Bab 6 : Sebuah Rencana

Kebetulan sekali kamu datang Sekar. Saya sangat lapar," ucap Vino begitu Sekar sampai di hadapan nya.

"Ini hutan, banyak sekali buah-buahan yang bisa pak Vino ambil," jawab Sekar seraya berjalan melewati Sekar dengan masih tertunduk lesu.

"Ya memang benar. Tapi, pohon nya tinggi-tinggi, harus manjat. Mana bisa saya manjat, kaki saya kan sakit sekali," tukas Vino. Mendengar itu Sekar berbalik menatap Vino lekat seraya bertanya, "Sebenarnya bapak itu tidak bisa memanjat pohon karena sakit atau karena memang enggak bisa?"

"Ya ampun Sekar, cuma manjat pohon. Itu mah gampang buat saya, lihat saja nanti pas kaki saya sudah sembuh," jawab Vino penuh percaya diri.

"Baiklah, saya akan mengambilkan makanan untuk pak Vino. Pak Vino tunggu sebentar di sini." Sekar pun segera berlalu ke arah belakang rumahnya. Di sana pohon jambu air tampak berbuah lebat. Sekar segera mengambil beberapa buah untuk mengganjal perut. Ia pun tidak lupa memetik beberapa sayuran untuk menu makan malam mereka.

"Silahkan di nikmati hidangannya," ucap Sekar ketika ia selesai memasak menu makan malam dan menyajikannya di teras rumah.

"Wangi sekali, kamu pintar memasak juga. padahal ini bahan seadanya," ucap Vino.

"Pak Vino terlalu berlebihan. Bagaimana pak Vino mengatakan itu sebelum pak Vino mencobanya," jawab Sekar. Ia segera mengambilkan makanan ke piring Vino.

Keduanya begitu menikmati makan malam di tambah sepoy-sepoy angin malam.

Setelah selesai dengan makan malamnya keduanya beranjak untuk beristirahat.

Sekar tampak menyeritkan keningnya kala melihat Vino mengikutinya memasuki rumah. "pak Vino mau kemana?"

"Tentu saja untuk beristirahat," jawab Vino enteng.

"Mana mungkin bisa begitu, pak? Kita ini pria dan perempuan juga belum menikah, mana mungkin bisa tinggal serumah? tutur Sekar.

"Tapi aku tidak bisa tidur di luar, ini hutan lebat. Apa kamu ingin saya di makan binatang buas?"

Sekar tampak berpikir sejenak, kemudian berkata, "Baiklah. Tapi pak Vino tidur di ruang tengah!"

"Tentu saja!"

*

*

Di sebuah rumah yang terbilang mewah untuk daerah pedesaan, seorang gadis tampak uring-uringan.

"Bu, sepi juga enggak ada Sekar. enggak ada lagi orang bisa aku jailin," ucap Sania pada ibunya, bu Lani.

"Terus kamu maunya gimana?" Bu Lani yang tengah makan malam beralih menatap putri kesayangannya.

"Enggak tahu. Tapi bu, aneh enggak sih? Dulu, kalau Sekar di suruh tidur di luar, pasti ia akan menagis histeris dengan mengajukan berbagai alasan agar bisa masuk rumah. Kenapa sekarang berbeda? Ia bahakn terlihat biasa saja," tutur Sania menatap ibunya lekat.

Mendengar penuturan putrinya, bu Lani bangkit. Sepertinya ia pun setuju dengan penuturan sang putri. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Ibu ingat tadi siang, saat ibu memanggilnya, ia keluar dari arah dalam hutan. Tapi biarkanlah. Mau ia tinggal di hutan, atau di pinggir sungai, terserah!" ujar bu Lani.

"Bu, aku ingin tahu di mana Sekar tidur. Ayolah bu, kita cari tempatnya," ajak Sania kekeh pada ibunya.

"Iya baiklah putri cantikku, kita akan cari malam ii juga," jawab sang ibu. Keduanya pun segera pergi ke luar rumah menyusuri jalan setapak menggunakan senter yang di belinya dari kota.

"Ibu lihat di sana! Sepertinya ada rumah. Ayo kita ke sana sekarang!" ujar Sania antusias. Keduanya pun segera menuju rumah yang di tunjuk Sania.

Keduanya kemudian menggedor-gedor pintu rumah tersebut. Tampaklah Sekar keluar dari dalam rumah. Dan terlihat di belakang sana Vino tengah terbaring.

"Sekar? Apa yang kamu lakukan di sini? Siapa pria itu? Ya ampun," tanya bu Lina terkejut mendapati Sekar bersama seorang pria yang tengah terbaring.

"Ya ampun Sekar, aku tidak menyangka kamu akan tinggal bersama seorang pria," timpal Sania.

"Tampan banget sih, tapi aku enggak tahu asal usulnya, takutnya kan gimana gitu," ucap Sania dalam hati.

"Ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Pria ini baru datang kemarin. Kakinya sakit, karena itu ia numpang tinggal di sini," ujar Sekar seraya mendekati sang ibu. Vino yang mendengar itu terbangun dan berjalan ke arah keributan kaki terpincang-pincang.

"Ups ternyata pria ini cacat? Sepertinya kalian akan menjadi pasangan yang serasi," ujar bu Lina dengan menutup mm mulutnya.

"Iya bu, benar. Yang satunya buruk rupa, satunya lagi, cacat." Sania menimpali. Kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak.

"Biar aku memberi mereka pelajaran," bisik Vino pada Sekar.

"Jangan lakukan apapun kepada mereka! Mereka itu keluarga ku," cegah Sekar.

"Kalian tetap di sini dan jangan beranjak selangkah pun! Aku akan segera kembali. Jika aku kesini mendapati salah satu dari kalian tidak ada, maka aku akan membakar rumah pohon ini dan menjual rumah ayahmu itu, mengerti?!'" gertak bu Lina yang di angguki oleh Sekar. Kemudian keduanya pun berlalu pergi meninggalkan Sekar dan Vino.

Sekar menatap kepergian keduanya dengan perasaan cemas. Ia tahu betul seperti apa ibunya.

"Apa yang akan ibu lakukan kali ini?"lirih Sekar.

"Ibu kenapa kita tidak memukuli Sekar dan pria itu sampai puas? Kurasa pria itu takan berani melawan kita, kakinya kan sedang sakit," ujar Sania.

"Kamu ini gimana sih sayang, enggak ada gunanya memukuli mereka. Kamu tahu? Ibu akan memanggil warga menuju rumah Sekar. Warga akan menganggap mereka membawa sial bagi desa kita, setelah itu ibu akan menghasut warga untuk menikahkan keduanya. Bukankah pantas, si buruk rupa dan pria cacat? Dengan begitu kita tidak perlu khawatir kalau nak Seno anak pak lurah akan menemukan wajah cantik Sekar suatu hari nanti, kalau Sekar sudah bersuami, kan? tutur bu Lina panjang lebar dibalas anggukan antusias oleh Sania.

"Wah ibu memang hebat."