Cecil keluar dengan tampilan yang lebih segar. Tubuhnya terbalut dress putih tulang sepanjang lutut, bermotif bunga tulip dan rerumputan yang menjulang sebatas pinggang. dress tanpa lengan itu berpadu matching dengan kulitnya yang putih. Biasanya, Cecil memakai pakaian seperti ini ketika menjelang tidur. Tapi sepertinya, gadis itu akan memadunya dengan kardigan hitam pemberian almarhumah ibunya."Cari apa?" Tanya Devan ketika melihat gadis itu sibuk mengubek-ubek isi lemari. Tak kunjung ketemu, cecil pun frustasi."Cari kardiganku," jawab Cecil masih dengan mengubek isi lemari."Mau ke mana? Kok pakai kardigan?""Gak kemana-kemana. Ya aku risih aja, pakai baju gini depan kamu. Makanya aku cari kardigan. Giliran dibutuhin, malah gak ketemu." Ingin menangis rasanya. "Kalau risih ngapain di pakai? Kan masih ada baju lain. Sengaja ya, biar aku tergoda?" Tebak Devan, membuat Cecil memutar bola matanya."Aku kalau mau tidur biasa pakai gini. Lupa, kalau sekarang udah gak tidur sendiri lag
Devan bingung dengan perasaanya sendiri. Ya, dia tak bisa membohongi hati kecilnya. Nyatanya, nama Dela masih tersimpan di ruang terdalam milik Devan. Bahkan, lelaki itu tidak tahu harus berbuat apa sekarang."Kamu benar, Cil. Aku memang laki-laki berengsek! Aku memang masih memiliki rasa pada Dela, meski tidak sepenuhnya, walaupun perempuan itu sudah menyakiti aku sebegitu teganya. Tapi di sisi lain, aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiranmu di hidupku. Bahkan, aku merasa cemburu, saat orang-orang terdekatku berusaha mendekatimu. Aku menginginkan kalian berdua."Cecil berusaha menahan air matanya, kala kalimat itu terdengar dari mulut Devan. Pengakuan Devan benar-benar menghantam hatinya.Ya, mulut lelaki itu memang jujur, tapi Cecil tidak pernah menyangka sebelumnya, jika kejujuran itu akan membuatnya melemah. Sakit sekali ya Gusti.Cecil hanya bisa diam, menatap manik Devan. Apakah dia sanggup bertahan selama satu tahun? Sepertinya, dia tidak bisa. Baru sehari saja, rasanya sudah
Cecil meraih tangan Zaki agar lelaki itu tidak emosi. Cecil tahu, mungkin jika Devan ada di sini, Zaki pasti langsung menghajarnya. Kalau tidak, nanti pasti akan ada aksi baku hantam."Sudah lah, Zak. Jangan emosi. Mas Devan gak sepenuhnya bersalah. Aku bisa ngerti kalau dia khawatir sama Mbak Dela. Lagian, aku juga salah. Aku gak hati-hati tadi."Zaki menggeleng. Semakin kagum saja, dia pada Cecil. Terbuat dari apa hatinya. "Tetap saja Devan salah, Cil. Gak seharusnya dia meninggalkan kamu sendirian. Dia kan bisa ke rumah sakit bawa mobilnya. Tinggal ngikutin ambulance. Kamu kan gak bisa nyetir." Hati Cecil semakin sesak. Bahkan, Zaki saja tahu kalau dia gak bisa nyetir, meski Devan meninggalkan mobilnya, percuma saja.Cecil berusaha tersenyum. Mencoba ikhlas menerima semua. "Aku gak papa. Minta tolong telepon ambulance, ya. Sepertinya aku memang harus ke rumah sakit. Lukaku perlu dibersihkan."Tiba-tiba, Zaki mengangkat tubuh Cecilia. Cecil yang tidak siap pun terkejut. "Gak perlu!
Melihat selang infus yang sudah tidak terpakai lagi di tangan Dela, Devan tampak hawatir.Cecil hanya diam, memperhatikan dua insan yang saling cinta itu memberi perhatian satu sama lain."Dicariin wanitamu, tuh! Pergi sana. Nanti merajuk." Sindir Zaki yang lebih tepatnya ditujukan untuk Dela. Zaki benar-benar tidak menyangka, jika pertahanan Devan akan benar-benar goyah seperti sekarang.Devan bingung. Di satu sisi ingin menemani Dela, tapi di sisi lain tidak enak pada Cecil. "Cil," panggil Devan.Cecil membuang muka. Sama sekali tidak ingin melihat pemandangan di hadapannya. "Pergilah, dia lebih membutuhkanmu. Aku sudah biasa sendiri, Mas. Jangan hawatir."Cecil memasang muka darat. Dia tidak ingin menangis sekarang. Tidak ingin terlihat lemah, baik di depan Devan maupun Dela."Terima kasih sudah mengerti." Devan benar-benar tidak melihat luka di mata Cecil. Dia pikir, Cecil ikhlas melakukan itu. Laki-laki itu pun pergi bersama Dela yang membuat Zaki geleng-geleng kepala."Kamu gak
Devan tak kunjung mengindahkan permintaannya, membuat Cecil terus mendesak. "Lakukan, Mas. Demi Allah aku ikhlas."Dengan cepat, Devan membuang pisau itu ke lantai. "Kamu gila, Cil! Aku gak mungkin lakuin itu. Jangan pernah berpikir seperti itu lagi. Aku menyayangimu."Devan menciumi puncak kepala Cecilia bertubi-tubi, seolah lelaki itu benar-benar takut kehilangan."Kenapa kamu gak bisa lakuin itu? Lebih baik aku mati di tanganmu, daripada aku harus melihat kelakuanmu yang menjijikkan."Ya, Devan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia terdiam membisu. "Karena aku menyangimu. Mungkin, kamu sudah bosan dengan pernyataan ini. Tapi percayalah, aku menyayangimu."Cecilia mendorong tubuh Devan keras-keras hinga lelaki itu hampir terjengkang. "Bulshit, Mas! Yang kamu bilang itu bukan pernyataan. Tapi semua itu hanya kalimat penenang agar aku tidak pergi. Itulah tak-tikmu menarik ulurku agar aku tetap tinggal. Kamu jahat, Mas. Kamu licik!"Cecil memeluk kakinya. Menangis sejadi-jadinya di sana
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, gadis itu akhirnya diizinkan pulang. Tak terima sehari, Devan bahkan meminta Cecil dirawat selama dua hari, meki gadis itu menolak.Tapi bukan Devan namanya, kalau tidak bisa membuat orang lain tunduk. Devan ingin luka Cecilia benar-benar sembuh, meski dia harus bolak-balik ke kamar Dela dan Cecil demi berjalanya skenario ini."Mas, aku pulang sama Zaki saja. Kamu sama Mbak Dela saja. Gak usah peduliin aku." ketus Cecil turut serta dalam skenario itu. Meski Devan menganggapnya sungguhan, karena dia tidak tahu, kalau Cecil sudah mengetahui rencananya."Gak! Aku saja yang antar. Aku suamimu, aku yang lebih berhak." Cecil melebarkan senyumnya. Senyum yang terlihat sangat mengejek. "Suami di atas materai? Laki-laki pecundang! Sangat gak guna." Cecil melontarkan kata-kata pedas yang membuat Devan terdiam. Sebenarnya, dia juga tidak tega pura-pura gak punya hati begini. Tapi inilah permainan. 'Maafkan aku, Mas.'"Kamu boleh megejekku sesukamu, Cil.
Tidak ingin menjadi fitnah, Zaki pun menjelaskan. Dia melepas pelukannya pada Cecil kemudian tersenyum ramah pada ibu-ibu yang asal tebak tadi. "Hehehe. Terima kasih atas pujiannya, Ibu. Tapi perempuan ini, bukan istri saya. Dia -- adik saya."Zaki tidak salah bukan? Cecil memang sudah dianggapnya adik. Meski ingin mengharapkan lebih, tapi sepertinya tidak mungkin.Cecil pun ikut memberikan senyumnya. Dia tampak salah tingkah."Eh, maaf, maaf. Saya pikir, suaminya. Habisnya kalian romantis sekali, jadi bikin saya iri." Ibu itu jadi tidak enak.Cecil meringis dibuatnya. Zaki sih, pakai acara merangkulnya. Jadi salah paham, 'kan? "Tidak apa, Bu. Abang saya ini memang jahil. Mohon dimaklumi."Gerakan Bibir Zaki seolah ingin menggaungkan kalimat protes. Tapi urung setelah mendapat cubitan kecil di pinggangnya. Siapa lagi pelakunya? Tentu saja Cecilia. "Aww, sakit," bisik Zaki sambil merintih kesal.Tidak dihiraukan, Cecil pun pamit dari sana. Menarik tangan Zaki untuk segera mengikutinya.
Di ruangan Dela, Zaki sangat tidak betah. Gadis itu sangat tidak asik, tidak seperti Cecil yang selalu ceria."Membosankan." Satu kata itu keluar dari bibir Zaki.Dela merotasikan bola matanya. "Aku gak nyuruh kamu di sini. Pergi saja kalau gak betah! Ribet amat!"Zaki menarik napas dalam-dalam. Tidak habis pikir dengan Devan. Mengapa lelaki itu bisa betah berlama-lama dengan mak lampir? Mending sama Cecil. Ditinggal berduaan satu minggu pun sanggup, karena gadis itu selalu punya cara untuk membuatnya terpingkal. "Kalau bukan karena Devan. Aku juga gak sudi ada di sini.""Terus, itu salahku? Salah sendiri kamu jadi bawahan Devan. Padahal, kalian sama-sama kaya." Dela meraih buah lalu mengulurkannya pada Zaki. "Aku ingin apel ini. Tolong kupaskan."Zaki melempar tatapan sinis. Kalau mungkin di hadapannya ini Cecil, Zaki pasti akan melakukannya tanpa disuruh. "Kupas sendiri, jangan manja!""Dasar gak guna! Apa gunanya kamu di sini?" Cibir Dela ketus. Benar-benar mirip mak lampir."Lalu,