"Mas, aku sumpahin ban motormu bocor!" teriak Cecil dengan emosi naik turun. Kali ini, Devan benar-benar berhasil memainkan adrenalinnya. Mulut Cecil bahkan sampai komat kamit merapal doa, saat Devan dengan lihainya menyalip tronton-tronton di depan mereka."Oke, oke. Aku turunin kecepatannya." Devan yang awalnya ingin mengerjai Cecil jadi tak tega, saat melirik kaca spion motor dan mendapati istrinya sangat ketakutan. Perlahan, dia mulai mengurangi kecepatan lajunya.Saat motor bergerak lebih lambat, Cecil bisa menarik napas lega. Dia juga mengedarkan pandangan ke arah pengendara lain."Naik motor seru, Mas. Jadi ingat waktu sekolah." Cecil bercerita dengan antusias. Tapi satu pertanyaan Devan, berhasil membuatnya pucat."Dibonceng siapa kamu. Kamu kan gak bisa motoran." Grep! Cecil menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya curhat, malah jadi boomerang."Eh, anu." Mata Cecil bergerak gelisah. Otaknya dipaksa keras untuk berpikir jawabannya."Anu apa? Dibonceng siapa?" ulang Devan membuat
Usai menikmati bakso mercon, Cecil dan Devan melajukan motor menuju bazar nostalgia. Ya, benar sekali. Kedatangan mereka langsung disambut oleh jajaran penjual jajanan pinggir jalan. Tidak terkecuali sempol dan sate aci. Cecil benar-benar bahagia sekarang."Mas, aku mau itu." Cecil menunjuk kue leker yang masih dimasak dengan arang. Devan sendiri hanya mengangguk membiarkan Cecil memilih jajanan yang dia suka."Beli saja sesukamu." Devan menyerahkan dompetnya pada Cecil. Dengan senang hati Cecil menerimanya.Saat mencari uang kecil, Cecil sama sekali tidak menemukan. 'Huft! Dasar orang kaya!' Cecil menggerutu dalam hati."Mas, pakai uangku saja lah. Punyamu gak ada yang kecil." Keluhnya sambil menyerahkan dompet pada Devan."Belikan saja semuanya. Katanya mau borong? Entar bagi sama orang rumah dan satpam kompleks."Cecil memutar bola matanya. "Lima puluh ribu? Yang benar saja. Kamu bawa motor, masak aku yang repot bawa ini semua? Aku belom cobain jajan lain."Devan mengacak rambut C
Setelah seharian sibuk memanjakan suaminya, akhirnya pagi ini Cecil disibukan dengan pekerjaannya di kantor. Sesuai yang Devan katakan, pagi ini mereka berangkat ke kantor bersama. Tidak ada lagi jemputan dari Laras, karena Zaki sudah melarang gadis itu menjemput Cecilia, sesuai arahan dari Devan."Selamat pagi?" sapa Cecil ramah pada seluruh karyawan yang ditemuinya di lobi. Itu adalah kebiasaan Cecil yang sudah ia geluti sejak masih menjadi pekerja di kantor ini, hingga sekarang menjadi istri seorang bos."Pagi," Devan ikut menyapa, meski tak ada senyum di sana. Wajahnya tampak datar, tapi bagi para karyawan, ini adalah salah satu momen langkah. Sungguh keajaiban dunia. Ada apa dengan Devan pagi ini?Untuk sesaat, para karyawan terbengong dengan pandangan saling tatap. Lalu detik berikutnya, mereka kompak menyunggingkan senyum dan menunduk hormat."Pagi, Pak Devan, Bu Cecil." balas para karyawan ramah pada keduanya yang berjalan beriringan. Tumben sekali mereka berangkat bareng?Se
Giginya gemertak menahan emosi. Kalau tidak ada Cecil yang menghalangi, mungkin Devan akan langsung menghabisi Sean di tempat."Berdiri kamu!" Devan menarik kasar lengan Cecil menjauh dari Sean. Wajahnya terlihat sangat merah. Entah apa yang ada di pikiran Devan sekarang.Cecil berdiri dengan sedikit terhuyung. Dia takut-takut menatap Devan yang sudah berubah seperti iblis. "Aw, sakit. Pelan-pelan, Mas." Rintihannya sambil melihat memar kemerahan di lengan. Seumur-umur, dia baru melihat sisi iblis seorang Devan.Devan menatap Cecil dengan tatapan membunuh. Dia paling tidak suka dikhianati seperti ini. "Pelan-pelan, katamu? Dasar wanita murahan! Bisa-bisanya kamu pelukan mesra sama orang lain. Dibayar berapa kamu hah? Kamu istriku, Cecil!"TesSetetes air mata membasahi pipi Cecil. Tidak menyangka, jika Devan akan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitinya. Sementara, dia berusaha mati-matian memuji Devan di depan Sean."Tutup mulutmu! Aku tidak serendah itu, bajingan! Aku masih
Cecil tertawa lebar dengan seringai liciknya. Gadis itu kemudian merogoh ponsel di tasnya. "Terima kasih Dela, untuk semua pengakuannya. Tunggulah, sebentar lagi polisi akan datang dengan surat penangkapan kalian. Maaf, kelicikan harus dibalas dengan lebih licik."Cecil menepuk pipi Dela yang terlihat sangat pucat. Mendengar kata polisi, gadis itu langsung mematung. "Ap--apa maksudmu?" Tak kunjung menjelaskan, Devan pun ikut mencecar. "Sayang, ada apa ini?"Cecil mendekat, untuk mengikis jaraknya dan Devan. Dia lalu menepuk pundak lelaki itu pelan. "Aku tahu aktingmu sangat buruk, Sayang. Aku gak yakin bisa menjebak Dela dalam peragkapmu. Maaf, jika aku harus melibatkan Mas Sean dalam drama ini. Awalnya, niatku ke sini memang ingin mengucapkan selamat tinggal pada lelaki baik yang sudah kuanggap seperti abang. Tapi setelah aku melihat Dela memergoki kami berpelukan, aku yakin, dia pasti akan bicara buruk tentang aku. Jadi, aku sengaja, meminta Mas Sean untuk memelukku lebih erat." Ce
"Kondisi ibu kamu semakin menurun, Nak. Segera lunasi administrasi agar bisa dilakukan pencangkokan ginjal secepatnya atau nyawa ibumu tidak akan tertolong," ujar lelaki berjas putih yang berdiri tepat di samping pasien sekarat yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dengan wajah cemasnya, perempuan cantik itu mengangguk lemah, meski ia tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu. "Baik, Dok. Lakukan yang terbaik untuk ibu saya. Akan saya lunasi secepatnya." Dokter tampan yang terlihat seumuran dengan almarhum ayahnya itu mulai mendekat, mengusap bahu Cecil pelan, lalu tersenyum manis dan berkata, "Kamu yang sabar, ya? Sedikit banyak saya tahu bagaimana kehidupan keluargamu. Kamu memang anak yang hebat. Ibu kamu sering cerita tentang kehebatan putrinya ini. Tetap semangat! Setidaknya, dukungan kamu sangat dibutuhkan pasien untuk berjuang melawan penyakitnya. Kamu jangan menyerah dan jangan lupa berdoa, minta kesembuhan untuk ibumu. Sesungguhnya, hanya Dia yang Maha M
"Jadi istri saya!"Tepat setelahnya, mulut Cecil membuka lebar. Pupus sudah harapan Cecil. Ia tidak menyangka jika Devan bisa segila ini. Menikah bukan sebuah permainan yang harus dimenangkan. Ini benar-benar sudah kelewatan!Bagaimana mungkin laki-laki itu bisa dengan mudah menyuruhnya menjadi seorang istri? Ini terdengar sangat konyol. Menikah tidaklah semudah itu. Banyak pertimbangan, terlebih pernikahan bukanlah hal yang remeh.Cecil menggeleng pelan. Ia masih tidak percaya ini. "Pak Devan benar-benar gila! Kalau Bapak dendam sama saya, nggak perlu main-main seperti ini, Pak! Bapak pikir ini lucu? Pernikahan bukan lelucon yang bisa dimainkan seenaknya. Di dalam pernikahan ada janji suci yang terucap dengan Tuhan sebagai saksinya. Jangan main-main dengan hal itu!"Cecil menatap nanar laki-laki yang ada di hadapannya. Rasanya, ingin sekali ia mencakar wajah tampan yang sesat itu."Saya juga tidak main-main! Kamu butuh uang kan? Saya juga butuh seorang istri yang bisa menyelamatkan
Setelah mendapat telepon dari rumah sakit yang memberi tahu jika kondisi ibunya semakin menurun, Cecil pun segera menyambar tasnya.Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan yang masih menunjukkan pukul 3 sore. Itu berarti, jam pulang masih kurang satu jam lagi.Cecil tidak bisa menunggu selama itu. Ia harus bergegas pergi ke rumah sakit karena ibunya sedang tidak baik-baik saja.Tanpa pikir panjang, Cecil pun nekad menemui Devan dan meminta izin untuk pulang lebih awal dari jam pulang kantor. Ia tidak peduli kalau Devan memarahinya nanti. Yang penting, sekarang ia harus cepat sampai rumah sakit.Dengan langkah tergesah, Cecil berjalan menemui Devan di ruangannya.Tok ... tok ....Suara pintu yang terketuk."Masuk!"Setelah mendapat perintah, Cecil pun langsung masuk ke dalam."Permisi, Pak," ucuapnya ragu dengan raut wajah cemasnya.Devan memperhatikan Cecil dari atas sampai bawah. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ini masih jam berapa, Cecilia Hutama
Cecil tertawa lebar dengan seringai liciknya. Gadis itu kemudian merogoh ponsel di tasnya. "Terima kasih Dela, untuk semua pengakuannya. Tunggulah, sebentar lagi polisi akan datang dengan surat penangkapan kalian. Maaf, kelicikan harus dibalas dengan lebih licik."Cecil menepuk pipi Dela yang terlihat sangat pucat. Mendengar kata polisi, gadis itu langsung mematung. "Ap--apa maksudmu?" Tak kunjung menjelaskan, Devan pun ikut mencecar. "Sayang, ada apa ini?"Cecil mendekat, untuk mengikis jaraknya dan Devan. Dia lalu menepuk pundak lelaki itu pelan. "Aku tahu aktingmu sangat buruk, Sayang. Aku gak yakin bisa menjebak Dela dalam peragkapmu. Maaf, jika aku harus melibatkan Mas Sean dalam drama ini. Awalnya, niatku ke sini memang ingin mengucapkan selamat tinggal pada lelaki baik yang sudah kuanggap seperti abang. Tapi setelah aku melihat Dela memergoki kami berpelukan, aku yakin, dia pasti akan bicara buruk tentang aku. Jadi, aku sengaja, meminta Mas Sean untuk memelukku lebih erat." Ce
Giginya gemertak menahan emosi. Kalau tidak ada Cecil yang menghalangi, mungkin Devan akan langsung menghabisi Sean di tempat."Berdiri kamu!" Devan menarik kasar lengan Cecil menjauh dari Sean. Wajahnya terlihat sangat merah. Entah apa yang ada di pikiran Devan sekarang.Cecil berdiri dengan sedikit terhuyung. Dia takut-takut menatap Devan yang sudah berubah seperti iblis. "Aw, sakit. Pelan-pelan, Mas." Rintihannya sambil melihat memar kemerahan di lengan. Seumur-umur, dia baru melihat sisi iblis seorang Devan.Devan menatap Cecil dengan tatapan membunuh. Dia paling tidak suka dikhianati seperti ini. "Pelan-pelan, katamu? Dasar wanita murahan! Bisa-bisanya kamu pelukan mesra sama orang lain. Dibayar berapa kamu hah? Kamu istriku, Cecil!"TesSetetes air mata membasahi pipi Cecil. Tidak menyangka, jika Devan akan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitinya. Sementara, dia berusaha mati-matian memuji Devan di depan Sean."Tutup mulutmu! Aku tidak serendah itu, bajingan! Aku masih
Setelah seharian sibuk memanjakan suaminya, akhirnya pagi ini Cecil disibukan dengan pekerjaannya di kantor. Sesuai yang Devan katakan, pagi ini mereka berangkat ke kantor bersama. Tidak ada lagi jemputan dari Laras, karena Zaki sudah melarang gadis itu menjemput Cecilia, sesuai arahan dari Devan."Selamat pagi?" sapa Cecil ramah pada seluruh karyawan yang ditemuinya di lobi. Itu adalah kebiasaan Cecil yang sudah ia geluti sejak masih menjadi pekerja di kantor ini, hingga sekarang menjadi istri seorang bos."Pagi," Devan ikut menyapa, meski tak ada senyum di sana. Wajahnya tampak datar, tapi bagi para karyawan, ini adalah salah satu momen langkah. Sungguh keajaiban dunia. Ada apa dengan Devan pagi ini?Untuk sesaat, para karyawan terbengong dengan pandangan saling tatap. Lalu detik berikutnya, mereka kompak menyunggingkan senyum dan menunduk hormat."Pagi, Pak Devan, Bu Cecil." balas para karyawan ramah pada keduanya yang berjalan beriringan. Tumben sekali mereka berangkat bareng?Se
Usai menikmati bakso mercon, Cecil dan Devan melajukan motor menuju bazar nostalgia. Ya, benar sekali. Kedatangan mereka langsung disambut oleh jajaran penjual jajanan pinggir jalan. Tidak terkecuali sempol dan sate aci. Cecil benar-benar bahagia sekarang."Mas, aku mau itu." Cecil menunjuk kue leker yang masih dimasak dengan arang. Devan sendiri hanya mengangguk membiarkan Cecil memilih jajanan yang dia suka."Beli saja sesukamu." Devan menyerahkan dompetnya pada Cecil. Dengan senang hati Cecil menerimanya.Saat mencari uang kecil, Cecil sama sekali tidak menemukan. 'Huft! Dasar orang kaya!' Cecil menggerutu dalam hati."Mas, pakai uangku saja lah. Punyamu gak ada yang kecil." Keluhnya sambil menyerahkan dompet pada Devan."Belikan saja semuanya. Katanya mau borong? Entar bagi sama orang rumah dan satpam kompleks."Cecil memutar bola matanya. "Lima puluh ribu? Yang benar saja. Kamu bawa motor, masak aku yang repot bawa ini semua? Aku belom cobain jajan lain."Devan mengacak rambut C
"Mas, aku sumpahin ban motormu bocor!" teriak Cecil dengan emosi naik turun. Kali ini, Devan benar-benar berhasil memainkan adrenalinnya. Mulut Cecil bahkan sampai komat kamit merapal doa, saat Devan dengan lihainya menyalip tronton-tronton di depan mereka."Oke, oke. Aku turunin kecepatannya." Devan yang awalnya ingin mengerjai Cecil jadi tak tega, saat melirik kaca spion motor dan mendapati istrinya sangat ketakutan. Perlahan, dia mulai mengurangi kecepatan lajunya.Saat motor bergerak lebih lambat, Cecil bisa menarik napas lega. Dia juga mengedarkan pandangan ke arah pengendara lain."Naik motor seru, Mas. Jadi ingat waktu sekolah." Cecil bercerita dengan antusias. Tapi satu pertanyaan Devan, berhasil membuatnya pucat."Dibonceng siapa kamu. Kamu kan gak bisa motoran." Grep! Cecil menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya curhat, malah jadi boomerang."Eh, anu." Mata Cecil bergerak gelisah. Otaknya dipaksa keras untuk berpikir jawabannya."Anu apa? Dibonceng siapa?" ulang Devan membuat
Devan berjalan menyusuri rumahnya untuk mencari keberadaan Cecil, tapi gadis itu belum juga ditemukan.Untuk sesaat, pria itu menghela napas panjang, lalu senyumnya terbit kala melihat pintu belakang yang terbuka. Feeling-nya kuat mengatakan jika yang dia cari, ada di taman belakang halaman rumah.Tepat dugaan. Di sana, Cecil tampak duduk di sebuah ayunan yang dikelilingi bunga-bunga mawar yang indah. Hangat mentari juga menyambut kedatangan Devan yang berjalan menghampiri Cecil."Kamu di sini? Pantes, aku cari ke depan gak ketemu." Devan menghentikan ayunan, kemudian duduk di hadapan Cecil yang menatapnya jengah."Ngapain cari aku? Aku ke sini, mau cari angin segar."Cecil membuang pandangannya, menatap bunga-bunga yang tumbuh bermekaran.Devan yang merasa diabaikan pun jengah sendiri. "Cil, lihat sini kek. Suamimu mau ngomong, tapi kamu malah kabur."Cecil yang sadar jika Devan tengah serius, dia mulai menegapkan tubuhnya. Bersiap, mendengar petuah Devan. "Mau ngomong apa? Aku sudah
Pagi yang cerah. Seusai sarapan bersama, Devan mengajak Cecil kembali ke kamar. Tentu hari ini Devan tidak akan membiarkan Cecil menganggur barang sedetik."Ma, Devan sama Cecil pamit ke kamar ya."Cecil menoleh pada Devan penuh kewaspadaan. Lelaki itu pasti sudah menyusun rencana sedemikian rupa.Cecil menghela napas. Menatap Utari seolah meminta pertolongan. "Kamu duluan saja, Mas. Aku masih mau ngobrol sama Mama."Utari yang merasa namanya dibawa-bawa pun mengangguk mengiyakan. Kasihan juga Cecil kalau sampai dikurung di kamar. Sudah pasti, Devan akan menjadikan gadis itu sebagai makanan penutup. Apalagi, Devan sudah bilang jika hari ini dia cuti. Sudah pasti menantunya tidak akan keluar kamar."Kamu duluan saja, Van. Mama juga mau minta pendapat Cecil."Bukannya beranjak, Devan malah bertopang dagu dengan wajah ditekuk. Ditatapnya istri dan sang mama bergantian. "Aku tungguin di sini. Jangan lama-lama ngobrolnya. Aku butuh Cecil."Utari berdecak. Menggeleng heran dengan kepala bat
Usai mandi bersama yang berakhir dengan makian panjang Cecilia, Devan keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Cecil sendiri hanya bisa menghela napas ketika suaminya pergi setelah mendapatkan kenikmatannya kembali."Dasar suami gak peka! Istrinya belum selesai malah ditinggal." gerutu Cecilia saat perempuan itu asik berendam di bathtub. Rendaman air hangat, sedikit banyaknya bisa membantu Cecilia melemaskan ototnya yang kaku.Ceklek.Cecilia keluar setelah puas berendam. Dia juga sudah berganti dengan gaun rumahan.Cecil berjalan menuju meja riasnya. Tak sengaja, pandangan Devan dan Cecil bersitatap. Devan yang berduduk santai di tepi ranjang, hanya memandang gadis itu sesaat, sebelum kembali berkutat dengan ponselnya."Aku sudah mengabari Zaki, kalau kita hari ini gak ke kantor. Aku juga sudah kasih tahu Laras, biar gak usah jemput kamu lagi karena mulai besok, kamu berangkat sama aku."Ucapan Devan menghentikan Cecilia yang memoles wajahnya dengan bedak. Dengan cep
Keesokan paginya, Cecil sudah bersiap dengan setelan kemeja kantor dipadu dengan blazer. Gadis itu mematut dirinya di cermin, sambil menyisir rambutnya yang hampir kering. Sementara Devan sendiri baru bangun dari tidur lelapnya.Ingin menyibak selimut, Tapi urung setelah melihat bekas kemerahan yang dia buat semalam. Leher jenjang itu, dapat dia lihat dengan jelas dari pantulan cemin. Mengingat itu, Devan sangat bangga dengan dirinya yang berhasil menato tubuh Cecilia."Cil, kemarilah!" Cecil yang merasa terpanggil pun bergegas mempercepat gerakannya. Setelah rambutnya tersisir rapi, barulah dia berjalan menghampiri Devan."Ada apa?" Matanya penuh selidik, menatap pria yang semalam tengah menganghangatkan ranjangnya."Kamu mau ke mana, rapi begini? Di rumah saja, gak usah kerja hari ini."Cecil membuka mulutnya. Perempuan itu hampir melontarkan sumpah serapah. "Kenapa? Kenapa aku gak boleh kerja? Aku gak sakit, kok. Àku bisa ke kantor.Devan menunjuk leher Cecil dengan jari telunjuk