Wanita itu tampak sedih menatap putra bungsunya yang babak belur itu. Berita tentangnya yang melarikan istri orang sungguh membuatnya terpukul. Segera dia mengambil penerbangan cepat untuk sampai di tanah air dan mendapati sang putra tampak kacau.“Devan masih saja merasa bahwa kita bukan keluarganya, Ma! Itu semua karena Papa yang selalu membedakan kami. Seharusnya Mama bisa memberitahu Papa agar bisa menerima kehadiran Devano sebagai putranya,” tukas Reynal yang sejak semalam langsung datang ke rumah sakit begitu orang Ardhan memberitahunya.Reynal ingat ketika dia berusia 12 tahun dan selalu merasa kesepian sementara orang tuanya sibuk bekerja, dia pernah tidak sengaja melihat anak laki-laki yang membersihkan halaman panti. Saat itu mobilnya mogok di depan panti. Reynal sekedar berteduh menunggu supirnya mengganti ban.Anak laki-laki itu menatapnya lekat, dan Reynal memanggilnya. Memberikannya makanan dari bekal sekolah dan melihatnya makan dengan lahap. Reynal bertanya, “Apa kau t
“Aku menyesal, Pa. Aku akan bersedia menerima semua konsekuensi dan hukuman atas apa yang sudah aku kerjakan. Untuk sesaat kemarin aku benar-benar frustasi dan tak tahu harus bagaimana,” ucap Devano menyesali perbuatannya.“Kau masih muda, sangat muda. Hal itu wajar terjadi pada pemuda sepertimu yang sedang patah hati. Papa saja dulu hampir bunuh diri karena ditolak seorang wanita.” Rudi melirik sang istri yang kemudian memukul lengannya. Devano ingin sekali menangis, menangis bahagia karena ada Kakak tercinta yang selalu mendukungnya, Mama yang sudah memberinya kasih sayang, juga sang Papa yang kini mulai terlihat perhatian. Dia tidak ingin apapun lagi selain keutuhan keluarganya.“Hamid Muradz adalah kawan lamaku, mereka tidak akan keberatan jika kita menyelesaikan hal ini secara kekeluargaan. Aku dengar, Reynal juga sudah berbincang dengan Ardhan mengenai kalian,” ujar Rudi membantu mencarikan solusi. Dia tidak mungkin membiarkan pria yang sudah menyandang nama belakangnya itu m
Ketika sarapan Hera menyinggung tentang acara tujuh bulanan. Kehamilan Alea sudah masuk tujuh bulan dan umumnya ada acara yang biasa dirayakan sebagai rasa syukur serta doa agar sang bayi bisa lahir ke dunia dengan baik dan selamat tanpa kurang suatu apapun. Namun Hamid sepertinya keberatan.“Saat kita mau umroh, syukurannya juga sudah mendoakan si bayi, begitu umroh di sana kita memang bernazar untuk si bayi, kan? Untuk apa lagi pakai acara tujuh bulanan toh setiap hari kita berdoa untuk calon cucu kita!”Hera melirik sang suami sebal dan berkata, “Itu kan acara untuk mendoakan cucu kita, Pa. Lihat tuh artis-artis adain acara tujuh bulanan besar-besaran kayak resepsi nikahan.”“Biarin itu artis memang butuh acara untuk konten, lagian mama tahu enggak kalau tujuh bulanan itu tradisi orang jawa. Mama kan bukan orang jawa!” Hamid mengingatkan.“Ini bukan masalah kita berasal darimana, Pa. Tapi ini bentuk rasa syukur
Ardhan ada sedikit urusan dan mengatakan akan pergi ke rumah yang ada di Jakarta Utara. Tapi Alea tidak mau ditinggalkan. Dia ingin ikut kemanapun suaminya pergi.“Mama sudah bilang kau harus di rumah sampai kelahiranmu.” Ardhan memberikan pengertian.“Ya udah, kalau begitu Kakak juga di rumah saja!”Alea takut, saat mereka terpisah selalu ada hal buruk yang terjadi. Dia tidak suka berpisah dengan suaminya itu.“Hanya sebentar, Sayang! Perutmu sudah besar, nanti malah repot lho!” Ardhan kembali mengingatkan.Hal itu justru membuat Alea merasa suaminya itu meledeknya. “Kakak malu ya kalau jalan sama perempuan yang hamil dan gendut sepertiku? Kakak takut aku merepotkan Kakak?”“Eh, bukan…” Ardhan langsung mencoba mengoreksi.“Bilang saja begitu kan?”“Enggak, Sayang! Mana mungkin sih aku malu jalan sama istriku sendiri?”“Oh...
“Biar kamu tidak capek, malam ini kita nginap di rumah kita saja, ya?” Ardhan menyarankan. Lagi pula ini sudah malam, Alea butuh istirahat.“Uhm, boleh!” Alea melirik Ardhan sambil berpikir kalau mereka tidur di rumah mereka sendiri artinya Alea masih bisa mampir dulu ke suatu tempat. “Kak, kita mampir ke toko Valen ya?”“Udah malam,Sayang! Tadi kamu sudah mampir kemana-mana.” Ardhan mengingatkan Alea.Sebenarnya urusan Ardhan hanya sebentar. Tapi karena Alea ikut jadinya dia harus menuruti istrinya itu kemana dia ingin datangi. “Baru jam 9 malam, kok! Toko Valen belum tutup.”“Besok saja, kamu lelah. Kasihan baby-nya minta istirahat!”“Enggak apa, Kak. Ini tadi baby-nya bilang, its oke Mama aku juga pengen ke toko tante Valen...” Alea mengelus perutnya menyampaikan seolah sang anaklah yang mengatakan hal itu.Ardhan hanya menggelengkan kepalanya. Saat hamil Alea selalu menjadikan sang anak sebagai senjata kalau ingin sesuatu. Ingat ketika Alea ingin cilok bandung, dia juga bilan
Ardhan sudah berdiri di samping mobil dan bersiap hendak masuk ke dalam saja untuk menyeret tangan Alea agar pulang. Bilangnya hanya sebentar, ini sudah hampir dua jam tapi tidak juga kunjung keluar. Apa begitu lamanya hanya untuk membeli kuaci?Aaaah! Kenapa masih percaya dengan alasan kuaci itu? Lain kali dia harus berpiikir lebih cerdas agar sang istri tidak selalu mendapatkan alasan untuk bisa bermain-main terus.Sudah terkonsep di otaknya untuk memperingatkan Alea agar tidak lupa waktu. Apalagi dia sedang hamil dan tidak boleh teralu capek. Kalau perlu dia ingin mencubit pipinya itu dengan gemas. Namun melihat wanita itu melambai sambil tersenyum keluar dari toko Valen, entah kemana pikiran yang sudah terkonsep itu menguap?“Kakak menunggu lama, ya?” ucap Alea yang berjalan mendekat.“Enggak, ayo buruan masuk!” ujar Ardhan membukakan pintu mobil dan bergegas berjalan ke pintu kemudi. Mana berani dia bilang kelamaan. “Maaf ya, Kak! Tadi keasyikan ngobrol dengan Valen,” ucap
Vivian menemani sang putra untuk menjalani konseling dengan psikiater di rumah sakit. Sepanjang konseling tangan Devano selalu menggenggam tangan Vivian. Suatu ketika dia mengingat hari yang menyedihkan itu, genggaman Devano mengerat. Vivian pun mencoba bereaksi dengan mengelus punggung tangan Devano lembut.Sudah beberapa kali Devano mendapatkan terapi yang dilakuan di rumah sendiri. Tapi kali ini Vivian menyarankan untuk pergi ke rumah sakit seperti orang pada umumnya sembari melihat hiruk pikuk aktivitas manusia sekitar. Berharap bisa membuka pikiran Devano agar tidak terus mengukungnya di rumah sepanjang waktu. Bukankah itu justru membuat kondisi mentalnya lebih buruk?“Jangan takut, Mama ada di sini Sayang!” peluk Vivian untuk menenangkan Devano.Vivian wanita yang keibuan. Sikapnya begitu penyayang pada Devano yang sudah sejak kecil dirawatnya. Saat anak-anak masih kecil, Vivian lebih banyak tinggal di rumah untuk merawat mereka sendiri m
Cecil ingat, Pamannya yang jahat itu sudah pernah mendatangi rumah pria ini dan meminta pertanggungjawaban. Tapi petugas keamanan rumah di sana melempar sang paman ke jalanan dan mengancamnya. Saat pulang, sang Paman malah marah-marah tidak jelas padanya dan mengusir Cecil.Bagaimana jika dia mengatakan bahwa ini adalah anaknya? Apa dia akan membunuhnya?Oh, tidak! Dia hanya ingin hidup tenang dengan sang buah hati meski tanpa pengakuan dari ayah biologisnya.“Aku... aku harus periksa!”Cecil nampak gugup dan hendak berlalu pergi namun Devano meraih tangannya.“Katakan saja, apa itu anakku?” Devano mendesak.Cecil jadi lebih takut dan Devano menyadari hal itu.“Jangan takut! Aku hanya ingin memastikan, kalau memang itu anakku aku akan bertanggung jawab. Kalau tidak aku juga tidak akan menganggumu.”Cecil melihat Devano tidak seperti orang yang ingin mengancamnya ataupun mencelakai