam Ardhan menggunakan Alea
Ardhan mengutak-atik laptopnya sambil memikirkan banyak hal. Dia tidak bisa tidur semalaman saat menyadari bahwa jika sindikat pengedar narkoba itu terungkap akan banyak orang-orang terkenal yang terlibat. Karenanya saat ini mereka akan melakukan banyak cara agar bisa menggagalkan pihak polisi untuk membongkar sindikat itu. Kenapa Pram tidak berpikir dengan hati-hati sebelum terburu-buru melaporkan hal ini ke polisi? Sudah pikun dia? Tentu Mario dan kawanannya menganggap Pram bertindak atas perintahnya karena dia bekerja padanya. Dengan pemikiran itu, Mario tentu membuat rencana untuk mencari kelemahannya. Yaitu Alea. Seharusnya dia percaya ucapan papanya yang mengatakan bahwa kerja Pram mulai menurun. Tapi Ardhan masih juga nyaman mempercayakan keamanannya pada Pram. Sang bodyguardnya sejak dia kecil. Ada telpon dari Naysila. Ardhan menghela napas karena harus mengendalikan diri agar tidak emosi dan mengumbar kekesalannya pada wanita yang tidak tahu diri itu. “Kau tidak meme
Hera tampak resah karena Ardhan dan Alea malah kerasan di rumah mereka dan tidak balik-balik lagi. Padahal hari perkiraan lahir cucunya sudah semakin dekat. Dia mendesak suaminya yang sibuk itu untuk memarahi sang putra yang belum juga mengantar istrinya ke rumah keluarga.“Ya ampun, Ma! Ini yang mau melahirkan siapa sih? Kok Mama yang risau tidak jelas!” Hamid keberatan jika hanya untuk urusan menghubungi Ardhan dia juga yang melakukan.“Anak itu biasanya lebih mendengar Papa. Buruan gih telpon!” Desak Hera.“Masih sebulan, masih lama lho itu. Udah entar juga pulang-pulang sendiri. Kayak anak TK saja di ingatkan terus!”Hamid masih keberatan.“Ya Allah, Papa! Cuman diminta menghubungi anaknya saja berat banget, ya? Mama hanya cemas, sudah berapa kali Alea hampir celaka di luar sana? Papa kok santai-santai saja?”“Ardhan sudah pasti memikirkan hal itu, Ma!” Hamid sekali lagi membantah. Membuat istrinya itu berbalik badan dengan kasar sambil ngedumel berlalu meninggalkan pria yang menur
Alea sudah mengambil sweaternya dan mengenakan masker lalu bergegas mengendap keluar. Dia sudah memesan taxi dan sepertinya sudah ada di depan. Namun tiba-tiba dia bingung kesulitan membuka pagarnya. Padahal sebelumnya dia bisa. Kalau sedang tidak hamil, Alea pasti akan memanjat pagar itu. Tapi perutnya sudah besar, tidak mungkin dia membahayakan diri sampai memanjat pagar segala. “Maaf, Bu! Ada yang bisa saya bantu?” ujar seseorang yang tiba-tiba muncul membuat Alea terkejut bukan main. “S-siapa kau?” Alea menatap pria itu yang berdiri di depan pagarnya. “Lebih baik Bu Alea masuk lagi ke dalam, tidak baik malam—malam begini keluar rumah!” tutur pria itu. Jika pria ini menyebutnya seperti itu dan tahu namanya, Alea bisa menebak pasti dia anak buah Ardhan yang memang ditugaskan untuk menjaganya. Lihat saja dia meminta Alea masuk lagi ke dalam rumah agar tidak ada bahaya yang mengintai. “Hei, kau bisa tolong aku?” ucap Alea memanggil pria itu. “Apa yang bisa saya bantu, Bu?” “Ak